Selasa, 27 Juli 2021

1927, Tagore dan Pablo Neruda bertemu di Jawa

Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/?p=328
 
Puisi bertitel Kepada Tanah Jawa, bukti Rabindranath Tagore (7 Mei 1861 – 7 Agus 1941) pada tahun 1927, di usianya ke 66, selepas jauh mendapatkan Nobel Sastra 1913, dirinya berada di bencah tanah Jawa.
 
Halaman 357, tepatnya sub judul, Hubungan Kita dengan Rabindranath Tagore. Ki Hadjar Dewantara dalam bukunya, bagian II A: Kebudayaan (terbitan Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa, 1967), berkata, bahwa pada tahun 1927, Sang Pujangga Rabindranath Tagore berkunjung ke perguruan Mataram Jogjakarya.
 
Dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Pablo_Neruda . Menyebutkan Neruda di tahun 1927 dalam usianya ke 23, putus asa oleh kemiskinan, menerima jabatan konsul kehormatan di Rangoon, kolonial Burma, tempat yang belum pernah didengarnya.
 
Lalu bekerja serabutan di Kolombo (Sri Lanka), Batavia serta Singapura. Di tanah Jawa, bertemu dan menikahi istri pertama, seorang Belanda pegawai bank, yang bernama Maryka Antonieta Hagenaar Vogelzang.
 
Sementara menjalani tugas diplomatik, Neruda banyak membaca puisi, bereksperimen berbagai bentuk puisi. Menulis jilid pertama, dari kumpulan puisinya dua jilid, Residencia en la tierra (Menetap di Negeri), mencakup banyak puisi surealis yang belakangan terkenal. Pablo Neruda lahir di Parral, sebuah kota sekitar 300 km di selatan Santiago, Chili, 12 Juli 1904, meninggal 23 September 1973, dalam umurnya 69 tahun. Yang mendapatkan Nobel di bidang sastra tahun 1971.
***
 
Sejarah waktu bergerak, bersama kematangan jiwa menyepakati soal mengolah misteri tubuh, merebut ingatan lama, membetot alam purba dari kesilapan ditumpuk padatan kerja.
 
Lupa mengeja bathin mengejawantah, luasnya kesadaran ladang-ladang kemungkinan patut digali, penuh suntuk berkeringat, terbakarnya lemak terlena.
 
Alasan logika mudah dibenarkan, dengan serentetan perolehan akal, meski belum tentu, ketika adanya penalaran baru, lebih runtut dari sebelumnya.
 
Dan persoalan hati kerap tak masuk akal, tapi mudah diterima, pun ditolak dengan kebencian, di sinilah pijakan keliaran menerka, meyakini keraguan.
 
Atau keraguan sekaligus memberikan gambaran realis, titik-titik seimbang setaburan gemintang, dipetik demi pengetahaun di tempat lain.
 
Gitanyali mengantarkan Tagore mendapatkan Nobel, serta menyorong nasibnya bertemu Ramona Victoria Epifana Ocampo (7 April 1890 – 27 Januari 1979) di Argentina.
 
Detik-detik penuh kelembutan kasih sayang, yang dikenang sepanjang jaman, meski keduanya jauh berselisih usia, Tagore 63 dan Victoria 34 tahun.
 
Atas dorongan ketidakmungkinan itu, kupertemukan Tagore-Neruda di tlatah Jawa, dalam masa-masa tak terjamah.
 
Kala itu, Tagore telah jadi pujangga besar dunia dan sudah berkeliling Eropa, namun dirasa belum genap takdirnya, kalau tidak injakkan telapak kaki di tanah Dwipa, yang dianggapnya tanah kedua India.
 
Di mana kisah besar seperti Ramayana, meresap ke tulang sum-sum bumi Jawa, sementara Pablo Neruda, dihempaskan nasib pahit kemiskinan sampai Batavia.
 
Menetap beberapa lama sebab menikahi orang belanda, dan kandas berceraian, sebelum menikah lagi dan lagi.
 
Waktu tidak dapat diatur lewat ketetapan pasti, kadang hanyut searus sungai menderas, pun pelan gemerincing di kaki-kaki batu, pula mandek datangnya el-maut.
 
Juga rahasia di balik penciptaan karya, seakan tiba-tiba atau keberuntungan, padahal sudah dipersiapkan atas jiwa kematangan.
 
Usaha keras membathin laksanakan perintah hati menyeberangi kemungkinan lahiriah, lantas melancong melampaui tubuh gagasan sebelumnya.
 
Ada keserupaan mimpi, lagi seakan terjadi, padahal tengah berjalin, begitulah kelahiran berulang, memasuki pepintu alam, penuh warna hakikat kedalamannya.
 
Pertemuan Tagore-Neruda tidak dibuktikan lewat kata-kata, namun dengan memenangkan hadiah yang sama, Nobel di bidang sastra, jiwa besar keduanya berjumpa lebih berwibawa.
 
Ada kesungguhan ampuh, tatkaka kaki-kaki Neruda di atas tanah serupa, kemendadakan jatuh takut sesuatu, secepat kilat kelopak mata terkatup, keterpejaman menyongsong ketakjuban, menghantar ke ruang kalbu saling terpaut rindu.
 
Atau dataran berbeda sama masanya, keterpisahan tidak suka, seperti di sisi jalan lain saling menuju satu arah, pun berpapasan sekadar kerling tidak mengenal.
 
Namun ada suara keganjilan, gema yang suatu waktu hadir dengan wujud tidak serupa, tetapi dari simpanan saling merindu sama-sama terluka.
 
Para insan berjiwa tangguh, memiliki daya tarik mendekat pula menjauh, dinaya terpantul atas niatan menyunggi beban hasrat kesunyian masing-masing, sedang jiwa yang tanggung hanya selintas lenyap.
 
Neruda sudah kenal sepak terjang Tagore, kebetulan itu kuasa tuhan pertemukan bahagia, Neruda tengah bulan madu di sekitar candi Borobudur, menikmati kesempatan menghirup alam tropis, di ketinggian gunung peradaban.
 
Setiap pagi-pagi bersama istri menaiki ondak-ondakan candi, sambil membawa catatan kembara, merevisi di samping relief-relief, yang masih sunyi pengunjung.
 
Ada semangat mengabadikan karya, kala menatap arca bergelimpangan hilang kepalanya, jiwanya terbang membumbung, bagai burung mengitari percandian.
 
Siang teduh dipayungi mendung, menggiring lamunan jauh, sambil memadukan irama puisinya dengan alam sekitar, yang sejuk permai.
 
Kadang sang istri bermanja-manjaan, ingin dikedup hangat sayang, ada kilauan cahaya, tatkala pengantin muda berpaut pagut ke dalam kuluman bibir tak habis manis, kian hari menggemuruh.
 
Merontokkan perasaan malu menjadi akrab bersahabat, sedegupan jantung selaguan alam Dwipa, dan apa yang digurat, kelak bernyanyian syahdu senantiasa dirindu.
 
Kedua insan hendak turun pulang menuju pondokan, tiba-tiba pandangan Neruda, disentakkan bayangan dikenalnya lewat majalah.
 
Dirinya merinding bergetar memasuki alam serupa mimpi, ketaksangkaan mengharu bathin sukmanya, menatap berkeyakinan dalam jiwa berselidik.
 
Benarkah yang duduk Rabindranath Tagore, pelan-lahan didekatinya sosok alim nan rupawan. Neruda perkenalkan diri disertai istrinya, lalu menanyakan kebenaran pertemuannya dengan pujangga Bengali.
 
Bibir Tagore terkatub bergetar bukan apa, usinya sudah lanjut, disamping habis menaiki tangga percandian, tapak-tapak melelahkan, hingga mengatur nafas sebelum berucap, pelan berkata, membenarkan pertemuan.
 
Dilihatnya Neruda membawa berkas-berkas kertas, namun tidak ditanya isinya, cepat-cepat jiwa muda Neruda mengulurkan tangan memberikannya, demi diselidik meminta pengertian.
 
Dengan lembut, Tagore menatap tulisan, membacanya dalam hati, meresapi betul tiap kata. Lalu dipandangnya hamparan percandian, didongakkan kepala ke langit tersenyum. Sedang Neruda sudah dari tadi merinding, seakan di hadapan maha guru spiritual.
 
Pertemuan singkat itu membekas di benak Neruda, seolah dapati karcis memasuki dunia sastra dengan jiwa besarnya, di ubun-ubunnya seakan mendapati restu pujangga India.
 
Tanah Jawa jadi saksi sejarah, bertemunya jiwa-jiwa mengemban hikayat hayat, demi mata air kesusastraan dunia, bathin purna sekepal batu mutiara memantulkan percaya diri demikian indah.
 
Lagu keraguan langgam surut, pula kadang berpasang segelombang laut selatan, suara-suara alam menguak tabir pertemuan dengan keluguan rupawan.
 
Pesona kejujuran bumi menghantar setiap cerita pada derajat ketinggian sah, seperti bayangan warna surga, meski belum memasuki nikmatnya.
 
Demikian tafsiranku, yang sejatinya alam menafaskan pertemuan mereka. Diriku sekadar tangkai pepaya, dimainkan anak-anak nasib di sungai kehidupan.
 
Maka haturkan maaf kepada bunda pertiwi, kalau sampai kini, belum ada anak-anaknya menyembul keluar gelanggang dunia sastra, seperti keduanya.
 
Semoga kelak tumbuh jiwa-jiwa seluas cakrawala, mengharumkan bangsa, tidak sekadar mewangi di telatah tanah airnya semata.
***

http://sastra-indonesia.com/2010/01/1927-tagore-dan-pablo-neruda-bertemu-di-jawa/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.S. Dharta Abdul Hadi WM Abdul Wachid B.S. Abdullah Abubakar Batarfie Abdurrahman Wahid Achmad Faesol Achmad S Achmad Soeparno Yanto Adin Adrian Balu Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Sasongko Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Prasmono Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Mustofa Bisri Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat al-Kindi Alex R. Nainggolan Ali Ahsan Al Haris Ali Audah Ali Syariati Amien Kamil Amien Wangsitalaja Andhika Dinata Andi Neneng Nur Fauziah Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Andy Riza Hidayat Anindita S. Thayf Anton Kurniawan Anton Sudibyo Aprinus Salam Arafat Nur Arif Hidayat Arman A.Z. Arthur Rimbaud Asap Studio Asarpin Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Badaruddin Amir Bagja Hidayat Balada Bambang Riyanto Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Butet Kartaredjasa Cak Bono Catatan Cecil Mariani Cerbung Cerpen Chairil Anwar Charles Bukowski Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dahta Gautama Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Danarto Dara Nuzzul Ramadhan Dareen Tatour Darju Prasetya Darojat Gustian Syafaat Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Sartika Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dianing Widya Yudhistira Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Pitono Djoko Saryono Djoko Subinarto Doan Widhiandono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Klik Santosa Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erik Purnama Putra Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esti Nuryani Kasam Evan Ys Evi Idawati F Aziz Manna F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Firman Wally Fiyan Arjun Forum Penulis dan Pegiat Literasi Lamongan (FP2L) Franz Kafka Galih M. Rosyadi Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Garna Raditya Gendut Riyanto Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gurindam Gusti Eka H.B. Jassin Halim HD Hamdy Salad Hamka Hari Sulastri Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasbi Zainuddin Hasif Amini Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Hermawan Mappiwali Herry Lamongan Hikmat Gumelar HM. Nasruddin Anshoriy Ch Hudan Hidayat Humam S Chudori Ibnu Wahyudi Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Iksaka Banu Ilham Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Arlado Imron Tohari Indra Tjahyadi Indrawati Jauharotun Nafisah Indrian Koto Inung As Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Ismi Wahid Iva Titin Shovia Iwan Fals Iwan Kurniawan Jakob Oetama Janual Aidi JJ. Kusni Johan Fabricius John H. McGlynn Jordaidan Rizsyah Jual Buku Sastra K.H. A. Azis Masyhuri Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kahlil Gibran Kamajaya Al. Katuuk Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khatijah Khoirul Inayah Ki Dhalang Sulang Ki Ompong Sudarsono Kikin Kuswandi Kodirun Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Sastra Mangkubumen (KSM) Komunitas Teater Se-Lamongan Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kucing Oren Kurniawan Junaedhie Kurniawan Muhammad Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Larung Sastra Latief S. Nugraha lensasastra.id Leo Tolstoy Leon Agusta Linda Christanty Lutfi Mardiansyah M. Aan Mansyur M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Harir Muzakki M. Lutfi M. Shoim Anwar M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marniati Martin Aleida Mashuri Masuki M. Astro Matroni Muserang Mawar Kusuma Max Arifin Melani Budianta Mihar Harahap Mikael Johani Miziansyah J. Moch. Fathoni Arief Moh. Ghufron Cholid Mohammad Afifi Mohammad Rafi Azzamy Muhammad Hanif Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun AS Muhidin M. Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Murnierida Pram Myra Sidharta Nadia Cahyani Naim Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nessa Kartika Ni Made Purnama Sari Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Noor H. Dee Nurel Javissyarqi Nurul Fahmy Nurul Ilmi Elbana Nyoman Tusthi Eddy Ong Hok Ham Orasi Budaya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Pablo Neruda Pay Jarot Sujarwo PDS H.B. Jassin Pendidikan Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Bergerak Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin Qismatun Nihayah R Sutandya Yudha Khaidar R Toto Sugiharto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Rambuana Ramdhan Triyadi Bempah Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ricarda Huch Riezky Andhika Pradana Riki Dhamparan Putra Rizki Aprima Putra Rokhim Sarkadek Rony Agustinus Royyan Julian Rukardi Rumah Budaya Pantura Rumah Budaya Pantura (RBP) Ruth Indiah Rahayu S Yoga S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safitri Ningrum Sahaya Santayana Sahli Hamid Saini KM Sajak Salvator Yen Joenaidy Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setyaningsih Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosial Media Sastra Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sudarmoko Sudirman Sugeng Sulaksono Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunaryata Soemarjo Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susie Evidia Y Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka T Agus Khaidir T.A. Sakti Tangguh Pitoyo Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teater Pendopo nDalem Mangkubumen (Dokumen) Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tiya Hapitiawati Tiyasa Jati Pramono Toeti Heraty TS Pinang Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Usman Arrumy UU Hamidy Veronika Ninik Vika Wisnu W.S. Rendra Wahyu Triono Ks Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wilda Fizriyani Willy Ana Y Alpriyanti Y.B. Mangunwijaya Yanto le Honzo Yasin Susilo Yasir Amri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yulhasni Zehan Zareez Zuhdi Swt Zul Afrita