Erwin Setia *
Saya harus berterima kasih kepada orang-orang kaya, para politikus busuk,
dan polisi bajingan di seluruh negara Dunia Ketiga. Tanpa kehadiran mereka,
Aravind Adiga tidak akan mampu mengarang novel yang menyingkap kebobrokan tiga
tokoh utama penyumbang borok untuk negara tersebut. Apakah semua orang kaya
adalah buruk dan jahat? Apakah semua politikus itu busuk? Apakah semua polisi
itu bajingan? Kita bisa berdebat soal itu, tapi kita tak akan berdebat panjang,
karena kita sudah tahu jawabannya: secara umum, jawaban untuk tiga pertanyaan
itu adalah “Ya!”. Saya rasa hanya orang-orang kaya, politikus, dan polisi yang
keberatan dengan jawaban itu. Generalisasi memang rawan meminggirkan kebenaran,
tapi untuk kasus ini hanya kurang dari satu persen kebenaran yang
terpinggirkan.
Halaman satu hingga halaman tiga ratus lima puluh dua novel ini seperti
pisau yang mengupas lapis-lapis kebobrokan India (ganti “India” dengan
“Indonesia” dan kau akan sulit menemukan perbedaannya). Mula-mula kita akan
mengetahui betapa gelapnya kemiskinan. Balram Halwai—tokoh utama novel ini yang
kelak menjadi sopir untuk Mr. Ashok—tidak bisa melanjutkan pendidikan dan
kehilangan ayahnya karena kemiskinan. Ia harus menunduk dan membiarkan diri
dihina dan direndahkan oleh majikannya juga karena kemiskinan. Oh, betapa
gelapnya kemiskinan. Kau pernah tinggal di sebuah lubang berkedalaman seribu
meter pada tengah malam tanpa rembulan? Ketahuilah, kemiskinan lebih gelap
daripada itu.
Selanjutnya kita akan disuguhi layar berisi kekejaman dan kekurangajaran
kaum berduit. Orang-orang kaya bisa membunuh siapa saja yang mereka kehendaki
dan memaksa orang tidak bersalah untuk mengaku bersalah. Ketika Pinky
Madam—istri Mr. Ashok—yang sedang mabuk menabrak seorang bocah sampai tewas,
keluarga Mr. Ashok menyuruh Balram untuk menandatangani surat pengakuan
bersalah. Oh, betapa biadabnya orang kaya! Dalam suatu fragmen di dalam mobil,
Mukesh Sir alias Si Luwak pernah menuduh Balram yang tak tahu apa-apa mencuri
uang satu rupee miliknya. Balram yang tak mau masalahnya jadi rumit pun
menjatuhkan uang satu rupee miliknya sendiri ke lantai mobil dan memberikan
uang itu kepada Si Luwak. Bukankah hal semacam ini tidak asing di telinga kita?
Ya, orang-orang miskin sering dituduh bersalah hanya karena mereka miskin;
mereka juga sering dihukum secara berlebihan hanya gara-gara kesalahan kecil
yang mereka lakukan.
Dua pertiga awal buku ini adalah kisah hidup Balram di bawah telapak kaki
orang kaya. Sepertiga sisanya, setelah Balram memiliki semacam kesadaran kelas,
kita akan tahu bahwa tak selamanya orang miskin bisa ditindas. Orang miskin
juga manusia, walaupun “orang kaya selalu mendapatkan hal-hal terbaik dalam
hidup, dan kami hanya mendapat sisa-sisanya”. Balram meluapkan amarahnya yang terpendam
dan ia melepaskan diri dari kepompong perbudakan menuju tanah lapang kebebasan.
Pada bagian akhir novel saya agak muak dengan kepicikan yang diperlihatkan
oleh Balram. Tetapi saya tahu itu bukan kesalahan Balram. Ia belajar segala
kepicikan itu—cara menyuap polisi, cara mengelabui hukum, cara membungkam orang
miskin—dari orang-orang kaya yang pernah menjadi majikannya. Nah, lagi-lagi
saya harus berterima kasih kepada orang-orang kaya. Mereka telah menyediakan
kursus gratis “Cara Menjadi Orang Picik dan Licik” kepada orang-orang miskin.
Selain ‘bersedekah’ kepada birokrat untuk mencegah pajak tinggi dan bersedekah
kepada orang miskin supaya terlihat dermawan, membuka kursus gratis “Cara
Menjadi Orang Picik dan Licik” kepada orang-orang miskin adalah prestasi
orang-orang kaya yang cukup membanggakan. Mereka perlu diberi medali atas
prestasi itu.
Tentu The White Tiger bukan hanya soal orang-miskin-vs-orang-kaya. Ada
banyak isu yang diungkit dalam novel ini, mulai dari kupaknya birokrasi sampai
peliknya hidup sebagai minoritas. Ini adalah novel paling memikat yang saya
baca dalam tujuh bulan terakhir.
Seorang teman bilang pola cerita novel ini mirip film Parasite garapan Bong
Joon-ho (tepatnya, Parasite lah yang mirip dengan The White Tiger [Parasite rilis
2019, The White Tiger terbit 2008]). Si miskin masuk ke kehidupan si kaya dan
pelan-pelan merasa muak dengan si kaya. Kurang lebih begitulah. Tetapi
dibanding Parasite, The White Tiger memposisikan pertentangan si kaya dan si
miskin secara lebih elegan. Di Parasite si-orang-miskin harus berakhir dengan
menyembunyikan diri di ruang bawah tanah dengan penuh penderitaan, tetapi di
The White Tiger si-orang-miskin berakhir dengan duduk santai di bawah lampu
kristal, menjadi seorang entrepreneur dan mengirim surat kepada Perdana Menteri
China. Bukankah itu menarik?
Judul: The White Tiger
Penulis: Aravind Adiga
Penerjemah: Rosemary Kesauly
Penerbit: Sheila
Tahun: Cetakan Pertama, 2010
Tebal: 352 halaman
*) Erwin Setia lahir tahun 1998. Penikmat puisi dan prosa. Kini menempuh
pendidikan di Prodi Sejarah dan Peradaban Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
Tulisan-tulisannya pernah dimuat di berbagai media seperti Koran Tempo, Media
Indonesia, Pikiran Rakyat, Minggu Pagi, Solopos, Haluan, Koran Merapi, Padang Ekspres,
dan Detik.com. Cerpennya terhimpun dalam Dosa di Hutan Terlarang (2018). Bisa
dihubungi di Instagram @erwinsetia14. Blognya: setelahmembaca.wordpress.com http://sastra-indonesia.com/2021/02/the-white-tiger-aravind-adiga/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Dharta
Abdul Hadi WM
Abdul Wachid B.S.
Abdullah Abubakar Batarfie
Abdurrahman Wahid
Achmad Faesol
Achmad S
Achmad Soeparno Yanto
Adin
Adrian Balu
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agung Sasongko
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Prasmono
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Mustofa Bisri
Ahmad Tohari
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akhudiat
al-Kindi
Alex R. Nainggolan
Ali Ahsan Al Haris
Ali Audah
Ali Syariati
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Andhika Dinata
Andi Neneng Nur Fauziah
Andra Nur Oktaviani
Andrenaline Katarsis
Andy Riza Hidayat
Anindita S. Thayf
Anton Kurniawan
Anton Sudibyo
Aprinus Salam
Arafat Nur
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Arthur Rimbaud
Asap Studio
Asarpin
Asti Musman
Atafras
Awalludin GD Mualif
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Balada
Bambang Riyanto
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernadette Aderi
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budi Darma
Butet Kartaredjasa
Cak Bono
Catatan
Cecil Mariani
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Charles Bukowski
Christine Hakim
Cinta Laura Kiehl
D. Zawawi Imron
Dahta Gautama
Daisy Priyanti
Damhuri Muhammad
Danarto
Dara Nuzzul Ramadhan
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darojat Gustian Syafaat
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Sartika
Dharmadi
Dhenok Kristianti
Dian Wahyu Kusuma
Dianing Widya Yudhistira
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djoko Subinarto
Doan Widhiandono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Yan Masfa
Donny Anggoro
Dwi Cipta
Dwi Klik Santosa
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Enda Menzies
Erik Purnama Putra
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esti Nuryani Kasam
Evan Ys
Evi Idawati
F Aziz Manna
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Fairuzul Mumtaz
Fajar Alayubi
Farah Noersativa
Faris Al Faisal
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrozak
Faza Bina Al-Alim
Feby Indirani
Felix K. Nesi
Fian Firatmaja
Firman Wally
Fiyan Arjun
Forum Penulis dan Pegiat Literasi Lamongan (FP2L)
Franz Kafka
Galih M. Rosyadi
Galuh Tulus Utama
Ganug Nugroho Adi
Garna Raditya
Gendut Riyanto
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Gombloh
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gurindam
Gusti Eka
H.B. Jassin
Halim HD
Hamdy Salad
Hamka
Hari Sulastri
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasbi Zainuddin
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Hermawan Mappiwali
Herry Lamongan
Hikmat Gumelar
HM. Nasruddin Anshoriy Ch
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
Ibnu Wahyudi
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Iksaka Banu
Ilham
Imam Muhayat
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Arlado
Imron Tohari
Indra Tjahyadi
Indrawati Jauharotun Nafisah
Indrian Koto
Inung As
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Ismi Wahid
Iva Titin Shovia
Iwan Fals
Iwan Kurniawan
Jakob Oetama
Janual Aidi
JJ. Kusni
Johan Fabricius
John H. McGlynn
Jordaidan Rizsyah
Jual Buku Sastra
K.H. A. Azis Masyhuri
Kadjie Mudzakir
Kahfie Nazaruddin
Kahlil Gibran
Kamajaya Al. Katuuk
Kamran Dikarma
Kedung Darma Romansha
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khansa Arifah Adila
Khatijah
Khoirul Inayah
Ki Dhalang Sulang
Ki Ompong Sudarsono
Kikin Kuswandi
Kodirun
Koh Young Hun
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Sastra Mangkubumen (KSM)
Komunitas Teater Se-Lamongan
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kurniawan Junaedhie
Kurniawan Muhammad
Kuswaidi Syafi’ie
Kuswinarto
L.K. Ara
Laksmi Shitaresmi
Lan Fang
Larung Sastra
Latief S. Nugraha
lensasastra.id
Leo Tolstoy
Leon Agusta
Linda Christanty
Lutfi Mardiansyah
M. Aan Mansyur
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Lutfi
M. Shoim Anwar
M. Yoesoef
M. Yunis
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahdi Idris
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Marniati
Martin Aleida
Mashuri
Masuki M. Astro
Matroni Muserang
Mawar Kusuma
Max Arifin
Melani Budianta
Mihar Harahap
Mikael Johani
Miziansyah J.
Moch. Fathoni Arief
Moh. Ghufron Cholid
Mohammad Afifi
Mohammad Rafi Azzamy
Muhammad Hanif
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun AS
Muhidin M. Dahlan
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Myra Sidharta
Nadia Cahyani
Naim
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nessa Kartika
Ni Made Purnama Sari
Nikita Mirzani
Nirwan Ahmad Arsuka
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Nurel Javissyarqi
Nurul Fahmy
Nurul Ilmi Elbana
Nyoman Tusthi Eddy
Ong Hok Ham
Orasi Budaya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Pay Jarot Sujarwo
PDS H.B. Jassin
Pendidikan
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pringgo HR
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Pustaka Bergerak
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
Qismatun Nihayah
R Sutandya Yudha Khaidar
R Toto Sugiharto
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rahmat Sutandya Yudhanto
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Prambudhi Dikimara
Rambuana
Ramdhan Triyadi Bempah
Ratnani Latifah
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ribut Wijoto
Ricarda Huch
Riezky Andhika Pradana
Riki Dhamparan Putra
Rizki Aprima Putra
Rokhim Sarkadek
Rony Agustinus
Royyan Julian
Rukardi
Rumah Budaya Pantura
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Ruth Indiah Rahayu
S Yoga
S. Arimba
S. Jai
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Sahaya Santayana
Sahli Hamid
Saini KM
Sajak
Salvator Yen Joenaidy
Samsul Anam
Sapardi Djoko Damono
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Selendang Sulaiman
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setyaningsih
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sosial Media Sastra
Sosiawan Leak
Sovian Lawendatu
Sudarmoko
Sudirman
Sugeng Sulaksono
Sugito Ha Es
Sumani
Sumargono SN
Suminto A. Sayuti
Sunaryata Soemarjo
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suryanto Sastroatmodjo
Susie Evidia Y
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
T Agus Khaidir
T.A. Sakti
Tangguh Pitoyo
Tatan Daniel
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Eska
Teater Pendopo nDalem Mangkubumen (Dokumen)
Teater Tawon
Tedy Kartyadi
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tiya Hapitiawati
Tiyasa Jati Pramono
Toeti Heraty
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Usman Arrumy
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vika Wisnu
W.S. Rendra
Wahyu Triono Ks
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Jengki Sunarta
Wayan Sunarta
Welly Kuswanto
Wilda Fizriyani
Willy Ana
Y Alpriyanti
Y.B. Mangunwijaya
Yanto le Honzo
Yasin Susilo
Yasir Amri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yonathan Rahardjo
Yudha Kristiawan
Yudhistira ANM Massardi
Yulhasni
Zehan Zareez
Zuhdi Swt
Zul Afrita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar