Senin, 08 Februari 2021

Tiga Aliran Puitika Jawa Timur

F Aziz Manna *
Seputar Indonesia, 25 Mar 2012
 
Situasi kesusasteraan khususnya perpuisian di Jawa Timur saat ini sangatlah meriah. Bahkan bisa dikata menegangkan. Bagaimana tidak, hingga kini perbincangan sastra (puisi) di Jatim menukik ke arah paling vital. Menajam pada visi dan ideologi puisi. Tapi secara garis besar, perbincangan yang kerap berujung pertikaian ini terkanalisasi dalam tiga aliran deras.
 
Yakni, aliran para pemeluk teguh puisi gelap, aliran peyakin puisi terang, dan aliran alternatif penganjur suara-suara lain. Aliran terakhir ini lebih cenderung mengarah pada gerakan politik sastra. Meski begitu, mereka tetap melakukannya dengan tawaran estetika. Kanalisasi tiga aliran puitika Jatim ini merupakan kristalisasi dari gerakan sastra sebelumnya. Pada 1993, para sastrawan Jatim memelopori gerakan Revitalisasi Sastra Pedalaman (RSP).
 
Gerakan ini seakan ingin membuka mata Indonesia bahwa kegiatan bersastra tidak melulu hadir di Jakarta. Setelah itu, berkecambahlah kantong-kantong sastra di Jatim. Berdasar pendataan Komunitas Sastra Indonesia (KSI) yang dilakukan pada Maret 1998 tercatat sedikitnya 167 komunitas sastra Indonesia yang muncul di berbagai daerah dan 33 di antaranya terdapat di Jatim. Menariknya, data itu tidak menyebut tiga nama komunitas yang menghembuskan tiga aliran besar dalam perbincangan sastra terkini di Jatim seperti tersebutkan di atas. Ini berarti, pasca 1998 kian membiak pertumbuhan komunitas sastra di Jatim.
 
Berdasar pendataan terbaru yang dilakukan Balai Bahasa Jawa Timur pada 2010 terdeteksi sebanyak 114 komunitas sastra yang pernah muncul dan beraktivitas di Jatim. Komunitas ini hampir ada di tiap wilayah Jatim. Para praktisi dan pemerhati perpuisian Jawa Timur pasti mengetahui tiga kelompok aliran deras ini.Meski terkadang sebagian dari mereka tidak mengakuinya secara eksplisit. Aliran para pemeluk teguh puisi gelap dipelopori oleh sekelompok mahasiswa Universitas Airlangga (Unair) Surabaya. Kelompok aliran puisi terang dimotori oleh kumpulan mahasiswa Universitas Negeri Surabaya (Unesa).
 
Sedangkan kelompok aliran alternatif yang menawarkan suara-suara lain dipenuhi oleh beragam jenis kumpulan, mulai dari komunitas di luar kampus, aktivis, pemerhati seni, pegawai balai bahasa, hingga pedagang, dan pengangguran. Aliran puisi gelap merupakan kelompok yang cukup militan dan solid sampai saat ini. Mereka memulai gerakan puitikanya melalui Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar (FS3LP) dan Teater Gardu Puisi Surabaya (Gapus) sejak era 1990-an. Hingga kini para personilnya masih berkreasi. Salah satu pemeluk teguh puisi gelap ialah Indra Tjahyadi.
 
Dalam manifesto puisi gelapnya,Indra meneriakkan kredo: puisi harus didorong ke arah pemaknaan yang paling ambigu,yakni dengan menggelapkan makna. Sebab itulah satu-satunya cara untuk menyelamatkan manusia dari kehancurannya sebab hidup di dunia kini yang telah dipenuhi kebanalan. Arif Bagus Prasetyo dalam catatan kuratorial ‘Forum Sastra Indonesia Hari Ini wilayah Jawa Timur‘ yang digelar komunitas Salihara Jakarta mengakui secara terbuka bahwa sampai hari ini di Jawa Timur belum muncul gerakan puitik yang semilitan dan seserius puisi gelap.
 
Mazhab puisi gelap mengekspos panorama kegelapan jiwa dengan kadar kepekatan dan kemabukan yang belum pernah terpampang dalam khasanah puisi dari berbagai provinsi lain. Sehingga, kehadiran puisi gelap layak dicatat sebagai kontribusi unik Jawa Timur dalam sejarah sastra Indonesia kontemporer. Aliran kedua yang mulai tumbuh di Jawa Timur ialah puisi terang. Kelompok ini muncul pada era 2000-an dimobilisasi oleh Komunitas Rabo Sore yang bermarkas di Unesa. Kelompok ini mendapatkan suntikan puitik dari penyair kawak dari Gresik, HU Mardi Luhung. Beberapa sosok yang mendiami kelompok ini ialah A Muttaqin, Umar Fauzi Ballah, Dody Kristianto, dan lainnya.
 
Kelompok ini menyuarakan gerakan puisi terang yang menyuarakan kehidupan manusia sehari-hari dengan bahasa yang komunikatif dan tidak atraktif. Model puitika kelompok ini dipasangkan sebagai ‘lawan‘ puisi gelap. Dalam obrolan mereka yang terekam melalui jejaring sosial, mereka menyepakati bentuk puisi Gokil sebagai identitas mereka. Gokil merupakan sebuah prokem anak gaul yang sering diartikan sebagai gila. Namun kegilaan yang dimunculkan dalam puisi kelompok ini bukanlah penjungkirbalikan logika. Puisi Gokil diterjemahkan dalam kredo mereka sebagai puisi gegojekan atawa begejekan. Sebuah jenis puisi tidak serius tapi serius.
 
Rahmat Giryadi, sastrawan dan dramawan lulusan Unesa menyebutnya sebagai puisi ‘seGo kiKil‘ (nasi kikil) dan puisi ‘soGOKane upIL‘ (alat pencungkil kotoran hidung). Sebutan Giryadi ini begitu pas untuk menamai gerakan puisi kelompok Unesa yang mengusung keseharian, ketidakseriusan yang serius. Dalam kredo puisi Gokil ini,posisi A Muttaqin ditempatkan paling atas sebagai ketua kelompok, menyusul Timur Budi Raja sebagai wakil ketuanya dan Dody sebagai penanggung jawabnya.
 
Aliran ketiga yang tumbuh di Jawa Timur merupakan kelompok ‘tengah‘ yang tidak mendukung puisi gelap pun puisi terang ‘Gokil‘.Aliran ketiga ini cenderung membawa suara-suara lain. Menawarkan alternatif bentuk puisi. Sayangnya, kelahiran aliran ketiga ini lebih bernuansa politis daripada puitis. Aliran suara lain ini dimotori oleh Wahyu Haryanto, AF Tuasikal, serta Puput Amiranti. Belakangan ini, aliran suara lain terus mengumpulkan kekuatan dengan menggandeng komunitas-komunitas sastra dan seni di beberapa wilayah di Jatim. Beberapa komunitas itu tersebar di Mojokerto, Lamongan, Jombang, Malang, Madura, dan Surabaya.
 
Aliran alternatif ini menginginkan adanya revolusi generasi penyair Jawa Timur. Mereka menolak penyairpenyair terdahulu dan menawarkan generasi-generasi mutakhir. Meski, generasi mutakhir yang ditawarkan belum memiliki karier panjang. Beberapa penyair alternatif yang coba ditawarkan seperti Abimardha Kurniawan, Fahmi Fakih, Dadang Ari Murtono, Amal Sejati dan lainnya.
 
Dalam kredo berjudul ‘Regenerasi Penyair Jawa Timur‘, Puput Amiranti menyatakan, apa yang terjadi jika generasi-generasi yang terdahulu tetap berada pada posisi kepemimpinan di atas, sesungguhnya yang mereka lakukan bukanlah memberikan arah baru atau memberi petunjuk yang lebih baik di masa mendatang melainkan kenikmatan- kenikmatan memorabilia kejayaan mereka dulu yang pernah melegenda namun sekarang tinggal rangkaian cerita yang kerap diulang-ulang.
 
Puput pun menyuarakan lahirnya generasi muda sastra yang berusaha berdiri di atas pemikiran sendiri tanpa dibayang- bayangi penyair-penyair terdahulu. Aliran alternatif ini meyakini, penyair-penyair muda yang lepas dari penyair-penyair sebelumnya memiliki potensi estetik yang besar dan layak diberi tempat. Ketiga aliran ini merupakan penghuni sah dari peta perpuisian Jawa Timur. Namun yang perlu diingat, sebagai sebuah provinsi para penyair (meminjam isilah kritikus Ribut Wijoto), Jawa Timur haruslah bisa menyemaikan lebih banyak lagi aliran puisi.
 
Saya meyakini,selama kelompok sastra ini bisa berdialog kreatif tanpa saling membunuh, beberapa tahun ke depan akan bermunculan lagi aliran-aliran baru puisi Jawa Timur. Semoga.
***
 
*) F Aziz Manna, Penyair, anggota Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar (FS3LP). http://sastra-indonesia.com/2012/10/tiga-aliran-puitika-jawa-timur/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.S. Dharta Abdul Hadi WM Abdul Wachid B.S. Abdullah Abubakar Batarfie Abdurrahman Wahid Achmad Faesol Achmad S Achmad Soeparno Yanto Adin Adrian Balu Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Sasongko Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Prasmono Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Mustofa Bisri Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat al-Kindi Alex R. Nainggolan Ali Ahsan Al Haris Ali Audah Ali Syariati Amien Kamil Amien Wangsitalaja Andhika Dinata Andi Neneng Nur Fauziah Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Andy Riza Hidayat Anindita S. Thayf Anton Kurniawan Anton Sudibyo Aprinus Salam Arafat Nur Arif Hidayat Arman A.Z. Arthur Rimbaud Asap Studio Asarpin Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Badaruddin Amir Bagja Hidayat Balada Bambang Riyanto Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Butet Kartaredjasa Cak Bono Catatan Cecil Mariani Cerbung Cerpen Chairil Anwar Charles Bukowski Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dahta Gautama Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Danarto Dara Nuzzul Ramadhan Dareen Tatour Darju Prasetya Darojat Gustian Syafaat Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Sartika Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dianing Widya Yudhistira Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Pitono Djoko Saryono Djoko Subinarto Doan Widhiandono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Klik Santosa Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erik Purnama Putra Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esti Nuryani Kasam Evan Ys Evi Idawati F Aziz Manna F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Firman Wally Fiyan Arjun Forum Penulis dan Pegiat Literasi Lamongan (FP2L) Franz Kafka Galih M. Rosyadi Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Garna Raditya Gendut Riyanto Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gurindam Gusti Eka H.B. Jassin Halim HD Hamdy Salad Hamka Hari Sulastri Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasbi Zainuddin Hasif Amini Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Hermawan Mappiwali Herry Lamongan Hikmat Gumelar HM. Nasruddin Anshoriy Ch Hudan Hidayat Humam S Chudori Ibnu Wahyudi Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Iksaka Banu Ilham Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Arlado Imron Tohari Indra Tjahyadi Indrawati Jauharotun Nafisah Indrian Koto Inung As Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Ismi Wahid Iva Titin Shovia Iwan Fals Iwan Kurniawan Jakob Oetama Janual Aidi JJ. Kusni Johan Fabricius John H. McGlynn Jordaidan Rizsyah Jual Buku Sastra K.H. A. Azis Masyhuri Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kahlil Gibran Kamajaya Al. Katuuk Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khatijah Khoirul Inayah Ki Dhalang Sulang Ki Ompong Sudarsono Kikin Kuswandi Kodirun Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Sastra Mangkubumen (KSM) Komunitas Teater Se-Lamongan Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kucing Oren Kurniawan Junaedhie Kurniawan Muhammad Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Larung Sastra Latief S. Nugraha lensasastra.id Leo Tolstoy Leon Agusta Linda Christanty Lutfi Mardiansyah M. Aan Mansyur M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Harir Muzakki M. Lutfi M. Shoim Anwar M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marniati Martin Aleida Mashuri Masuki M. Astro Matroni Muserang Mawar Kusuma Max Arifin Melani Budianta Mihar Harahap Mikael Johani Miziansyah J. Moch. Fathoni Arief Moh. Ghufron Cholid Mohammad Afifi Mohammad Rafi Azzamy Muhammad Hanif Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun AS Muhidin M. Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Murnierida Pram Myra Sidharta Nadia Cahyani Naim Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nessa Kartika Ni Made Purnama Sari Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Noor H. Dee Nurel Javissyarqi Nurul Fahmy Nurul Ilmi Elbana Nyoman Tusthi Eddy Ong Hok Ham Orasi Budaya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Pablo Neruda Pay Jarot Sujarwo PDS H.B. Jassin Pendidikan Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Bergerak Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin Qismatun Nihayah R Sutandya Yudha Khaidar R Toto Sugiharto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Rambuana Ramdhan Triyadi Bempah Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ricarda Huch Riezky Andhika Pradana Riki Dhamparan Putra Rizki Aprima Putra Rokhim Sarkadek Rony Agustinus Royyan Julian Rukardi Rumah Budaya Pantura Rumah Budaya Pantura (RBP) Ruth Indiah Rahayu S Yoga S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safitri Ningrum Sahaya Santayana Sahli Hamid Saini KM Sajak Salvator Yen Joenaidy Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setyaningsih Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosial Media Sastra Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sudarmoko Sudirman Sugeng Sulaksono Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunaryata Soemarjo Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susie Evidia Y Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka T Agus Khaidir T.A. Sakti Tangguh Pitoyo Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teater Pendopo nDalem Mangkubumen (Dokumen) Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tiya Hapitiawati Tiyasa Jati Pramono Toeti Heraty TS Pinang Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Usman Arrumy UU Hamidy Veronika Ninik Vika Wisnu W.S. Rendra Wahyu Triono Ks Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wilda Fizriyani Willy Ana Y Alpriyanti Y.B. Mangunwijaya Yanto le Honzo Yasin Susilo Yasir Amri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yulhasni Zehan Zareez Zuhdi Swt Zul Afrita