Kamis, 08 Juli 2021

Percikan Tasawuf dalam Perawan Mencuri Tuhan

Miziansyah J.
Minggu Pagi, no 41 th. 58 Minggu kedua Januari 2006
 
Dorongan dan minat untuk mengekspos seperangkat puisi sufi ke dalam satu antologi ternyata bukan cuma hura-hura penyair, tapi betul-betul kesucian niat tanpa mengharap pernik-pernik yang bersifat riya.
 
Begitulah halnya yang terjadi dengan Amien Wangsitalaja, penyair kelahiran Wonogiri, 19 Maret 1972, yang sekarang tinggal di Samarinda, yang telah merampungkan antologi Perawan Mencuri Tuhan (Pustaka Sufi, Yogyakarta, 2004) yang memuat 73 puisi sufinya. Motivasi Amien memang didasari oleh ketulusan yang ikhlas tanpa pretensi yang profan.
 
Menulis puisi sufi, bagi setiap yang mampu, adalah suatu keharusan bukan sesuatu yang musykil. Namun, tidak setiap orang mampu melahirkan puisi dengan bobot ilahiyat yang patut. Bila seseorang mengungkap sesuatu tanpa didasari oleh pancaran sikap jujur dan benar, bobot yang dikandung hanya semata hipokrit.
 
Gambaran kesucian dari sikap penyair dalam Perawan Mencuri Tuhan dapat terlihat, misalnya, pada puisi “Sajak Sufi 1”, “Sajak Sufi 2”, dan “Sajak Sufi 3”. Ketiga puisi tersebut memiliki ending dengan motif yang sama yang menyatakan minat tentang pengeksposan puisi sufi. Ketiga puisi diakhiri oleh kuplet yang sama bunyinya: karena itu / sebab pekerti, bolehkah aku / menulis sajak sufi?
 
Secara vulgar penyair telah menunjukkan suatu kesimpulan dalam hal motivasi penulisan puisi, yaitu suatu keharusan dan keputusan dari tingkah dan amal penyair yang murni, yang akhirnya melahirkan tanda tanya besar yang bersifat retorik bolehkah menulis sajak sufi. Tanda tanya tidak memerlukan jawaban karena jawabannya tergambar pada premis yang sudah muncul pada kuplet sebelumnya sebagai kausalitas dari kesucian dan kemurnian.
 
Kuplet pertama dan kedua “Sajak Sufi 1” mengungkapkan betapa ikhlasnya pengejawantahan tingkah dan amal, termasuk ibadah mahdhah. Dikatakan dalam kuplet pertama: tak harus kau tahu / syahadatku qaim / shalatku daim / shiyamku lazim / hajiku naim dan dalam kuplet kedua: tak harus kaupandu / judi aku tak / mabuk aku tak / zina aku tak / korupsi aku tak.
 
Sikap ikhlas terungkap dalam baris tak harus kau tahu yang menafikan ketakaburan dan keriyaan. Selain itu, pernyataan vulgar menolak segala tingkah kemunkaran diawali dengan tak harus kaupandu menunjukkan suatu jaminan intensitas yang cukup meyakinkan.
 
Pada puisi yang berjudul “Sajak Sufi 2” penyair mengungkapkan kesederhanaan dalam beramal, seperti dikatakannya: aku pun / beramal secara wajar / tak harus besar-besar. Kemudian, pada “Sajak Sufi 3” dikatakan: kepada perampok dan ahli tenung / aku memang tak berkata langsung / tapi kudidik kawan-kawan / tentang cara-cara membela badan, menampakkan performen subjektif dalam menyikapi kejahatan, yang tidak konfrontatif (berkata langsung) tapi lebih memilih memperkuat diri (membela badan).
 
Antologi yang memuat 73 judul puisi ini memiliki tipografi yang mirip, yaitu sebentuk puisi alit yang terdiri dari satuan gramatika yang tersusun dari frasa-frasa tanpa banyak “sayap”. Dengan kesederhanaan gramatikalnya (dan susunan sintaksis yang normatif dan wajar), kontekstualisasi puisi tidak memerlukan upaya kontemplasi yang terlalu rumit.
 
Dalam antologi Perawan Mencuri Tuhan ini tema-tema sosial berjalin berkelindan dengan panduan semangat religius. Artinya, puisi-puisi berdimensi sosial itu diungkapkan dengan perspektif profetik. Kita lihat misal pada puisi berjudul “Intelektual dan Sejarah”: sempatkan dirimu / untuk memikirkan negeri ini / sebagaimana engkau memikirkan budi dan hati // (kulihat / engkau mulai menulis / sebuku epos atau sebait puisi / tentang keraguanmu / kepada negeri ini / dan keraguan negeri ini / kepada budi dan hati) // dan sebagaimana / engkau meragukan negeri ini / negeri ini pun / meragukan tulisanmu.
 
Tercabik-cabiknya kemapanan faktual sejarah menyebabkan bablasnya orientasi nilai sehingga orang-orang merasa ragu terhadap suatu kebenaran. Penyair menyeru kepada kaum intelektual dan sejarahwan untuk sedapat mungkin turut memikirkan suasana negeri yang terlanjur morat-marit. Agaknya tidak gampang karena ada semacam keraguan terhadap signifikasi nilai akibat sistem kelola sejak dari peletakan batu atau pemasangan prasasti yang diaduk dalam ranah kekuasaan. Maka, sikap syak wasangka terhadap nilai dan akurasi sejarah terus berkembang menuju suasana ketakpastian dan tidak mustahil menimbulkan kesalingcurigaan di antara elemen masyarakat (engkau mulai menulis / sebuku epos atau sebait puisi / tentang keraguanmu / kepada negeri ini / dan keraguan negeri ini / kepada budi dan hati). Maka, yang sangat diperlukan dalam hal ini adalah penanganan serta adanya sikap kejujuran bagi kaum intelektual dan sejarahwan.
 
Aspek sosial lain yang sarat dengan penggarapan sudut pandang kenabian (profetik) di antaranya adalah puisi yang berbicara tentang banjir, berjudul “Air”: aku melihat: / sehabis kota tertimpa banjir / beberapa kita sibuk merumuskan bencana / beberapa kita sibuk merias berita // (beberapa meraka yang paling tertimpa / tak sempat menakar duka) // aku tahu: / nuh tidak pernah / merekayasa air bah.
 
Potret yang klasik jika terjadi banjir adalah orang hanya sibuk “merumuskan” bencana, hanya membuat pengukuran maksimum/minimum untuk dijadikan laporan rutin. Tidak ada usaha ke arah penanggulangan lebih lanjut. Inilah yang disindir oleh penyair.
 
Penyair kemudian mengajak menoleh kepada potret Nuh a.s. Bagi Nuh, sebuah bencana adalah sebuah misteri. Hikmah dari bencana adalah ujian tentang sempurna atau tidaknya aqidah seseorang atau suatu kaum.
 
Peristiwa banjir terbesar dalam sejarah peradaban manusia adalah di zaman Nabi Nuh. Sebelum terjadinya peristiwa itu Nuh diperintah melalui wahyu untuk membuat bahtera demi menyelamatkan sebagian makhluq hidup (berjenis-jenis binatang buas, binatang jinak, tetumbuhan, dan manusia yang memiliki aqidah dan beriman kepada Nabi Nuh.
 
Peristiwa penyelamatan melalui bahtera ini sekaligus penyeleksian umat yang beriman serta terciptanya suatu lingkungan kesejahteraan yang damai di antara sesama makhluq yang terangkut bahtera. Mereka yang ikut bahtera adalah mereka yang tidak memiliki sikap menantang dan sombong. Sementara itu, anak Nuh sendiri, yang selalu menantang dan menolak ajakan penyelamatan karena mengingkari aqidah akhirnya tenggelam.
 
Puisi yang lain, berjudul “Banjir 1” berbunyi: nuh / aku bukan anakmu / nuh / aku bukan anakmu / nuh / aku bukan anakmu. Barangkali, redundansi seruan ini merupakan ungkapan supernatural yang mungkin menyelamatkan, minimal meringankan cobaan yang menimpa. Kita bukan anak nuh, maka kita memohon untuk bisa selamat.
 
“Banjir 2” berbunyi: dua syeikh berbincang // “tahukan tuan korelasi / antara bencana banjir dengan politik / dengan ekonomi?” // “hamba tak tahu. yang kutahu korelasi / antara bencana banjir / dengan keakraban sesama / dengan kejahatan sesama”. Puisi ini merefleksikan bahwa secara hukum kausalitas, peristiwa bencana memang memiliki suatu penyebabnya, kadang dari kesengajaan atau kelalaian.
 
Sementara itu, “Banjir 3” juga memiliki koherensi dengan “Banjir 2”, yaitu masing-masingnya mengungkapkan tentang kausalitas. Banjir lebih bisa dipahami sebagai kesengajaan yang memang dikehendaki seperti halnya kesengajaan aristokrat “menghendaki” suatu negara: kutahu / banjir ada yang membuat / seperti kata aristokrat / negara aku yang membuat.
 
Masih soal musibah, puisi “Api 1” berkisah tentang kebakaran. Kebakaran juga bisa terjadi karena disengaja atau tanpa disengaja. Namun, setelah terjadi kebakaran, akibat yang ditimbulkannya selalu negatif, yaitu beralihtangannya hak milik. Biasanya, dengan alasan “penertiban”, kepemilikan hak dipaksa untuk diputihkan ke tangan pemerintah (cara mudah merampas tanah / adalah membakar pasar / atau menghanguskan rumah).
 
“Api 2” juga mengintrodusir tentang pemusnahan. “Api 2” mengungkapkan peristiwa kebakaran di suatu senja di sebuah koloni. Puisi itu menyiratkan bahwa masa ini sering terjadi “penggusuran” terhadap sekelompok orang atau koloni yang muncul dari sikap kemanusiaan yang usang yang menyulutkan rasa dendam. Ini adalah dampak negatif dari kepentingan politik dan ideologi pembangunan: senja / api membakar sirap / atap rumah penduduk koloni // hati orang bising / oleh pembangunan / dan kemanusiaan yang usang / berseloroh dendam.
 
Puisi “Perawan Mencuri Tuhan” (yang juga dijadikan sebagai judul buku) adalah puisi renungan sufistik. Perawan adalah pengibaratan dari jiwa muda perjaka dengan alam pandangan realitas. Ketika perawan merasakan perangkat iderawi ketuhanan, ia justru bersembunyi dari pengawasan inderawi manusia. Ia memiliki kekhawatiran, seperti orang perahu yang hanya seorang dalam kesendirian daya dan karya tanpa tergantung pada siapa pun, lepas dari segala bentuh ma’unah supernatural apa pun.
 
Yang tertangkap dari puisi ini adalah jiwa kembara tanpa menggantungkan harap kepada siapa pun, tanpa rasa rindu, cinta, kasih, perlindungan, dan lain-lain karena ia tengah “mencuri tuhan”.
 
ada perawan bersembunyi
di balik meja dan almari kayu
takutnya serupa orang perahu
yang sedang berlayar sendiri
 
ia perawan yang bersembunyi
di balik meja dan almari kayu
agar ibu tidak melihatnya
agar bapak tidak melihatnya
agar kakak tidak melihatnya
agar adik tidak melihatnya
agar semua tidak melihatnya
: ia tengah mencuri tuhan mereka
 
***
 
*) Miziansyah J. (almarhum), Penyair, guru agama di SDN 033 Samarinda, Kaltim. Alamat: d.a. SDN 033 Sungai Kapih, Samarinda Ilir, Samarinda 75011 http://sastra-indonesia.com/2010/10/percikan-tasawuf-dalam-perawan-mencuri-tuhan/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.S. Dharta Abdul Hadi WM Abdul Wachid B.S. Abdullah Abubakar Batarfie Abdurrahman Wahid Achmad Faesol Achmad S Achmad Soeparno Yanto Adin Adrian Balu Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Sasongko Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Prasmono Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Mustofa Bisri Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat al-Kindi Alex R. Nainggolan Ali Ahsan Al Haris Ali Audah Ali Syariati Amien Kamil Amien Wangsitalaja Andhika Dinata Andi Neneng Nur Fauziah Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Andy Riza Hidayat Anindita S. Thayf Anton Kurniawan Anton Sudibyo Aprinus Salam Arafat Nur Arif Hidayat Arman A.Z. Arthur Rimbaud Asap Studio Asarpin Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Badaruddin Amir Bagja Hidayat Balada Bambang Riyanto Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Butet Kartaredjasa Cak Bono Catatan Cecil Mariani Cerbung Cerpen Chairil Anwar Charles Bukowski Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dahta Gautama Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Danarto Dara Nuzzul Ramadhan Dareen Tatour Darju Prasetya Darojat Gustian Syafaat Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Sartika Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dianing Widya Yudhistira Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Pitono Djoko Saryono Djoko Subinarto Doan Widhiandono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Klik Santosa Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erik Purnama Putra Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esti Nuryani Kasam Evan Ys Evi Idawati F Aziz Manna F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Firman Wally Fiyan Arjun Forum Penulis dan Pegiat Literasi Lamongan (FP2L) Franz Kafka Galih M. Rosyadi Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Garna Raditya Gendut Riyanto Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gurindam Gusti Eka H.B. Jassin Halim HD Hamdy Salad Hamka Hari Sulastri Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasbi Zainuddin Hasif Amini Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Hermawan Mappiwali Herry Lamongan Hikmat Gumelar HM. Nasruddin Anshoriy Ch Hudan Hidayat Humam S Chudori Ibnu Wahyudi Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Iksaka Banu Ilham Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Arlado Imron Tohari Indra Tjahyadi Indrawati Jauharotun Nafisah Indrian Koto Inung As Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Ismi Wahid Iva Titin Shovia Iwan Fals Iwan Kurniawan Jakob Oetama Janual Aidi JJ. Kusni Johan Fabricius John H. McGlynn Jordaidan Rizsyah Jual Buku Sastra K.H. A. Azis Masyhuri Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kahlil Gibran Kamajaya Al. Katuuk Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khatijah Khoirul Inayah Ki Dhalang Sulang Ki Ompong Sudarsono Kikin Kuswandi Kodirun Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Sastra Mangkubumen (KSM) Komunitas Teater Se-Lamongan Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kucing Oren Kurniawan Junaedhie Kurniawan Muhammad Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Larung Sastra Latief S. Nugraha lensasastra.id Leo Tolstoy Leon Agusta Linda Christanty Lutfi Mardiansyah M. Aan Mansyur M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Harir Muzakki M. Lutfi M. Shoim Anwar M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marniati Martin Aleida Mashuri Masuki M. Astro Matroni Muserang Mawar Kusuma Max Arifin Melani Budianta Mihar Harahap Mikael Johani Miziansyah J. Moch. Fathoni Arief Moh. Ghufron Cholid Mohammad Afifi Mohammad Rafi Azzamy Muhammad Hanif Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun AS Muhidin M. Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Murnierida Pram Myra Sidharta Nadia Cahyani Naim Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nessa Kartika Ni Made Purnama Sari Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Noor H. Dee Nurel Javissyarqi Nurul Fahmy Nurul Ilmi Elbana Nyoman Tusthi Eddy Ong Hok Ham Orasi Budaya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Pablo Neruda Pay Jarot Sujarwo PDS H.B. Jassin Pendidikan Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Bergerak Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin Qismatun Nihayah R Sutandya Yudha Khaidar R Toto Sugiharto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Rambuana Ramdhan Triyadi Bempah Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ricarda Huch Riezky Andhika Pradana Riki Dhamparan Putra Rizki Aprima Putra Rokhim Sarkadek Rony Agustinus Royyan Julian Rukardi Rumah Budaya Pantura Rumah Budaya Pantura (RBP) Ruth Indiah Rahayu S Yoga S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safitri Ningrum Sahaya Santayana Sahli Hamid Saini KM Sajak Salvator Yen Joenaidy Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setyaningsih Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosial Media Sastra Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sudarmoko Sudirman Sugeng Sulaksono Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunaryata Soemarjo Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susie Evidia Y Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka T Agus Khaidir T.A. Sakti Tangguh Pitoyo Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teater Pendopo nDalem Mangkubumen (Dokumen) Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tiya Hapitiawati Tiyasa Jati Pramono Toeti Heraty TS Pinang Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Usman Arrumy UU Hamidy Veronika Ninik Vika Wisnu W.S. Rendra Wahyu Triono Ks Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wilda Fizriyani Willy Ana Y Alpriyanti Y.B. Mangunwijaya Yanto le Honzo Yasin Susilo Yasir Amri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yulhasni Zehan Zareez Zuhdi Swt Zul Afrita