Genre berasal dari bahasa Latin genus, generis, yang berarti "jenis”. Ini istilah Prancis yang menunjuk pada bentuk atau jenis sastra, yaitu karya sastra yang dapat diklasifikasikan menurut jenisnya. Dalam sastra kita sudah mengenal ada genre prosa, genre puisi dan genre drama. Taksonomi genre ini dapat disebut sebagai genre utama sastra, karena di dalamnya masih ada lagi sub-sub genre seperti dalam genre prosa dikenal ada genre roman/novel dan genre cerpen, dalam genre puisi dikenal ada sub genre puisi epik dan sub genre puisi lirik dan sebagainya, dan dalam genre drama juga dikenal ada sub genre Opera, Melodrama, Farce, Tablo, Sendratari dan pantomom. Demikianlah sehingga pengertian genre sastra sering dipersamakan saja dengan jenis-jenis karya sastra.
Menurut Teeuw yang pertama memperkenalkan istilah genre adalah Aristoteles. Ia membagi sastra berdasarkan ragam perwujudannya yaitu epik, lirik, dan drama (Teeuw, 1984: 109). “Epik adalah teks yang sebagian berisi deskripsi (paparan kisah), dan sebagian lainnya berisi ujaran tokoh (cakapan). Epik ini biasa disebut prosa. Lirik adalah ungkapan ide atau perasaan pengarang. Dalam hal ini yang berbicara adalah 'aku' lirik, yang biasa disebut penyair. Lirik inilah yang sekarang dikenal sebagai puisi atau sajak, yakni karya sastra yang berisi ekspresi (curahan) perasaan pribadi yang lebih mengutamakan cara mengekpresikannya. Drama adalah karya sastra yang didominasi oleh cakapan para tokoh. Kriteria drama yang membedakan dengan 2 jenis karya sastra lainnya adalah hubungan manusia dengan dunia ruang dan waktu.”
Pembagian genre sastra ini semata-mata berdasarkan perbedaan bentuk fisik karya sastra saja, bukan substansinya. Meski demikian batasan pembagian tersebut semakin kabur juga sehingga kadang-kadang kita pun menyebut genre romantisi, genre simbolik, genre mistisis, dan genre surealis yang sesungguhnya lebih tepat disebut sebagai “aliran”.
Surat-Surat Sastra sebagai Satu “Genre” yang Hilang
Kendati “surat-surat sastra” yang dikirim oleh seorang sastrawan kepada sastrawan lain temannya, belum boleh disebut sebagai sebuah genre sastra, atau sub genre sastra, sebagaimana “puisi esai” masih menjadi perdebatan untuk penamaannya, namun dengan tanda petik marilah kita memahami bahwa “Surat-surat sastrawan” ini adalah satu jenis karya sastra juga. Perbedaan kemunculannya dengan “puisi esei” adalah – “puisi esei” dulunya tidak dikenal dan sekarang ini mulai diperkenalkan sebagai sebuah “genre baru” dalam sastra. Sedangkan “Surat-surat sastra” sudah dikenal dari dulu meski bukan sebagai sebuah genre, namun sekarang ini mulai hilang secara pelan-pelan seiring dengan kehadiran HP dan alat komunikasi canggih lainnya sudah tergenggam di tangan para sastrawan kita.
Dulu di jaman sastrawan senior kita seperti HB. Jassin, Asrul Sani, Ajip Rosidi, Iwan Simatupang dan lain-lain masih aktif menulis, mereka sering berkomunikasi dengan teman-temannya melalui surat. Surat-menyurat menjadi kegiatan yang tak terpisahkan dari proses kreatif mereka. Bahkan surat bukan lagi sekadar bermuatan informasi praktis yang akan disampaikan kepada teman-temannya, tapi juga menjadi media tempat menuangkan gagasan, pikiran-pikiran, prasaan, apresiasi dan juga media untuk menyalurkan aspirasi politik mereka, baik kepada kawan maupun kepada lawan politiknya. Surat-surat di tangan mereka pada akhirnya menjadi salah satu jenis karya sastra tersendiri. Demikianlah kita bisa membaca surat-surat para sastrawan kita –dan kembali menikmati kadar kesastraannya—melalui kumpulan surat-surat mereka yang telah diterbitkan menjadi buku seperti “Surat-Surat Jassin” (HB. Jassin), “Surat-Surat Kepercayaan” (Asrul Sani), “Dia yang Datang Telanjang” (Ajip Rosidi), “Surat-Surat Politik Iwan Simatupang” (Iwan Simatupang) dan yang sangat terkenal “Habis Gelap Terbitlah Terang” (RA. Kartini). Surat-surat tersebut ditulis para sastrawan kita di jaman sebelum adanya HP dan sejenisnya.
Sekarang ini bersurat-surat seperti itu jarang lagi dilakukan oleh para sastrawan muda kita sejak adanya HP sebagai media komunikasi paling praktis. Apa lagi di era internet dengan berbagai pasilitas informasi dan komunikasi yang lebih canggil lagi seperti facebook. Dengan kehadiran media-media sosial ini rasanya bersurat-surat secara manual dengan menggunakan kertas dan jasa POS sudah dianggap sebagai kegiatan yang ketinggalan jaman. Tapi dengan hilangnya surat-surat ini sangat terasa sekali bahwa ada satu “genre” sastra kita yang hilang. Itulah “genre” sastra surat yang ternyata bisa dibukukan menjadi sebuah buku tebal dan bermanfaat baik karena nilai sastra maupun karena nilai sejarahnya.
Kita yang telah berusia 50-an termasuk generasi terakhir yang masih menggunakan surat-surat untuk berhubungan dengan teman-teman sastrawan lain –yang kemudian harus “menyerah” pula ketika media komunikasi yang lebih canggih itu datang menyantroni kehidupan kita sampai ke desa-desa. Dulu saya sangat menikmati betapa asyiknya bersurat-surat dengan teman-teman yang ada di Sumatra, di Jakarta, di Jogja, di Bali, di Parepare, di Kendari. Kadang-kadang juga berani menyurat ke sastrawan senior seperti Ajip Rosidi yang waktu itu berada di Osaka. Tapi sekarang ini kenikmatan tersebut hilang karena telah tergantikan oleh SMS, WA, email dan inbox dan lain-lain. Jaman narasi surat-surat telah hilang tergantikan jaman short massage service.
Entah karena itu pula lah saat ini kita tidak pernah lagi mendengar adanya kumpulan surat-surat yang terbit dalam bentuk buku, dan sekarang sudah mulai ada penerbitan buku kumpulan status yang pernah dimuat di media sosial facebook. Tapi bedanya seperti langit dan bumi.
***
*) BADARUDDIN AMIR lahir di Barru, Sulawesi Selatan, 4 Mei 1962. Pendidikan S1 diselesaikannya di FPBS IKIP Ujung Pandang tahun 1999, sedang Program Studi Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dirampungkannya di Unimuh Makassar tahun 2010. Sejak 1981 mengabdi sebagai guru bahasa dan sastra Indonesia di beberapa SMP Kabupaten Barru, dan sejak 2013 dipercaya sebagai Kepala SMP Negeri di salah satu SMP di Kabupaten Barru. Tahun 2017 diangkat sebagai Pengawas SMP Dinas Pendidikan Kabupaten Barru. Di samping itu sebagai wartawan dan Kepala Biro Majalah Dunia Pendidikan Dinas Pendidikan Propinsi Sulawesi Selatan, dan pernah menjadi wartawan di beberapa mingguan yang terbit di Makassar dan tabloid yang terbit di Kalimantan. Blognya https://badaruddinamir.wordpress.com/
http://sastra-indonesia.com/2021/04/genre-sastra-yang-hilang/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar