Rabu, 30 Juni 2021

Suminto A. Sayuti: Penyair dan Guru Besar “Nyeleneh”

Mawar Kusuma
kompas.com
 
Suminto A Sayuti menyebut pukul 14.00 di bulan puasa adalah jam mengantuk untuk belajar. Materi kuliah yang dibawakan, Selasa (23/9), pun bukan mata ajaran menarik, Teori Sastra. Bergaya santai disertai guyonan segar, tak satu mahasiswanya pun yang mengantuk. Mata kuliah yang dia bawakan dinanti, bahkan memotivasi mahasiswa untuk mengapresiasi seni tak hanya mandek di tataran teori.
 
Suminto menerangkan teori genre sebagai kode komunikasi. Tak hanya membatasi diri pada pembelajaran teori, ia membawa anak didiknya berpetualang di dunia sastra. Aneka kutipan puisi dari Amir Hamzah, WS Rendra, hingga Linus Suryadi mengalir darinya.
 
Tak sedikit di antara mahasiswa yang diajar Suminto lalu bereksperimen membuat karya seni lewat sastra, puisi, teater, dan musik. “Teori sastra tidak untuk dimuliakan, tetapi diterapkan. Jangan mendewakan teori,” ungkap guru besar Fakultas Seni dan Budaya Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) ini saat membuka kuliah.
 
Diajar seorang penyair agaknya merupakan keasyikan sendiri. Tak heran, para mahasiswa tak rela jika Suminto diajukan sebagai salah satu kandidat dalam pemilihan Rektor UNY.
 
“Ketika Suminto menjadi dekan, kami jarang dapat kuliah langsung karena kesibukannya. Dia dekat dengan mahasiswa, tak segan memberi masukan dan kritik keras kepada mahasiswa,” kata Reni Trisnawati, mahasiswa semester tujuh Jurusan Sastra Indonesia.
 
Sebagai seniman dan akademisi, Suminto mengawinkan kebebasan berekspresi dan teori keilmuan dalam irama pendidikan yang membebaskan. Kecintaannya pada seni, antara lain, dijembatani dengan menempati ruang kerja bersebelahan dengan laboratorium karawitan. Setiap hari ia bekerja diiringi gamelan Jawa.
 
Ia termasuk segelintir dari penyair yang masih menekuni dunia akademisi. Padahal, pada era 1960-1970-an, penyair sempat marak bermunculan dari kalangan akademisi. Nama sastrawan besar seperti Umar Kayam yang juga sosiolog, Kuntowijoyo yang berprofesi sebagai sejarawan, hingga Bakdi Soemanto pernah menghidupkan jagat kepenyairan Yogyakarta.
 
Kehadiran penyair dari kampus sanggup bersinergi dengan penyair otodidak seperti Emha Ainun Nadjib dan Imam Budi Santosa. Kemesraan hubungan penyair dari lingkungan akademisi dan otodidak ini, sayangnya, tak berjalan kekal.
 
Kata Suminto, penyair akademisi cenderung memasuki ranah spesialisasi dengan fokus pada wilayah sastra atau malah berhenti berkarya untuk menjadi ilmuwan. “Penyair yang bertahan di wilayah penciptaan dan pengamatan semakin jarang,” keluhnya.
 
Bagi Suminto, tiap zaman mempunyai semangat dan tuntutan berbeda. Penyair akademisi maupun seniman hanya dipisahkan ruang karya, tetapi mereka tetap berada pada wilayah seni yang sama. Profesi akademisi yang terikat logika berpikir sistematik bukan halangan untuk berkarya di ranah puisi yang menonjolkan segi pembebasan diri.
 
Kodrat sastra Indonesia, lanjut Suminto, adalah sastra koran dan majalah yang menjadi media utama sosialisasi. Komunitas puisi sempat marak di Yogya dengan tradisi pengadilan puisi dari rumah ke rumah untuk saling menguliti dan mengkritik hingga 1980-an.
 
“Semangat oralitas puisi menjadi tidak sesemarak dulu. Penyair lebih memilih soliter dengan tersedianya aneka media teknologi untuk ekspresi seni,” tuturnya.
 
Kebebasan
 
Tiap kali menulis puisi, Suminto mencoba melepaskan teori yang dipelajarinya. “Teori hanya digunakan saat menjadi guru di kelas. Saya mencoba melupakan teori. Sebagai penyair akademisi, saya tak menonjolkan, tetapi menguasai teori,” tambahnya.
 
Sempat dua kali menjadi Dekan Fakultas Seni dan Budaya UNY, ia tak bisa melepaskan kekagumannya pada untaian puisi. Menulis puisi menjadi keseharian di sela mengajar dan menguji makalah disertasi di beberapa universitas di Semarang, Yogya, Solo, hingga Malang. Dari puisi pula ia memperoleh kebebasan untuk menjadi diri sendiri. Kegairahan inilah yang dia tularkan kepada para mahasiswa.
 
Kebebasan menjadi diri sendiri tak hanya ditunjukkan lewat antologi puisi. Di ruang laboratorium karawitan UNY, Suminto duduk berselonjor kaki. Ia memakai celana gunung coklat dan kemeja kotak-kotak.
 
Ia berkisah tentang sebait impian tentang pendidikan yang memerdekakan. “Profesi utama saya sebagai guru sastra, menulis puisi menjadi sisi lain kehidupan saya. Puisi memiliki energi membebaskan. Pendidikan juga harus memerdekakan karena ini proses pemberdayaan manusia,” katanya.
 
Suminto mengakui, semakin jarang penyair merangkap pengajar, apalagi guru besar di perguruan tinggi. Meski tak berniat menjadikan kepenyairannya sebagai profesi, ia ingin menjalani hidup sebagai guru sastra yang juga menulis sastra.
 
Menulis puisi, kata kakek dua cucu ini, sekaligus pembelajaran untuk menjadi orang Jawa. Budaya Jawa menjadi ciri utama dari karya puisinya. Ide dari semua puisi ditimba dari sumur inspirasi kebudayaan Jawa yang membesarkan sekaligus menjadi batu loncatan penciptaan puisinya.
 
Ia mencoba terus melestarikan puisi Jawa dalam bentuk geguritan. “Saya mencurigai pengalaman saya sendiri. Kenapa saya selalu lari ke budaya Jawa? Jangan-jangan ini proses pembelajaran bagi saya untuk menjadi orang Jawa,” ungkapnya.
 
Lahir di Purbalingga, Jawa Tengah, Suminto berupaya tak berpura-pura menjadi orang lain. Ia menorehkan puisi dengan bertolak dari pengalaman keseharian hidup. Ia menulis puisi sejak tahun 1974. Tak semua karyanya telah dipublikasi ke khalayak luas.
 
Baginya, puisi setelah lahir itu adalah yatim piatu. Siapa pun bebas mengeksplorasi karena puisi telah sepenuhnya menjadi milik publik.
 
Setiap dua bulan sekali puisi karyanya biasa dibacakan di Taman Budaya Yogyakarta, terutama oleh Komunitas Sarkem (UNY), Jaringan Anak Bahasa (Universitas Ahmad Dahlan), Sanggar Jepit (Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga), dan Studio Pertunjukan Sastra Yogyakarta. Selain menulis puisi, Suminto aktif menabuh gamelan Jawa. Ia juga menyiapkan kumpulan puisi berbahasa Indonesia dan berbahasa Jawa yang akan diterbitkan menjadi buku.
 
Suminto sempat menulis cerpen dan buku teks pembelajaran sastra. Namun, kepuasan utama tetap dia dapat dari puisi. Ini karena sejak masih di bangku SD ia menyukai puisi dan bergaul akrab dengan tembang Jawa.
 
Sebagai penabuh gamelan dalam rombongan pedalangan, kecintaan Suminto pada rangkaian kata terus terpupuk. Majalah yang memberi ruang bagi kebebasan berkesenian, seperti Panyebar Semangat, Joyo Boyo, dan Parikesit, makin menumbuhkan kekagumannya pada puisi.
 
Banyak orang bisa menulis puisi, tetapi hanya segelintir yang sanggup menjadi penyair. Karya penyair haruslah bisa dinikmati orang lain dan memberi sesuatu bagi pembacanya. Melalui puisi pula, ia mendapat energi baru dalam menjalani hidup yang membebaskan.
 
Data diri
Nama: Prof Dr Suminto A Sayuti
Lahir: Purbalingga, 26 Oktober 1956
Pekerjaan: Guru Besar Fakultas Bahasa dan Seni UNY
Istri: Suharti (52)
 
Anak:
– Bayu PH (30)
– Sekar PK (29)
– Sadewa PS (21)
 
Pendidikan:
– SD Sinduraja
– SMP N 2 Purbalingga
– SMA N 1 Purbalingga
– Sarjana Muda Pendidikan FKSS IKIP Yogyakarta
– Sarjana Pendidikan FPBS IKIP Yogyakarta
– S2 Pascasarjana IKIP Jakarta
– S3 Pascasarjana IKIP Jakarta
 
Karya antara lain:
– Kumpulan Sajak Malam Tamansari
– Resepsi Sastra
– Intertekstualitas: Pemandu Pengkajian Sastra
– Ensiklopedia Sastra Indonesia

http://sastra-indonesia.com/2009/12/suminto-a-sayuti-penyair-dan-guru-besar-nyeleneh/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.S. Dharta Abdul Hadi WM Abdul Wachid B.S. Abdullah Abubakar Batarfie Abdurrahman Wahid Achmad Faesol Achmad S Achmad Soeparno Yanto Adin Adrian Balu Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Sasongko Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Prasmono Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Mustofa Bisri Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat al-Kindi Alex R. Nainggolan Ali Ahsan Al Haris Ali Audah Ali Syariati Amien Kamil Amien Wangsitalaja Andhika Dinata Andi Neneng Nur Fauziah Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Andy Riza Hidayat Anindita S. Thayf Anton Kurniawan Anton Sudibyo Aprinus Salam Arafat Nur Arif Hidayat Arman A.Z. Arthur Rimbaud Asap Studio Asarpin Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Badaruddin Amir Bagja Hidayat Balada Bambang Riyanto Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Butet Kartaredjasa Cak Bono Catatan Cecil Mariani Cerbung Cerpen Chairil Anwar Charles Bukowski Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dahta Gautama Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Danarto Dara Nuzzul Ramadhan Dareen Tatour Darju Prasetya Darojat Gustian Syafaat Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Sartika Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dianing Widya Yudhistira Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Pitono Djoko Saryono Djoko Subinarto Doan Widhiandono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Klik Santosa Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erik Purnama Putra Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esti Nuryani Kasam Evan Ys Evi Idawati F Aziz Manna F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Firman Wally Fiyan Arjun Forum Penulis dan Pegiat Literasi Lamongan (FP2L) Franz Kafka Galih M. Rosyadi Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Garna Raditya Gendut Riyanto Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gurindam Gusti Eka H.B. Jassin Halim HD Hamdy Salad Hamka Hari Sulastri Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasbi Zainuddin Hasif Amini Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Hermawan Mappiwali Herry Lamongan Hikmat Gumelar HM. Nasruddin Anshoriy Ch Hudan Hidayat Humam S Chudori Ibnu Wahyudi Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Iksaka Banu Ilham Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Arlado Imron Tohari Indra Tjahyadi Indrawati Jauharotun Nafisah Indrian Koto Inung As Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Ismi Wahid Iva Titin Shovia Iwan Fals Iwan Kurniawan Jakob Oetama Janual Aidi JJ. Kusni Johan Fabricius John H. McGlynn Jordaidan Rizsyah Jual Buku Sastra K.H. A. Azis Masyhuri Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kahlil Gibran Kamajaya Al. Katuuk Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khatijah Khoirul Inayah Ki Dhalang Sulang Ki Ompong Sudarsono Kikin Kuswandi Kodirun Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Sastra Mangkubumen (KSM) Komunitas Teater Se-Lamongan Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kucing Oren Kurniawan Junaedhie Kurniawan Muhammad Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Larung Sastra Latief S. Nugraha lensasastra.id Leo Tolstoy Leon Agusta Linda Christanty Lutfi Mardiansyah M. Aan Mansyur M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Harir Muzakki M. Lutfi M. Shoim Anwar M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marniati Martin Aleida Mashuri Masuki M. Astro Matroni Muserang Mawar Kusuma Max Arifin Melani Budianta Mihar Harahap Mikael Johani Miziansyah J. Moch. Fathoni Arief Moh. Ghufron Cholid Mohammad Afifi Mohammad Rafi Azzamy Muhammad Hanif Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun AS Muhidin M. Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Murnierida Pram Myra Sidharta Nadia Cahyani Naim Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nessa Kartika Ni Made Purnama Sari Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Noor H. Dee Nurel Javissyarqi Nurul Fahmy Nurul Ilmi Elbana Nyoman Tusthi Eddy Ong Hok Ham Orasi Budaya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Pablo Neruda Pay Jarot Sujarwo PDS H.B. Jassin Pendidikan Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Bergerak Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin Qismatun Nihayah R Sutandya Yudha Khaidar R Toto Sugiharto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Rambuana Ramdhan Triyadi Bempah Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ricarda Huch Riezky Andhika Pradana Riki Dhamparan Putra Rizki Aprima Putra Rokhim Sarkadek Rony Agustinus Royyan Julian Rukardi Rumah Budaya Pantura Rumah Budaya Pantura (RBP) Ruth Indiah Rahayu S Yoga S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safitri Ningrum Sahaya Santayana Sahli Hamid Saini KM Sajak Salvator Yen Joenaidy Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setyaningsih Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosial Media Sastra Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sudarmoko Sudirman Sugeng Sulaksono Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunaryata Soemarjo Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susie Evidia Y Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka T Agus Khaidir T.A. Sakti Tangguh Pitoyo Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teater Pendopo nDalem Mangkubumen (Dokumen) Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tiya Hapitiawati Tiyasa Jati Pramono Toeti Heraty TS Pinang Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Usman Arrumy UU Hamidy Veronika Ninik Vika Wisnu W.S. Rendra Wahyu Triono Ks Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wilda Fizriyani Willy Ana Y Alpriyanti Y.B. Mangunwijaya Yanto le Honzo Yasin Susilo Yasir Amri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yulhasni Zehan Zareez Zuhdi Swt Zul Afrita