Rabu, 30 Juni 2021

PERIBAHASA, BAHAN PENDIDIKAN KARAKTER YANG BERNILAI SASTRA

D. Zawawi Imron
 
Salah satu dari kekayaan budaya Indonesia ialah peribahasa. Peribahasa dalam kamus umum susunan WJS Poerwadarminta adalah “Kalimat atau kelompok perkataan yang tetap susunannya yang biasanya mengiaskan sesuatu maksud yang tentu (peribahasa termasuk juga ungkapan, bidal dan perumpamaan). Selain itu ada pepatah, yang berarti, sebangsa peribahasa yang mengandung nasehat dan sebagainya, perkataan (ajaran) orang tua; pepatah dan petitih, berbagai-bagai peribahasa.”
 
Berdasarkan kamus tersebut, untuk memudahkan uraian, semua ungkapan yang masih sebangsa dan serumpun dengan pepatah-petitih, dalam tulisan ini akan saya sebut sebagai “peribahasa.” Untuk kajian yang lebih luas dan detil, masing-masing bentuk peribahasa itu nantinya perlu dipilih dan dipilah dengan jenisnya masing-masing untuk mendapatkan kesimpulan-kesimpulan yang lebih khusus dan cermat. Saat ini saya hanya ingin menguraikan tentang “peribahasa sebagai kearifan yang bernilai sastra” sebagai kajian awal.
 
Pada zaman dahulu, peribahasa sering muncul dalam percakapan sehari-hari. Bukan hanya sebagai bunga percakapan, tapi lebih berfungsi untuk memberi tekanan yang lebih sublim dalam merumuskan sebuah keadaan, sebuah gagasan atau tentang perilaku seseorang. Misalnya, bagi seorang anak muda miskin yang menyatakan ingin melamar seorang gadis cantik anak orang kaya, muncullah ungkapan, “bagaikan pungguk merindukan bulan.”
 
Pada zaman itu peribahasa tidak ditulis, tetapi telah menjadi refleksi dalam kehidupan sehari-hari. Jadi bisa dimasukkan ke dalam kelompok folklore lisan. Peribahasa dan sejenisnya baru ditulis dan dibukukan untuk kepentingan diajarkan di sekolah-sekolah setelah pemerintah kolonial Hindia Belanda mengadakan pendidikan moderen pada awal abad ke-20.
 
Meskipun peribahasa merupakan cetusan atau simpulan dari sebuah kenyataan atau keadaan, masing-masing peribahasa digubah oleh seorang yang cerdas dan punya pandangan dan kajian yang tajam tentang sebuah keadaan. Kalau tidak menyiratkan kecerdasan, peribahasa tidak akan punya makna yang arif sehingga tidak akan dihafal secara turun temurun dari beberapa generasi. Peribahasa yang tidak punya kejujuran bahasa akan hilang ditelan zaman dan tidak akan mampu mengarungi samudra waktu.
 
Dalam kajian orang sekarang, peribahasa dianggap sebagai warisan tradisi. Karena ia memberi kesimpulan tentang nilai dan makna kehidupan orang dulu, sebagian orang sekarang yang sok moderen tidak mempedulikannya lagi. Di sekolah-sekolah sudah jarang guru yang mengajarkan peribahasa. Kalau ada hanya sekadar sambil lalu saja, di bawah kegiatan pengajaran bahasa. Sedangkan pengajaran sastra sendiri rata-rata berada di bawah kegiatan pengajaran tata bahasa. Bahkan, ada (banyak?) anak-anak yang merasa tidak punya urusan untuk menghayati peribahasa.
 
Padahal peribahasa itu selain mengandung kearifan hidup, yang tidak kalah pentingnya adalah nilai sastranya. Susunan kalimat yang merumuskan nilai-nilai hidup itu sebagian merupakan pilihan kata-kata yang bukan hanya cerdas, tetapi mengandung nuansa-nuansa estetik yang menyegarkan.
 
Presiden penyair Sutardji Calzoum Bachri pernah mengatakan, bahwa di antara puisi terbaik Indonesia antara lain ialah “Sumpah Pemuda.” Jika 3 untai kalimat Sumpah Pemuda yang tersusun dari kalimat yang jelas tanpa metafora, tentu saja banyak peribahasa-peribahasa kita baik yang berbahasa Indonesia maupun yang berbahasa daerah yang harus dimasukkan ke dalam kategori puisi yang baik karena susunan kata-katanya memang mangandung tenaga puitik yang indah. Contoh, ungkapan Minangkabau “Alam takambang jadi guru,” alam terkembang jadi guru. Ungkapan itu tidak saja memberi saran dan pemahaman agar kita membaca dan berguru kepada alam, karena alam yang terbentang itu tidak lain adalah “ayat-ayat Allah.” Jika Sumpah Pemuda memberi ilham bagi kita untuk mengokohkan persatuan dengan rasa cinta tanah air, rasa kebangsaan, dan kita bersimpati bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, adagium Minangkabau yang saya kutip di atas memberi ilham agar kita membuka mata dan hati untuk bersahabat dan berguru kepada alam, karena di dalam alam ada sumber-sumber rezeki dan kehidupan. Membaca alam dengan persepsi keilmuan, akan melahirkan sejenis tuntutan kreatif agar kita memanfaatkan alam untuk kehidupan dengan cara yang sesuai dengan tuntutan zaman. Alam adalah guru dan sekaligus universitas bagi orang-orang yang berpikiran cerdas.
 
Jika kita bercocok tanam untuk memakmurkan alam, maka alam yang kita makmurkan akan berterima kasih kepada kita, sehingga kita akan diperkenankan untuk memetik buah atau memanen segala hasil dari yang kita tanam. Di sini kita akan bertemu dengan adagium Jawa hamemayu hayuning bawana, merias alam, yang maksudnya antara lain memperindah alam dengan kemakmuran. Alam tidak akan indah tanpa kemakmuran yang memberi kesejahteraan kepada manusia.
 
Kedua adagium dari Minang dan Jawa di atas adalah ajaran kearifan bagaimana manusia agar bersikap positif terhadap alam. Ketika spirit mencintai alam sudah mengalami erosi karena kearifan itu tidak merasuk kalbu dan tidak ada yang mengenalnya lagi, akibatnya terjadilah kerusakan alam dan lingkungan akibat ulah manusia. Anehnya kerusakan alam yang mengakibatkan banjir, punahnya aneka satwa, rusaknya ozom dan lain-lain adalah akibat perbuatan orang-orang yang berpendidikan tetapi tidak menghormati kebudayaan.
 
Sebagian cerdik pandai ada yang berpendapat bahwa warisan tradisi itu tidak sesuai dengan semangat alam moderen. Sampai sekarang, sisa-sisa polemik kebudayaan yang pernah berlangsung 1936-1940 diam-diam masih menjadi pergumulan di tengah-tengah masyarakat yang mengalami perubahan, seolah-olah antara tradisi dengan modernitas itu seperti minyak dan air yang tidak bisa dipadukan. Mencermati hal itu, Rendra dalam “Mempertimbangkan Tradisi” menulis, bahwa tradisi yang masih mampu memberi spirit kepada hidup harus dipertahankan dan dikembangkan sesuai dengan tuntutan zaman. Sedangkan tradisi yang tidak senafas dengan irama zaman harus ditinggalkan. Pendapat itu seirama dengan kaidah ushul fiqih yang terdapat di pesantren, “Al-muhafazhatu „ala al-qadim al-halih wal akhdzu bi al-jadidi al-ashlah, memelihara yang lama yang masih baik dan mencari yang baru yang lebih baik.
 
Jadi, selagi nilai-nilai lama, dalam hal ini peribahasa, masih mampu memberi inspirasi untuk memacu zaman, masih sangat perlu dikembangkan dengan mengadakan dialog dengan nilai-nilai moderen sehingga terjadi sejenis sintesa.
 
Untuk melengkapi kajian di atas, saya kutipkan pendapat Ignas Kleden:
 
“Masuknya modernisasi, dan dikotomi yang biasanya dibuat antara moderen dan tradisional, menyebabkan bahwa penghargaan kepada tradisi jauh dari sepantasnya. Bahkan pemikir kebudayaan di Indonesia sekaliber Sutan Takdir Alisjahbana, pernah menyebut kebudayaan tradisional (dengan Borobudur sebagai contoh yang sering diajukannya) sebagai kebudayaan dari zaman jahiliah. Penilaian itu, dilihat dalam retrospeksi, lebih menunjukkan kekaguman kepada apa yang dibayangkan sebagai modernitas, dan bukannya suatu pengertian yang memadai tentang kompleksitas, dan kekayaan kebudayaan tradisional, yang banyak unsurnya tetap relevan bahkan pada masa yang paling moderen sekali pun. Lebih dari itu, semakin disadari bahwa berbagai industri, telah dipecahkan dengan cara yang relatif memuaskan, justru dengan cara-cara tradisional.”
 
Dialog antara warisan tradisi dengan modernitas adalah sikap kreatif terhadap tradisi. Peribahasa sebagai warisan tradisi perlu diinterpretasi secara kreatif sehingga kalau perlu dikembangkan menjadi reinterpretasi, untuk menemukan formula nilai-nilai baru yang lebih segar dalam memberi ilham bagi kehidupan kekinian dan masa depan.
 
Peribahasa sebagai karya sastra, yang merupakan paduan dari kecerdasan rohani dan kemampuan menguntai kata akan bermanfaat untuk mencermati dan mengarahkan kehidupan. Sebagai ungkapan yang menampilkan nilai-nilai, lahirnya peribahasa tentu bermula dari proses dan pergumulan intelektual, sehingga menjadi kearifan yang layak dijadikan pedoman hidup. Selain menyarankan manusia untuk setia kepada kemanusiaannya, warisan tradisional itu sangat menghargai hati nurani, jiwa yang bersih selalu siap untuk damai dengan jiwa-jiwa yang lain dalam bingkai kemanusiaan yang benar, sebagaimana yang ditulis oleh YB. Mangunwijaya tentang pentingnya sastrawan hati nurani, yang memuliakan manusia dan kemanusiaan. Hal ini selaras dengan konsep kalbu orang Bugis-Makassar tentang pentingnya ati macinnong, hati yang bersih murni, yang selalu memandu untuk memacu ke arah kegiatan hidup dengan dasar “berpikir positif.”
 
Kalau diteliti, sebagian besar peribahasa itu benar-benar mencerminkan kearifan yang mengarahkan manusia untuk hidup mulia dengan jiwa yang sehat, jiwa yang selalu ingin menata kehidupan ini penuh kedamaian dan kesejahteraan. Hal itu membuktikan bahwa meskipun peribahasa karya anonim, orang-orang  zaman dahulu yang melahirkan peribahasa itu adalah orang-orang bijak yang bertumpu pada hati nurani.
 
Jika peribahasa bisa dimasukkan ke dalam karya sastra, orang-orang yang mencetuskannya adalah sastrawan hati nurani. Sastrawan hati nurani menurut YB. Mangunwijaya, yang diperjuangkan ialah yang benar, yang adil, yang mengangkat harkat martabat manusia, yang menopang perdamaian, persaudaraan, peri kemanusiaan, peradaban. Ternyata hampir semua peribahasa memberikan inspirasi ke arah hidup yang memuliakan manusia seperti itu.
 
Peribahasa-peribahasa yang ada di daerah-daerah yang merupakan kearifan lokal membuktikan hal itu. Contohnya, dari tanah Madura ada ungkapan mon ba‟na etobi‟ sake‟ ajja‟ nobi‟an oreng, kalau kamu dicubit orang merasa sakit jangan sekali-kali mencubit orang lain. Sebuah ajaran untuk menghargai kemanusiaan, dan jika dihayati dengan pendalaman akan memandu rasa simpati dan empati kemanusiaan.
 
Dari tanah Jawa kita temukan lagi ungkapan, “mlakua nek arep turu, turua nek arep nesu, nesua nek arep perang, (bangkit) berjalanlah kamu kalau ingin tidur, tidur sajalah kalau kamu hendak marah, tapi (benar-benar) bersemangatlah kalau kamu berperang (membela kebenaran dan tanah air).”
 
Bahkan, dalam memilih pemimpin pun ada ungkapan: mui maega‟ pabbisena nabongngo pallopinna teawa‟ nalureng, meski pun pendayungnya banyak, tapi jurumudinya bodoh, tak mau (saya) menumpang. Karena jurumudi (pemimpin) yang bodoh bisa membuat perahu menabrak karang.
 
Kalau direnungkan dengan hati yang jernih, ungkapan-ungkapan di atas masih sesuai dengan kehidupan moderen, tidak kalah nilainya dari nilai-nilai yang datang dari Barat. Mengingat isinya yang bisa memberikan substansi bagi kehidupan rohani manusia, meskipun awalnya merupakan kearifan lokal pada etnik-etnik tertentu, setelah diterjemahkan ke bahasa lain ternyata masih bernilai. Kearifan-kearifan itu bisa mengadakan dialog dengan warisan-warisan budaya pada masing-masing etnik-etnik lain dalam rangka untuk mematangkan rasa “bhinneka tunggal ika.” Meskipun peribahasa pada satu etnik itu kontekstual, tetapi setelah diterjemahkan ke bahasa lain bisa mungkin masih banyak yang cocok dan sesuai dengan keadaan dan irama zaman. Dialog budaya antar etnik dalam bentuk saling memahami nilai budaya dengan pikiran positif, kreatif, dan kritis, akan sangat menolong untuk saling mengerti dan menghormati. Ketika semua berpikir berdasarkan pikiran yang jernih, sebagian besar peribahasa etnik lain akan mudah dimengerti dan dipahami, bahkan bisa diadopsi untuk menjadi pandangan hidup baru. Anak-anak muda pemalas, kalau masih mau berpikir positif akan terketuk jiwanya kalau mendengar ungkapan Bugis-Makassar yang berbunyi:
 
Puri‟ babbara‟ sompe‟ku
puri‟ tangkisi‟ gullikku,
ulebbirengngi‟ telleng nalowalie,
 
Terjemahannya,
 
Kalau layar sudah terkembang,
kemudi erat kupegang,
meskipun perahu akan tenggelam pantang surut kembali.
 
Saya mendapatkan adagium Bugis di atas ini dari almarhum Rudjito (pelukis, dosen IKJ). Meskipun ia orang Jawa, tapi akal sehatnya mau mengadakan dialog dengan budaya Bugis-Makassar, pikiran jernihnya tidak bisa menolak adagium Bugis tersebut. Itulah salah satu bentuk dialog budaya antar etnik melalui peribahasa.
 
Meskipun Rudjito dari disiplin seni rupa, tetapi apresiasi sastranya cukup tinggi. Saya yakin, ia menyenangi adagium Bugis yang saya sebut terakhir di atas bukan hanya dari isinya yang dinamis dan penuh vitalitas, tapi juga dari pilihan kata-katanya yang menampilkan citra laut, seperti kata: layar, kemudi, tenggelam, menggambarkan kehidupan dan dinamika orang Bugis-Makassar yang sejak zaman dulu terkenal gemar berlayar. Kata layar, kemudi, dan tenggelam merupakan metafora perjalanan manusia yang hendak menggapai tujuan dengan arah yang jelas dan tidak akan takluk kepada aneka macam rintangan.
 
Metafor dan kiasan seperti itu sangat banyak mewarnai peribahasa-peribahasa kita, baik yang berbahasa Melayu (sekarang jadi bahasa Indonesia) maupun peribahasa yang menggunakan bahasa daerah lainnya.
 
“Belakang parang pun kalau diasah niscaya tajam,” sebuah peribahasa Melayu yang maksudnya anak yang bodoh pun kalau terus rajin belajar mengasah otaknya, pada suatu saat akan jadi anak yang pandai. Peribahasa itu selain mengajarkan vitalitas dan optimisme juga menjadi indah karena idiomatik dengan metafor yang tepat dan bagus, sehingga punya tenaga menggugah yang puitis. Karena itu, peribahasa pantas untuk disebut puisi. Puisi berbentuk peribahasa seperti itu sangat banyak jumlahnya. Di Madura, untuk mencermati seorang yang sangat optimis terhadap usahanya, sehingga menjadi utopis, disindir oleh peribahasa malappae mano‟ ngabang, membuat bumbu bagi burung yang masih terbang. Metafor seperti itu secara realitas terjadi pada era moderen ini. Contohnya, pada awal reformasi, ada seorang tokoh politik yang mengatakan di televisi, kalau ia berhasil menduduki pos penting di negeri ini ia akan membebaskan peserta didik dari biaya pendidikan. Tapi kemudian, kursi yang ia inginkan jatuh ke orang lain, bumbu sudah dibuat tapi burung disembelih orang lain.
 
Itulah beberapa contoh tentang peribahasa yang masih memberi daya hidup. Karena itu Rendra menyarankan agar tradisi yang menyimpan ilham bagi masa depan harus dirawat dan terus dikembangkan secara kreatif. Sedangkan yang tidak seirama dengan nafas zaman harus kita tinggalkan dengan sukarela. Seperti adagium, suwarga nunut neraka katut, ke surga ikut ke neraka juga ikut, bagi seorang istri terhadap suaminya, perlu dipertimbangkan apakah masih cocok untuk zaman ini. Meskipun pada kenyataannya seorang istri koruptor yang ikut menikmati hasil curian suaminya masih tetap setia dan mengatakan suaminya tidak berdosa. Atau ungkapan sabda pandita ratu, sabda pandita raja, penguasa, yang tidak boleh dilanggar. Dalam akal sehat orang moderen, kalau ada seorang penguasa yang berbicara ngawur, harus disikapi dengan kritis karena naif untuk dipatuhi.
 
Sedangkan kita masih mendapatkan peribahasa lama yang lebih relevan dengan zaman, yaitu. “Raja adil raja disembah, raja lalim raja disanggah.” Sejarah Indonesia telah membuktikan secara konkret, berapa penguasa di negeri ini yang harus disanggah dan diturunkan dari kursinya karena dirasakan tidak menguntungkan negara dan rakyat.
 
Apa yang saya uraikan di atas menggambarkan, betapa banyak peribahasa, sebagai warisan tradisi yang masih bisa dijadikan rujukan untuk mencari inspirasi bagi kelanjutan kehidupan bangsa ini. Penyair Taufiq Ismail pernah mencoba
 
daya kreatifnya dengan membuat “Pepatah-petitih Baru.” Contoh, Guru kencing berdiri /murid mengencingi guru atau / Maksud hati memeluk gunung / apa daya gunungnya meletus, dan lain-lain.
 
Taufiq Ismail sebenarnya tidak membuat pepatah yang mutlak baru. Ia cuma memanfaatkan ungkapan peribahasa lama, tetapi kemudian melanjutkannya dengan memelesetkan secara kreatif sehingga pepatah itu menjadi segar karena punya nafas baru. Jika pepatah-petitih baru Taufiq Ismail itu bisa disebut puisi, maka peribahasa lama yang sebagian dijadikan batu loncatan kreatif Taufiq Ismail, sudah tentu “peribahasa” itu benar-benar adalah puisi.
 
Dalam memandang peribahasa, seseorang tidak cukup memahami isinya saja. Akan lebih luas makna yang diperoleh, kalau dalam memahaminya disertai penghayatan yang sublim, sehingga senar-senar kalbu dan tali temali rasa yang ada dalam diri menangkap getar estetik yang penuh pesona. Susunan kalimat yang tepat serta metafor yang indah akan menyuguhkan keharuan estetik yang berharga. Salah satu kesempurnaan harkat ruhani manusia ialah adanya kepekaan estetik yang bisa membawa manusia bisa menghayati kemanusiaan secara mendalam. Keindahan yang dihayati secara mendalam akan melahirkan kebahagiaan.
 
Karena sebagian besar peribahasa sudah diuji oleh konteks dan waktu, dan sebagian besar menyimpan tenaga atau spirit hidup, perhatian terhadap peribahasa harus tetap digalakkan. Mulai dari pendokumentasian, pengkajian, terutama untuk peribahasa daerah, yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Saya yakin, peribahasa-peribahasa yang ada pada seluruh etnik yang ada di Indonesia ini adalah mutiara-mutiara kalbu yang sangat berharga karena ia lahir dari situasi dan konteks kehidupan melalui proses bersastra yang cerdas. Peribahasa-peribahasa itu adalah “lokal wisdom” dari masa ke masa.
 
Kalau peribahasa-peribahasa itu diterjemahkan, kemudian dipelajari oleh etnik lain, yang terjadi adalah dialog yang akan menghasilkan rasa saling mengerti dan saling menghormati sesama etnis yang ada di Indonesia ini. Peribahasa perlu mengadakan dialog dengan nilai-nilai moderen, karena kebudayaan tidak jatuh dari langit. Kebudayaan adalah proses terus menerus secara berkesinambungan. Karena itu, peribahasa perlu diulang kaji agar kita tidak  kehilangan jati diri, mengingat peribahasa benar-benar pernah menjadi bagian dari sejarah kebudayaan Indonesia. Sebagai hasil karya kreatif orang-orang zaman dahulu, peribahasa punya andil besar memberi spirit dan ilham dalam perjuangan kebudayaan.
***

https://mgmp1.wordpress.com/2013/12/09/sehari-bersama-prof-suminto-a-sayuti-prof-suyono-dan-d-zawawi-imron/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.S. Dharta Abdul Hadi WM Abdul Wachid B.S. Abdullah Abubakar Batarfie Abdurrahman Wahid Achmad Faesol Achmad S Achmad Soeparno Yanto Adin Adrian Balu Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Sasongko Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Prasmono Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Mustofa Bisri Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat al-Kindi Alex R. Nainggolan Ali Ahsan Al Haris Ali Audah Ali Syariati Amien Kamil Amien Wangsitalaja Andhika Dinata Andi Neneng Nur Fauziah Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Andy Riza Hidayat Anindita S. Thayf Anton Kurniawan Anton Sudibyo Aprinus Salam Arafat Nur Arif Hidayat Arman A.Z. Arthur Rimbaud Asap Studio Asarpin Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Badaruddin Amir Bagja Hidayat Balada Bambang Riyanto Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Butet Kartaredjasa Cak Bono Catatan Cecil Mariani Cerbung Cerpen Chairil Anwar Charles Bukowski Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dahta Gautama Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Danarto Dara Nuzzul Ramadhan Dareen Tatour Darju Prasetya Darojat Gustian Syafaat Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Sartika Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dianing Widya Yudhistira Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Pitono Djoko Saryono Djoko Subinarto Doan Widhiandono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Klik Santosa Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erik Purnama Putra Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esti Nuryani Kasam Evan Ys Evi Idawati F Aziz Manna F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Firman Wally Fiyan Arjun Forum Penulis dan Pegiat Literasi Lamongan (FP2L) Franz Kafka Galih M. Rosyadi Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Garna Raditya Gendut Riyanto Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gurindam Gusti Eka H.B. Jassin Halim HD Hamdy Salad Hamka Hari Sulastri Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasbi Zainuddin Hasif Amini Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Hermawan Mappiwali Herry Lamongan Hikmat Gumelar HM. Nasruddin Anshoriy Ch Hudan Hidayat Humam S Chudori Ibnu Wahyudi Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Iksaka Banu Ilham Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Arlado Imron Tohari Indra Tjahyadi Indrawati Jauharotun Nafisah Indrian Koto Inung As Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Ismi Wahid Iva Titin Shovia Iwan Fals Iwan Kurniawan Jakob Oetama Janual Aidi JJ. Kusni Johan Fabricius John H. McGlynn Jordaidan Rizsyah Jual Buku Sastra K.H. A. Azis Masyhuri Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kahlil Gibran Kamajaya Al. Katuuk Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khatijah Khoirul Inayah Ki Dhalang Sulang Ki Ompong Sudarsono Kikin Kuswandi Kodirun Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Sastra Mangkubumen (KSM) Komunitas Teater Se-Lamongan Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kucing Oren Kurniawan Junaedhie Kurniawan Muhammad Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Larung Sastra Latief S. Nugraha lensasastra.id Leo Tolstoy Leon Agusta Linda Christanty Lutfi Mardiansyah M. Aan Mansyur M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Harir Muzakki M. Lutfi M. Shoim Anwar M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marniati Martin Aleida Mashuri Masuki M. Astro Matroni Muserang Mawar Kusuma Max Arifin Melani Budianta Mihar Harahap Mikael Johani Miziansyah J. Moch. Fathoni Arief Moh. Ghufron Cholid Mohammad Afifi Mohammad Rafi Azzamy Muhammad Hanif Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun AS Muhidin M. Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Murnierida Pram Myra Sidharta Nadia Cahyani Naim Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nessa Kartika Ni Made Purnama Sari Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Noor H. Dee Nurel Javissyarqi Nurul Fahmy Nurul Ilmi Elbana Nyoman Tusthi Eddy Ong Hok Ham Orasi Budaya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Pablo Neruda Pay Jarot Sujarwo PDS H.B. Jassin Pendidikan Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Bergerak Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin Qismatun Nihayah R Sutandya Yudha Khaidar R Toto Sugiharto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Rambuana Ramdhan Triyadi Bempah Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ricarda Huch Riezky Andhika Pradana Riki Dhamparan Putra Rizki Aprima Putra Rokhim Sarkadek Rony Agustinus Royyan Julian Rukardi Rumah Budaya Pantura Rumah Budaya Pantura (RBP) Ruth Indiah Rahayu S Yoga S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safitri Ningrum Sahaya Santayana Sahli Hamid Saini KM Sajak Salvator Yen Joenaidy Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setyaningsih Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosial Media Sastra Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sudarmoko Sudirman Sugeng Sulaksono Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunaryata Soemarjo Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susie Evidia Y Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka T Agus Khaidir T.A. Sakti Tangguh Pitoyo Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teater Pendopo nDalem Mangkubumen (Dokumen) Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tiya Hapitiawati Tiyasa Jati Pramono Toeti Heraty TS Pinang Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Usman Arrumy UU Hamidy Veronika Ninik Vika Wisnu W.S. Rendra Wahyu Triono Ks Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wilda Fizriyani Willy Ana Y Alpriyanti Y.B. Mangunwijaya Yanto le Honzo Yasin Susilo Yasir Amri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yulhasni Zehan Zareez Zuhdi Swt Zul Afrita