F Aziz Manna *
Seputar Indonesia, 25 Mar 2012
Situasi kesusasteraan khususnya perpuisian di Jawa Timur saat ini sangatlah
meriah. Bahkan bisa dikata menegangkan. Bagaimana tidak, hingga kini
perbincangan sastra (puisi) di Jatim menukik ke arah paling vital. Menajam pada
visi dan ideologi puisi. Tapi secara garis besar, perbincangan yang kerap
berujung pertikaian ini terkanalisasi dalam tiga aliran deras.
Yakni, aliran para pemeluk teguh puisi gelap, aliran peyakin puisi terang,
dan aliran alternatif penganjur suara-suara lain. Aliran terakhir ini lebih
cenderung mengarah pada gerakan politik sastra. Meski begitu, mereka tetap
melakukannya dengan tawaran estetika. Kanalisasi tiga aliran puitika Jatim ini
merupakan kristalisasi dari gerakan sastra sebelumnya. Pada 1993, para
sastrawan Jatim memelopori gerakan Revitalisasi Sastra Pedalaman (RSP).
Gerakan ini seakan ingin membuka mata Indonesia bahwa kegiatan bersastra
tidak melulu hadir di Jakarta. Setelah itu, berkecambahlah kantong-kantong
sastra di Jatim. Berdasar pendataan Komunitas Sastra Indonesia (KSI) yang
dilakukan pada Maret 1998 tercatat sedikitnya 167 komunitas sastra Indonesia
yang muncul di berbagai daerah dan 33 di antaranya terdapat di Jatim.
Menariknya, data itu tidak menyebut tiga nama komunitas yang menghembuskan tiga
aliran besar dalam perbincangan sastra terkini di Jatim seperti tersebutkan di
atas. Ini berarti, pasca 1998 kian membiak pertumbuhan komunitas sastra di
Jatim.
Berdasar pendataan terbaru yang dilakukan Balai Bahasa Jawa Timur pada 2010
terdeteksi sebanyak 114 komunitas sastra yang pernah muncul dan beraktivitas di
Jatim. Komunitas ini hampir ada di tiap wilayah Jatim. Para praktisi dan
pemerhati perpuisian Jawa Timur pasti mengetahui tiga kelompok aliran deras
ini.Meski terkadang sebagian dari mereka tidak mengakuinya secara eksplisit.
Aliran para pemeluk teguh puisi gelap dipelopori oleh sekelompok mahasiswa
Universitas Airlangga (Unair) Surabaya. Kelompok aliran puisi terang dimotori
oleh kumpulan mahasiswa Universitas Negeri Surabaya (Unesa).
Sedangkan kelompok aliran alternatif yang menawarkan suara-suara lain
dipenuhi oleh beragam jenis kumpulan, mulai dari komunitas di luar kampus,
aktivis, pemerhati seni, pegawai balai bahasa, hingga pedagang, dan
pengangguran. Aliran puisi gelap merupakan kelompok yang cukup militan dan
solid sampai saat ini. Mereka memulai gerakan puitikanya melalui Forum Studi
Sastra dan Seni Luar Pagar (FS3LP) dan Teater Gardu Puisi Surabaya (Gapus)
sejak era 1990-an. Hingga kini para personilnya masih berkreasi. Salah satu
pemeluk teguh puisi gelap ialah Indra Tjahyadi.
Dalam manifesto puisi gelapnya,Indra meneriakkan kredo: puisi harus
didorong ke arah pemaknaan yang paling ambigu,yakni dengan menggelapkan makna.
Sebab itulah satu-satunya cara untuk menyelamatkan manusia dari kehancurannya
sebab hidup di dunia kini yang telah dipenuhi kebanalan. Arif Bagus Prasetyo
dalam catatan kuratorial ‘Forum Sastra Indonesia Hari Ini wilayah Jawa Timur‘
yang digelar komunitas Salihara Jakarta mengakui secara terbuka bahwa sampai
hari ini di Jawa Timur belum muncul gerakan puitik yang semilitan dan seserius
puisi gelap.
Mazhab puisi gelap mengekspos panorama kegelapan jiwa dengan kadar
kepekatan dan kemabukan yang belum pernah terpampang dalam khasanah puisi dari
berbagai provinsi lain. Sehingga, kehadiran puisi gelap layak dicatat sebagai
kontribusi unik Jawa Timur dalam sejarah sastra Indonesia kontemporer. Aliran
kedua yang mulai tumbuh di Jawa Timur ialah puisi terang. Kelompok ini muncul
pada era 2000-an dimobilisasi oleh Komunitas Rabo Sore yang bermarkas di Unesa.
Kelompok ini mendapatkan suntikan puitik dari penyair kawak dari Gresik, HU
Mardi Luhung. Beberapa sosok yang mendiami kelompok ini ialah A Muttaqin, Umar
Fauzi Ballah, Dody Kristianto, dan lainnya.
Kelompok ini menyuarakan gerakan puisi terang yang menyuarakan kehidupan
manusia sehari-hari dengan bahasa yang komunikatif dan tidak atraktif. Model
puitika kelompok ini dipasangkan sebagai ‘lawan‘ puisi gelap. Dalam obrolan
mereka yang terekam melalui jejaring sosial, mereka menyepakati bentuk puisi
Gokil sebagai identitas mereka. Gokil merupakan sebuah prokem anak gaul yang
sering diartikan sebagai gila. Namun kegilaan yang dimunculkan dalam puisi
kelompok ini bukanlah penjungkirbalikan logika. Puisi Gokil diterjemahkan dalam
kredo mereka sebagai puisi gegojekan atawa begejekan. Sebuah jenis puisi tidak
serius tapi serius.
Rahmat Giryadi, sastrawan dan dramawan lulusan Unesa menyebutnya sebagai
puisi ‘seGo kiKil‘ (nasi kikil) dan puisi ‘soGOKane upIL‘ (alat pencungkil
kotoran hidung). Sebutan Giryadi ini begitu pas untuk menamai gerakan puisi
kelompok Unesa yang mengusung keseharian, ketidakseriusan yang serius. Dalam
kredo puisi Gokil ini,posisi A Muttaqin ditempatkan paling atas sebagai ketua kelompok,
menyusul Timur Budi Raja sebagai wakil ketuanya dan Dody sebagai penanggung
jawabnya.
Aliran ketiga yang tumbuh di Jawa Timur merupakan kelompok ‘tengah‘ yang
tidak mendukung puisi gelap pun puisi terang ‘Gokil‘.Aliran ketiga ini
cenderung membawa suara-suara lain. Menawarkan alternatif bentuk puisi.
Sayangnya, kelahiran aliran ketiga ini lebih bernuansa politis daripada puitis.
Aliran suara lain ini dimotori oleh Wahyu Haryanto, AF Tuasikal, serta Puput
Amiranti. Belakangan ini, aliran suara lain terus mengumpulkan kekuatan dengan
menggandeng komunitas-komunitas sastra dan seni di beberapa wilayah di Jatim.
Beberapa komunitas itu tersebar di Mojokerto, Lamongan, Jombang, Malang,
Madura, dan Surabaya.
Aliran alternatif ini menginginkan adanya revolusi generasi penyair Jawa
Timur. Mereka menolak penyairpenyair terdahulu dan menawarkan generasi-generasi
mutakhir. Meski, generasi mutakhir yang ditawarkan belum memiliki karier
panjang. Beberapa penyair alternatif yang coba ditawarkan seperti Abimardha Kurniawan,
Fahmi Fakih, Dadang Ari Murtono, Amal Sejati dan lainnya.
Dalam kredo berjudul ‘Regenerasi Penyair Jawa Timur‘, Puput Amiranti
menyatakan, apa yang terjadi jika generasi-generasi yang terdahulu tetap berada
pada posisi kepemimpinan di atas, sesungguhnya yang mereka lakukan bukanlah
memberikan arah baru atau memberi petunjuk yang lebih baik di masa mendatang
melainkan kenikmatan- kenikmatan memorabilia kejayaan mereka dulu yang pernah
melegenda namun sekarang tinggal rangkaian cerita yang kerap diulang-ulang.
Puput pun menyuarakan lahirnya generasi muda sastra yang berusaha berdiri
di atas pemikiran sendiri tanpa dibayang- bayangi penyair-penyair terdahulu.
Aliran alternatif ini meyakini, penyair-penyair muda yang lepas dari
penyair-penyair sebelumnya memiliki potensi estetik yang besar dan layak diberi
tempat. Ketiga aliran ini merupakan penghuni sah dari peta perpuisian Jawa
Timur. Namun yang perlu diingat, sebagai sebuah provinsi para penyair (meminjam
isilah kritikus Ribut Wijoto), Jawa Timur haruslah bisa menyemaikan lebih
banyak lagi aliran puisi.
Saya meyakini,selama kelompok sastra ini bisa berdialog kreatif tanpa
saling membunuh, beberapa tahun ke depan akan bermunculan lagi aliran-aliran
baru puisi Jawa Timur. Semoga.
***
*) F Aziz Manna, Penyair, anggota Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar
(FS3LP). http://sastra-indonesia.com/2012/10/tiga-aliran-puitika-jawa-timur/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Dharta
Abdul Hadi WM
Abdul Wachid B.S.
Abdullah Abubakar Batarfie
Abdurrahman Wahid
Achmad Faesol
Achmad S
Achmad Soeparno Yanto
Adin
Adrian Balu
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agung Sasongko
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Prasmono
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Mustofa Bisri
Ahmad Tohari
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akhudiat
al-Kindi
Alex R. Nainggolan
Ali Ahsan Al Haris
Ali Audah
Ali Syariati
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Andhika Dinata
Andi Neneng Nur Fauziah
Andra Nur Oktaviani
Andrenaline Katarsis
Andy Riza Hidayat
Anindita S. Thayf
Anton Kurniawan
Anton Sudibyo
Aprinus Salam
Arafat Nur
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Arthur Rimbaud
Asap Studio
Asarpin
Asti Musman
Atafras
Awalludin GD Mualif
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Balada
Bambang Riyanto
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernadette Aderi
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budi Darma
Butet Kartaredjasa
Cak Bono
Catatan
Cecil Mariani
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Charles Bukowski
Christine Hakim
Cinta Laura Kiehl
D. Zawawi Imron
Dahta Gautama
Daisy Priyanti
Damhuri Muhammad
Danarto
Dara Nuzzul Ramadhan
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darojat Gustian Syafaat
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Sartika
Dharmadi
Dhenok Kristianti
Dian Wahyu Kusuma
Dianing Widya Yudhistira
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djoko Subinarto
Doan Widhiandono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Yan Masfa
Donny Anggoro
Dwi Cipta
Dwi Klik Santosa
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Enda Menzies
Erik Purnama Putra
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esti Nuryani Kasam
Evan Ys
Evi Idawati
F Aziz Manna
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Fairuzul Mumtaz
Fajar Alayubi
Farah Noersativa
Faris Al Faisal
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrozak
Faza Bina Al-Alim
Feby Indirani
Felix K. Nesi
Fian Firatmaja
Firman Wally
Fiyan Arjun
Forum Penulis dan Pegiat Literasi Lamongan (FP2L)
Franz Kafka
Galih M. Rosyadi
Galuh Tulus Utama
Ganug Nugroho Adi
Garna Raditya
Gendut Riyanto
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Gombloh
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gurindam
Gusti Eka
H.B. Jassin
Halim HD
Hamdy Salad
Hamka
Hari Sulastri
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasbi Zainuddin
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Hermawan Mappiwali
Herry Lamongan
Hikmat Gumelar
HM. Nasruddin Anshoriy Ch
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
Ibnu Wahyudi
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Iksaka Banu
Ilham
Imam Muhayat
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Arlado
Imron Tohari
Indra Tjahyadi
Indrawati Jauharotun Nafisah
Indrian Koto
Inung As
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Ismi Wahid
Iva Titin Shovia
Iwan Fals
Iwan Kurniawan
Jakob Oetama
Janual Aidi
JJ. Kusni
Johan Fabricius
John H. McGlynn
Jordaidan Rizsyah
Jual Buku Sastra
K.H. A. Azis Masyhuri
Kadjie Mudzakir
Kahfie Nazaruddin
Kahlil Gibran
Kamajaya Al. Katuuk
Kamran Dikarma
Kedung Darma Romansha
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khansa Arifah Adila
Khatijah
Khoirul Inayah
Ki Dhalang Sulang
Ki Ompong Sudarsono
Kikin Kuswandi
Kodirun
Koh Young Hun
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Sastra Mangkubumen (KSM)
Komunitas Teater Se-Lamongan
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kurniawan Junaedhie
Kurniawan Muhammad
Kuswaidi Syafi’ie
Kuswinarto
L.K. Ara
Laksmi Shitaresmi
Lan Fang
Larung Sastra
Latief S. Nugraha
lensasastra.id
Leo Tolstoy
Leon Agusta
Linda Christanty
Lutfi Mardiansyah
M. Aan Mansyur
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Lutfi
M. Shoim Anwar
M. Yoesoef
M. Yunis
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahdi Idris
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Marniati
Martin Aleida
Mashuri
Masuki M. Astro
Matroni Muserang
Mawar Kusuma
Max Arifin
Melani Budianta
Mihar Harahap
Mikael Johani
Miziansyah J.
Moch. Fathoni Arief
Moh. Ghufron Cholid
Mohammad Afifi
Mohammad Rafi Azzamy
Muhammad Hanif
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun AS
Muhidin M. Dahlan
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Myra Sidharta
Nadia Cahyani
Naim
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nessa Kartika
Ni Made Purnama Sari
Nikita Mirzani
Nirwan Ahmad Arsuka
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Nurel Javissyarqi
Nurul Fahmy
Nurul Ilmi Elbana
Nyoman Tusthi Eddy
Ong Hok Ham
Orasi Budaya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Pay Jarot Sujarwo
PDS H.B. Jassin
Pendidikan
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pringgo HR
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Pustaka Bergerak
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
Qismatun Nihayah
R Sutandya Yudha Khaidar
R Toto Sugiharto
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rahmat Sutandya Yudhanto
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Prambudhi Dikimara
Rambuana
Ramdhan Triyadi Bempah
Ratnani Latifah
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ribut Wijoto
Ricarda Huch
Riezky Andhika Pradana
Riki Dhamparan Putra
Rizki Aprima Putra
Rokhim Sarkadek
Rony Agustinus
Royyan Julian
Rukardi
Rumah Budaya Pantura
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Ruth Indiah Rahayu
S Yoga
S. Arimba
S. Jai
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Sahaya Santayana
Sahli Hamid
Saini KM
Sajak
Salvator Yen Joenaidy
Samsul Anam
Sapardi Djoko Damono
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Selendang Sulaiman
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setyaningsih
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sosial Media Sastra
Sosiawan Leak
Sovian Lawendatu
Sudarmoko
Sudirman
Sugeng Sulaksono
Sugito Ha Es
Sumani
Sumargono SN
Suminto A. Sayuti
Sunaryata Soemarjo
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suryanto Sastroatmodjo
Susie Evidia Y
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
T Agus Khaidir
T.A. Sakti
Tangguh Pitoyo
Tatan Daniel
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Eska
Teater Pendopo nDalem Mangkubumen (Dokumen)
Teater Tawon
Tedy Kartyadi
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tiya Hapitiawati
Tiyasa Jati Pramono
Toeti Heraty
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Usman Arrumy
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vika Wisnu
W.S. Rendra
Wahyu Triono Ks
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Jengki Sunarta
Wayan Sunarta
Welly Kuswanto
Wilda Fizriyani
Willy Ana
Y Alpriyanti
Y.B. Mangunwijaya
Yanto le Honzo
Yasin Susilo
Yasir Amri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yonathan Rahardjo
Yudha Kristiawan
Yudhistira ANM Massardi
Yulhasni
Zehan Zareez
Zuhdi Swt
Zul Afrita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar