Jumat, 16 Juli 2021

GERAKAN SYAHWAT MERDEKA MENGEPUNG INDONESIA

Muhammad Subarkah
Republika, 22 Des 2006
 
Seorang bule bertubuh tinggi besar bergegas ke luar ruangan Teater Kecil Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini Raya, Jakarta Pusat. Langkahnya acuh saja. Sembari berjalan lurus, dia kemudian mendekati penyair Taufiq Ismail yang tengah dirubung banyak orang. Setelah sampai di dekat Taufiq, ia menyalaminya.
 
”Selamat ya. Pidato kebudayaan Anda bagus sekali. Tapi ingat, media massa Indonesia juga banyak sampahnya. Lihat siaran televisi Anda. Bayangkan kalau di Amerika tayangan itu diputar pada pukul 03.00 pagi, di sini malah diputar pada prime time,” kata si bule sembari memegang tangan Taufiq. Yang disalaminya pun membalas dengan senyum simpul. ”Terima kasih Tuchrello. Memang demikian adanya. Maaf, kalau banyak mengambil contoh negara Anda,” jawab Taufiq.
 
Sesaat dia lantas menerangkan sahabatnya itu adalah Will Tuchrello, direktur Perpustakaan Kongres AS Perwakilan Indonesia. ”Bayangkan, mereka saja resah atas menggejalanya budaya bebas tanpa batas itu. Tapi, kok kita tidak ya?” ujar penulis lirik lagu-lagu hits Bimbo ini.
 
Taufiq, Rabu (20/12) malam, melalui pidato kebudayaannya di depan kalangan Akademi Jakarta mengguncangkan kesadaran publik untuk kembali menengok nurani pada hilangnya rasa malu orang Indonesia. Bahkan, Taufiq lugas menyebutkan hilangnya rasa malu itu telah mulai meruntuhkan bangunan bangsa.
 
Tagihan rekening reformasi, menurut Taufiq, ternyata mahal sekali. Indonesia dikepung gerakan ‘Syahwat Merdeka’! ”Gerakan syahwat merdeka ini tak bersosok organisasi resmi, dan jelas tidak berdiri sendiri. Tapi, bekerja sama bahu-membahu melalui jaringan mendunia, dengan kapital raksasa mendanainya. Ideologi gabungan yang melandasinya, dan banyak media massa cetak dan eletronik menjadi pengeras suaranya,” kata Taufiq dalam pidatonya.
 
Ketika mendengar ‘kesaksian’ Taufiq, sesaat ruangan Teater Kecil yang penuh dipadati puluhan pengunjung mendadak berubah. Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin, misalnya, segera membuka buku kecil yang memuat pidato Taufiq Ismail.
 
Dari arah bangku belakang, kemudian terdengar lenguhan panjang. Seorang ibu berguman. Penulis skenario film senior, Misbach Yusa Biran, menggeleng-gelangkan kepala. Pemusik kontemporer Slamet Abdul Syukur tepekur di kursinya.
 
Ruangan teater pun terus senyap. Suhu udara berpendingin kini mulai terasa merambahi kulit. Taufiq kemudian meneruskan pidatonya dengan menjelaskan mengenai siapa saja yang menjadi komponen ‘syahwat merdeka’ itu.
 
Paling tidak ada 13 pihak yang menjadi pendukung fanatik gerakan ini. Pertama adalah praktisi sehari-hari kehidupan pribadi dan kelompok seks bebas hetero dan homo, terang-terangan dan sembunyi-sembunyi. Kedua, para penerbit majalah dan tabloid mesum yang telah menikmati tiada perlunya SIUPP. Ketiga, produser, penulis skrip, dan pengiklan televisi.
 
”Semua orang tahu betapa ekstentifnya pengaruh layar kaca. Setiap tayangan televisi rata-rata 170 juta pemirsa. Untuk situs porno kini tersedia 4,2 juta di dunia dan 100 ribu di internet Indonesia. Untuk mengaksesnya malah tanpa biaya, sama mudahnya dilakukan baik dari San Fransisco, maupun Klaten,” tegasnya.
 
Pendukung keempat adalah penulis, penerbit, dan propagandanis buku-buku sastra dan bukan sastra. Di Malaysia, penulis yang mencabul-cabulkan karyanya adalah penulis pria. Di Indonesia sebaliknya. Penulis yang asyik menulis wilayah ‘selangkangan dan sekitarnya’ mayoritas perempuan. ”Dalam hal ini ada kritikus Malaysia berkata, ‘Wah Pak Taufiq, pengarang Indonesia berani-berani. Kok mereka tidak malu?” ungkap Taufiq Ismail.
 
Kelima, penerbit dan pengedar komik cabul. Keenam, produsen VCD/DVD porno. Ketujuh, pabrikan alkohol. Kedelapan, produsen, pengedar, dan pengguna narkoba. Kesembilan, pabrikan, pengiklan, dan pengisap rokok. Hal ini dilatarbelakangi kenyataan dalam masyarakat permisif, interaksi antara seks, narkoba, dan nikotin akrab sekali. Sukar dipisahkan.
 
Selanjutnya, komponen ke-10 adalah para pengiklan perempuan dan laki-laki panggilan. Ke-11, germo dan pelanggan prostitusi. Ke-12 adalah dukun dan dokter praktisi aborsi.
 
”Bayangkan data menunjukan angka aborsi di Indonesia mencapai 2,2 juta setahun. Maknanya, setiap 15 detik seorang calon bayi di suatu tempat di negeri kita meninggal di suatu tempat akibat dari salah satu atau gabungan faktor-faktor di atas,” tandas Taufiq Ismail.
 
Menurut Taufiq, kehancuran hilangnya rasa malu itu kemudian tecermin dalam gemuruh gelombang penolakan RUU Pronografi dan Pornoaksi. Ini adalah pihak ke-13. Pada satu sisi memang ada kekurangan. Dan salah satu kekurangan RUU ini, yang perlu ditambah dan disempurnakan adalah perlindungan terhadap anak-anak yang jumlahnya 60 juta.
 
Perbandingannya, kalau di Indonesia masih nihil perundangan perlindungan anak, di AS anak-anak di sana paling tidak kini dilindungi enam undang-undang.
 
Sastra ganjil
 
Mengomentari keresahan Taufiq, pengarang perempuan NH Dini menyatakan, saat ini memang ada yang ganjil dalam dunia sastra. Entah mengapa tiba-tiba ada sekelompok penulis perempuan yang giat menulis cerita bergaya pornografi. Mereka memang tidak merasa risi atau malu. Entah sengaja atau tidak, mereka sudah menyalahartikan erotisme menjadi sama saja dengan pronografi.
 
”Beberapa waktu lalu, ketika tinggal di Prancis, saya dikirimi mendiang Ramadhan KH sebuah novel Indonesia yang mendapat penghargaan karya sastra. Ramadhan, karena tidak ‘kuat’ membaca, meminta saya membaca novel tersebut. Dan benar, saya hanya kuat baca beberapa lembar saja.” ”Saya kemudian berpikir, apa bagusnya novel ini, kok sampai mendapat penghargaan? Malah lebih terkejut lagi, ketika bertemu dengan seorang rohaniwan, dia malah memuji novel itu. Akhirnya, saya semakin tidak mengerti,” tutur NH Dini.
 
Budayawan Riau, Al Azhar, menyatakan, apa yang dikatakan Taufiq itu memang kenyataan yang kini terjadi. Beberapa penulis memang menghasilkan karya yang ‘tidak masuk akal’ karena hanya membahas soal selangkangan. Dominasi ide hanya memaparkan idealisme hedonis. Realitas kehidupan rakyat yang berbudi diabaikan.
 
”Entah apa yang dipikirkan generasi hedonis itu. Mutunya sangat jauh bila dibanding karya Pramudya Ananta Toer atau Ahmad Tohari. Terjadi penurunan mutu karya yang serius. Generasi syahwat merdeka memang kini mengepung kita,” tandas Al Azhar.
***

http://sastra-indonesia.com/2011/09/gerakan-syahwat-merdeka-mengepung-indonesia/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.S. Dharta Abdul Hadi WM Abdul Wachid B.S. Abdullah Abubakar Batarfie Abdurrahman Wahid Achmad Faesol Achmad S Achmad Soeparno Yanto Adin Adrian Balu Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Sasongko Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Prasmono Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Mustofa Bisri Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat al-Kindi Alex R. Nainggolan Ali Ahsan Al Haris Ali Audah Ali Syariati Amien Kamil Amien Wangsitalaja Andhika Dinata Andi Neneng Nur Fauziah Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Andy Riza Hidayat Anindita S. Thayf Anton Kurniawan Anton Sudibyo Aprinus Salam Arafat Nur Arif Hidayat Arman A.Z. Arthur Rimbaud Asap Studio Asarpin Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Badaruddin Amir Bagja Hidayat Balada Bambang Riyanto Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Butet Kartaredjasa Cak Bono Catatan Cecil Mariani Cerbung Cerpen Chairil Anwar Charles Bukowski Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dahta Gautama Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Danarto Dara Nuzzul Ramadhan Dareen Tatour Darju Prasetya Darojat Gustian Syafaat Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Sartika Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dianing Widya Yudhistira Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Pitono Djoko Saryono Djoko Subinarto Doan Widhiandono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Klik Santosa Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erik Purnama Putra Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esti Nuryani Kasam Evan Ys Evi Idawati F Aziz Manna F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Firman Wally Fiyan Arjun Forum Penulis dan Pegiat Literasi Lamongan (FP2L) Franz Kafka Galih M. Rosyadi Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Garna Raditya Gendut Riyanto Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gurindam Gusti Eka H.B. Jassin Halim HD Hamdy Salad Hamka Hari Sulastri Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasbi Zainuddin Hasif Amini Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Hermawan Mappiwali Herry Lamongan Hikmat Gumelar HM. Nasruddin Anshoriy Ch Hudan Hidayat Humam S Chudori Ibnu Wahyudi Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Iksaka Banu Ilham Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Arlado Imron Tohari Indra Tjahyadi Indrawati Jauharotun Nafisah Indrian Koto Inung As Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Ismi Wahid Iva Titin Shovia Iwan Fals Iwan Kurniawan Jakob Oetama Janual Aidi JJ. Kusni Johan Fabricius John H. McGlynn Jordaidan Rizsyah Jual Buku Sastra K.H. A. Azis Masyhuri Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kahlil Gibran Kamajaya Al. Katuuk Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khatijah Khoirul Inayah Ki Dhalang Sulang Ki Ompong Sudarsono Kikin Kuswandi Kodirun Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Sastra Mangkubumen (KSM) Komunitas Teater Se-Lamongan Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kucing Oren Kurniawan Junaedhie Kurniawan Muhammad Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Larung Sastra Latief S. Nugraha lensasastra.id Leo Tolstoy Leon Agusta Linda Christanty Lutfi Mardiansyah M. Aan Mansyur M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Harir Muzakki M. Lutfi M. Shoim Anwar M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marniati Martin Aleida Mashuri Masuki M. Astro Matroni Muserang Mawar Kusuma Max Arifin Melani Budianta Mihar Harahap Mikael Johani Miziansyah J. Moch. Fathoni Arief Moh. Ghufron Cholid Mohammad Afifi Mohammad Rafi Azzamy Muhammad Hanif Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun AS Muhidin M. Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Murnierida Pram Myra Sidharta Nadia Cahyani Naim Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nessa Kartika Ni Made Purnama Sari Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Noor H. Dee Nurel Javissyarqi Nurul Fahmy Nurul Ilmi Elbana Nyoman Tusthi Eddy Ong Hok Ham Orasi Budaya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Pablo Neruda Pay Jarot Sujarwo PDS H.B. Jassin Pendidikan Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Bergerak Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin Qismatun Nihayah R Sutandya Yudha Khaidar R Toto Sugiharto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Rambuana Ramdhan Triyadi Bempah Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ricarda Huch Riezky Andhika Pradana Riki Dhamparan Putra Rizki Aprima Putra Rokhim Sarkadek Rony Agustinus Royyan Julian Rukardi Rumah Budaya Pantura Rumah Budaya Pantura (RBP) Ruth Indiah Rahayu S Yoga S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safitri Ningrum Sahaya Santayana Sahli Hamid Saini KM Sajak Salvator Yen Joenaidy Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setyaningsih Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosial Media Sastra Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sudarmoko Sudirman Sugeng Sulaksono Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunaryata Soemarjo Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susie Evidia Y Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka T Agus Khaidir T.A. Sakti Tangguh Pitoyo Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teater Pendopo nDalem Mangkubumen (Dokumen) Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tiya Hapitiawati Tiyasa Jati Pramono Toeti Heraty TS Pinang Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Usman Arrumy UU Hamidy Veronika Ninik Vika Wisnu W.S. Rendra Wahyu Triono Ks Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wilda Fizriyani Willy Ana Y Alpriyanti Y.B. Mangunwijaya Yanto le Honzo Yasin Susilo Yasir Amri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yulhasni Zehan Zareez Zuhdi Swt Zul Afrita