Selasa, 27 Juli 2021

Nyanyian Penggali Kubur

Gunawan Budi Susanto
suaramerdeka.com
 
PENGGALI Kubur! Itu pekerjaannya dan itu pula yang kemudian menjadi namanya. Sudah 44 tahun dia bekerja. Setiap hari, setidaknya dia menggali satu liang kubur. Jadi selama 44 tahun, total jenderal dia sudah menggali 16.060 liang kubur.
 
Dia menggali kubur setiap hari sejak berusia 15 tahun. Dia menggali di setiap pekuburan di kota kami. Tak cuma menggali, dia juga terlibat penguburan. Dalam beberapa kasus, dia sendirian mengubur si mati. Itulah mayat orang yang semula dikenal sebagai orang gila. (Mengherankan, orang-orang gila seperti tak habis-habis berdatangan ke kota kami. Satu mati, tumbuh seribu. Satu hilang, seribu terbilang. Mereka muncul, silih berganti, entah dari mana. Konon, sesekali ada truk menurunkan mereka di tengah hutan jati di perbatasan kota).
 
Kau mungkin berpikir, jika setiap hari dia menggali satu liang kubur, boleh jadi lantaran serakah, ingin memperoleh upah dari setiap galian. Jangan salah. Tidak setiap kali menggali kubur dia beroleh upah. Acap kali dia cuma beroleh sebungkus nasi, sekantong plastik minuman, dan ucapan terima kasih. Bahkan beberapa kali sekadar ucapan terima kasih pun tidak.
 
Namun apa pula yang bisa dilakukan Penggali Kubur jika bukan menggali kubur? Jadi, ada upah atau tidak, ada ucapan terima kasih atau tidak, setiap hari selama 44 tahun dia terus menggali kubur. Siapa pun yang mati, di mana pun mereka mati, tak peduli kematian macam apa yang menjemput mereka, dia tetap dan terus menggali kubur.
 
Dan, dengarlah. Seraya mengayunkan cangkul, dia selalu menembangkan lagu. Lagu yang itu-itu juga.
 
Ilir-ilir lir-ilir
tandure wus sumilir
tak-ijo royo-royo
taksengguh penganten anyar
 
Cah angon, cah angon
penekna blimbing kuwi
lunyu-lunyu penekna
kanggo mbasuh dodotira
 
Dodotira, dodotira
kumitir bedhah ing pinggir
dondomana jlumatana
kanggo seba mengko sore
 
Mumpung padhang rembulane
mumpung jembar kalangane
yo suraka
surak hore. 1)
 
Ah, sebenarnya tak tepat menyebut dia menembang. Bahkan sekadar rengeng-rengeng sekalipun tidak. Lebih pas: dia menggumamkan lagu. Ya, dia selalu menggumamkan lagu, yang konon ciptaan Sunan Kalijaga, itu. Tanpa cengkok, tanpa irama. Nyaris datar dan monoton, seperti merapal mantra. Berulang-ulang sampai penggalian lubang kubur usai, sampai penguburan selesai. Lalu, dia bergegas pergi setelah gumpalan tanah terakhir dilemparkan pentakziah, sebelum berkeranjang-keranjang kembang ditaburkan ke atas gundukan tanah.
 
Tak ada yang tahu ke mana dia pergi. Tak ada yang peduli. Kata orang, dia pergi mengikuti kesiur angin yang tersibak sayap-sayap malaikat pencabut nyawa. Dia pergi menjemba kabar kematian.
 
Banyak orang percaya, dia tahu belaka siapa bakal mati hari ini. Terbukti, kapan pun, di mana pun, dan siapa pun yang mati -bahkan sebelum kabar kematian seseorang menyebar, dia sudah datang dan menggali kubur sembari menggumamkan tembang. Nyaris datar, monoton, tanpa cengkok, tanpa irama. Berulang-ulang. Ilir-ilir, ilir-ilir… Empat puluh empat tahun sudah, 16.060 liang kubur.
***
 
NAMUN, pagi ini, di pekuburan kampung kami, orang-orang geger. “Ada yang aneh,” ujar seseorang.
Kini, tak seperti biasa, sembari menggali kubur dia bernyanyi. Ya, dia bernyanyi sesungguh benar bernyanyi. Tak keras, tetapi hampir setiap pentakziah mendengar belaka: dia bernyanyi! Bukan lagi menggumamkan tembang Ilir-ilir tandure wus sumilir!
 
Dan, dengarlah, dia menyanyikan lagu lain. Suaranya terdengar sendu, terdengar pilu.
 
Di mana akan kucari
aku menangis seorang diri
hatiku slalu ingin bertemu
untukmu aku bernyanyi
 
Untuk Ayah tercinta
aku ingin bernyanyi
walau air mata di pipiku
 
Ayah, dengarlah
aku ingin berjumpa
walau hanya dalam mimpi
 
Lihatlah, hari berganti
namun tiada seindah dulu
datanglah, aku ingin bertemu
untukmu aku bernyanyi. 2)
 
Orang-orang menggeremang. Berdebat dengan suara tertahan. Apalagi ketika dia tak cuma menyanyikan lagu yang dipopulerkan Charles Hutagalung itu. Dengar, dengarlah, kini dia menyanyikan balada Ebiet G Ade pula.
 
Dari pintu ke pintu
kucoba tawarkan nama
demi terhenti tangis anakku
dan keluh ibunya
Tetapi nampaknya semua mata
memandangku curiga
seperti hendak telanjangi
dan kuliti jiwaku
 
Apakah buku diri ini
harus selalu hitam pekat
apakah dalam sejarah
orang mesti jadi pahlawan
sedang Tuhan di atas sana
tak pernah menghukum
dengan sinar matanya yang lebih tajam
dari matahari
 
Ke manakah sirnanya
nurani embun pagi
yang biasanya ramah
kini membakar hati
apakah bila terlanjur salah
akan tetap dianggap salah
tak ada waktu lagi benahi diri
tak ada tempat lagi untuk kembali
 
Kembali dari keterasingan
ke bumi beradab
ternyata lebih menyakitkan
dari derita panjang
Tuhan bimbinglah batin ini
agar tak gelap mata
dan sampaikanlah rasa inginku
kembali bersatu. 3)
 
Bisik-bisik mengeras menjelang akhir penguburan. Orang-orang tak tahan. Sebelum lemparan tanah terakhir dan kembang tertabur di gundukan tanah, seseorang menghalangi langkah Penggali Kubur, yang seperti biasa bersigegas pergi.
 
“Tunggu! Aku cuma mau bertanya,” kata orang itu. “Kenapa kau bernyanyi? Kenapa bukan Ilir-ilir lagi? Ada apa? Mengapa?”
 
Penggali Kubur membisu. Dia menyimpang jalan, terus melangkah. Orang-orang adu argumentasi. Berdebat. Ramai. Tanpa simpulan yang bisa mereka percayai sebagai kebenaran.
 
Diam-diam aku memisahkan diri dari para pentakziah. Dari jarak yang kuanggap aman, aku menguntit Penggali Kubur. Dia terus melangkah tanpa menengok atau menoleh kiri-kanan. Langkah kakinya tetap, tak berkesan terburu-buru. Juga tak seperti orang sedang berjalan-jalan mencuci mata.
 
Dari kejauhan kulihat dia berbelok, menuruni jalan setapak menuju ke sungai. Tak mungkin terus menguntit dia tanpa ketahuan. Itu satu-satunya jalan yang harus kulalui, kecuali ingin kembali. Kepalang basah. Aku pun bergegas menyusul.
 
“Duduklah,” ujar Penggali Kubur. Dia duduk di atas batu, mencangkung membelakangi arah kedatanganku, memandangi air sungai.
 
Dengan menekan ewuh, sungkan, karena ketahuan menguntit, aku pun duduk di atas batu lebih rendah. “Maaf,” kataku seraya menekan debar di dada.
 
Sembari tetap mencangkung, menekuri permukaan air sungai, dia mengucap. Pelan, tetapi terasa mendengking di kuping.
 
“Di sungai inilah, dulu, 44 tahun lalu, kulihat mayat Bapak terhanyut entah ke mana. Dia terselip di antara puluhan mayat lain. Namun aku yakin, itulah mayat Bapak. Mereka membunuh dan membuang jasadnya ke sungai ini,” kata dia.
 
Aku terdiam.
“Tak ada orang berani menepikan mayat-mayat itu agar bisa dikubur secara layak. Tak seorang pun. Puluhan mayat, berpuluh-puluh mayat, sehingga air sungai ini memerah, berlumpur darah.”
 
Aku tergugu.
“Kau tahu, sepeninggal Bapak, Ibu kehilangan kewarasan. Dia menyusuri jalanan kota, siang-malam. ‘Mencari bapakmu,’ katanya. Dia makan dengan mengais-ngais setiap timbunan sampah, di bawah terik matahari, di bawah guyuran hujan. Suatu saat, Ibu ditemukan tergeletak di tepian sungai ini. Mati. Aku pun mengubur dia, sendirian. Sejak saat itulah aku memutuskan jadi penggali kubur.”
 
“Kenapa?” tanyaku, memberanikan diri.
“Aku tak ingin orang-orang itu tak terkuburkan secara layak seperti Bapak. Tak ada alasan bagi siapa pun untuk membiarkan orang mati tanpa dikubur secara semestinya. Apa pun agama mereka, apa pun keyakinan mereka. Tapi kau malah ikut-ikutan orang lain meributkan kenapa aku cuma menggumamkan lagu bertahun-tahun, lalu tiba-tiba kini bernyanyi. Apa tak ada urusan lebih penting, selain mengurusi pedalaman orang lain?” ucap dia.
 
Sekilas aku melihat kilatan mata setajam silet. Aku tertunduk. “Maaf, aku tak bermaksud….”
 
“Ya, bahkan kau dan seluruh keluargamu sudah menganggap aku gila. Siapa lebih gila? Aku atau bapak dan ibumu serta kalian semua, anak-anak mereka? Bahkan nasib kakekmu yang mati dibunuh dan dibuang di sungai ini, juga nenekmu yang bunuh diri di tepian sungai ini, tak pernah masuk hitunganmu, tak pernah jadi keprihatinan keluargamu. Sekarang, apa pula yang hendak kauminta dariku?” ucap dia, menetak gendang telingaku.
 
Aku terdiam, mengeriut.
“Pulanglah. Tak perlu kaupedulikan aku. Tak penting pula aku bernyanyi atau tidak. Toh itu tak mengubah apa pun. Aku cuma penggali kubur dan tetap jadi penggali kubur. Sampai kapan pun,” ujar dia seraya bangkit, melangkah, tanpa menoleh.
 
Aku masih terdiam, menjublak di tepian sungai. Aku memandangi permukaan air, yang makin lama kian merah. Seperti darah. Darah yang membarah.
 
Catatan:
1) Terima kasih pada Sunan Kalijaga, yang konon telah menciptakan tembang “Ilir-ilir”.
2) Terima kasih pada Charles Hutagalung yang menyanyikan lagu “Ayah”.
3) Terima kasih pada Ebiet G. Ade yang menciptakan dan menyanyikan tembang “Kalian Dengarlah Keluhanku”.

Patemon, 26 September 2010. http://sastra-indonesia.com/2010/11/nyanyian-penggali-kubur/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.S. Dharta Abdul Hadi WM Abdul Wachid B.S. Abdullah Abubakar Batarfie Abdurrahman Wahid Achmad Faesol Achmad S Achmad Soeparno Yanto Adin Adrian Balu Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Sasongko Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Prasmono Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Mustofa Bisri Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat al-Kindi Alex R. Nainggolan Ali Ahsan Al Haris Ali Audah Ali Syariati Amien Kamil Amien Wangsitalaja Andhika Dinata Andi Neneng Nur Fauziah Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Andy Riza Hidayat Anindita S. Thayf Anton Kurniawan Anton Sudibyo Aprinus Salam Arafat Nur Arif Hidayat Arman A.Z. Arthur Rimbaud Asap Studio Asarpin Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Badaruddin Amir Bagja Hidayat Balada Bambang Riyanto Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Butet Kartaredjasa Cak Bono Catatan Cecil Mariani Cerbung Cerpen Chairil Anwar Charles Bukowski Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dahta Gautama Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Danarto Dara Nuzzul Ramadhan Dareen Tatour Darju Prasetya Darojat Gustian Syafaat Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Sartika Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dianing Widya Yudhistira Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Pitono Djoko Saryono Djoko Subinarto Doan Widhiandono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Klik Santosa Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erik Purnama Putra Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esti Nuryani Kasam Evan Ys Evi Idawati F Aziz Manna F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Firman Wally Fiyan Arjun Forum Penulis dan Pegiat Literasi Lamongan (FP2L) Franz Kafka Galih M. Rosyadi Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Garna Raditya Gendut Riyanto Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gurindam Gusti Eka H.B. Jassin Halim HD Hamdy Salad Hamka Hari Sulastri Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasbi Zainuddin Hasif Amini Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Hermawan Mappiwali Herry Lamongan Hikmat Gumelar HM. Nasruddin Anshoriy Ch Hudan Hidayat Humam S Chudori Ibnu Wahyudi Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Iksaka Banu Ilham Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Arlado Imron Tohari Indra Tjahyadi Indrawati Jauharotun Nafisah Indrian Koto Inung As Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Ismi Wahid Iva Titin Shovia Iwan Fals Iwan Kurniawan Jakob Oetama Janual Aidi JJ. Kusni Johan Fabricius John H. McGlynn Jordaidan Rizsyah Jual Buku Sastra K.H. A. Azis Masyhuri Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kahlil Gibran Kamajaya Al. Katuuk Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khatijah Khoirul Inayah Ki Dhalang Sulang Ki Ompong Sudarsono Kikin Kuswandi Kodirun Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Sastra Mangkubumen (KSM) Komunitas Teater Se-Lamongan Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kucing Oren Kurniawan Junaedhie Kurniawan Muhammad Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Larung Sastra Latief S. Nugraha lensasastra.id Leo Tolstoy Leon Agusta Linda Christanty Lutfi Mardiansyah M. Aan Mansyur M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Harir Muzakki M. Lutfi M. Shoim Anwar M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marniati Martin Aleida Mashuri Masuki M. Astro Matroni Muserang Mawar Kusuma Max Arifin Melani Budianta Mihar Harahap Mikael Johani Miziansyah J. Moch. Fathoni Arief Moh. Ghufron Cholid Mohammad Afifi Mohammad Rafi Azzamy Muhammad Hanif Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun AS Muhidin M. Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Murnierida Pram Myra Sidharta Nadia Cahyani Naim Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nessa Kartika Ni Made Purnama Sari Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Noor H. Dee Nurel Javissyarqi Nurul Fahmy Nurul Ilmi Elbana Nyoman Tusthi Eddy Ong Hok Ham Orasi Budaya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Pablo Neruda Pay Jarot Sujarwo PDS H.B. Jassin Pendidikan Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Bergerak Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin Qismatun Nihayah R Sutandya Yudha Khaidar R Toto Sugiharto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Rambuana Ramdhan Triyadi Bempah Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ricarda Huch Riezky Andhika Pradana Riki Dhamparan Putra Rizki Aprima Putra Rokhim Sarkadek Rony Agustinus Royyan Julian Rukardi Rumah Budaya Pantura Rumah Budaya Pantura (RBP) Ruth Indiah Rahayu S Yoga S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safitri Ningrum Sahaya Santayana Sahli Hamid Saini KM Sajak Salvator Yen Joenaidy Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setyaningsih Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosial Media Sastra Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sudarmoko Sudirman Sugeng Sulaksono Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunaryata Soemarjo Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susie Evidia Y Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka T Agus Khaidir T.A. Sakti Tangguh Pitoyo Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teater Pendopo nDalem Mangkubumen (Dokumen) Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tiya Hapitiawati Tiyasa Jati Pramono Toeti Heraty TS Pinang Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Usman Arrumy UU Hamidy Veronika Ninik Vika Wisnu W.S. Rendra Wahyu Triono Ks Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wilda Fizriyani Willy Ana Y Alpriyanti Y.B. Mangunwijaya Yanto le Honzo Yasin Susilo Yasir Amri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yulhasni Zehan Zareez Zuhdi Swt Zul Afrita