Rabu, 24 Maret 2021

Penyair Lampung dan Kritikus Sastra

Anton Kurniawan *
Lampung Post, 22 Juli 2007
 
"Lampung kini dikenal sebagai daerah produsen penyair, hal ini disebabkan banyaknya penyair yang lahir di daerah ini beberapa tahun belakangan. Saya mencatat lebih dari 20 penyair. Dalam puisi Lampung kontemporer yang umumnya berbentuk prosa, akulirik tidak lagi mengacu pada penulis cerita, tapi mengacu kepada cerita itu sendiri. Dan yang lebih berat lagi bagaimana bertahan dalam ketegangan antara prosa dan puisi yang memakai bayang-bayang cerita".
 
Pernyataan ini disampaikan "Begawan Sastra Lampung" (saya menyebutnya demikian) Iswadi Pratama, Jumat (13-7), di Unila, yakni pada sesi dialog usai pembacaan puisi oleh Isbedy Stiawan Z.S., Edi Samudera Kertagama, Syaiful Irba Tanpaka, Inggit Putria Marga, dan Lupita Lukman dalam acara Panggung Penyair Lampung yang bertajuk Puisi Lampung Kontemporer, Mau ke mana? Menurut Iswadi, puisi-puisi penyair Lampung yang lahir pada generasi mutakhir berbeda dibanding dengan puisi-puisi dari generasi sebelumnya serta memiliki keragaman baik dari gaya maupun tema.
 
Merenungkan ungkapan Sang Begawan Sastra tersebut, saya teringat sebuah acara yang digelar Harian Umum Lampung Post yang konon diberi judul Temu Penyair Lampung. Dalam acara yang dihadiri Jamal D. Rahman, Isbedy Stiawan Z.S., Iswadi Pratama, Edi Efendi, Ari Pahala Hutabarat, dan beberapa penyair Lampung lain, seniman yang juga Pemimpin Redaksi Harian Media Indonesia, Djadjat Sudradjat mengatakan, "Tak ada lagi yang bisa dibanggakan provinsi ini yang tingkat kehidupan sosial masyarakatnya tidak menentu dan tingkat kriminalnya sangat tinggi. Beruntung daerah ini masih memiliki penyair dan seniman-seniman yang terus melahirkan karya".
 
Kenyataan ini patut membuat kita bangga karena dengan banyaknya sastrawan (penyair) dan banyaknya karya yang mereka lahirkan membuat kondisi kesusastraan di tanah ini dapat terjaga. Meminjam istilah George Lukas dalam hubungan sebab akibat, sebuah karya sastra dapat berperan sebagai refleksi atau pantulan kembali dari situasi masyarakatnya, baik dengan menjadi semacam salinan atau kopi suatu struktur masyarakat maupun menjadi tiruan atau mimesis masyarakatnya.
 
Sayang, kelahiran para penyair dan sastrawan tersebut tidak dibarengi lahirnya para pengamat sastra yang mampu memberikan kritik dan saran secara terbuka terhadap setiap karya yang dilahirkan. Kalaupun ada kritik dan saran, itu dari mereka yang juga berproses melahirkan karya, sehingga sangat sulit memberikan kritik yang sesungguhnya yang pada akhirnya setiap karya sastra yang menetas hanya disambut puji-pujian. Akibatnya, karya-karya yang lahir tak dapat diketahui secara jelas kualitasnya; baik atau buruk.
 
Selain itu yang lebih penting lagi, perkembangan sastra sebenarnya tak dapat dipisahkan dari "persaingan" sastrawan yang melahirkan karya dengan para kritikus sastra, meskipun menurut Ignas Kleden dalam pengantar bukunya Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan, terkadang penulis kreatif merasa keberatan karena kajian analitis tentang sebuah karya telah mengubah sebuah karya yang hidup menjadi mayat yang dipotong-potong untuk memahami anatomi dan fisiologi karya tersebut.
 
Dalam hal ini para sastrawan kreatif merasa para kritikus sastra hanya berusaha memahami hubungan-hubungan fisik, tapi kebutuhan dalam tubuh itu telah lepas dari suatu keseluruhan yang telah dibongkar-bongkar karena itu tidak tertangkap lagi dalam pengamatan.
 
Namun, hal tersebut bukanlah masalah jika seorang kritikus mampu meluangkan waktu untuk memebaca buku tersebut secara keseluruhan, lalu dengan ikhlas membiarkan dirinya dipengaruhi dan diresapi buku tersebut (Goethe, 1749--1832).
 
Pentingnya peran kritikus sastra untuk memberi penilaian dalam proses lahirnya sebuah karya yang baik tak dapat kita sangkal, hal ini disebabkan penulis kreatif memiliki keterbatasan (baca tidak mampu) bersikap adil untuk mengkritik karya rekannya sesama penulis kreatif.
 
Friedrich Schlegel pernah menulis, "Siapa gerangan yang lebih gagap untuk menilai sebuah puisi daripada seorang penyair?". Alasannya setiap penyair menghayati suatu konsep kesenian dan dengan demikian tercekam gagasan sendiri, sehingga sering tidak sangggup berlaku adil terhadap penyair lain.
 
Terkait kritik terhadap sebuah karya sastra, Gotthold Epraim Lessing mengatakan seorang pengarang yang karyanya dibicarakan lebih baik mendapat celaan yang pantas daripada pujian yang tidak layak diberikan padanya, apalagi jika orang yang memberi pujian tidak memiliki sesuatu yang dapat diberikan selain puji-pujian. Menurut perintis kritik sastra Jerman ini, kritik terhadap sebuah karya harus berani menguraikan dan menganalisis karena yang umum hanya terdapat dalam yang khusus dan hanya dapat divisualisasikan dalam yang partikular.
 
Sementara itu, S. Sinansari Ecip dalam esainya "Perlukah Kritik Atas Karya Sastra" mengatakan para spesialis kritik menghasilkan karya kritik sastra. Mereka mengenal teori-teori sastra, lalu dengan perantinya tersebut kritikus mengupas karya sastra agar karya sastra tersebut tersaji di piring dan siap dihidangkan bak buah mangga yang siap ditusuk garpu.
 
Peran ini, bahwa kritikus sastra merupakan opinion leader haruslah dipahami benar semua pihak, utamanya oleh kritikus sendiri.
 
Jadi jelas peran kritikus sastra sebenarnya sangat penting seiring lahir dan tumbuh kembangnya sastra itu sendiri, sehingga sebuah karya sastra yang disajikan kepada masyarakat benar-benar bermanfaat bagi masyarakat pembacanya, meskipun sebenarnya karya sastra yang baik akan tersaji dengan baik tanpa diantarkan kritik.
 
Pertanyaannya, dalam kondisi seperti ini apakah kritik masih diperlukan? Kritik tetap diperlukan untuk kajian yang lebih dalam untuk pemahaman bagi orang awam dan untuk krtitikus senidiri. Selain itu, pengkajian tentang sebuah karya sastra tidaklah dilarang bahkan dianjurkan kalau tidak boleh disebut diharuskan oleh disiplin keilmuan, tapi harus menggunakan metodologi yang tepat dan penghayatan yang kreatif.
 
Mengaca pada kenyataan betapa penting peran kritikus sastra dalam perkembangan kesusastraan, mengapa hingga hari ini Lampung tidak memiliki seorang yang benar-benar memosisikan diri sebagai kritikus sastra?
 
Lalu pasal apa yang membuat kita seperti tak mampu melahirkan seorang kritikus sastra, padahal provinsi ini memiliki Universitas Lampung dan sekolah tinggi lain yang memiliki jurusan bahasa dan seni yang setiap tahun mewisuda puluhan sarjana. Apakah dari sekian banyak akademisi (dosen) bahasa dan sastra yang secara intens bergelut dengan sastra dan telah pula "memahaminya" secara teoretis, tak berani (atau barangkali tidak mampu) mengikhlaskan diri mendapat predikat sebagai kritikus sastra. Mengapa?
 
Ataukah media massa, khususnya media lokal, enggan menginformasikan kepada masyarakat pembaca tentang sebuah karya sastra yang mendapat kritikan. Atau mungkin para penulis kreatif yang merasa sudah berusaha keras melahirkan karya memang tak ingin (kalau boleh dikatakan tak bisa) mendapat kritikan.
 
Jika benar, mungkin kita harus banyak membaca karena kita belum termasuk masyarakat modern. Sebab, menurut filsuf pendidikan Paulo Freire, proses menjadi manusia modern harus melalui tiga tahap: Pertama kesadaran magis yang ditandai dengam sikap fatalisme yang menuntun orang menyerah pada keadaan; Kedua, kesadaran naif yang ditandai dengan menyederhanakan masalah secara berlebihan, meremehkan orang lain, lemah argumentasi, suka menonjolkan polemik; Ketiga kesadaran kritis, pada tahap ini manusia mampu mengkritik realitasnya sendiri dan berpraksis terhadapnya. Lalu, di mana posisi kita kini?
***
 
*) Anton Kurniawan, pencinta sastra. Bergiat di Sanggar Komunitas Akasia SMA Negeri 1 Abung Semuli, Lampung Utara.

http://sastra-indonesia.com/2010/06/penyair-lampung-dan-kritikus-sastra/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.S. Dharta Abdul Hadi WM Abdul Wachid B.S. Abdullah Abubakar Batarfie Abdurrahman Wahid Achmad Faesol Achmad S Achmad Soeparno Yanto Adin Adrian Balu Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Sasongko Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Prasmono Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Mustofa Bisri Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat al-Kindi Alex R. Nainggolan Ali Ahsan Al Haris Ali Audah Ali Syariati Amien Kamil Amien Wangsitalaja Andhika Dinata Andi Neneng Nur Fauziah Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Andy Riza Hidayat Anindita S. Thayf Anton Kurniawan Anton Sudibyo Aprinus Salam Arafat Nur Arif Hidayat Arman A.Z. Arthur Rimbaud Asap Studio Asarpin Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Badaruddin Amir Bagja Hidayat Balada Bambang Riyanto Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Butet Kartaredjasa Cak Bono Catatan Cecil Mariani Cerbung Cerpen Chairil Anwar Charles Bukowski Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dahta Gautama Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Danarto Dara Nuzzul Ramadhan Dareen Tatour Darju Prasetya Darojat Gustian Syafaat Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Sartika Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dianing Widya Yudhistira Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Pitono Djoko Saryono Djoko Subinarto Doan Widhiandono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Klik Santosa Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erik Purnama Putra Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esti Nuryani Kasam Evan Ys Evi Idawati F Aziz Manna F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Firman Wally Fiyan Arjun Forum Penulis dan Pegiat Literasi Lamongan (FP2L) Franz Kafka Galih M. Rosyadi Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Garna Raditya Gendut Riyanto Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gurindam Gusti Eka H.B. Jassin Halim HD Hamdy Salad Hamka Hari Sulastri Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasbi Zainuddin Hasif Amini Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Hermawan Mappiwali Herry Lamongan Hikmat Gumelar HM. Nasruddin Anshoriy Ch Hudan Hidayat Humam S Chudori Ibnu Wahyudi Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Iksaka Banu Ilham Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Arlado Imron Tohari Indra Tjahyadi Indrawati Jauharotun Nafisah Indrian Koto Inung As Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Ismi Wahid Iva Titin Shovia Iwan Fals Iwan Kurniawan Jakob Oetama Janual Aidi JJ. Kusni Johan Fabricius John H. McGlynn Jordaidan Rizsyah Jual Buku Sastra K.H. A. Azis Masyhuri Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kahlil Gibran Kamajaya Al. Katuuk Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khatijah Khoirul Inayah Ki Dhalang Sulang Ki Ompong Sudarsono Kikin Kuswandi Kodirun Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Sastra Mangkubumen (KSM) Komunitas Teater Se-Lamongan Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kucing Oren Kurniawan Junaedhie Kurniawan Muhammad Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Larung Sastra Latief S. Nugraha lensasastra.id Leo Tolstoy Leon Agusta Linda Christanty Lutfi Mardiansyah M. Aan Mansyur M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Harir Muzakki M. Lutfi M. Shoim Anwar M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marniati Martin Aleida Mashuri Masuki M. Astro Matroni Muserang Mawar Kusuma Max Arifin Melani Budianta Mihar Harahap Mikael Johani Miziansyah J. Moch. Fathoni Arief Moh. Ghufron Cholid Mohammad Afifi Mohammad Rafi Azzamy Muhammad Hanif Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun AS Muhidin M. Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Murnierida Pram Myra Sidharta Nadia Cahyani Naim Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nessa Kartika Ni Made Purnama Sari Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Noor H. Dee Nurel Javissyarqi Nurul Fahmy Nurul Ilmi Elbana Nyoman Tusthi Eddy Ong Hok Ham Orasi Budaya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Pablo Neruda Pay Jarot Sujarwo PDS H.B. Jassin Pendidikan Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Bergerak Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin Qismatun Nihayah R Sutandya Yudha Khaidar R Toto Sugiharto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Rambuana Ramdhan Triyadi Bempah Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ricarda Huch Riezky Andhika Pradana Riki Dhamparan Putra Rizki Aprima Putra Rokhim Sarkadek Rony Agustinus Royyan Julian Rukardi Rumah Budaya Pantura Rumah Budaya Pantura (RBP) Ruth Indiah Rahayu S Yoga S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safitri Ningrum Sahaya Santayana Sahli Hamid Saini KM Sajak Salvator Yen Joenaidy Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setyaningsih Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosial Media Sastra Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sudarmoko Sudirman Sugeng Sulaksono Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunaryata Soemarjo Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susie Evidia Y Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka T Agus Khaidir T.A. Sakti Tangguh Pitoyo Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teater Pendopo nDalem Mangkubumen (Dokumen) Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tiya Hapitiawati Tiyasa Jati Pramono Toeti Heraty TS Pinang Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Usman Arrumy UU Hamidy Veronika Ninik Vika Wisnu W.S. Rendra Wahyu Triono Ks Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wilda Fizriyani Willy Ana Y Alpriyanti Y.B. Mangunwijaya Yanto le Honzo Yasin Susilo Yasir Amri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yulhasni Zehan Zareez Zuhdi Swt Zul Afrita