Surat ini tanpa tanggal & tanpa alamat surat, mungkin saja untuk seseorang yang tanpa identitas sehingga kerap kali dilecehkan. Tanpa mengucap suluk ataupun salam, surat ini langsung menukik tanpa ba bi bu ataupun permisi, salto serta berloncatan tak beraturan. Ada suara gaduh saat ratusan keping huruf lancip yang ujungnya tajam berkilat bagai mata tombak dan kelak telak melesak pada denyut jantung mereka yang didiagnosa “telah terdeteksi epidemi polusi dosis tinggi.”
Sssttt, mereka zombie berdasi, bermukim dalam hutan beton berlapis baja dan kaca tanpa jendela, di kota yang pongah sehingga jauh dari sebagian saudara mereka se tanah air yang tinggal di Papua ataupun di pedalaman hutan Kalimantan juga Sumatera. Sehingga mereka seringkali jauh dari kenyataan, punya mata namun buta serta tak mengerti hakikat kehidupan sesungguhnya.
Surat ini tanpa tanggal & alamat surat, sengaja ditujukan pada siapa saja yang menunggu kematian dan hanya sekadar ingin bilang “Jangan pernah menghakimi orang lain.” Sebagian dari kita juga percaya bagaimana nasib baik dan kejadian tak terduga dapat mengubah siapapun.
Perlu kau tahu, seringkali Tuhan bekerja dengan cara-cara rahasia yang tak diketahui makhlukNya.
“Endapkan dalam pikiran, janganlah sok tahu. Karena sesungguhnya dikau tiada pernah tahu apapun. Sungguh, apa yang orang lain lain lakukan ataupun sedang berlangsung dalam kehidupan mereka, mereka sendirilah yang mengerti karena mengalaminya sendiri.” Sesungguhnya rotasi alam dan sejarah tak hanya ditentukan olehmu. Seringkali alam, juga sejarah menulis dirinya sendiri serta tiada kuasa apapun yang bisa membendungnya.
Sejak itu, ia menulis surat surat bagai minum obat, tapi entah untuk siapa dan ia menulis surat surat surat itu bagai kerasukan roh tinta yang kasmaran pada kertas. Bisa jadi surat itu tertuju untuk dirinya sendiri. Ach, nasib surat seringkali ambigu dan tak selamanya terbalas.
Surat ini tanpa tanggal & alamat surat, terlihat jelas kalimatnya tumpang tindih berdesakan tak beraturan itu seakan ditulis di tengah gebalau jaman yang kacau dimana begitu banyak orang lebih mementingkan diri sendiri serta saling kejar mengejar dan adu lari dengan kursi, sambil tanpa ekspresi dan emosi keranjingan menggergaji saudaranya sendiri.
O, mereka hidup di negeri dimana harga diri bisa dibeli serta kebenaran dan hukum tak lagi punya arti. Berbagai pertanyaan kritis dicurigai dan masyarakatnya digiring bagai babi, diberi indoktrinasi plus vaksinasi agar patuh dan berbaris bagai bebek ataupun robot memasuki jalur tanpa hati.
O, dimana lagi harapan mesti disangkutkan pabila undang-undang dan rambu-rambu hanya sekadar sulur tipu-daya yang dari waktu ke waktu jerat semakin ketat mengikat leher mereka.
Surat itu melayang diterbangkan angin kemarau hingga huruf hurufnya saling bertabrakan dan beberapa bagian kalimatnya terhapus sulit terbaca. Surat itu ditemukan lusuh tak berdaya tergeletak di trotoar jalan raya. Kadang lipatan kertas surat itu ditemukan terselip di buku usang di antara berbagai tumpukan buku-buku kuno yang ditinggalkan pemiliknya. Tanpa nama ataupun tanda-tangan dan dipastikan bukan surat cinta ataupun berita kabar bencana sebab di beberapa baris kalimatnya ada bekas coretan yang mencuri perhatian. Di situ terurai kalimat “Ingatlah, aku masih memiliki surat yang kau kirim padaku.
Percayalah, hampir setiap hari aku senantiasa membawanya di saku. Pabila kau datang kini, setiap menit yang luruh kan menjelma jam. Perputarannya kan jadi hari dan semua itu akan membentuk dirimu. Anehnya, aku senantiasa tak pernah yakin apakah aku membaca suratmu atau sebaliknya suratmu membaca aku.
Surat itu dikirim entah oleh siapa. Paragraf pertama berisi ucapan klise basi-basi priyayi. Kalimat selanjutnya melaporkan tentang realitas getir dari sebuah konstruksi masyarakat yang sekarat, tak bisa diobati dan harus segera diamputasi.
Pernah suatu masa, menurut takwil serta nubuat yang ditorehkan di atas papyrus telah tersiar kabar bahwa sebagian Nabi separuh hidupnya terkungkung dalam penjara, namun masih menulis kitab untuk mengabarkan kebajikan. Sementara di masa kini, kita tahu banyak babi menjelma nabi urusannya hanya kalkulasi untung rugi juga seringkali menutup bangkai korbannya dengan harum wangi lembar uang money laundry hasil korupsi.
Setelah itu, alihkan perhatianmu pada paragraf kedelapan, tak usah terkejut bila hampir setengah dari surat itu luntur tak terbaca.
“Siapapun bisa memanipulasi kenyataan serta bikin pencitraan. Begitu banyak Hakim dan Jaksa yang lihai berakrobatik memainkan pasal serta ahli menukar ayat-ayat supaya kepastian hukum yang diputuskannya bisa menggemukkan pundi-pundi di bank luar negeri dan rekeningnya mengucur deras ke dalam laci bahkan sesudah ia mati terus mengalir lancar tanpa henti. Saat mati, di makamnya telah tersedia sebuah upacara dengan dentuman meriam serta tembakan salvo ke udara.
Sudah menjadi rahasia umum, begitu banyak pengacara licik yang piawai hingga bisa leluasa mengeluarkan pembunuh dan koruptor bebas dari penjara. Ssstt, kalkulasilah dengan teliti, berapa banyak akuntan licik yang hapal luar kepala, berapa harga setiap komisi di parlemen yang mesti ditransfer agar tetap nyaman menjaga pengemplang pajak serta penghisap keringat rakyat agar tidur senantiasa mendengkur. Ingat, kuli tinta dan paparazzi juga bisa merusak reputasi dan harga dirimu pabila kamu berlaku tak adil. Ssstt, investigasi haruslah secara teliti agar kepastian hukum betul terjadi!”
Surat surat surat surat surat surat tanpa tanggal dan alamat. Surat surat surat surat surat surat surat surat surat akan terus senantiasa memburumu!
2014.
Antologi Puisi “Catastrophe 1965 : Elegi Untuk Pramoedya Ananta Toer”, Amien Kamil, Mata Angin Publisher, 2019.
*) Amien Kamil, lahir di Jakarta 1963. Tahun 1983, sempat belajar di Sinematografi Institut Kesenian Jakarta. Tahun 1986-1996, bergabung dengan Bengkel Teater Rendra, terlibat dalam beberapa pementasan di kota-kota besar di Indonesia. Tahun 1988, ikut serta dalam “The First New York International Festival Of The Arts”, sempat juga mengikuti workshop di “Bread & Puppets Theatre” di Vermont, USA. Tahun 1990, pentas di Tokyo & Hiroshima, Japan. Tahun 1999, Tour Musik Iwan Fals di Seoul, Korea. Lighting Design untuk konser musik Iwan Fals hingga tahun 2002, pentas di seluruh kota-kota besar di Indonesia. Tahun 2003-2005, kolaborasi dengan penyair Jerman Brigitte Oleschinski. Pentas multimedia di Berlin, Koln, Bremen dan Hamburg. Selain itu juga memberikan workshop teater di Universitas Hamburg, Leipzig dan Passau. Mengikuti International Literature Festival “Letras Del Mundo” di Tamaulipas-Tampico, Mexico.
Tahun 2006, Sutradara “Out Of The Sea”, Slavomir Mrozek, Republic of Performing Arts, Teater Utan kayu, Jakarta. Tahun 2007, Antologi puisi “Tamsil Tubuh Terbelah” terbit dan masuk dalam 10 besar buku puisi terbaik Khatulistiwa Literary Award 2007. Tahun 2008, Poetry Performing “Tamsil Tubuh terbelah”, kolaborasi dengan Iwan Fals, Oppie Andaresta, Irawan Karseno, Toto Tewel, Njagong Percusion, Republic of Performing Arts, di Teater Studio, Taman Ismail Marzuki. Tahun 2009, Pameran lukisan & Instalasi “World Without Word” di Newseum Café. Tahun 2010, Sutradara Performing Arts “Elemental”, kolaborasi dengan pelukis mancanegara, Jakarta International School. Tahun 2011, Sutradara “Sie Djin Koei”, Republic of Performing Arts, Mall Ciputra, Jakarta. Di bulan April, Sutradara & Perancang Topeng “Macbeth”, William Shakespeare, Produksi Road Teater, Gedung Kesenian Jakarta. Mei-Juni, Kunjungan Budaya ke Denmark, Germany dan Norway. Juli, Mengikuti “ International Culture Dance Festival 2011” Sidi Bel Abbes, Algier, North Africa. http://sastra-indonesia.com/2021/02/monolog-amien-kamil-surat-ini-tanpa-tanggal-alamat-surat/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar