Selasa, 27 Juli 2021

TERALIENASINYA MANUSIA DARI DUNIA YANG DIPERSEPSI DAN DIPOSISIKANNYA

Abdul Wachid B.S. *
badanbahasa.kemdikbud.go.id
 
Kesadaran terhadap ruang dan waktu adalah obsesivitas pribadi aku-lirik di dalam sajak-sajak Bagus Likurnianto. Kemarin, hari ini, dan esok senantiasa dipertanyakan eksistensinya oleh aku-lirik. Sampai batas yang paling ekstrem dia mempertanyakan, "Amaya, kita ini siapa?" Itulah bentuk dari pertanyaan-pertanyaan eksistensial aku-lirik di dalam banyak sajaknya, sebagaimana sebuah “Pawon”, yang telah membakar keheningan dalam dada:
 
PAWON
 
telah kami bakar keheningan dalam dada
kayu yang semula pernah jadi tubuhmu
menabahkan nyala-nyala doa
segala peristiwa
 
Banjarnegara, 2019
 
Penyair Bagus Likurnianto, putra sulung dari Ibu Laeliyah dan Bapak Budianto ini dilahirkan di Banjarnegara, 9 Januari 1999. Dia beralamatkan di Dukuh Taman Sari, Kelurahan Parakancanggah, RT 04/I, Banjarnegara. Pada saat ini Bagus Likurnianto masih menempuh perkuliahan di Jurusan Pendidikan Agama Islam dan bergiat di Sekolah Kepenulisan Sastra Peradaban (SKSP), Universutas Islam Negeri (UIN) Prof. K.H. Saifuddin Zuhri, di Purwokerto. Puisinya banyak disiarkan di Minggu Pagi, Pikiran Rakyat, Harian Ekspres, Media Indonesia, dan Koran Tempo. Dia sempat menjadi penyair terpilih versi World Poet Convention yang diselenggarakan oleh Persatuan Penyair Malaysia pada tahun 2018. Bagus Likurnianto juga menjadi pimpinan redaksi Buletin CAKRA.
 
Dengan obsesivitas eksistensial tersebut, aku-lirik di dalam perpuisian Bagus Likurnianto memasuki ruang demi ruang kehidupan, dari waktu ke waktu. Akan tetapi, apakah dengan mempertanyakan terus-menerus eksistensi ruang dan waktu justru merupakan penanda dari suatu petanda kegagalan pribadi aku-lirik di dalam ruang-waktu puisinya (hidupnya)?
 
Melalui sajak "Amaya, Kita Ini Siapa?", yang untuk sementara waktu ini merupakan contoh sajak terbaiknya, peristiwa kehidupan dari cinta ke cita, dari diri hingga ke Tuhan, disajikan untuk dibaca, dipahami, diterjemahkan, ditafsiri, dan dijelaskan secara lirik naratif. Itulah pilihan ekspresi pengucapan banyak sajak karya Bagus Likurnianto, sebagaimana sajak “Pohon Manggis Nenek”, “Pawon”, “Elegi Penyair”, “Prasasti”, yang dapat dikategorikan sebagai sajak yang berhasil memiliki karakter membangun puitikanya.
 
Dengan persepsi yang demikian, maka posisi antroposentris aku-lirik menjadi dikukuhkan: realitas bukan lagi sebagai tiruan (mimetik) dari realitas budaya pun alam, melainkan “dipadatkan” oleh aku, manusia, sebagai satu-satunya pemberi arti dan makna terhadap realitas. Karena persepsi demikian itulah, maka realitas menjadi jungkir-balik di dalam sajak-sajak Bagus Likurnianto. Apakah penjungkirbalikan realitas itu merupakan penanda dari kelabilan pribadi aku-lirik? Ataukah justru sebaliknya?
 
Yang jelas, dengan persepsi terhadap realitas secara jungkir-balik itulah, wajah estetika puisinya berusaha diutuhkan. Hal itulah yang menjadikan semua kata yang merujuk kepada pertanyaan eksistensial ruang dan waktu, baik yang mewakili benda maupun alam di dalam sajaknya, menjadi dapat dicurigai sebagai simbol.
 
Dalam hal ini, perpuisian Bagus Likurnianto berhasil menjadi sajak sebab ungkapan-ungkapan yang seringkali unik, bahkan aneh, sebab tidak memenuhi standar gambaran imaji yang umum dipakai penyair apalagi pembaca umum. Imaji-imaji yang dibangunnya supralogis. Hal tersebut dimaksudkan untuk menggali makna bawah-sadar kemanusiaan agar ada pemaknaan hidup secara mendalam. Perhatikanlah sajak di bawah ini, bait yang saya cetak miring mempresentasikan supralogis gambaran imaji tersebut.
 
POHON MANGGIS NENEK
 
pohon manggis nenek sudah tua
batangnya mulai rapuh rantingnya ringkih-ringkih
tidak ada lagi perkara baik selain buah cantik
bergelayut di jari-jari para pemetik
 
mereka berduyun-duyun
sambil sesekali meraba tubuh sendiri
yang semakin membuyut
demi mengerti berapa jumlah anak dikandungannya
kau bisa mengira lewat kelopak bunga
yang mekar di bawah perut
 
kalau kau sudah puas mengetahuinya
maka sebaiknya cicipilah dengan segera
lewat robek tanganmu mengalirlah
darah manggis merah
 
di dalamnya ada keluarga
yang menunggu buaianmu satu adalah ibu
satu adalah ayah selebihnya adalah kau
dan segenap saudara-saudaramu
kami hidup karena magis manggis nenekmu
tapi magis tak pernah tinggal dalam tubuhnya
 
nenek adalah manggis yang jatuh sendiri
riwayatnya tertulis pada epitaf jejak kaki para nabi
dan saraf  burung quddusi alpa pada musim
yang menjatuhkan kerinduan dari sebatang hayat ini
 
Banjarnegara, 2019
 
Dengan keunikan sekaligus keanehan menyikapi realitas sebagaimana memandang “Pohon Manggis Nenek”, maka pembaca memersepsi dan memosisikan setiap kata menjadi lambang, dan karenanya memasuki “dunia puisi".
 
Akan tetapi, apakah pembaca bisa memasuki “dunia puisi”, atau komunikasi makna yang dibangun oleh penyair Bagus Likurnianto? Saya yang sudah lama membiasakan diri membaca puisi, merasa terkaget-kaget, bahkan terkadang gagap memasuki “dunia puisi”-nya. Sekaligus harus diakui pula bahwa apa yang diungkapkan penyair ini merupakan imaji-imaji yang baru, karenanya tidak klise dan membosankan.
 
Seni yang memandang realitas secara supralogis dan menjungkirbalikkan realitas secara bentuk dan makna, dalam sejarah aliran seni disebut surealisme. Apakah perpuisian Bagus Likurnianto termasuk dalam kategori aliran seni surealisme, yang hendak berupaya mengatasi realitas dengan ketidakrasionalan umum? Karena ekspresi perpuisiannya bersifat tetap dalam memersepsi dan memosisikan realitas dalam perspektif jungkir-balik, maka saya memastikan bahwa sajak-sajaknya bukanlah sajak yang ditulis karena gagap dan gagal dalam membangun gambaran angan dan pikiran (citraan). Bukan! Akan tetapi, saya mengidentifikasi, sebagai teralienasi dari realitas. Hal ini lebih tepat dilakukan dalam menilai sajak-sajaknya.
 
Alienasi juga merupakan ciri utama dari kaum Surealisme dalam mengekspresikan dirinya ketika gagap dan gagal dalam berdamai dengan realitas, “... /sebelum sunyi mengutukmu/ menjadi sebongkah batu,” dikutip selengkapnya berikut ini.
 
PRASASTI
 
di dalam prasasti itu
kami hidup dalam nubuat penyair
yang meriwayatkan sejarah
sepanjang sungai mengalir
 
artefak waktu ini
belumlah berlalu
ke mana zaman akan diabadikan?
butiran air mata jatuh dari surga
merembes ke bumi yang fana
lewat selipan batu-batu
 
kesedihan yang jatuh
tempias di kedua matakakimu
aku rela membaca kitab paling alastu
demi menemukan cinta di hadiratmu
 
akulah aksara itu
jatuh ke dalam dadamu
tersungkur-sungkur
bacalah aku bacalah waktu
sebelum sunyi mengutukmu
menjadi sebongkah batu
 
Purwokerto, 2019
 
Tentu saja, penilaian ini harus diteruskan. Mengapa aku-lirik teralienasi dari realitas dunianya, sehingga membangun dunianya sendiri dengan sudut-pandang supralogis dan jungkir-balik?
 
Seni bukanlah mimetik dari realitas itu sendiri. Setidaknya, itulah pandangan kaum metafisik. Seni merupakan simbolitas dari realitas yang dibangun oleh seniman dengan sedemikian rupa guna membangun pandangan hidupnya terhadap realitas. Puisi karya penyair Bagus Likurnianto masih bisa diharapkan untuk menjawab hal ini sebagai sumbangannya bagi perpuisian Indonesia
 
Sebagai “prolog” memasuki “dunia puisi” supralogis dan jungkir-balik yang dibangun oleh penyair Bagus Likurnianto ini, kita baru sampai kepada pertanyaan AKHIR dari suatu AWALAN yang menggambarkan teralienasinya manusia (aku-lirik) dari dunia yang dipersepsi dan diposisikannya.
 
AMAYA, KITA INI SIAPA?
 
hati ini begitu gigil, amaya
kita ini siapa? menyusur jalan malam
mencari jejak yang bisa diikuti
mencari langkah kaki yang musti diharakati
 
dari rahim hujan engkau dilahirkan
kepada siapa engkau bertuhan?
demi meralat cinta
kau basahi semesta
demi menjadi cahaya
kau junjung wujud sabda
dan demi tersamar waktu
kau jelma doa ibuku
 
akulah pemilik malam
mezbah bagi segala keheningan
altar bagi hadirat untuk mempertanyakan
kalau sebenarnya ‘kita ini siapa?’
 
amaya, apakah kita
benar-benar ada?
 
Purwokerto, 2019

*) Penulis adalah seorang penyair, dan dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Prof. K.H. Saifuddin Zuhri di Purwokerto. http://sastra-indonesia.com/2021/07/teralienasinya-manusia-dari-dunia-yang-dipersepsi-dan-diposisikannya/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.S. Dharta Abdul Hadi WM Abdul Wachid B.S. Abdullah Abubakar Batarfie Abdurrahman Wahid Achmad Faesol Achmad S Achmad Soeparno Yanto Adin Adrian Balu Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Sasongko Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Prasmono Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Mustofa Bisri Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat al-Kindi Alex R. Nainggolan Ali Ahsan Al Haris Ali Audah Ali Syariati Amien Kamil Amien Wangsitalaja Andhika Dinata Andi Neneng Nur Fauziah Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Andy Riza Hidayat Anindita S. Thayf Anton Kurniawan Anton Sudibyo Aprinus Salam Arafat Nur Arif Hidayat Arman A.Z. Arthur Rimbaud Asap Studio Asarpin Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Badaruddin Amir Bagja Hidayat Balada Bambang Riyanto Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Butet Kartaredjasa Cak Bono Catatan Cecil Mariani Cerbung Cerpen Chairil Anwar Charles Bukowski Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dahta Gautama Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Danarto Dara Nuzzul Ramadhan Dareen Tatour Darju Prasetya Darojat Gustian Syafaat Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Sartika Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dianing Widya Yudhistira Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Pitono Djoko Saryono Djoko Subinarto Doan Widhiandono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Klik Santosa Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erik Purnama Putra Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esti Nuryani Kasam Evan Ys Evi Idawati F Aziz Manna F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Firman Wally Fiyan Arjun Forum Penulis dan Pegiat Literasi Lamongan (FP2L) Franz Kafka Galih M. Rosyadi Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Garna Raditya Gendut Riyanto Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gurindam Gusti Eka H.B. Jassin Halim HD Hamdy Salad Hamka Hari Sulastri Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasbi Zainuddin Hasif Amini Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Hermawan Mappiwali Herry Lamongan Hikmat Gumelar HM. Nasruddin Anshoriy Ch Hudan Hidayat Humam S Chudori Ibnu Wahyudi Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Iksaka Banu Ilham Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Arlado Imron Tohari Indra Tjahyadi Indrawati Jauharotun Nafisah Indrian Koto Inung As Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Ismi Wahid Iva Titin Shovia Iwan Fals Iwan Kurniawan Jakob Oetama Janual Aidi JJ. Kusni Johan Fabricius John H. McGlynn Jordaidan Rizsyah Jual Buku Sastra K.H. A. Azis Masyhuri Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kahlil Gibran Kamajaya Al. Katuuk Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khatijah Khoirul Inayah Ki Dhalang Sulang Ki Ompong Sudarsono Kikin Kuswandi Kodirun Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Sastra Mangkubumen (KSM) Komunitas Teater Se-Lamongan Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kucing Oren Kurniawan Junaedhie Kurniawan Muhammad Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Larung Sastra Latief S. Nugraha lensasastra.id Leo Tolstoy Leon Agusta Linda Christanty Lutfi Mardiansyah M. Aan Mansyur M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Harir Muzakki M. Lutfi M. Shoim Anwar M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marniati Martin Aleida Mashuri Masuki M. Astro Matroni Muserang Mawar Kusuma Max Arifin Melani Budianta Mihar Harahap Mikael Johani Miziansyah J. Moch. Fathoni Arief Moh. Ghufron Cholid Mohammad Afifi Mohammad Rafi Azzamy Muhammad Hanif Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun AS Muhidin M. Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Murnierida Pram Myra Sidharta Nadia Cahyani Naim Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nessa Kartika Ni Made Purnama Sari Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Noor H. Dee Nurel Javissyarqi Nurul Fahmy Nurul Ilmi Elbana Nyoman Tusthi Eddy Ong Hok Ham Orasi Budaya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Pablo Neruda Pay Jarot Sujarwo PDS H.B. Jassin Pendidikan Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Bergerak Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin Qismatun Nihayah R Sutandya Yudha Khaidar R Toto Sugiharto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Rambuana Ramdhan Triyadi Bempah Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ricarda Huch Riezky Andhika Pradana Riki Dhamparan Putra Rizki Aprima Putra Rokhim Sarkadek Rony Agustinus Royyan Julian Rukardi Rumah Budaya Pantura Rumah Budaya Pantura (RBP) Ruth Indiah Rahayu S Yoga S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safitri Ningrum Sahaya Santayana Sahli Hamid Saini KM Sajak Salvator Yen Joenaidy Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setyaningsih Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosial Media Sastra Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sudarmoko Sudirman Sugeng Sulaksono Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunaryata Soemarjo Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susie Evidia Y Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka T Agus Khaidir T.A. Sakti Tangguh Pitoyo Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teater Pendopo nDalem Mangkubumen (Dokumen) Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tiya Hapitiawati Tiyasa Jati Pramono Toeti Heraty TS Pinang Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Usman Arrumy UU Hamidy Veronika Ninik Vika Wisnu W.S. Rendra Wahyu Triono Ks Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wilda Fizriyani Willy Ana Y Alpriyanti Y.B. Mangunwijaya Yanto le Honzo Yasin Susilo Yasir Amri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yulhasni Zehan Zareez Zuhdi Swt Zul Afrita