Eko Darmoko
Harian Bhirawa, 12 Juni 2020
Dahi legam itu matang digoreng matahari. Pasir emas Sanur mengasinkan dahi
legamnya serupa telor ceplok. Sedangkan asam membuncah dari bulir keringatnya.
“Bapak pasti pulang, Nak! Temani ibumu yang sedang merakit harapan di
rumah,” katanya sambil menyeka dahi legamnya menggunakan punggung tangan.
Ayu hanya meringis. Lambaian tangan Ayu, di mata bapaknya, kian lama kian
kerdil dijilat gelombang. Sedangkan perahu mesin sewaan yang ditunggangi
bapaknya, merayap menuju pulau seberang.
Harusnya, Ayu memiliki saudara kembar berusia tiga tahun sebagai teman
bermain. Namun, satu tahun lalu, kembaran Ayu dijemput malaikat pencabut nyawa
yang menyaru sebagai Aedes Aegypti.
Bapak Ayu, si pemilik dahi legam, sudah mati-matian menyelamatkan anaknya
dari serangan Aedes Aegypti. Mesin
perahu satu-satunya yang dimiliki, dijualnya kepada cukong Gianyar. Namun apa
daya, mesin perahu yang sudah dirupiahkan itu tak mampu menyuap malaikat
pencabut nyawa.
“Mengapa di Bali harus ada demam berdarah, Pak?” tanya Ayu usai melihat
jasad kembarannya.
“Karena malaikat tak punya pekerjaan lain,” jawab si bapak. “Relakan
saudaramu. Di pantai, kau akan menemukan saudara baru,” sambungnya.
Jelas, Ayu yang masih polos, tak akan mengerti maksud ucapan bapaknya.
Namun, kepalanya manggut-manggut sambil lidahnya menjulur, menjilati es krim
buatan pabrik.
Melihat perahu mesin bapaknya hilang ditelan jarak, Ayu masih menggelayut
di bibir pantai. Ujung jari kakinya mengebor pasir—menciptakan lubang. Lubang
jadi, Ayu menguburnya lagi. Begitu ia mengulanginya hingga belasan kali.
Tak jauh dari Ayu, gerombolan bocah pantai riang bermain tali. Ayu tak
berminat untuk gabung. Yang ada di benak Ayu hanya menunggu bapaknya pulang dan
menunaikan tugasnya; menemani ibunya merakit harapan.
“Maafkan bapak, Nak, yang selalu menyuruhmu menjaga ibu. Padahal,
seharusnya kaulah yang dijaga ibumu,” ceracau pemilik dahi legam dalam
hati—sambil terombang-ambing di tengah lautan, mengantarkan sekawanan turis
Paris menuju pulau seberang.
Hingga cerita ini ditulis, Ayu tak tahu di mana letak pulau seberang yang
dimaksud bapaknya.
Sorot pandang Ayu masih menembus luas lautan. Dari pinggiran Pantai Sanur,
Ayu memelintir ujung rambutnya yang menguning karena ulah matahari.
Di sepanjang hidupnya, Ayu selalu dihantui dendam. Ia sangat membenci
malaikat pencabut nyawa. Ingin sekali ia mengikat malaikat pencabut nyawa dan
menggantungnya di balai desa.
“Mengapa sih malaikat membawa pergi Ida? Harusnya aku bisa bermain bersama
Ida,” desisnya pelan kepada langit. Dan debur ombak terus menggelitik Pantai
Sanur.
Ayu tak pernah tahu berapa lama bapaknya pergi ke pulau seberang. Kadang
satu hari, kadang dua hari. Tak jarang, bapaknya baru pulang seminggu kemudian.
Seperti biasanya, sebelum bapak pemilik dahi legam pergi, ia selalu
meninggalkan bahan makanan di rumah—Ayu sudah tahu apa yang dilakukannya. Ayu
pasti memasak untuk dirinya sendiri, dan tentu saja untuk ibunya.
Di rumah, Ayu melihat ibunya sama persis ketika terakhir kali melihatnya.
Sejak Ayu mengantarkan bapaknya ke pantai, ibunya hanya duduk-duduk di kasur
lusuh di kamar utama.
“Ibu lapar?” tanya Ayu.
Seperti biasanya, Ayu-lah yang menjawab pertanyaan itu. Ibunya hanya
membisu sambil pandangannya kosong.
“Ibu pasti lapar. Siang sudah hampir habis. Sebentar, Ayu akan buatkan
lauk,” kata Ayu.
Pikir Ayu, ibunya pasti bangga; punya bocah perempuan yang sudah terampil
memainkan peralatan dapur. Namun apa daya, Ibu Ayu bukan seperti ibu pada
umumnya. Ibu Ayu pekerjaannya hanya duduk-duduk saja di kasur lusuh.
Telor ceplok hasil kerajinan tangan Ayu sudah matang. Seonggok nasi diambil
Ayu dari dandang. Ayu tahu persis berapa banyak porsi nasi yang pas buat
ibunya. Pun Ayu juga paham perihal telor ceplok kesukaan ibunya.
“Garamnya agak banyak, Bu. Seperti penjelasan bapak, katanya ibu suka rasa
asin,” begitu kata Ayu tiap kali menyuguhkan seonggok nasi dan telor ceplok
kepada ibunya.
Sejak Ayu bisa bicara, bapaknya selalu mengenalkan kata ‘telor’, bukan
‘telur’. Menurut si bapak, ‘telor’ lebih sempurna ketimbang ‘telur’. Sebab,
pada ‘telor’ ada huruf ‘o’ yang melingkar sempurna. Sedangkan ‘telur’
menggunakan ‘u’ yang tidak menutup sempurna.
Di usianya yang masih kencur, Ayu sudah pandai memasak. Tentunya, semua ini
berkat ajaran sang bapak. Si bapak sengaja mendidik Ayu menjadi juru masak. Hal
ini sebagai antisipasi saat si bapak pergi melaut.
“Tenang, Bu, Ayu akan memasak selama bapak pergi. Jangan kuatir!” celoteh
Ayu.
“Ingin sekali Ayu memasak oseng-oseng daging. Tapi, kata bapak, ibu hanya
suka telor ceplok. Ayu jamin telor ceplok bikinan Ayu adalah telor ceplok yang
sempurna,” imbuhnya.
Dan, seperti biasanya yang sudah terjadi lama, Ibu Ayu tak pernah berucap,
meski cuma sehuruf. Sejak kematian Ida, kembaran Ayu, si ibu menjadi pemurung.
Beberapa hari setelah kematian Ida, para tetangga menyarankan bapak pemilik
dahi legam itu untuk membawa istrinya ke dokter jiwa. Namun, anjuran itu selalu
ditolaknya.
“Istri saya tidak gila. Dia hanya berduka atas kepergian Ida,” kata si dahi
legam kepada pemangku adat di desanya.
Setiap gerak ibunya saat makan, tak luput dari pengamatan indera Ayu.
Ketika sebutir nasi menempel di bawah bibir ibunya, cepat-cepat Ayu
memungutnya. Kemudian, sebutir nasi itu diletakkan kembali di atas piring.
“Telor ceploknya enak, Bu?” tanya Ayu.
“Sangat enak! Asinnya pas,” kata Ayu menjawab pertanyaannya sendiri—tahu
bahwa tak akan pernah ada sebiji huruf yang keluar dari kerongkongan ibunya.
Dalam kepolosan Ayu, ia menafsirkan; kebisuan ibunya adalah imbas dari
harapan yang sedang dirakit. Ayu percaya, sebagaimana yang diucapkan bapaknya;
ibunya sedang merakit harapan. Tapi harapan tentang apa, Ayu sendiri tak paham.
Pokoknya harapan!
Usai ibunya melahap habis hidangan itu, giliran Ayu yang makan. Diambilnya
nasi dan digundukkan di bekas piring ibunya. Bukan telor ceplok yang menjadi
lauk Ayu, tapi burung dara goreng hasil kreasi bapaknya yang dimasak tadi
pagi—sebelum pergi ke pulau seberang.
Lidah Ayu mengecap rasa pedas dari burung dara goreng itu. Tentu saja, asin
dan asam turut serta menjalari lidahnya. Meskipun sibuk bersantap, indera Ayu
tetap mengamati ibunya yang sedang duduk di kasur lusuh.
“Itu sudah Ayu siapkan air minumnya, Bu,” kata Ayu sambil mulutnya dipenuhi
makanan.
Kontan saja, tangan Ibu Ayu langsung meraih gagang gelas dan menenggak air
itu—tentu saja tanpa sebutir huruf yang diucapkan.
Pandangan Ayu terpecah antara hidangan di depannya dengan sosok ibu yang
teramat dicintainya. Meskipun ibunya hanyalah ‘perempuan kosong’, namun Ayu
masih melihat kecantikan yang terpendar di wajah ibunya.
Matanya bulat membara, dan diwariskannya ke mata Ayu. Kelembutan rambut
ibunya juga menurun kepada Ayu. Hanya saja, rambut Ayu menguning karena
matahari. Sedangkan bibir Ayu terlihat tebal, seperti bibir bapaknya.
Selesai menyantap hidangannya dan mencuci alat-alat makan, Ayu kembali
melayani ibunya. Peristiwa ini sungguh susah diterima logika; harusnya seorang
ibu yang memandikan anak berusia tiga tahun, tapi ini sebaliknya.
Ayu cekatan memandikan ibunya. Ayu terlihat tangkas melakukan pekerjaan
ini. Sementara ibunya pasrah, bagaikan Harimau Bali yang patuh kepada sang
pawang.
Sebelum menikah, Dewi, nama Ibu Ayu, mengalami peristiwa yang sama persis
dialami Ayu. Dewi kehilangan saudara kembarnya di usia 21 tahun. Jauh lebih tua
dibandingkan usia Ayu saat kehilangan Ida.
Di nisan kembarannya, Dewi meraung. Tak ada seorang pun yang sanggup
menghentikannya. Hingga akhirnya tangisan Dewi mengusik ketenangan pemuda
penggali kubur dari Pulau Jawa.
“Sudah, relakan kembaranmu. Toh, dengan begini malaikat pencabut nyawa
memiliki pekerjaan,” penggali kubur mencoba menenangkan Dewi.
“Dari ulah malaikat pencabut nyawa, aku dapat sesuatu yang bisa dikerjakan;
menggali kubur untuk kembaranmu,” ucapnya lagi.
“Tapi mengapa harus kembaranku yang tertabrak mobil? Mengapa bukan aku?”
balas Dewi.
Penggali kubur terkejut dan membisu agak lama.
“Itu cara terbaik yang dilakukan malaikat pencabut nyawa untuk menunaikan
pekerjaannya. Malaikat pencabut nyawa lebih menyayangi kembaranmu, ketimbang
kau,” ucap penggali kubur dengan penuh santun dan kelembutan.
“Dan aku harus hidup sebatang kara!” pekik Dewi.
“Sama sepertiku!”
Semenjak percakapan ini, singkat cerita, beberapa minggu kemudian, Dewi
yang lahir dan dibesarkan di Gianyar menikah dengan penggali kubur. Bambang
yang asli Tuban, setelah menikahi Dewi, menanggalkan pekerjaannya sebagai
penggali kubur.
Bambang beralih menjadi pemandu wisata yang sering mengantarkan turis-turis
menyinggahi pulau seberang di sekitaran pulau utama; Bali. Rutinitas inilah
yang membuat dahi bambang semakin legam.
Percintaan dua insan beda latar belakang ini—yang disatukan status sebatang
kara—menjadi sempurna ketika Ayu dan Ida menengok bumi. Tentu saja,
kesempurnaan ini terjadi sebelum malaikat pencabut nyawa merampas Ida.
Namun, apa pun suratan takdir, Bambang bisa legowo menjalaninya. Bagi
Bambang, kebahagiaan Dewi dan Ayu adalah segala-galanya.
Bambang tegar menjaring rupiah demi memenuhi kebutuhan istri dan anaknya.
Ia tak peduli dengan dahinya yang semakin legam digoreng matahari.
“Dewi dan Ayu, besok pagi aku pulang,” kata Bambang di dermaga pulau
seberang.
Senja berwarna jingga yang menggerayangi dermaga membuat legam di dahinya
terlihat samar.
Mata Bambang menikmati senja itu sambil sesekali memantau turis-turisnya.
Keramahan Bambang membuatnya lumayan kondang di kalangan turis, baik lokal
maupun asing. Bambang sangat lihai dalam melayani turis-turis yang menggunakan
jasanya.
Meskipun senja ada di hadapannya, namun penerawangan Bambang membelai
lembut Dewi dan Ayu yang ada di seberang sana.
Senja benar-benar menjadi malam ketika Bambang menyeka dahi legamnya dengan
punggung tangan. Dan ia tetap sabar menunggu pagi. Sabar mendampingi istrinya
merakit harapan.
“Ayu, tunggu bapak! Bapak pasti pulang,” desisnya.
“Dewi, rakitlah harapanmu di kasur lusuh itu. Percayalah, aku selalu
bersandar di sampingmu,” imbuhnya sambil air mata longsor menuju bibirnya.
Seketika, lidah Bambang mengecap rasa asin, persis seperti rasa telor asin
kesukaan istrinya.
***
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Selasa, 27 Juli 2021
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Dharta
Abdul Hadi WM
Abdul Wachid B.S.
Abdullah Abubakar Batarfie
Abdurrahman Wahid
Achmad Faesol
Achmad S
Achmad Soeparno Yanto
Adin
Adrian Balu
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agung Sasongko
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Prasmono
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Mustofa Bisri
Ahmad Tohari
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akhudiat
al-Kindi
Alex R. Nainggolan
Ali Ahsan Al Haris
Ali Audah
Ali Syariati
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Andhika Dinata
Andi Neneng Nur Fauziah
Andra Nur Oktaviani
Andrenaline Katarsis
Andy Riza Hidayat
Anindita S. Thayf
Anton Kurniawan
Anton Sudibyo
Aprinus Salam
Arafat Nur
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Arthur Rimbaud
Asap Studio
Asarpin
Asti Musman
Atafras
Awalludin GD Mualif
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Balada
Bambang Riyanto
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernadette Aderi
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budi Darma
Butet Kartaredjasa
Cak Bono
Catatan
Cecil Mariani
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Charles Bukowski
Christine Hakim
Cinta Laura Kiehl
D. Zawawi Imron
Dahta Gautama
Daisy Priyanti
Damhuri Muhammad
Danarto
Dara Nuzzul Ramadhan
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darojat Gustian Syafaat
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Sartika
Dharmadi
Dhenok Kristianti
Dian Wahyu Kusuma
Dianing Widya Yudhistira
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djoko Subinarto
Doan Widhiandono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Yan Masfa
Donny Anggoro
Dwi Cipta
Dwi Klik Santosa
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Enda Menzies
Erik Purnama Putra
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esti Nuryani Kasam
Evan Ys
Evi Idawati
F Aziz Manna
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Fairuzul Mumtaz
Fajar Alayubi
Farah Noersativa
Faris Al Faisal
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrozak
Faza Bina Al-Alim
Feby Indirani
Felix K. Nesi
Fian Firatmaja
Firman Wally
Fiyan Arjun
Forum Penulis dan Pegiat Literasi Lamongan (FP2L)
Franz Kafka
Galih M. Rosyadi
Galuh Tulus Utama
Ganug Nugroho Adi
Garna Raditya
Gendut Riyanto
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Gombloh
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gurindam
Gusti Eka
H.B. Jassin
Halim HD
Hamdy Salad
Hamka
Hari Sulastri
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasbi Zainuddin
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Hermawan Mappiwali
Herry Lamongan
Hikmat Gumelar
HM. Nasruddin Anshoriy Ch
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
Ibnu Wahyudi
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Iksaka Banu
Ilham
Imam Muhayat
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Arlado
Imron Tohari
Indra Tjahyadi
Indrawati Jauharotun Nafisah
Indrian Koto
Inung As
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Ismi Wahid
Iva Titin Shovia
Iwan Fals
Iwan Kurniawan
Jakob Oetama
Janual Aidi
JJ. Kusni
Johan Fabricius
John H. McGlynn
Jordaidan Rizsyah
Jual Buku Sastra
K.H. A. Azis Masyhuri
Kadjie Mudzakir
Kahfie Nazaruddin
Kahlil Gibran
Kamajaya Al. Katuuk
Kamran Dikarma
Kedung Darma Romansha
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khansa Arifah Adila
Khatijah
Khoirul Inayah
Ki Dhalang Sulang
Ki Ompong Sudarsono
Kikin Kuswandi
Kodirun
Koh Young Hun
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Sastra Mangkubumen (KSM)
Komunitas Teater Se-Lamongan
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kurniawan Junaedhie
Kurniawan Muhammad
Kuswaidi Syafi’ie
Kuswinarto
L.K. Ara
Laksmi Shitaresmi
Lan Fang
Larung Sastra
Latief S. Nugraha
lensasastra.id
Leo Tolstoy
Leon Agusta
Linda Christanty
Lutfi Mardiansyah
M. Aan Mansyur
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Lutfi
M. Shoim Anwar
M. Yoesoef
M. Yunis
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahdi Idris
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Marniati
Martin Aleida
Mashuri
Masuki M. Astro
Matroni Muserang
Mawar Kusuma
Max Arifin
Melani Budianta
Mihar Harahap
Mikael Johani
Miziansyah J.
Moch. Fathoni Arief
Moh. Ghufron Cholid
Mohammad Afifi
Mohammad Rafi Azzamy
Muhammad Hanif
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun AS
Muhidin M. Dahlan
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Myra Sidharta
Nadia Cahyani
Naim
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nessa Kartika
Ni Made Purnama Sari
Nikita Mirzani
Nirwan Ahmad Arsuka
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Nurel Javissyarqi
Nurul Fahmy
Nurul Ilmi Elbana
Nyoman Tusthi Eddy
Ong Hok Ham
Orasi Budaya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Pay Jarot Sujarwo
PDS H.B. Jassin
Pendidikan
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pringgo HR
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Pustaka Bergerak
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
Qismatun Nihayah
R Sutandya Yudha Khaidar
R Toto Sugiharto
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rahmat Sutandya Yudhanto
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Prambudhi Dikimara
Rambuana
Ramdhan Triyadi Bempah
Ratnani Latifah
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ribut Wijoto
Ricarda Huch
Riezky Andhika Pradana
Riki Dhamparan Putra
Rizki Aprima Putra
Rokhim Sarkadek
Rony Agustinus
Royyan Julian
Rukardi
Rumah Budaya Pantura
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Ruth Indiah Rahayu
S Yoga
S. Arimba
S. Jai
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Sahaya Santayana
Sahli Hamid
Saini KM
Sajak
Salvator Yen Joenaidy
Samsul Anam
Sapardi Djoko Damono
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Selendang Sulaiman
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setyaningsih
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sosial Media Sastra
Sosiawan Leak
Sovian Lawendatu
Sudarmoko
Sudirman
Sugeng Sulaksono
Sugito Ha Es
Sumani
Sumargono SN
Suminto A. Sayuti
Sunaryata Soemarjo
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suryanto Sastroatmodjo
Susie Evidia Y
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
T Agus Khaidir
T.A. Sakti
Tangguh Pitoyo
Tatan Daniel
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Eska
Teater Pendopo nDalem Mangkubumen (Dokumen)
Teater Tawon
Tedy Kartyadi
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tiya Hapitiawati
Tiyasa Jati Pramono
Toeti Heraty
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Usman Arrumy
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vika Wisnu
W.S. Rendra
Wahyu Triono Ks
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Jengki Sunarta
Wayan Sunarta
Welly Kuswanto
Wilda Fizriyani
Willy Ana
Y Alpriyanti
Y.B. Mangunwijaya
Yanto le Honzo
Yasin Susilo
Yasir Amri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yonathan Rahardjo
Yudha Kristiawan
Yudhistira ANM Massardi
Yulhasni
Zehan Zareez
Zuhdi Swt
Zul Afrita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar