Sabtu, 05 Juni 2021

Dari Festival Penyair Korea-ASEAN II: Suara Asia yang Tersembunyi

Taufik Ikram Jamil *
Riau Pos, 27 Nov 2011
 
HUJAN puisi di Riau, mungkin tidak berlebihan dikatakan untuk menunjukkan begitu banyaknya karya sastra tersebut ditampilkan di provinsi ini dalam hanya beberapa hari di tengah musim hujan yang awal. Tak hanya dalam bahasa Indonesia/ Melayu, hampir 400 puisi ditulis dalam bahasa Korea, Myanmar, Vietnam, Thailand, Tagalog, tentu juga bahasa Inggris. Dibaca sendiri oleh sekitar 70 penyair dari berbagai negara ASEAN dan Korea Selatan (Korsel) pada waktu pagi sampai tengah malam —selalu pula diiringi hujan—aksara yang ditampilkan juga beragam sesuai bahasa ibu penyair. Ini masih ditambah dengan hadirnya tiga buku sajak yang dikemas mewah masing-masing lebih dari 450 halaman.
 
Kesemuanya itu dibungkus dengan nama KAPLF II (Korea-ASEAN Poets Literature Festival) yang selain dilaksanakan di Pekanbaru, juga diadakan pada dua kabupaten di Riau lainnya yakni Siak dan Kampar, 25-29 Oktober lalu —semuanya atas naungan Yayasan Sagang. Acara serupa pertama kali dilakukan di Seoul tahun 2010, dari Indonesia diwakili Nirwan Dewanto dan Rida K Liamsi. Direncanakan, Brunei Darussalam akan menjadi tuan rumah KAPLF III tahun 2012. Pada tahun ini, KAPLF yang bernuansa Melayu juga diwarnai dengan perjanjian kesepakatan kerja sama antara majalah sastra Sipyung (Korsel) dengan Majalah Seni Budaya Sagang (Riau, Indonesia).
 
Bayangkan saja, belum lagi acara dibuka secara resmi oleh Gubernur Riau Dr (HC) HM Rusli Zainal MP, Rabu (25/10), beberapa penyair sudah membacakan sajak mereka di Universitas Lancang Kuning. Malam pembukaan itu pula, seperti menjadi pawai penyair Korea-ASEAN karena pembacaan sajak baru berakhir pukul 23.30 dengan kemunculan Sutardji Calzoum Bachri sebagai pemuncak.
 
Besoknya, pagi-pagi lagi mereka sudah berangkat ke Siak Sri Indrapura —membaca sajak di Istana Kerajaan Siak yang seolah-olah mewakili suatu masa kejayaan Melayu-Islam abad ke-19. Menjelang malam, mereka sudah tampil pula di sebuah restoran Melayu sambil santap malam. Lalu seperti sebelumnya, giliran peserta KAPLF berangkat ke Kampar, tepatnya membaca sajak di Candi Muaratakus yang diperkirakan dibangun abad ke-7 sebagai jejak awal kehadiran agama Budha di tanah Melayu. Di lain waktu, mereka juga menyaksikan orkestra Melayu, pembacaan sastra (baca: tradisi) lisan masyarakat Riau pedalaman di kediaman budayawan Dr (HC) Tennas Effendi.
***
 
TIDAK seperti acara sastra sebelumnya yang kadang-kadang lebih sebagai arena pengamat sastra sebagaimana yang sempat diamati selama ini, kegiatan-kegiatan di dalam KAPLF II, memang terasa berbeda. Para penyairlah yang menjadi bintang; membacakan karya-karya mereka pada setiap kesempatan dan memperkatakan apa yang sedang mereka geluti. Mereka jugalah yang menjadi peserta kolokium dan penonton pembacaan sajak sekaligus. Kalaupun ada penonton lain, hal itu seperti terjadi dengan sendirinya karena tanpa undangan, apalagi “pengerahan massa”.
 
Peserta memang tergolong cukup tekun dengan kepanyairan. Dari Indonesia, antara lain terlihat Zaim Rofiqi, Marhalim Zaini, Hasan Aspahani, Raudal Tanjung Banua, Aan Mansyur, Gunawan Maryanto, Dimas Arika Mihardja, dan Nurhayat Arif Permana. Peserta dari negara lain pun tak kepalang tanggung. Sebutlah semacam Isa Kamari (Singapura), Marsli NO (Malaysia), Abdul Rakib (Thailand), Do Thi Khanh Phuong (Vietnam), Michael M.Coroza (Filipina), Hashim Hamid (Brunei Darussalam), Maung Pyiyt Min (Myanmar), Ko Hyeong Ryeol (Korsel). Diinapkan di hotel berbintang lima, peserta terbanyak memang dari Indonesia yakni 19 orang, disusul Korsel 10 orang, sedangkan negara lain berjumlah 1-3 orang.
 
Tak ada kesimpulan karena memang tidak ada kesepakatan kreatif yang dapat dibuat kecuali bagaimana agar tetap berkarya. Tapi seperti yang dapat diduga, wilayah hati masih menjadi “taruhan” dalam helat ini. Perbedaan memang masih amat kentara terutama pada daya ucap masing-masing penyair. Seperti yang disebut Michael M Coroza (Filipina), penyair Indonesia misalnya, lebih ekspresif dan lugas mengungkapkan sesuatu, tidak sebagaimana penyair dari negara lain.
 
Bau darah, rintihan ketidakadilan, terasing, dan tragedi manusia, amat kentara pada sajak-sajak yang ditampilkan dalam KAPLF II. Fikar W Eda misalnya, melaungkan Aceh yang berdarah dengan rencongnya, tetapi Dimas Arika Mihardja menyulamnya dalam peristiwa tsunami di serambi Mekah yang pilu itu sebagaimana juga dilakukan Hasyuda Abadi (Malaysia). Tapi tak sedikit pula percikan perenungan yang kadang-kadang tidak terduga. Dalam sajak Kim Tae Hyung (Korsel) dengan latar belakang Siberia berjudul Diaspora misalnya disebutkan : Sebab aku sepi/ Karena aku tak bisa sendirian/ Sebab aku menderita/ Karena aku tak sempat rindu padamu.
***
 
MUNGKIN banyak yang diharapkan dari sajak-sajak KAPLF II tersebut. Selintas adalah wajar, lewat sajak mau juga ditangkap gegap gempita bagaimana manusia Korsel menjulang teknologi sehingga disegani di dunia, bahkan menjadi idola baru bagi remaja Indonesia lewat film dan musiknya terkini. Mungkin juga mau didengar suara bagaimana Vietnam bangkit setelah sekian tahun luluh-lantak, tapi hanya dalam waktu terbilang pendek masih mampu mengimbangi negara jirannya dalam beberapa hal termasuk Indonesia. Warga Singapura yang harus keluar negeri untuk melihat wujud sebuah kampung misalnya, mungkin bukan sebagai sesuatu yang biasa bagi kebanyakan orang di negara peserta KAPLF.
 
Barangkali pula, demikianlah cara Asia melampiaskan perasaannya yakni dengan sedikit menggeserkan perhatian dari suatu obyek yang sedang dihadapi, sehingga suaranya terkesan tersembunyi. Tapi bagaimanapun, suara tersebut sudah dilaungkan melalui KAPLF. Dan untuk sampai ke tahap ini pula, telah menelan waktu yang tidak pendek—tentu saja dengan sekian banyak suka dan dukanya. Setidak-tidaknya, KAPLF merupakan salah satu telor yang muncul dibenak Ko Hyeong Ryeol setelah pulang ke Korsel dari pertemuan penyair di Jepang tahun 1960-an.
 
Baru eksis tahun 2000, ia mendirikan suatu komunitas yang dinamakan The Poet Society of Asia (TPSA), sekaligus menjadi presidennya. Dengan lembaga itu, penyair dengan puluhan penghargaan dari Korsel tersebut, telah memperkenalkan sekitar 300 orang penyair Asia kepada pembaca Korsel lewat Majalah Sastra Sipyung. Tercatat tujuh kali pula kegiatan sastra dengan melibatkan penyair Asia dilakukannya.
 
“Asia adalah satu dan sekaligus tidak satu. Asia adalah kehidupan sekaligus pekuburan,” kata Ryeol. Ia kemudian mengatakan, “Benua Asia adalah tempat rahasia Timur, dari sanalah setiap pagi dimulai. Dunia bahasa leluhur yang bijaksana masih berada nun jauh di sana dan terlalu tinggi bagi kita. Kita semua mengalami sejarah penjajahan yang sama,” tuturnya, sambil menjelaskan penjajahan di Korsel, malahan tragedi bernegara sampai tahun 70-an.
 
Tentu saja, persoalannya tidak hanya sampai di situ karena Asia menghadapi masa depan yang menarik. Sebagaimana banyak disebut, abad ke-21 ini adalah abad Asia-Pasifik dengan titik porosnya di ASEAN dan Asia Timur termasuk Korsel. Dalam kancah ini, Korsel sudah jauh lebih maju dibandingkan negara ASEAN, malahan mampu menempatkan diri sebagai delapan besar negara pengekspor di dunia. Bandingkan penduduk ASEAN yang mencapai 300 juta jiwa —tentu saja sasaran empuk pasar— dengan Korsel yang hanya sekitar 50 juta jiwa. Lalu mana Cina, India, dan Jepang dalam komunitas KAPLF ini —mereka tentu masih di Asia yang memiliki kearifan terbilang, kan?
 
Bagaimanapun, terlalu naïf kalau ucapan Ryeol dengan latar belakang Asia pada tahun-tahun mendatang di atas, mengingatkan orang pada slogan Jepang yang ingin mengibarkankan bendera Asia Raya di kawasan Asean sekarang ini dan menempatkan dirinya sebagai saudara tua tahun 1940-an. Lha, sekarang kan puisi, bukan senjata seperti tahun 40-an… Wallahualam bissawab.
***

*) Taufik Ikram Jamil, sastrawan kelahiran Teluk Belitung, Bengkalis, Riau, 19 September 1963. Namanya dikenal luas melalui karya-karyanya berupa naskah drama, novel, dan cerita pendek yang dipublikasikan di berbagai media massa. Taufik merupakan salah satu penerima Anugerah Sagang, 1997. Pendidikan dasar dan menengahnya ditempuh di Bengkalis. Kuliah di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Riau, lulus 1987. Dia juga menekuni profesi sebagai wartawan di harian Kompas, 1988. Taufik merupakan pendiri Yayasan Membaca Pusaka Riau yang bergerak di bidang kesenian, kebudayaan, dan penerbitan, 1999. Tahun 2002, dia berhenti dari harian Kompas untuk mencurahkan pikiran dan ide-ide kreatif demi kemajuan seni. Di tahun itu juga, mendirikan dan mengetuai Akademi Kesenian Melayu Riau (AKMR) di Pekanbaru, satu-satunya akademi kesenian di Sumatra. Kiprahnya di dunia seni kian mantap ketika diangkat menjadi Ketua Umum Dewan Kesenian Riau (DKR) periode 2002-2007. Dalam dunia kesusasteraan, Taufik banyak menghasilkan karya yang telah dimuat dalam berbagai media cetak seperti Riau Pos, Kompas, Berita Buana, Republika, Suara Pembaruan, Kartini, Horison, Kalam dan Ulumul Qur’an. Kumpulan puisinya yang pertama diterbitkan Tersebab Haku Melayu, kemudian menyusul kumpulan cerita pendek Sandiwara Hang Tuah, Membaca Hang Jebat, dan roman Gelombang Sunyi. http://sastra-indonesia.com/2011/12/dari-festival-penyair-korea-asean-ii-suara-asia-yang-tersembunyi/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.S. Dharta Abdul Hadi WM Abdul Wachid B.S. Abdullah Abubakar Batarfie Abdurrahman Wahid Achmad Faesol Achmad S Achmad Soeparno Yanto Adin Adrian Balu Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Sasongko Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Prasmono Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Mustofa Bisri Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat al-Kindi Alex R. Nainggolan Ali Ahsan Al Haris Ali Audah Ali Syariati Amien Kamil Amien Wangsitalaja Andhika Dinata Andi Neneng Nur Fauziah Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Andy Riza Hidayat Anindita S. Thayf Anton Kurniawan Anton Sudibyo Aprinus Salam Arafat Nur Arif Hidayat Arman A.Z. Arthur Rimbaud Asap Studio Asarpin Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Badaruddin Amir Bagja Hidayat Balada Bambang Riyanto Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Butet Kartaredjasa Cak Bono Catatan Cecil Mariani Cerbung Cerpen Chairil Anwar Charles Bukowski Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dahta Gautama Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Danarto Dara Nuzzul Ramadhan Dareen Tatour Darju Prasetya Darojat Gustian Syafaat Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Sartika Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dianing Widya Yudhistira Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Pitono Djoko Saryono Djoko Subinarto Doan Widhiandono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Klik Santosa Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erik Purnama Putra Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esti Nuryani Kasam Evan Ys Evi Idawati F Aziz Manna F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Firman Wally Fiyan Arjun Forum Penulis dan Pegiat Literasi Lamongan (FP2L) Franz Kafka Galih M. Rosyadi Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Garna Raditya Gendut Riyanto Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gurindam Gusti Eka H.B. Jassin Halim HD Hamdy Salad Hamka Hari Sulastri Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasbi Zainuddin Hasif Amini Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Hermawan Mappiwali Herry Lamongan Hikmat Gumelar HM. Nasruddin Anshoriy Ch Hudan Hidayat Humam S Chudori Ibnu Wahyudi Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Iksaka Banu Ilham Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Arlado Imron Tohari Indra Tjahyadi Indrawati Jauharotun Nafisah Indrian Koto Inung As Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Ismi Wahid Iva Titin Shovia Iwan Fals Iwan Kurniawan Jakob Oetama Janual Aidi JJ. Kusni Johan Fabricius John H. McGlynn Jordaidan Rizsyah Jual Buku Sastra K.H. A. Azis Masyhuri Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kahlil Gibran Kamajaya Al. Katuuk Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khatijah Khoirul Inayah Ki Dhalang Sulang Ki Ompong Sudarsono Kikin Kuswandi Kodirun Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Sastra Mangkubumen (KSM) Komunitas Teater Se-Lamongan Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kucing Oren Kurniawan Junaedhie Kurniawan Muhammad Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Larung Sastra Latief S. Nugraha lensasastra.id Leo Tolstoy Leon Agusta Linda Christanty Lutfi Mardiansyah M. Aan Mansyur M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Harir Muzakki M. Lutfi M. Shoim Anwar M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marniati Martin Aleida Mashuri Masuki M. Astro Matroni Muserang Mawar Kusuma Max Arifin Melani Budianta Mihar Harahap Mikael Johani Miziansyah J. Moch. Fathoni Arief Moh. Ghufron Cholid Mohammad Afifi Mohammad Rafi Azzamy Muhammad Hanif Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun AS Muhidin M. Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Murnierida Pram Myra Sidharta Nadia Cahyani Naim Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nessa Kartika Ni Made Purnama Sari Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Noor H. Dee Nurel Javissyarqi Nurul Fahmy Nurul Ilmi Elbana Nyoman Tusthi Eddy Ong Hok Ham Orasi Budaya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Pablo Neruda Pay Jarot Sujarwo PDS H.B. Jassin Pendidikan Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Bergerak Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin Qismatun Nihayah R Sutandya Yudha Khaidar R Toto Sugiharto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Rambuana Ramdhan Triyadi Bempah Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ricarda Huch Riezky Andhika Pradana Riki Dhamparan Putra Rizki Aprima Putra Rokhim Sarkadek Rony Agustinus Royyan Julian Rukardi Rumah Budaya Pantura Rumah Budaya Pantura (RBP) Ruth Indiah Rahayu S Yoga S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safitri Ningrum Sahaya Santayana Sahli Hamid Saini KM Sajak Salvator Yen Joenaidy Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setyaningsih Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosial Media Sastra Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sudarmoko Sudirman Sugeng Sulaksono Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunaryata Soemarjo Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susie Evidia Y Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka T Agus Khaidir T.A. Sakti Tangguh Pitoyo Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teater Pendopo nDalem Mangkubumen (Dokumen) Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tiya Hapitiawati Tiyasa Jati Pramono Toeti Heraty TS Pinang Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Usman Arrumy UU Hamidy Veronika Ninik Vika Wisnu W.S. Rendra Wahyu Triono Ks Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wilda Fizriyani Willy Ana Y Alpriyanti Y.B. Mangunwijaya Yanto le Honzo Yasin Susilo Yasir Amri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yulhasni Zehan Zareez Zuhdi Swt Zul Afrita