Kamis, 01 Juli 2021

TONGGAK-TONGGAK SASTRA INDONESIA

F. Rahardi *
Kompas, 13 Feb 2000
 
BAGI masyarakat awam, tonggak-tonggak sastra Indonesia adalah “angkatan” Pujangga Baru, ’45, dan ’66, sebab itulah yang diajarkan di sekolah. Setelah Angkatan ’66, pernah ada yang ingin melansir Angkatan ’80. Kemudian ada pula yang sangat bernafsu memproklamirkan Angkatan 2000. Tetapi,  kalangan sastra sendiri tidak terlalu memusingkan perihal tersebut. Mereka cenderung melihat tonggak sastra berdasarkan munculnya figur kuat. Misalnya dalam dunia kepenyairan tonggak itu ditandai dengan Amir Hamzah, Chairil Anwar dan Sutardji Calzoum Bachri. Ada juga yang mensyaratkan, tonggak itu harus disertai lahirnya genre baru yang berbeda sama sekali dengan genre sebelumnya untuk menjawab tantangan zamannya.
 
Anggapan bahwa tonggak sastra identik dengan angkatan berawal dari HB Jassin. Sebagai kritikus, dialah yang menandai tonggak sastra Indonesia dengan sebutan “angkatan” melalui tiga bunga rampai yang disusunnya, Pujangga Baru, Gema Tanah Air, dan Angkatan ’66.
 
Terhadap sebutan angkatan Pujangga Baru dan ’45, kalangan sastra Indonesia tidak pernah berkeberatan sebab pada dua angkatan tersebut memang ada figur yang menonjol dan sekaligus juga ada genre penulisan yang berbeda dengan genre sebelumnya. Tetapi, ketika Jassin melansir lahirnya Angkatan ’66 dengan tokoh antara lain Rendra, Goenawan Mohamad dan Taufiq Ismail, maka kalangan sastra ada yang berkeberatan. Salah satu yang paling berkeberatan Ajip  Rosidi yang kemudian menyusun bunga rampai Laut Biru Langit Biru.
 
Keberatan pertama terhadap Angkatan ’66 adalah karena sebutan ini terlalu kentara membonceng bidang politik. Selain itu, tokoh Angkatan ‘66 masih menggunakan pola penulisan yang jejaknya mudah dirunut ke genre Angkatan ’45 maupun Pujangga Baru. Ketika Dukamu Abadi terbit misalnya, Goenawan Mohamad segera mengulas kumpulan sajak pertama Sapardi Djoko Damono ini di Majalah Horison dengan judul Dukamu Abadi, Nyanyi Sunyi Kedua.
 
Nyanyi Sunyi adalah kumpulan sajak Amir Hamzah, salah seorang tokoh Pujangga Baru. Ini merupakan semacam pengakuan dari Goenawan bahwa betapa kuat pun penyair ini, sebenarnya masih merupakan kelanjutan dari Amir Hamzah. Para tokoh Angkatan ’66 yang cukup kuat seperti Rendra, Goenawan Mohamad dan Taufiq Ismail memang merupakan penyair papan atas. Tetapi, mereka dianggap belum melakukan pembaruan dalam sastra Indonesia.
***
 
PEMBARUAN dalam sastra Indonesia baru tampak ketika Iwan Simatupang menulis novel triloginya: Merahnya Merah, Kering dan Ziarah. Dalam penulisan lakon, pembaruan dilakukan Arifin C Noer melalui Sumur Tanpa Dasar, Kapai-kapai, Orkes Madun dan lain-lain. Pembaruan penulisan puisi dilakukan Sutardji Calzoum Bachri dengan Kredo Puisinya.  Di dunia teater mencuat Rendra melalui Bengkel Teaternya yang mementaskan Bib Bop, Rambate Rata dan mencapai masterpiece-nya pada Oedipus Sang Raja serta Oedipus Berpulang. Tonggak cerpenis Indonesia adalah Danarto dengan Rintrik, Armagedon dan lain-lain.
 
Bila mau adil, itulah tonggak-tonggak pembaruan dalam sastra Indonesia setelah Angkatan ’45. Memang, lahirnya genre dalam cabang seni apa pun, tidak pernah berlangsung tunggal. Selalu ada saling keterkaitan antara satu figur dengan figur lainnya, antara tonggak besar dengan tonggak kecil-kecil.
 
Remy Silado misalnya, adalah pemicu pembaruan dalam perpuisian Indonesia. Melalui rubrik Puisi Mbeling-nya di majalah Aktuil Bandung, diberontaknyalah genre perpuisian Sapardi/Goenawan yang merupakan standar baku para penyair muda pada kurun waktu itu. Tetapi, puncak pembaruan justru dicapai Sutardji dalam penulisan cerpen, “kejutan” yang dibuat Danarto segera disusul oleh Budi Darma, Kuntowijoyo dan penulis-penulis yang lebih muda.
 
Sayangnya, Danarto sendiri tidak terlalu konsisten dengan pembaruan yang telah dibuatnya. Cerpen-cerpen selanjutnya, bahkan juga novel pertamanya Asmaraloka, tidak semengejutkan Rintrik dan Armagedon. Sementara variasi pembaruan yang dilakukan cerpenis-cerpenis muda masih belum mendapatkan kiblat jelas.
 
Sejak kehadiran Iwan Simatupang, sampai sekarang belum ada novelis Indonesia yang mampu melanjutkan rintisan pembaruan tersebut. Ayu Utami dengan Saman-nya masih perlu ditunggu kelanjutannya. Sementara Putu Wijaya yang sangat produktif sebagai novelis masih berada di bawah standar kebaruan yang telah dibuat Iwan Simatupang.
 
Dibanding penulisan puisi dan cerpen, penulisan novel di Indonesia memang ketinggalan. Figur yang paling menonjol seperti Pramudya Ananta Toer misalnya, sebenarnya tidak bisa disebut sebagai tonggak dalam arti melahirkan sebuah genre baru. Bahwa dia produktif dan menarik perhatian internasional, tidak serta-merta menjamin karyanya menjadi tonggak pembaruan dalam penulisan novel di  Indonesia, apalagi dunia. Bahkan banyak kalangan menganggap novel-novel sejarah Pram, baik trilogi Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa dan Rumah Kaca; maupun Arus Balik serta Arok Dedes, masih berada di  bawah standar Keluarga Gerilya yang pernah ditulisnya pada tahun 1950-an.
 
Akan tetapi, tonggak-tonggak dalam sejarah sastra tidak harus berpedoman pada lahirnya sebuah genre. Pramudya, meskipun tidak melakukan pembaruan apa-apa, tetapi ia sebuah tonggak raksasa dalam sastra Indonesia. Kebesaran Pram sangat terkait dengan aktivitasnya di bidang politik yang mengakibatkan penahanan dan pelarangan atas karya-karyanya. Dalam sisi berbeda, hal ini juga terjadi pada Mochtar Lubis dan Goenawan Mohamad.
 
Sayang sekali, materi yang digarap Pram dalam novel-novelnya bukanlah sesuatu yang dialami atau yang menjadi obsesi besarnya. Endapan pengalaman selama dalam tahanan di pulau Buru, Nyanyi Sunyi Seorang  Bisu, memang sebuah masterpiece, tetapi itu bukan novel. Berbeda misalnya dengan Gulag, Archipelago-nya Solzhesitsyin, yang bisa menjadi berarti karena merupakan luapan penderitaan yang diserapnya  ketika menjalani tahanan Pemerintah Uni Soviet. Green Hills  of Africa dan The Old Man and The Sea adalah cerita tentang berburu binatang buas dan memancing yang benar-benar merupakan dunia Hemingway.
 
Barangkali itulah titik lemah sastra Indonesia di pentas internasional. Dunia kepenyairan di Indonesia jauh lebih diminati calon sastrawan dibanding penulisan novel. Padahal standar sastra dunia cenderung berpatokan pada novel. Salah satu penyebab kelemahan novelis Indonesia adalah sastrawan yang merupakan pembaharu biasanya bernapas pendek atau tidak produktif. Sementara mereka yang produktif dan bernapas panjang kebetulan tidak melahirkan pembaruan melalui karya mereka.
 
Sutan Takdir Alisyahbana misalnya, termasuk figur yang sangat produktif dan bernapas panjang, juga berumur panjang. Tetapi, dia tidak melakukan pembaruan melalui karyanya. Pembaruan yang dilakukannya justru dalam konsep berpikir melalui esei-eseinya. Iwan Simatupang yang melakukan pembaruan tidak produktif dan keburu meninggal dalam usia muda. Sementara Pramudya yang sangat menjulang di pentas  internasional tidak meneriakkan perjuangannya secara langsung dalam novel-novelnya.
***
 
SELAIN ditentukan oleh kritikus yang kuat, tonggak-tonggak sastra juga ditentukan oleh media cetak. Genre Pujangga Baru ditopang penerbit Balai Pustaka dan majalah Pujangga Baru. Tetapi, penerbit yang kuat belum tentu mampu mendukung lahirnya sebuah pembaruan. Bisa jadi yang dilahirkannya hanyalah mazab atau aliran. Koran Pelopor di Yogyakarta dengan lembar budayanya Sabana dan Persada Study Club yang diasuh Umbu Landu Paranggi, hanyalah melahirkan mazab penulis Yogya. Majalah Horison pada periode tahun 1960 dan 1970-an bisa melahirkan pembaruan sebab diasuh figur-figur kuat yang relatif beragam dan penuh toleransi.
 
Yang agak lain adalah cerpen-cerpen Kompas pada tahun 1990-an. Harian ini menampilkan cerpenis-cerpenis papan  atas Indonesia, termasuk  para  pembarunya seperti Danarto, Budi Darma, Kuntowijoyo dan  lain-lain. Tetapi, sifat koran berbeda dengan majalah sastra. Setinggi apa pun idealisme seorang redaktur budaya, koran tetap merupakan sebuah barang dagangan hingga cerpen-cerpen yang ditampilkan koran lalu menciptakan mazab tersendiri. Cerpenis-cerpenis kuat tadi tampak berusaha tunduk pada kemauan pasar hingga meskipun jejak pembaruannya masih sangat nyata, tetapi yang dihasilkannya sudah lebih merupakan barang pesanan yang dikemas sesuai dengan kriteria pembaca Kompas. Seberapa jauh sastra koran demikian akan melahirkan sebuah genre yang akan menjadi tonggak sejarah, masih perlu ditunggu lebih lanjut.
 
Pembaruan, biasanya dilahirkan melalui benturan konsep berpikir. Pujangga Baru adalah generasi sastrawan yang mulai tidak setuju dengan hal-hal yang bersifat tradisional. Novel-novel Azab dan Sengsara, Salah Asuhan, Siti Nurbaya dan lain-lain adalah gambaran benturan antara pola pikir modern (Barat) dan adat kebiasaan lokal (Timur). Secara konseptual hal ini tertuang dalam esei-esei Takdir yang dikumpulkan  dalam Polemik Kebudayaan. Chairil Anwar, Asrul Sani dan Rivai Apin yang menerbitkan Tiga Menguak Takdir sebenarnya merupakan “tangan panjang” dari Sutan Takdir yang “dikuaknya”. Bila Takdir lebih memberontak melalui esei, Chairil melalui sajaknya.
 
Mereka yang menulis pada tahun 1960 dan 1970-an dipicu benturan pikiran antara dua kelompok besar dengan konsep berpikir yang berbeda. Para sastrawan Lekra cenderung memanfaatkan seni untuk propaganda politik sementara para penandatangan Manifes Kebudayaan mengacu ke kaidah-kaidah berkesenian yang lebih universal. Pertarungan “ideologi” ini mulai mengendur pada tahun 1980-an ketika   masyarakat Indonesia terseret ke arus urbanisasi dan globalisasi secara total. Pada kurun waktu tersebut tidak banyak lahir karya-karya hebat yang bisa menjadi tonggak sejarah karena nyaris tidak ada pertentangan konsep berpikir  yang mencuat ke permukaan. Cengkeraman politik dan daya pukau sektor ekonomi pada tahun-tahun itu demikian kuatnya  hingga figur-figur yang secara alamiah potensial melakukan pembaruan, terseret untuk menjadi alat politik (birokrat),  pengusaha, wartawan, praktisi hukum, dan lain-lain.
***
 
YANG menjadi tanda tanya besar adalah mengapa pada tahun 1990-an, tahun-tahun terakhir pemerintahan Orde Baru yang penuh pergolakan, tidak lahir karya-karya hebat?
 
Mungkin memang tidak akan pernah. Penyebabnya, gejolak sosial, politik dan ekonomi sekarang-sekarang ini tidak disertai perbedaan konsep berpikir yang jelas. Masalah Barat-Timur sudah tidak menjadi persoalan. Semua juga setuju demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) perlu ditegakkan bersama. Memperjuangkannya pun akan lebih efektif melalui  jalur gerakan massa atau jaringan kerja LSM, bukan dengan sastra. Dikotomi tradisi dan modern juga sudah bukan menjadi persoalan serius. Yang justru dominan adalah isu-isu rasial dan sektarian. Ini bukan hanya monopoli Indonesia. Di Amerika pun hal ini masih menjadi isu yang sangat peka.
 
Isu dominan tersebut bisa saja menjebak karena tidak pernah ada agama modern yang mengajarkan kekerasan dan kekejaman. Jadi gejolak sosial yang terjadi hanyalah bersifat fisik material. Tidak ada perbedaan ideologi yang prinsipil. Ras atau etnis yang tertutup juga tidak bisa hidup makmur karena pasti dikucilkan dunia internasional.
 
Bagi Indonesia, mungkin perlu ada redifinisi mengenai nasionalisme. Konsep keagamaan berikut aplikasinya pun perlu dipertanyakan ulang. Mengapa ajaran menuju kebaikan moral ini justru mudah sekali dimanfaatkan untuk legitimasi tindak kekerasan dan kekejaman? Di sinilah para sastrawan berpeluang saling berbenturan pikiran guna mengasah kecerdasan.
***

*) Floribertus Rahardi atau F. Rahardi, lahir di Ambarawa, Semarang, Jawa Tengah 10 Juni 1950, seorang penyair, petani, wartawan, penulis artikel, kolom, kritik sastra, cerpen, novel, dll. Pendidikan drop out kelas II SMA tahun 1967, dan lulus ujian persamaan SPG (1969). Pernah menjadi guru SD, dan kepala sekolah di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. Tahun 1974 ke Jakarta, lalu alih profesi menjadi wartawan, editor serta penulis artikel/kolom di berbagai media. Pertama menulis puisi akhir tahun 1960-an, dimuat di Majalah Semangat, Basis (Yogyakarta), dan Horison (Jakarta). http://sastra-indonesia.com/2009/02/tonggak-tonggak-sastra-indonesia/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.S. Dharta Abdul Hadi WM Abdul Wachid B.S. Abdullah Abubakar Batarfie Abdurrahman Wahid Achmad Faesol Achmad S Achmad Soeparno Yanto Adin Adrian Balu Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Sasongko Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Prasmono Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Mustofa Bisri Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat al-Kindi Alex R. Nainggolan Ali Ahsan Al Haris Ali Audah Ali Syariati Amien Kamil Amien Wangsitalaja Andhika Dinata Andi Neneng Nur Fauziah Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Andy Riza Hidayat Anindita S. Thayf Anton Kurniawan Anton Sudibyo Aprinus Salam Arafat Nur Arif Hidayat Arman A.Z. Arthur Rimbaud Asap Studio Asarpin Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Badaruddin Amir Bagja Hidayat Balada Bambang Riyanto Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Butet Kartaredjasa Cak Bono Catatan Cecil Mariani Cerbung Cerpen Chairil Anwar Charles Bukowski Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dahta Gautama Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Danarto Dara Nuzzul Ramadhan Dareen Tatour Darju Prasetya Darojat Gustian Syafaat Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Sartika Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dianing Widya Yudhistira Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Pitono Djoko Saryono Djoko Subinarto Doan Widhiandono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Klik Santosa Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erik Purnama Putra Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esti Nuryani Kasam Evan Ys Evi Idawati F Aziz Manna F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Firman Wally Fiyan Arjun Forum Penulis dan Pegiat Literasi Lamongan (FP2L) Franz Kafka Galih M. Rosyadi Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Garna Raditya Gendut Riyanto Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gurindam Gusti Eka H.B. Jassin Halim HD Hamdy Salad Hamka Hari Sulastri Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasbi Zainuddin Hasif Amini Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Hermawan Mappiwali Herry Lamongan Hikmat Gumelar HM. Nasruddin Anshoriy Ch Hudan Hidayat Humam S Chudori Ibnu Wahyudi Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Iksaka Banu Ilham Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Arlado Imron Tohari Indra Tjahyadi Indrawati Jauharotun Nafisah Indrian Koto Inung As Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Ismi Wahid Iva Titin Shovia Iwan Fals Iwan Kurniawan Jakob Oetama Janual Aidi JJ. Kusni Johan Fabricius John H. McGlynn Jordaidan Rizsyah Jual Buku Sastra K.H. A. Azis Masyhuri Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kahlil Gibran Kamajaya Al. Katuuk Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khatijah Khoirul Inayah Ki Dhalang Sulang Ki Ompong Sudarsono Kikin Kuswandi Kodirun Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Sastra Mangkubumen (KSM) Komunitas Teater Se-Lamongan Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kucing Oren Kurniawan Junaedhie Kurniawan Muhammad Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Larung Sastra Latief S. Nugraha lensasastra.id Leo Tolstoy Leon Agusta Linda Christanty Lutfi Mardiansyah M. Aan Mansyur M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Harir Muzakki M. Lutfi M. Shoim Anwar M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marniati Martin Aleida Mashuri Masuki M. Astro Matroni Muserang Mawar Kusuma Max Arifin Melani Budianta Mihar Harahap Mikael Johani Miziansyah J. Moch. Fathoni Arief Moh. Ghufron Cholid Mohammad Afifi Mohammad Rafi Azzamy Muhammad Hanif Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun AS Muhidin M. Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Murnierida Pram Myra Sidharta Nadia Cahyani Naim Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nessa Kartika Ni Made Purnama Sari Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Noor H. Dee Nurel Javissyarqi Nurul Fahmy Nurul Ilmi Elbana Nyoman Tusthi Eddy Ong Hok Ham Orasi Budaya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Pablo Neruda Pay Jarot Sujarwo PDS H.B. Jassin Pendidikan Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Bergerak Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin Qismatun Nihayah R Sutandya Yudha Khaidar R Toto Sugiharto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Rambuana Ramdhan Triyadi Bempah Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ricarda Huch Riezky Andhika Pradana Riki Dhamparan Putra Rizki Aprima Putra Rokhim Sarkadek Rony Agustinus Royyan Julian Rukardi Rumah Budaya Pantura Rumah Budaya Pantura (RBP) Ruth Indiah Rahayu S Yoga S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safitri Ningrum Sahaya Santayana Sahli Hamid Saini KM Sajak Salvator Yen Joenaidy Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setyaningsih Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosial Media Sastra Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sudarmoko Sudirman Sugeng Sulaksono Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunaryata Soemarjo Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susie Evidia Y Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka T Agus Khaidir T.A. Sakti Tangguh Pitoyo Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teater Pendopo nDalem Mangkubumen (Dokumen) Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tiya Hapitiawati Tiyasa Jati Pramono Toeti Heraty TS Pinang Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Usman Arrumy UU Hamidy Veronika Ninik Vika Wisnu W.S. Rendra Wahyu Triono Ks Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wilda Fizriyani Willy Ana Y Alpriyanti Y.B. Mangunwijaya Yanto le Honzo Yasin Susilo Yasir Amri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yulhasni Zehan Zareez Zuhdi Swt Zul Afrita