Kamis, 08 Juli 2021

“Sastra Kelamin” dan Ideologi Kelas

Amien Wangsitalaja
Republika, 18 Nov 2007
 
Polemik tentang “sastra kelamin” (dalam tanda kutip) sebetulnya sudah mengemuka pada awal era 2000-an. Namun, polemik tersebut sekarang mengemuka lagi. Polemik di media cetak setidaknya tersaji di dua media cetak nasional, Republika dan Jawa Pos. Rerata polemik mengaitkannya dengan persoalan moralitas versus kebebasan kreatif dan kemudian ada yang menggiringnya ke persoalan agama.
 
Mungkinkah ada sisi lain dari fenomena gelontoran karya-karya sastra yang mengusung wacana kebebasan dengan modus operandi berupa eksplorasi tema seks tersebut? Ataukah jangan-jangan yang terjadi sebetulnya bukanlah pertarungan segi moral (ideologi spiritual), tetapi pertarungan segi lain yang kental berkaitan dengan persoalan suprastruktural (ideologi material)?
 
Saya tiba-tiba teringat kepada sebuah acara jumpa pengarang dan diskusi buku Fira Basuki di kafe Soda Longue, Yogyakarta, awal 2004 lalu. Yang menarik adalah ungkapan Fira Basuki yang kira-kira bunyinya, “Orang boleh pilih pizza atau gado-gado. Saya menyajikan pizza, jika Anda tetap memilih gado-gado itu terserah….”
 
Komentar itu mengandaikan adanya sebuah ideologi kelas atau politik identitas yang sedang diusung oleh Fira. Fira mengklaim bahwa ia adalah penyaji pizza sementara yang lain sematalah penyaji gado-gado, bahwa novel-novelnya (juga novel-novel lain sejenis) berkelas pizza sementara karya sastra lain berkelas gado-gado.
 
Jika diandaikan Fira dapat mewakili kalangan wanita penulis yang suka bereksperimen dengan “kelamin” di dalam karyanya, maka kita tidak bisa menganggap fenomena sastra wanita yang mengekspose imaji seks sebagai sekedar sebuah fenomena di dalam keuniversalan sastra atau kebebasan berkarya. Kita harus mampu membaca fenomena “sastra yang mengutak-atik kelamin” sebagai sebuah gerakan kelas dan politik identitas.
 
Identitas yang hendak diangkat oleh mereka adalah identitas kelas the have borjuasi kota dengan budaya materialisme seksualnya. Aroganisme kelas tertampakkan dari bahasa Fira yang menamakan sastranya sebagai “pizza”. Politik identitas itu muncul dari implikasi pernyataan bahwa Fira tetap akan menyajikan “pizza” meskipun Anda masih tergolong di dalam kelas penyuka “gado-gado”.
 
Kehadiran “sastra pizza” (sebutlah demikian untuk menyebut sastra para wanita kelas borjuasi ini) menunjukkan bahwa telah terjadi sebuah kontestasi kuasa di dalam medan komunikasi sastra kita. Di dalam kontestasi ini, oleh dukungan kapitalisme media, kaum “sastra pizza” yang mula-mula merumuskan dirinya sebagai the other, kemudian justru menjadi dominan. Dengan didukung kekuatan kapital yang besar dan simbiose mutualisme dengan industri media massa itu, “sastra pizza” hendak menghegemonikan “ideologi estetika kelas” mereka. Inilah politik identitas.
 
Karena itulah, saya menganggap wajar jika kemudian muncul beberapa pendapat yang mengusulkan untuk “melawan” materialisme seksual dari “sastra pizza” itu. Sebuah kewajaran bahkan mungkin keharusan jika kesadaran kelas dilawan dengan kesadaran kelas, politik identitas dihadapi dengan politik identitas. Jika kelas “sastra pizza” telah melakukan gerakan missie demi menjadi hegemonik, kelas “sastra gado-gado” terpancing untuk berkhotbah menyelamatkan intelektualitas bangsa dari gerogotan ide-ide materialisme seksual.
 
Saya termasuk yang tidak mudah percaya bahwa yang hendak diperjuangkan oleh “sastra pizza” itu adalah semangat feminisme dalam arti penyelamatan harkat dan derajat perempuan di depan laki-laki. Saya lebih merasakan bahwa “sastra pizza” sekedar berdagang “feminisme” dan “kebebasan berekspresi”, menggunakan isu-isu feminisme dan kebebasan berekspresi untuk capaian-capaian material.
 
Jadi, menurut saya politik identitas yang mereka usung bukanlah feminisme melainkan materialisme. Ide-ide yang hendak mereka usung adalah ide-ide kapitalisme-borjuasi dengan filsafat moral yang nihilistik.
 
Saya seperasaan dengan mereka yang berpendapat bahwa kesemarakan vulgarisme dalam “sastra pizza” itu justru kian memosisikan kaum wanita sebagai komunitas (atau obyek) yang dilecehkan. Dalam “sastra pizza” itu wanita “ditelanjangi” untuk sekedar mendemonstrasikan betapa kaum (penulis) wanita berkuasa atas makna diskursif tubuhnya sendiri. Jangan-jangan nanti kaum laki-laki justru akan menganggap bahwa wanita hanya lihai mengeksplorasi ketubuhan semata. Jangan-jangan pula nanti penulis wanita hanya dianggap mampu mengeksplorasi “tubuh teks” tanpa pernah bisa menggali kedewasaan dan spiritualitas dari “jiwa teks”.
 
Tentu saja, jika kaum proletar “sastra gado-gado” hendak melawan kaum borjuasi “sastra pizza”, mereka memerlukan kesabaran, ketabahan, dan kekerjakerasan karena “sastra pizza” ini dimotori oleh kaum wanita dari kelas borjuasi dengan dukungan penuh dari kekuatan modal dan industri media. Selain itu, mereka telah menembak langsung ke jantung selera pasar karena ideologi mereka memang kapitalisme.
 
Sastra serius selalu saja gelagapan ketika harus terlibat di dalam pertarungan pasar. Namun, bukan berarti bahwa sastra serius sama sekali tidak bisa bertahan menghadapi gelontoran sastra pop-snob. Hal inilah yang memunculkan pemikiran bahwa semangat proletar kaum “gado-gado” bisa selalu digelorakan untuk menghadapi penjajahan dan hegemoni wacana yang dilakukan oleh kelas borjuasi kaum “pizza”.
 
Hanya saja, kritik saya pada mereka yang memerangi sastra snob tersebut adalah mereka terkadang berhenti hanya sebatas menghujat saja. Bagaimana pun, kaum borjuasi pengusung “sastra pizza” tersebut patut diakui memiliki kelebihan dalam hal produktivitas berkarya. Mereka juga memiliki tingkat eksplorasi estetika yang menggemaskan. Dengan demikian, menandingi mereka adalah bukan dengan menghujatnya.
 
Perang wacana sudah tidak produktif lagi dilakukan. Berhentilah saling menghujat. Biarlah semua pihak bekerja dan bergerak. Lawan kerja dengan kerja, lawan gerakan dengan gerakan. Gelontorkan karya-karya yang sebisa mungkin lebih menggemaskan dan bermutu dibandingkan dengan karya-karya kelas borjuasi tersebut dan luaskan penyampaian karya-karya kaum proletar sampai ke desa-desa. Barangkali karya-karya penulis borjuasi itu sedang berjaya di kota-kota kita, tapi belum tentu ia sudah merambah ke desa-desa, karena itu desa-desa harus disupport dengan karya-karya nonpenulis borjuasi. Insyaallah, “desa akan mengepung kota”.
 
Model gerakan Forum Lingkar Pena (FLP) cukup pas. FLP bisa memiliki organ-organ yang menjangkau sampai ke desa-desa bahkan pedalaman. Hanya saja, diperlukan gerakan serupa dengan perangkat dan modus operandi yang berbeda, komunitas dengan semangat serupa tapi mengusung karya universal yang tidak hanya membidik segolongan spesifik pembaca dan tidak berparadigma hitam putih dalam mendedah persoalan.
 
Hayo, siapa berani bekerja siapa berani bergerak? Siapa berani tak hanya saling menghujat sahaja? Berdoalah.
 
***

http://sastra-indonesia.com/2010/10/sastra-kelamin-dalam-ideologi-sastra-pizza/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.S. Dharta Abdul Hadi WM Abdul Wachid B.S. Abdullah Abubakar Batarfie Abdurrahman Wahid Achmad Faesol Achmad S Achmad Soeparno Yanto Adin Adrian Balu Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Sasongko Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Prasmono Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Mustofa Bisri Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat al-Kindi Alex R. Nainggolan Ali Ahsan Al Haris Ali Audah Ali Syariati Amien Kamil Amien Wangsitalaja Andhika Dinata Andi Neneng Nur Fauziah Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Andy Riza Hidayat Anindita S. Thayf Anton Kurniawan Anton Sudibyo Aprinus Salam Arafat Nur Arif Hidayat Arman A.Z. Arthur Rimbaud Asap Studio Asarpin Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Badaruddin Amir Bagja Hidayat Balada Bambang Riyanto Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Butet Kartaredjasa Cak Bono Catatan Cecil Mariani Cerbung Cerpen Chairil Anwar Charles Bukowski Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dahta Gautama Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Danarto Dara Nuzzul Ramadhan Dareen Tatour Darju Prasetya Darojat Gustian Syafaat Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Sartika Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dianing Widya Yudhistira Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Pitono Djoko Saryono Djoko Subinarto Doan Widhiandono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Klik Santosa Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erik Purnama Putra Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esti Nuryani Kasam Evan Ys Evi Idawati F Aziz Manna F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Firman Wally Fiyan Arjun Forum Penulis dan Pegiat Literasi Lamongan (FP2L) Franz Kafka Galih M. Rosyadi Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Garna Raditya Gendut Riyanto Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gurindam Gusti Eka H.B. Jassin Halim HD Hamdy Salad Hamka Hari Sulastri Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasbi Zainuddin Hasif Amini Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Hermawan Mappiwali Herry Lamongan Hikmat Gumelar HM. Nasruddin Anshoriy Ch Hudan Hidayat Humam S Chudori Ibnu Wahyudi Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Iksaka Banu Ilham Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Arlado Imron Tohari Indra Tjahyadi Indrawati Jauharotun Nafisah Indrian Koto Inung As Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Ismi Wahid Iva Titin Shovia Iwan Fals Iwan Kurniawan Jakob Oetama Janual Aidi JJ. Kusni Johan Fabricius John H. McGlynn Jordaidan Rizsyah Jual Buku Sastra K.H. A. Azis Masyhuri Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kahlil Gibran Kamajaya Al. Katuuk Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khatijah Khoirul Inayah Ki Dhalang Sulang Ki Ompong Sudarsono Kikin Kuswandi Kodirun Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Sastra Mangkubumen (KSM) Komunitas Teater Se-Lamongan Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kucing Oren Kurniawan Junaedhie Kurniawan Muhammad Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Larung Sastra Latief S. Nugraha lensasastra.id Leo Tolstoy Leon Agusta Linda Christanty Lutfi Mardiansyah M. Aan Mansyur M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Harir Muzakki M. Lutfi M. Shoim Anwar M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marniati Martin Aleida Mashuri Masuki M. Astro Matroni Muserang Mawar Kusuma Max Arifin Melani Budianta Mihar Harahap Mikael Johani Miziansyah J. Moch. Fathoni Arief Moh. Ghufron Cholid Mohammad Afifi Mohammad Rafi Azzamy Muhammad Hanif Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun AS Muhidin M. Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Murnierida Pram Myra Sidharta Nadia Cahyani Naim Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nessa Kartika Ni Made Purnama Sari Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Noor H. Dee Nurel Javissyarqi Nurul Fahmy Nurul Ilmi Elbana Nyoman Tusthi Eddy Ong Hok Ham Orasi Budaya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Pablo Neruda Pay Jarot Sujarwo PDS H.B. Jassin Pendidikan Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Bergerak Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin Qismatun Nihayah R Sutandya Yudha Khaidar R Toto Sugiharto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Rambuana Ramdhan Triyadi Bempah Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ricarda Huch Riezky Andhika Pradana Riki Dhamparan Putra Rizki Aprima Putra Rokhim Sarkadek Rony Agustinus Royyan Julian Rukardi Rumah Budaya Pantura Rumah Budaya Pantura (RBP) Ruth Indiah Rahayu S Yoga S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safitri Ningrum Sahaya Santayana Sahli Hamid Saini KM Sajak Salvator Yen Joenaidy Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setyaningsih Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosial Media Sastra Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sudarmoko Sudirman Sugeng Sulaksono Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunaryata Soemarjo Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susie Evidia Y Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka T Agus Khaidir T.A. Sakti Tangguh Pitoyo Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teater Pendopo nDalem Mangkubumen (Dokumen) Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tiya Hapitiawati Tiyasa Jati Pramono Toeti Heraty TS Pinang Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Usman Arrumy UU Hamidy Veronika Ninik Vika Wisnu W.S. Rendra Wahyu Triono Ks Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wilda Fizriyani Willy Ana Y Alpriyanti Y.B. Mangunwijaya Yanto le Honzo Yasin Susilo Yasir Amri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yulhasni Zehan Zareez Zuhdi Swt Zul Afrita