Sabtu, 05 Juni 2021

NASKAH MONOPLAY: BALADA LEDEK TAYUB

Karya: Agus R. Subagyo
 
SINOPSIS:
 
Seorang penari berusia paruh baya bernama Wgati Anandita. Pemilik sanggar tari warisan dari neneknya yang juga seorang penari. Tapi ibunya tak pernah mengijinkannya menjadi penari dan melarangnya sejak kecil.
 
ADEGAN
 
Di sanggar tari.
Musik mengalun.
Lampu menyala.
 
1.
Aku adalah seorang anak tunggal dari seorang penjual sayur. Aku hanya tinggal berdua dengan ibuku, karena ayahku meninggal saat aku masih kecil, dan ibuku tidak menikah lagi. Dari kecil, aku suka sekali menonton pagelaran tari, terutama tayub yang sering diadakan di desaku. Aku selalu mencuri waktu untuk menyaksikannya bersama teman-teman sebayaku. Karena ibuku selalu melarangnya. Ada aroma khas, setiap kali aku menyaksikan tayuban, dan pada saat itu aku tidak tahu aroma apa itu sebenarnya. Aroma yang hanya ada di acara tayuban. Yang baru aku tahu saat dewasa. Ternyata itu aroma minuman. Ya, aroma yang diminum oleh orang-orang dan tamu di hajatan yang nanggap tayub.
 
2.
Ibuku selalu saja bisa menemukanku di tempat tayuban… dan mengajakku pulang. Aku selalu menggerutu, karena masih ingin melihat. Tapi ibuku bersikukuh dan memaksaku pulang. Saat berjalan pulang… aku menirukan gerakan-gerakan tari tanpa sadar. Ibuku pasti geram dan pelototi aku. Aku selalu tersenyum, teringat peristiwa-peristiwa saat aku kecil dulu. Ternyata aku bandel sejak kecil…
 
3.
Saat aku kelas 5 SD, aku diajari tari oleh guruku, karena diikutkan lomba mewakili sekolah. Awalnya ibuku tidak mengijinkan. Tapi saat kepala sekolah datang ke rumah, ibuku akhirnya mengijinkan. Tiap hari latihannya di sanggar. Hasilnya jadi juara 1 dan maju ke tingkat provinsi. Mulai saat itu, aku ikut sanggar dan belajar tari sepulang sekolah. Aku tidak minta ijin ibu, karena aku tahu pasti tidak diijinkan.
 
4.
Suatu ketika saat aku kelas 1 SMA, ibuku pulang dari pasar dan melihatku latihan di sanggar. Ibuku memanggilku dan mengajakku pulang dan sampai rumah, ibuku memarahiku.
 
5.
(Ibu) Mulai besok kamu tidak boleh belajar tari! Aku menyekolahkanmu agar nanti bisa cari kerja, jadi pegawai atau guru, bukan jadi penari! Ibu tidak ingin kamu bernasib seperti nenekmu! Sekolah saja yang bener. Gak usah neko-neko belajar tari segala.”
 
6.
Setelah kejadian itu, aku mulai berbohong pada ibuku saat pulang telat karena latihan tari. Yang belajar kelompoklah. Yang ada kegiatan sekolahlah. Yang ke rumah temanlah. Kebohongan demi kebohongan mengalir begitu saja, saat aku ditanya sama ibuku.
 
7.
Entahlah! Sudah seberapa tinggi tumpukan kebohonganku pada ibuku. Sudah begitu banyak dosaku padamu, ibu. Sepulang sekolah aku selalu latihan tari dan selalu pulang sore. Setiap ditanya sama ibu, aku menjawab ada tugas kelompok. Ya, aku selalu berbohong pada ibu.
 
8.
Maafkan aku ibu. Aku telah berbohong padamu. Agar ibu tidak marah, agar ibu tidak khawatir. Aku berbohong, karena ingin belajar tari dan ingin menjadi penari. Mewujudkan cita-citaku, ibu.
 
9.
Ya… itu adalah cerita masa laluku. Aku memang bandel sejak kecil. Saat kelas 3 SMA, aku daftar beasiswa kuliah jurusan tari dan diterima. Tentu tanpa sepengetahuan ibuku. Saat tahu ibuku marah!
 
10.
(Ibu) Kuliah tari? Kamu kuliah jurusan lain saja. Jurusan ekonomi atau yang lainnya, biar jadi pegawai bank atau pegawai negeri. Jangan kuliah tari. Nanti aku carikan biayanya.
 
11.
Bu… aku dapatnya beasiswa tari bukan ekonomi. Bu… ijinkan aku wujudkan keinginan dan cita-citaku Bu. Ijinkanlah bu….
 
12.
(Ibu) Tidak! Kamu gak boleh kuliah tari. Kamu gak boleh jadi penari.
 
13.
(Eyang Putri Sepuh tiba-tiba berada di pintu). Sepertinya ada kabar bahagia. Tapi kenapa kemarahan yang menyambutnya? (jeda).
Tadi aku dengar Wigati dapat beasiswa tari.
 
14.
Iya Eyang… tapi ibu gak mengijinkan.
 
15.
(Eyang Putri Sepuh). Iya aku sudah dengar tadi… Nduk Cah Ayu, Ibumu butuh dibuka hatinya. Butuh dibuka pikirannya. Baik buruknya manusia itu ditentukan oleh dirinya masing-masing. Sudahlah. Ijinkan anakmu wujudkan cita-citanya jadi penari. Kamu tidak mengijinkan, berarti kamu tidak berusaha menjadi ibu yang baik. Orang tua itu tugasnya mengantarkan anak hidup di jamannya, hidup di dunianya, seperti yang dikatakan W.S. Rendra.
Orang tua tidak boleh menyeret anaknya untuk hidup di jamannya, apalagi dengan ketakutan-ketakutanmu. Biarkan anak menjalani hidupnya dan menjadi dirinya.
 
16.
(Eyang Putri Sepuh). Anak itu hanya titipan nduk… Aku tahu kamu membenci tayub… sebenarnya tayub itu bagus… Tayub itu dari Tayuh lan Guyub. Tayuh itu wujud terima kasih dan syukur pada semesta dan Tuhan, sedang Guyub itu dilaksanakan bersama-sama dengan keguyuban. Tayub itu adalah tari-tarian suka ria pesta panen, mengungkapkan rasa syukur setelah mendapatkan berkah panenan. Ya, aku tahu tayub sekarang memang sudah kebablasan. Semua tergantung orangnya masing-masing Nduk.
 
17.
(Ibu) Tapi Budhe…
 
18.
(Eyang Putri Sepuh). Sulastri Ibumu yang kamu maksud? Aku dan Sulastri adikku satu-satunya. Adalah penari. Tapi nasib Sulastri memang beda. Anggap itu semua sebagai ujian dari Yang Maha Kuasa. Perlu kamu tahu Darmi, Ibumu dulu waktu masih remaja punya keinginan dan cita-cita mendirikan sanggar tari. Tapi tidak bisa terwujud gara-gara musibah itu dan mengajakmu pindah kesini. Dan perlu kamu tahu Darmi, anakmu Wigati selama ini latihan tari di sanggar tari miliknya sendiri. Semua yang berkaitan dengan Sanggar Tari Sayekti atas nama WIGATI ANANDITA dan itu kamu nduk.
 
19.
(Eyang Putri Sepuh). Sekarang biarkan anakmu wedok mengasah ilmu untuk mengembangkan sanggar tarinya. Masalah biaya kuliah, anakmu sudah punya biayanya apalagi dapat beasiswa. Semuanya dari sanggar dan semua nanti aku yang atur.
 
20.
(Eyang Putri Sepuh). Ini mimpi yang terwujud jadi kenyataan. Bukankah kamu juga punya keinginan punya sanggar tari? Nah… nanti setelah kamu lulus kuliah, semua akan aku serahkan padamu. Lagian aku tidak memiliki keturunan.
 
21.
(Eyang Putri Sepuh). Wigati… Pesanku… Tetaplah jadi cucuku yang sederhana, rajin belajar dan tetaplah latihan seperti biasa di sanggar. (jeda).
Bagaimana Darmi? Masihkan kau dendam pada masa lalu? Masa lalu ibumu?
 
22.
(Sudarmi menahan tangis dan beranjak masuk kamar. Wigati dan Sarinah memandangi. Keluar kamar membawa sampur/selendang tari).
(Ibu) Maafkan aku nduk, anakku. Selama ini aku merahasiakannya. Selama ini aku tak melaksanakan pesan Mbah Putrimu untuk memberikan ini pada cucunya. Untuk memberikan ini padamu nduk. (jeda). Nduk, anakku. Maafkan ibu… selama ini ibu menyimpan dan tidak memberitahukan padamu. Aku menyimpannya dan tak memberikannya padamu, karena aku tak ingin kamu jadi penari. Sekarang terimalah dan wujudkan cita-citamu. Aku ijinkan kamu kuliah tari… aku ijinkan kamu jadi penari. Aku restui kau wujudkan cita-citamu nduk.
 
23.
Iya bu… terima kasih. Aku tidak pernah membenci ibu. Maafkan juga anakmu ini. Terima kasih ibu… terima kasih. Maafkan anakmu ini yang selalu bandel dan sering bohong sama ibu. Terima kasih bu… Aku berjanji akan membanggakan ibu.
 
24.
Terima kasih ibu. Kau adalah ibuku sekaligus pahlawanku.
 
LAMPU MATI (BLACK OUT)

TAMAT https://sastra-indonesia.com/2020/11/naskah-monoplay-balada-ledek-tayub/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.S. Dharta Abdul Hadi WM Abdul Wachid B.S. Abdullah Abubakar Batarfie Abdurrahman Wahid Achmad Faesol Achmad S Achmad Soeparno Yanto Adin Adrian Balu Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Sasongko Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Prasmono Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Mustofa Bisri Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat al-Kindi Alex R. Nainggolan Ali Ahsan Al Haris Ali Audah Ali Syariati Amien Kamil Amien Wangsitalaja Andhika Dinata Andi Neneng Nur Fauziah Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Andy Riza Hidayat Anindita S. Thayf Anton Kurniawan Anton Sudibyo Aprinus Salam Arafat Nur Arif Hidayat Arman A.Z. Arthur Rimbaud Asap Studio Asarpin Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Badaruddin Amir Bagja Hidayat Balada Bambang Riyanto Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Butet Kartaredjasa Cak Bono Catatan Cecil Mariani Cerbung Cerpen Chairil Anwar Charles Bukowski Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dahta Gautama Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Danarto Dara Nuzzul Ramadhan Dareen Tatour Darju Prasetya Darojat Gustian Syafaat Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Sartika Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dianing Widya Yudhistira Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Pitono Djoko Saryono Djoko Subinarto Doan Widhiandono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Klik Santosa Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erik Purnama Putra Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esti Nuryani Kasam Evan Ys Evi Idawati F Aziz Manna F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Firman Wally Fiyan Arjun Forum Penulis dan Pegiat Literasi Lamongan (FP2L) Franz Kafka Galih M. Rosyadi Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Garna Raditya Gendut Riyanto Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gurindam Gusti Eka H.B. Jassin Halim HD Hamdy Salad Hamka Hari Sulastri Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasbi Zainuddin Hasif Amini Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Hermawan Mappiwali Herry Lamongan Hikmat Gumelar HM. Nasruddin Anshoriy Ch Hudan Hidayat Humam S Chudori Ibnu Wahyudi Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Iksaka Banu Ilham Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Arlado Imron Tohari Indra Tjahyadi Indrawati Jauharotun Nafisah Indrian Koto Inung As Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Ismi Wahid Iva Titin Shovia Iwan Fals Iwan Kurniawan Jakob Oetama Janual Aidi JJ. Kusni Johan Fabricius John H. McGlynn Jordaidan Rizsyah Jual Buku Sastra K.H. A. Azis Masyhuri Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kahlil Gibran Kamajaya Al. Katuuk Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khatijah Khoirul Inayah Ki Dhalang Sulang Ki Ompong Sudarsono Kikin Kuswandi Kodirun Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Sastra Mangkubumen (KSM) Komunitas Teater Se-Lamongan Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kucing Oren Kurniawan Junaedhie Kurniawan Muhammad Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Larung Sastra Latief S. Nugraha lensasastra.id Leo Tolstoy Leon Agusta Linda Christanty Lutfi Mardiansyah M. Aan Mansyur M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Harir Muzakki M. Lutfi M. Shoim Anwar M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marniati Martin Aleida Mashuri Masuki M. Astro Matroni Muserang Mawar Kusuma Max Arifin Melani Budianta Mihar Harahap Mikael Johani Miziansyah J. Moch. Fathoni Arief Moh. Ghufron Cholid Mohammad Afifi Mohammad Rafi Azzamy Muhammad Hanif Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun AS Muhidin M. Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Murnierida Pram Myra Sidharta Nadia Cahyani Naim Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nessa Kartika Ni Made Purnama Sari Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Noor H. Dee Nurel Javissyarqi Nurul Fahmy Nurul Ilmi Elbana Nyoman Tusthi Eddy Ong Hok Ham Orasi Budaya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Pablo Neruda Pay Jarot Sujarwo PDS H.B. Jassin Pendidikan Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Bergerak Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin Qismatun Nihayah R Sutandya Yudha Khaidar R Toto Sugiharto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Rambuana Ramdhan Triyadi Bempah Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ricarda Huch Riezky Andhika Pradana Riki Dhamparan Putra Rizki Aprima Putra Rokhim Sarkadek Rony Agustinus Royyan Julian Rukardi Rumah Budaya Pantura Rumah Budaya Pantura (RBP) Ruth Indiah Rahayu S Yoga S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safitri Ningrum Sahaya Santayana Sahli Hamid Saini KM Sajak Salvator Yen Joenaidy Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setyaningsih Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosial Media Sastra Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sudarmoko Sudirman Sugeng Sulaksono Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunaryata Soemarjo Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susie Evidia Y Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka T Agus Khaidir T.A. Sakti Tangguh Pitoyo Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teater Pendopo nDalem Mangkubumen (Dokumen) Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tiya Hapitiawati Tiyasa Jati Pramono Toeti Heraty TS Pinang Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Usman Arrumy UU Hamidy Veronika Ninik Vika Wisnu W.S. Rendra Wahyu Triono Ks Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wilda Fizriyani Willy Ana Y Alpriyanti Y.B. Mangunwijaya Yanto le Honzo Yasin Susilo Yasir Amri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yulhasni Zehan Zareez Zuhdi Swt Zul Afrita