Sabtu, 10 Juli 2021

Fauna Bahasa

Hasif Amini
majalah.tempointeraktif.com
 
Bahasa Indonesia punya koleksi cukup banyak binatang yang menjadi kata umpatan atau makian: anjing, babi, badak, bangsat, buaya, kampret, monyet, sapi…. Kata binatang sendiri, setidaknya dalam beberapa pemakaiannya, memang sudah berkonotasi negatif. Istilah binatang ekonomi atau binatang politik menunjukkan pandangan betapa tak ada yang luhur pada makhluk yang disebut binatang, dan betapa mengerikan bila perangainya diamalkan di lapangan hidup manusia. (Kata hewan, yang terasa lebih ilmiah dan “netral”, pun tak jarang menunjuk kepada kualitas negatif ketika menjadi adjektiva hewani, misalnya dalam frase sifat-sifat hewani.)
 
Kata membebek dan membeo, sementara itu, hendak memperlihatkan bahwa unggas bernama bebek dan beo sungguh tak berbakat melakukan tindakan orisinal. Seseorang yang cekatan meniru ucapan dan perbuatan orang lain dengan sendirinya telah mengikuti suri tauladan sang beo dan bebek dalam hidup sehari-hari. Dan mungkin ia pun telah lama disebut sebagai warga yang baik dan manis di lingkungannya.
 
Sedangkan bunglon mengajarkan sebuah taktik politik yang ampuh kepada manusia: menyaru demi bertahan hidup dan bermain di segala medan. Dan itu berarti menyetel tindak-tanduk, sikap, pendapat, agar tampak “sewarna” dengan sekitar. Setiap kali medan berubah, si bunglon pun berganti warna lagi menyesuaikan diri agar bisa tetap bebas bermain tanpa banyak gangguan.
 
Namun, ternyatalah dunia margasatwa-sebagaimana yang terekam dalam suatu bahasa-sama sekali tak sederhana, apalagi “sewarna” (misalnya, buruk semata). Sama-sama hitam, tapi jika yang satu adalah kambing dan yang lain kuda, alangkah berlainan nasibnya. Si kuda, yang muncul sebagai pemenang tanpa disangka-sangka, tak perlu bertanya-tanya seperti si kambing berkulit gelap: “Kenapa kok saya?”
 
Dunia margasatwa pun menyediakan wakil-wakilnya untuk dipilih sebagai lambang. Merpati menjadi lambang perdamaian. Kuda lambang keperkasaan. Elang: keberanian. Semut:keuletan. Kancil: kecerdikan. Keledai:kebebalan. Merak: keanggunan sekaligus keangkuhan. Dan seterusnya.Adapun masing-masing hewan itu sendiri tentu tak pernah ambil pusing apakah dijadikan lambang ini atau itu, positif atau negatif. Mereka sudah terlalu sibuk dengan urusan yang lebih mendesak: kelangsungan hidup.
 
Soalnya (bagi kita) kemudian: konotasi positif atau negatif itu bisa berbeda-beda antara satu lingkungan budaya dan yang lain. Sapi di India tentu berbeda makna, guna, dan statusnya dibanding sapi di Belanda atau di Madura. Kata dog tak menjadi kata umpatan yang lazim dalam bahasa Inggris, karena dalam lingkungan budaya itu anjing pada umumnya merupakan binatang piaraan yang patuh, setia, dan disayangi. Working like a dog adalah ungkapan untuk menyatakan kerja keras tak kenal lelah. Sementara kata pig dalam khazanah itu rupanya cenderung berkonotasi negatif: binatang yang rakus, jorok, malas, dan degil (karenanya ada istilah pig-headed, keras kepala). Sebaliknya, dalam perlambangan horoskop Cina, babi punya sejumlah konotasi positif sebagai karakter yang cerdas, lugu, toleran, dan terpercaya.
 
Alangkah kaya, memang, perbendaharaan makna sumbangan para binatang. Dalam bahasa Indonesia, ada banyak ungkapan yang menggunakan nama binatang (sebagai ilham sekaligus unsur pokoknya): jinak-jinak merpati, malu-malu kucing, akal bulus, otak udang, kelinci percobaan, kutu buku, macan kertas, singa mimbar, jago kandang, kupu-kupu malam, ayam kampus, adu domba, serigala berbulu domba, bajingan kelas teri/kakap, dan kawan-kawan.
 
Nah, betapa mustahil menjadi hewan yang “netral”: manusia tampaknya selalu menerakan karakteristik tertentu kepada hewan-hewan yang ia kenal. Tetapi ada ironi dan ambivalensi di sini. Ada kalanya manusia menggunakan (karakter) hewan untuk membayangkan perangainya sendiri, sementara di kala lain hewan-hewan itu dijadikan si lain yang dengannya manusia membedakan dan meninggikan diri. Sebab, bukankah proses “menjadi manusia” adalah proses menghilangkan “sifat-sifat hewani” dari dalam diri kita?
 
“Aku ini binatang jalang…,” tulis Chairil Anwar di tahun 1943, pada usia 20. Mungkin ia, dengan meradang dan ironis, hendak juga mengingatkan kita akan kemenduaan dan kejumawaan hewan cerdas (yang piawai berkata-kata) bernama manusia itu.
Hmm-anjing menggonggong; kucing mengeong; manusia mendehem.
 
12 Februari 2007.

http://sastra-indonesia.com/2011/09/fauna-bahasa/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.S. Dharta Abdul Hadi WM Abdul Wachid B.S. Abdullah Abubakar Batarfie Abdurrahman Wahid Achmad Faesol Achmad S Achmad Soeparno Yanto Adin Adrian Balu Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Sasongko Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Prasmono Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Mustofa Bisri Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat al-Kindi Alex R. Nainggolan Ali Ahsan Al Haris Ali Audah Ali Syariati Amien Kamil Amien Wangsitalaja Andhika Dinata Andi Neneng Nur Fauziah Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Andy Riza Hidayat Anindita S. Thayf Anton Kurniawan Anton Sudibyo Aprinus Salam Arafat Nur Arif Hidayat Arman A.Z. Arthur Rimbaud Asap Studio Asarpin Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Badaruddin Amir Bagja Hidayat Balada Bambang Riyanto Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Butet Kartaredjasa Cak Bono Catatan Cecil Mariani Cerbung Cerpen Chairil Anwar Charles Bukowski Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dahta Gautama Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Danarto Dara Nuzzul Ramadhan Dareen Tatour Darju Prasetya Darojat Gustian Syafaat Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Sartika Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dianing Widya Yudhistira Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Pitono Djoko Saryono Djoko Subinarto Doan Widhiandono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Klik Santosa Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erik Purnama Putra Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esti Nuryani Kasam Evan Ys Evi Idawati F Aziz Manna F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Firman Wally Fiyan Arjun Forum Penulis dan Pegiat Literasi Lamongan (FP2L) Franz Kafka Galih M. Rosyadi Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Garna Raditya Gendut Riyanto Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gurindam Gusti Eka H.B. Jassin Halim HD Hamdy Salad Hamka Hari Sulastri Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasbi Zainuddin Hasif Amini Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Hermawan Mappiwali Herry Lamongan Hikmat Gumelar HM. Nasruddin Anshoriy Ch Hudan Hidayat Humam S Chudori Ibnu Wahyudi Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Iksaka Banu Ilham Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Arlado Imron Tohari Indra Tjahyadi Indrawati Jauharotun Nafisah Indrian Koto Inung As Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Ismi Wahid Iva Titin Shovia Iwan Fals Iwan Kurniawan Jakob Oetama Janual Aidi JJ. Kusni Johan Fabricius John H. McGlynn Jordaidan Rizsyah Jual Buku Sastra K.H. A. Azis Masyhuri Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kahlil Gibran Kamajaya Al. Katuuk Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khatijah Khoirul Inayah Ki Dhalang Sulang Ki Ompong Sudarsono Kikin Kuswandi Kodirun Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Sastra Mangkubumen (KSM) Komunitas Teater Se-Lamongan Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kucing Oren Kurniawan Junaedhie Kurniawan Muhammad Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Larung Sastra Latief S. Nugraha lensasastra.id Leo Tolstoy Leon Agusta Linda Christanty Lutfi Mardiansyah M. Aan Mansyur M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Harir Muzakki M. Lutfi M. Shoim Anwar M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marniati Martin Aleida Mashuri Masuki M. Astro Matroni Muserang Mawar Kusuma Max Arifin Melani Budianta Mihar Harahap Mikael Johani Miziansyah J. Moch. Fathoni Arief Moh. Ghufron Cholid Mohammad Afifi Mohammad Rafi Azzamy Muhammad Hanif Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun AS Muhidin M. Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Murnierida Pram Myra Sidharta Nadia Cahyani Naim Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nessa Kartika Ni Made Purnama Sari Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Noor H. Dee Nurel Javissyarqi Nurul Fahmy Nurul Ilmi Elbana Nyoman Tusthi Eddy Ong Hok Ham Orasi Budaya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Pablo Neruda Pay Jarot Sujarwo PDS H.B. Jassin Pendidikan Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Bergerak Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin Qismatun Nihayah R Sutandya Yudha Khaidar R Toto Sugiharto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Rambuana Ramdhan Triyadi Bempah Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ricarda Huch Riezky Andhika Pradana Riki Dhamparan Putra Rizki Aprima Putra Rokhim Sarkadek Rony Agustinus Royyan Julian Rukardi Rumah Budaya Pantura Rumah Budaya Pantura (RBP) Ruth Indiah Rahayu S Yoga S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safitri Ningrum Sahaya Santayana Sahli Hamid Saini KM Sajak Salvator Yen Joenaidy Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setyaningsih Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosial Media Sastra Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sudarmoko Sudirman Sugeng Sulaksono Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunaryata Soemarjo Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susie Evidia Y Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka T Agus Khaidir T.A. Sakti Tangguh Pitoyo Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teater Pendopo nDalem Mangkubumen (Dokumen) Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tiya Hapitiawati Tiyasa Jati Pramono Toeti Heraty TS Pinang Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Usman Arrumy UU Hamidy Veronika Ninik Vika Wisnu W.S. Rendra Wahyu Triono Ks Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wilda Fizriyani Willy Ana Y Alpriyanti Y.B. Mangunwijaya Yanto le Honzo Yasin Susilo Yasir Amri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yulhasni Zehan Zareez Zuhdi Swt Zul Afrita