D. Zawawi Imron
Salah satu dari kekayaan budaya Indonesia ialah peribahasa. Peribahasa
dalam kamus umum susunan WJS Poerwadarminta adalah “Kalimat atau kelompok
perkataan yang tetap susunannya yang biasanya mengiaskan sesuatu maksud yang
tentu (peribahasa termasuk juga ungkapan, bidal dan perumpamaan). Selain itu
ada pepatah, yang berarti, sebangsa peribahasa yang mengandung nasehat dan
sebagainya, perkataan (ajaran) orang tua; pepatah dan petitih, berbagai-bagai
peribahasa.”
Berdasarkan kamus tersebut, untuk memudahkan uraian, semua ungkapan yang
masih sebangsa dan serumpun dengan pepatah-petitih, dalam tulisan ini akan saya
sebut sebagai “peribahasa.” Untuk kajian yang lebih luas dan detil, masing-masing
bentuk peribahasa itu nantinya perlu dipilih dan dipilah dengan jenisnya
masing-masing untuk mendapatkan kesimpulan-kesimpulan yang lebih khusus dan
cermat. Saat ini saya hanya ingin menguraikan tentang “peribahasa sebagai
kearifan yang bernilai sastra” sebagai kajian awal.
Pada zaman dahulu, peribahasa sering muncul dalam percakapan sehari-hari.
Bukan hanya sebagai bunga percakapan, tapi lebih berfungsi untuk memberi
tekanan yang lebih sublim dalam merumuskan sebuah keadaan, sebuah gagasan atau
tentang perilaku seseorang. Misalnya, bagi seorang anak muda miskin yang
menyatakan ingin melamar seorang gadis cantik anak orang kaya, muncullah
ungkapan, “bagaikan pungguk merindukan bulan.”
Pada zaman itu peribahasa tidak ditulis, tetapi telah menjadi refleksi
dalam kehidupan sehari-hari. Jadi bisa dimasukkan ke dalam kelompok folklore
lisan. Peribahasa dan sejenisnya baru ditulis dan dibukukan untuk kepentingan
diajarkan di sekolah-sekolah setelah pemerintah kolonial Hindia Belanda
mengadakan pendidikan moderen pada awal abad ke-20.
Meskipun peribahasa merupakan cetusan atau simpulan dari sebuah kenyataan
atau keadaan, masing-masing peribahasa digubah oleh seorang yang cerdas dan
punya pandangan dan kajian yang tajam tentang sebuah keadaan. Kalau tidak
menyiratkan kecerdasan, peribahasa tidak akan punya makna yang arif sehingga
tidak akan dihafal secara turun temurun dari beberapa generasi. Peribahasa yang
tidak punya kejujuran bahasa akan hilang ditelan zaman dan tidak akan mampu
mengarungi samudra waktu.
Dalam kajian orang sekarang, peribahasa dianggap sebagai warisan tradisi.
Karena ia memberi kesimpulan tentang nilai dan makna kehidupan orang dulu,
sebagian orang sekarang yang sok moderen tidak mempedulikannya lagi. Di
sekolah-sekolah sudah jarang guru yang mengajarkan peribahasa. Kalau ada hanya
sekadar sambil lalu saja, di bawah kegiatan pengajaran bahasa. Sedangkan
pengajaran sastra sendiri rata-rata berada di bawah kegiatan pengajaran tata
bahasa. Bahkan, ada (banyak?) anak-anak yang merasa tidak punya urusan untuk
menghayati peribahasa.
Padahal peribahasa itu selain mengandung kearifan hidup, yang tidak kalah
pentingnya adalah nilai sastranya. Susunan kalimat yang merumuskan nilai-nilai
hidup itu sebagian merupakan pilihan kata-kata yang bukan hanya cerdas, tetapi
mengandung nuansa-nuansa estetik yang menyegarkan.
Presiden penyair Sutardji Calzoum Bachri pernah mengatakan, bahwa di antara
puisi terbaik Indonesia antara lain ialah “Sumpah Pemuda.” Jika 3 untai kalimat
Sumpah Pemuda yang tersusun dari kalimat yang jelas tanpa metafora, tentu saja
banyak peribahasa-peribahasa kita baik yang berbahasa Indonesia maupun yang
berbahasa daerah yang harus dimasukkan ke dalam kategori puisi yang baik karena
susunan kata-katanya memang mangandung tenaga puitik yang indah. Contoh,
ungkapan Minangkabau “Alam takambang jadi guru,” alam terkembang jadi guru.
Ungkapan itu tidak saja memberi saran dan pemahaman agar kita membaca dan
berguru kepada alam, karena alam yang terbentang itu tidak lain adalah
“ayat-ayat Allah.” Jika Sumpah Pemuda memberi ilham bagi kita untuk mengokohkan
persatuan dengan rasa cinta tanah air, rasa kebangsaan, dan kita bersimpati
bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, adagium Minangkabau yang saya kutip
di atas memberi ilham agar kita membuka mata dan hati untuk bersahabat dan
berguru kepada alam, karena di dalam alam ada sumber-sumber rezeki dan
kehidupan. Membaca alam dengan persepsi keilmuan, akan melahirkan sejenis
tuntutan kreatif agar kita memanfaatkan alam untuk kehidupan dengan cara yang
sesuai dengan tuntutan zaman. Alam adalah guru dan sekaligus universitas bagi
orang-orang yang berpikiran cerdas.
Jika kita bercocok tanam untuk memakmurkan alam, maka alam yang kita
makmurkan akan berterima kasih kepada kita, sehingga kita akan diperkenankan
untuk memetik buah atau memanen segala hasil dari yang kita tanam. Di sini kita
akan bertemu dengan adagium Jawa hamemayu hayuning bawana, merias alam, yang
maksudnya antara lain memperindah alam dengan kemakmuran. Alam tidak akan indah
tanpa kemakmuran yang memberi kesejahteraan kepada manusia.
Kedua adagium dari Minang dan Jawa di atas adalah ajaran kearifan bagaimana
manusia agar bersikap positif terhadap alam. Ketika spirit mencintai alam sudah
mengalami erosi karena kearifan itu tidak merasuk kalbu dan tidak ada yang
mengenalnya lagi, akibatnya terjadilah kerusakan alam dan lingkungan akibat
ulah manusia. Anehnya kerusakan alam yang mengakibatkan banjir, punahnya aneka
satwa, rusaknya ozom dan lain-lain adalah akibat perbuatan orang-orang yang berpendidikan
tetapi tidak menghormati kebudayaan.
Sebagian cerdik pandai ada yang berpendapat bahwa warisan tradisi itu tidak
sesuai dengan semangat alam moderen. Sampai sekarang, sisa-sisa polemik
kebudayaan yang pernah berlangsung 1936-1940 diam-diam masih menjadi pergumulan
di tengah-tengah masyarakat yang mengalami perubahan, seolah-olah antara
tradisi dengan modernitas itu seperti minyak dan air yang tidak bisa dipadukan.
Mencermati hal itu, Rendra dalam “Mempertimbangkan Tradisi” menulis, bahwa tradisi
yang masih mampu memberi spirit kepada hidup harus dipertahankan dan
dikembangkan sesuai dengan tuntutan zaman. Sedangkan tradisi yang tidak senafas
dengan irama zaman harus ditinggalkan. Pendapat itu seirama dengan kaidah ushul
fiqih yang terdapat di pesantren, “Al-muhafazhatu „ala al-qadim al-halih wal
akhdzu bi al-jadidi al-ashlah, memelihara yang lama yang masih baik dan mencari
yang baru yang lebih baik.
Jadi, selagi nilai-nilai lama, dalam hal ini peribahasa, masih mampu
memberi inspirasi untuk memacu zaman, masih sangat perlu dikembangkan dengan
mengadakan dialog dengan nilai-nilai moderen sehingga terjadi sejenis sintesa.
Untuk melengkapi kajian di atas, saya kutipkan pendapat Ignas Kleden:
“Masuknya modernisasi, dan dikotomi yang biasanya dibuat antara moderen dan
tradisional, menyebabkan bahwa penghargaan kepada tradisi jauh dari
sepantasnya. Bahkan pemikir kebudayaan di Indonesia sekaliber Sutan Takdir
Alisjahbana, pernah menyebut kebudayaan tradisional (dengan Borobudur sebagai
contoh yang sering diajukannya) sebagai kebudayaan dari zaman jahiliah.
Penilaian itu, dilihat dalam retrospeksi, lebih menunjukkan kekaguman kepada
apa yang dibayangkan sebagai modernitas, dan bukannya suatu pengertian yang
memadai tentang kompleksitas, dan kekayaan kebudayaan tradisional, yang banyak
unsurnya tetap relevan bahkan pada masa yang paling moderen sekali pun. Lebih
dari itu, semakin disadari bahwa berbagai industri, telah dipecahkan dengan
cara yang relatif memuaskan, justru dengan cara-cara tradisional.”
Dialog antara warisan tradisi dengan modernitas adalah sikap kreatif
terhadap tradisi. Peribahasa sebagai warisan tradisi perlu diinterpretasi
secara kreatif sehingga kalau perlu dikembangkan menjadi reinterpretasi, untuk
menemukan formula nilai-nilai baru yang lebih segar dalam memberi ilham bagi
kehidupan kekinian dan masa depan.
Peribahasa sebagai karya sastra, yang merupakan paduan dari kecerdasan
rohani dan kemampuan menguntai kata akan bermanfaat untuk mencermati dan
mengarahkan kehidupan. Sebagai ungkapan yang menampilkan nilai-nilai, lahirnya
peribahasa tentu bermula dari proses dan pergumulan intelektual, sehingga
menjadi kearifan yang layak dijadikan pedoman hidup. Selain menyarankan manusia
untuk setia kepada kemanusiaannya, warisan tradisional itu sangat menghargai
hati nurani, jiwa yang bersih selalu siap untuk damai dengan jiwa-jiwa yang
lain dalam bingkai kemanusiaan yang benar, sebagaimana yang ditulis oleh YB.
Mangunwijaya tentang pentingnya sastrawan hati nurani, yang memuliakan manusia
dan kemanusiaan. Hal ini selaras dengan konsep kalbu orang Bugis-Makassar
tentang pentingnya ati macinnong, hati yang bersih murni, yang selalu memandu
untuk memacu ke arah kegiatan hidup dengan dasar “berpikir positif.”
Kalau diteliti, sebagian besar peribahasa itu benar-benar mencerminkan
kearifan yang mengarahkan manusia untuk hidup mulia dengan jiwa yang sehat,
jiwa yang selalu ingin menata kehidupan ini penuh kedamaian dan kesejahteraan.
Hal itu membuktikan bahwa meskipun peribahasa karya anonim, orang-orang zaman dahulu yang melahirkan peribahasa itu
adalah orang-orang bijak yang bertumpu pada hati nurani.
Jika peribahasa bisa dimasukkan ke dalam karya sastra, orang-orang yang
mencetuskannya adalah sastrawan hati nurani. Sastrawan hati nurani menurut YB.
Mangunwijaya, yang diperjuangkan ialah yang benar, yang adil, yang mengangkat
harkat martabat manusia, yang menopang perdamaian, persaudaraan, peri
kemanusiaan, peradaban. Ternyata hampir semua peribahasa memberikan inspirasi
ke arah hidup yang memuliakan manusia seperti itu.
Peribahasa-peribahasa yang ada di daerah-daerah yang merupakan kearifan
lokal membuktikan hal itu. Contohnya, dari tanah Madura ada ungkapan mon ba‟na
etobi‟ sake‟ ajja‟ nobi‟an oreng, kalau kamu dicubit orang merasa sakit jangan
sekali-kali mencubit orang lain. Sebuah ajaran untuk menghargai kemanusiaan,
dan jika dihayati dengan pendalaman akan memandu rasa simpati dan empati
kemanusiaan.
Dari tanah Jawa kita temukan lagi ungkapan, “mlakua nek arep turu, turua
nek arep nesu, nesua nek arep perang, (bangkit) berjalanlah kamu kalau ingin
tidur, tidur sajalah kalau kamu hendak marah, tapi (benar-benar) bersemangatlah
kalau kamu berperang (membela kebenaran dan tanah air).”
Bahkan, dalam memilih pemimpin pun ada ungkapan: mui maega‟ pabbisena
nabongngo pallopinna teawa‟ nalureng, meski pun pendayungnya banyak, tapi
jurumudinya bodoh, tak mau (saya) menumpang. Karena jurumudi (pemimpin) yang
bodoh bisa membuat perahu menabrak karang.
Kalau direnungkan dengan hati yang jernih, ungkapan-ungkapan di atas masih
sesuai dengan kehidupan moderen, tidak kalah nilainya dari nilai-nilai yang
datang dari Barat. Mengingat isinya yang bisa memberikan substansi bagi
kehidupan rohani manusia, meskipun awalnya merupakan kearifan lokal pada
etnik-etnik tertentu, setelah diterjemahkan ke bahasa lain ternyata masih
bernilai. Kearifan-kearifan itu bisa mengadakan dialog dengan warisan-warisan
budaya pada masing-masing etnik-etnik lain dalam rangka untuk mematangkan rasa
“bhinneka tunggal ika.” Meskipun peribahasa pada satu etnik itu kontekstual,
tetapi setelah diterjemahkan ke bahasa lain bisa mungkin masih banyak yang
cocok dan sesuai dengan keadaan dan irama zaman. Dialog budaya antar etnik
dalam bentuk saling memahami nilai budaya dengan pikiran positif, kreatif, dan
kritis, akan sangat menolong untuk saling mengerti dan menghormati. Ketika
semua berpikir berdasarkan pikiran yang jernih, sebagian besar peribahasa etnik
lain akan mudah dimengerti dan dipahami, bahkan bisa diadopsi untuk menjadi
pandangan hidup baru. Anak-anak muda pemalas, kalau masih mau berpikir positif
akan terketuk jiwanya kalau mendengar ungkapan Bugis-Makassar yang berbunyi:
Puri‟ babbara‟ sompe‟ku
puri‟ tangkisi‟ gullikku,
ulebbirengngi‟ telleng nalowalie,
Terjemahannya,
Kalau layar sudah terkembang,
kemudi erat kupegang,
meskipun perahu akan tenggelam pantang surut kembali.
Saya mendapatkan adagium Bugis di atas ini dari almarhum Rudjito (pelukis,
dosen IKJ). Meskipun ia orang Jawa, tapi akal sehatnya mau mengadakan dialog
dengan budaya Bugis-Makassar, pikiran jernihnya tidak bisa menolak adagium
Bugis tersebut. Itulah salah satu bentuk dialog budaya antar etnik melalui
peribahasa.
Meskipun Rudjito dari disiplin seni rupa, tetapi apresiasi sastranya cukup
tinggi. Saya yakin, ia menyenangi adagium Bugis yang saya sebut terakhir di
atas bukan hanya dari isinya yang dinamis dan penuh vitalitas, tapi juga dari
pilihan kata-katanya yang menampilkan citra laut, seperti kata: layar, kemudi,
tenggelam, menggambarkan kehidupan dan dinamika orang Bugis-Makassar yang sejak
zaman dulu terkenal gemar berlayar. Kata layar, kemudi, dan tenggelam merupakan
metafora perjalanan manusia yang hendak menggapai tujuan dengan arah yang jelas
dan tidak akan takluk kepada aneka macam rintangan.
Metafor dan kiasan seperti itu sangat banyak mewarnai peribahasa-peribahasa
kita, baik yang berbahasa Melayu (sekarang jadi bahasa Indonesia) maupun
peribahasa yang menggunakan bahasa daerah lainnya.
“Belakang parang pun kalau diasah niscaya tajam,” sebuah peribahasa Melayu
yang maksudnya anak yang bodoh pun kalau terus rajin belajar mengasah otaknya,
pada suatu saat akan jadi anak yang pandai. Peribahasa itu selain mengajarkan
vitalitas dan optimisme juga menjadi indah karena idiomatik dengan metafor yang
tepat dan bagus, sehingga punya tenaga menggugah yang puitis. Karena itu,
peribahasa pantas untuk disebut puisi. Puisi berbentuk peribahasa seperti itu
sangat banyak jumlahnya. Di Madura, untuk mencermati seorang yang sangat
optimis terhadap usahanya, sehingga menjadi utopis, disindir oleh peribahasa
malappae mano‟ ngabang, membuat bumbu bagi burung yang masih terbang. Metafor
seperti itu secara realitas terjadi pada era moderen ini. Contohnya, pada awal
reformasi, ada seorang tokoh politik yang mengatakan di televisi, kalau ia
berhasil menduduki pos penting di negeri ini ia akan membebaskan peserta didik
dari biaya pendidikan. Tapi kemudian, kursi yang ia inginkan jatuh ke orang
lain, bumbu sudah dibuat tapi burung disembelih orang lain.
Itulah beberapa contoh tentang peribahasa yang masih memberi daya hidup.
Karena itu Rendra menyarankan agar tradisi yang menyimpan ilham bagi masa depan
harus dirawat dan terus dikembangkan secara kreatif. Sedangkan yang tidak
seirama dengan nafas zaman harus kita tinggalkan dengan sukarela. Seperti
adagium, suwarga nunut neraka katut, ke surga ikut ke neraka juga ikut, bagi seorang
istri terhadap suaminya, perlu dipertimbangkan apakah masih cocok untuk zaman
ini. Meskipun pada kenyataannya seorang istri koruptor yang ikut menikmati
hasil curian suaminya masih tetap setia dan mengatakan suaminya tidak berdosa.
Atau ungkapan sabda pandita ratu, sabda pandita raja, penguasa, yang tidak
boleh dilanggar. Dalam akal sehat orang moderen, kalau ada seorang penguasa
yang berbicara ngawur, harus disikapi dengan kritis karena naif untuk dipatuhi.
Sedangkan kita masih mendapatkan peribahasa lama yang lebih relevan dengan
zaman, yaitu. “Raja adil raja disembah, raja lalim raja disanggah.” Sejarah
Indonesia telah membuktikan secara konkret, berapa penguasa di negeri ini yang
harus disanggah dan diturunkan dari kursinya karena dirasakan tidak menguntungkan
negara dan rakyat.
Apa yang saya uraikan di atas menggambarkan, betapa banyak peribahasa,
sebagai warisan tradisi yang masih bisa dijadikan rujukan untuk mencari
inspirasi bagi kelanjutan kehidupan bangsa ini. Penyair Taufiq Ismail pernah
mencoba
daya kreatifnya dengan membuat “Pepatah-petitih Baru.” Contoh, Guru kencing
berdiri /murid mengencingi guru atau / Maksud hati memeluk gunung / apa daya
gunungnya meletus, dan lain-lain.
Taufiq Ismail sebenarnya tidak membuat pepatah yang mutlak baru. Ia cuma
memanfaatkan ungkapan peribahasa lama, tetapi kemudian melanjutkannya dengan
memelesetkan secara kreatif sehingga pepatah itu menjadi segar karena punya
nafas baru. Jika pepatah-petitih baru Taufiq Ismail itu bisa disebut puisi,
maka peribahasa lama yang sebagian dijadikan batu loncatan kreatif Taufiq
Ismail, sudah tentu “peribahasa” itu benar-benar adalah puisi.
Dalam memandang peribahasa, seseorang tidak cukup memahami isinya saja.
Akan lebih luas makna yang diperoleh, kalau dalam memahaminya disertai
penghayatan yang sublim, sehingga senar-senar kalbu dan tali temali rasa yang
ada dalam diri menangkap getar estetik yang penuh pesona. Susunan kalimat yang
tepat serta metafor yang indah akan menyuguhkan keharuan estetik yang berharga.
Salah satu kesempurnaan harkat ruhani manusia ialah adanya kepekaan estetik
yang bisa membawa manusia bisa menghayati kemanusiaan secara mendalam.
Keindahan yang dihayati secara mendalam akan melahirkan kebahagiaan.
Karena sebagian besar peribahasa sudah diuji oleh konteks dan waktu, dan
sebagian besar menyimpan tenaga atau spirit hidup, perhatian terhadap
peribahasa harus tetap digalakkan. Mulai dari pendokumentasian, pengkajian,
terutama untuk peribahasa daerah, yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia. Saya yakin, peribahasa-peribahasa yang ada pada seluruh etnik yang
ada di Indonesia ini adalah mutiara-mutiara kalbu yang sangat berharga karena
ia lahir dari situasi dan konteks kehidupan melalui proses bersastra yang
cerdas. Peribahasa-peribahasa itu adalah “lokal wisdom” dari masa ke masa.
Kalau peribahasa-peribahasa itu diterjemahkan, kemudian dipelajari oleh
etnik lain, yang terjadi adalah dialog yang akan menghasilkan rasa saling
mengerti dan saling menghormati sesama etnis yang ada di Indonesia ini.
Peribahasa perlu mengadakan dialog dengan nilai-nilai moderen, karena
kebudayaan tidak jatuh dari langit. Kebudayaan adalah proses terus menerus
secara berkesinambungan. Karena itu, peribahasa perlu diulang kaji agar kita
tidak kehilangan jati diri, mengingat
peribahasa benar-benar pernah menjadi bagian dari sejarah kebudayaan Indonesia.
Sebagai hasil karya kreatif orang-orang zaman dahulu, peribahasa punya andil
besar memberi spirit dan ilham dalam perjuangan kebudayaan.
***
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Dharta
Abdul Hadi WM
Abdul Wachid B.S.
Abdullah Abubakar Batarfie
Abdurrahman Wahid
Achmad Faesol
Achmad S
Achmad Soeparno Yanto
Adin
Adrian Balu
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agung Sasongko
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Prasmono
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Mustofa Bisri
Ahmad Tohari
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akhudiat
al-Kindi
Alex R. Nainggolan
Ali Ahsan Al Haris
Ali Audah
Ali Syariati
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Andhika Dinata
Andi Neneng Nur Fauziah
Andra Nur Oktaviani
Andrenaline Katarsis
Andy Riza Hidayat
Anindita S. Thayf
Anton Kurniawan
Anton Sudibyo
Aprinus Salam
Arafat Nur
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Arthur Rimbaud
Asap Studio
Asarpin
Asti Musman
Atafras
Awalludin GD Mualif
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Balada
Bambang Riyanto
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernadette Aderi
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budi Darma
Butet Kartaredjasa
Cak Bono
Catatan
Cecil Mariani
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Charles Bukowski
Christine Hakim
Cinta Laura Kiehl
D. Zawawi Imron
Dahta Gautama
Daisy Priyanti
Damhuri Muhammad
Danarto
Dara Nuzzul Ramadhan
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darojat Gustian Syafaat
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Sartika
Dharmadi
Dhenok Kristianti
Dian Wahyu Kusuma
Dianing Widya Yudhistira
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djoko Subinarto
Doan Widhiandono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Yan Masfa
Donny Anggoro
Dwi Cipta
Dwi Klik Santosa
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Enda Menzies
Erik Purnama Putra
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esti Nuryani Kasam
Evan Ys
Evi Idawati
F Aziz Manna
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Fairuzul Mumtaz
Fajar Alayubi
Farah Noersativa
Faris Al Faisal
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrozak
Faza Bina Al-Alim
Feby Indirani
Felix K. Nesi
Fian Firatmaja
Firman Wally
Fiyan Arjun
Forum Penulis dan Pegiat Literasi Lamongan (FP2L)
Franz Kafka
Galih M. Rosyadi
Galuh Tulus Utama
Ganug Nugroho Adi
Garna Raditya
Gendut Riyanto
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Gombloh
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gurindam
Gusti Eka
H.B. Jassin
Halim HD
Hamdy Salad
Hamka
Hari Sulastri
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasbi Zainuddin
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Hermawan Mappiwali
Herry Lamongan
Hikmat Gumelar
HM. Nasruddin Anshoriy Ch
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
Ibnu Wahyudi
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Iksaka Banu
Ilham
Imam Muhayat
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Arlado
Imron Tohari
Indra Tjahyadi
Indrawati Jauharotun Nafisah
Indrian Koto
Inung As
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Ismi Wahid
Iva Titin Shovia
Iwan Fals
Iwan Kurniawan
Jakob Oetama
Janual Aidi
JJ. Kusni
Johan Fabricius
John H. McGlynn
Jordaidan Rizsyah
Jual Buku Sastra
K.H. A. Azis Masyhuri
Kadjie Mudzakir
Kahfie Nazaruddin
Kahlil Gibran
Kamajaya Al. Katuuk
Kamran Dikarma
Kedung Darma Romansha
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khansa Arifah Adila
Khatijah
Khoirul Inayah
Ki Dhalang Sulang
Ki Ompong Sudarsono
Kikin Kuswandi
Kodirun
Koh Young Hun
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Sastra Mangkubumen (KSM)
Komunitas Teater Se-Lamongan
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kurniawan Junaedhie
Kurniawan Muhammad
Kuswaidi Syafi’ie
Kuswinarto
L.K. Ara
Laksmi Shitaresmi
Lan Fang
Larung Sastra
Latief S. Nugraha
lensasastra.id
Leo Tolstoy
Leon Agusta
Linda Christanty
Lutfi Mardiansyah
M. Aan Mansyur
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Lutfi
M. Shoim Anwar
M. Yoesoef
M. Yunis
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahdi Idris
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Marniati
Martin Aleida
Mashuri
Masuki M. Astro
Matroni Muserang
Mawar Kusuma
Max Arifin
Melani Budianta
Mihar Harahap
Mikael Johani
Miziansyah J.
Moch. Fathoni Arief
Moh. Ghufron Cholid
Mohammad Afifi
Mohammad Rafi Azzamy
Muhammad Hanif
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun AS
Muhidin M. Dahlan
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Myra Sidharta
Nadia Cahyani
Naim
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nessa Kartika
Ni Made Purnama Sari
Nikita Mirzani
Nirwan Ahmad Arsuka
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Nurel Javissyarqi
Nurul Fahmy
Nurul Ilmi Elbana
Nyoman Tusthi Eddy
Ong Hok Ham
Orasi Budaya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Pay Jarot Sujarwo
PDS H.B. Jassin
Pendidikan
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pringgo HR
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Pustaka Bergerak
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
Qismatun Nihayah
R Sutandya Yudha Khaidar
R Toto Sugiharto
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rahmat Sutandya Yudhanto
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Prambudhi Dikimara
Rambuana
Ramdhan Triyadi Bempah
Ratnani Latifah
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ribut Wijoto
Ricarda Huch
Riezky Andhika Pradana
Riki Dhamparan Putra
Rizki Aprima Putra
Rokhim Sarkadek
Rony Agustinus
Royyan Julian
Rukardi
Rumah Budaya Pantura
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Ruth Indiah Rahayu
S Yoga
S. Arimba
S. Jai
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Sahaya Santayana
Sahli Hamid
Saini KM
Sajak
Salvator Yen Joenaidy
Samsul Anam
Sapardi Djoko Damono
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Selendang Sulaiman
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setyaningsih
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sosial Media Sastra
Sosiawan Leak
Sovian Lawendatu
Sudarmoko
Sudirman
Sugeng Sulaksono
Sugito Ha Es
Sumani
Sumargono SN
Suminto A. Sayuti
Sunaryata Soemarjo
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suryanto Sastroatmodjo
Susie Evidia Y
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
T Agus Khaidir
T.A. Sakti
Tangguh Pitoyo
Tatan Daniel
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Eska
Teater Pendopo nDalem Mangkubumen (Dokumen)
Teater Tawon
Tedy Kartyadi
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tiya Hapitiawati
Tiyasa Jati Pramono
Toeti Heraty
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Usman Arrumy
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vika Wisnu
W.S. Rendra
Wahyu Triono Ks
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Jengki Sunarta
Wayan Sunarta
Welly Kuswanto
Wilda Fizriyani
Willy Ana
Y Alpriyanti
Y.B. Mangunwijaya
Yanto le Honzo
Yasin Susilo
Yasir Amri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yonathan Rahardjo
Yudha Kristiawan
Yudhistira ANM Massardi
Yulhasni
Zehan Zareez
Zuhdi Swt
Zul Afrita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar