Mulyadi SA
majalah Misteri, 20 Sep-04 Nov 2008
Nama Raden Ngabehi Ronggowarsito memang sudah tidak asing lagi. Dia adalah
seorang pejangga keraton Solo yang hidup pada 1802-1873. Tepatnya lahir hari
Senin Legi 15 Maret 1802, dan wafat 15 Desember 1873, pada hari Rabu Pon.
Pujangga yang dibesarkan di lingkungan kraton Surakarta ini namanya terkenal
karena dialah yang menggubah Jangka Jayabaya yang tersohor hingga ke
mancanegara itu. Hingga sekarang kitab ramalan ini masih menimbulkan
kontroversi.
R. Ng. Ronggowarsito adalah bangsawan keturunan Pajang, dengan silsilah
sebagai berikut:
P. Hadiwijoyo (Joko Tingkir)
P. Benowo, putera Emas (Panembahan Radin)
P. Haryo Wiromenggolo (Kajoran)
P. Adipati Wiromenggolo (Cengkalsewu)
P.A. Danuupoyo, KRT Padmonegoro (Bupati Pekalongan)
R.Ng. Yosodipuro (Pujangga keraton Solo)
R. Ng.Yosodipuro alias Bagus Burham adalah R.Ng.Ronggowarsito yang kita
kenal. Semasa kecil hingga remaja dia memang lebih dikenal dengan nama Bagus
Burhan, dan pernah menuntut ilmu di Pesantren Tegalsari atau Gebang Tinatar,
seperti yang sekilas telah dipaparkan dalam Jelajah Misteri No.0450 lalu.
Dari jalur ibundanya, R.Ng.Ronggowarsito merupakan seorang bangsawan
berdarah Demak, dengan silsilah sebagai berikut:
R. Trenggono (Sultan Demak ke III)
R.A. Mangkurat
R.T. Sujonoputero (Pujangga keraton Pajang)
K.A. Wongsotruno
K.A. Noyomenggolo (Demang Palar)
R. Ng. Surodirjo I
R.Ng. Ronggowarsito/Bagus Burham.
Karena ayahandanya wafat sewaktu sang pujangga belum cukup dewasa, Bagus
Burhan kemudian ikut dengan kakeknya, yaitu R. Tumenggung Sastronegoro, yang
juga seorang bangsawan keraton Solo.
Dikisahkan, pada saat dirawat oleh kakeknya inilah Bagus Burhan hidup
dengan penuh kemanjaan, sehingga bakatnya sebagai seorang pujangga sama sekali
belum terlihat. Bahkan, kesukaannya di masa muda adalah sering menyabung jago,
dan bertaruh uang. Bermacam-macam kesukaan yang menghambur-hamburkan uang seakan
menjadi cirri khasnya kala itu.
Namun demikian sang kakek, R. Tumenggung Sastronegoro, telah meramalkan
kalau nanti cucu kinasihnya ini akan menjadi seorang pembesar setaraf dengan
kakek buyutnya. Untuk mewujudkan ramalannya ini, sang kakek kemudian menitipkan
Bagus Burhan ke Kyai Imam Bestari pemilik pondok pesantren Gebang Tinatar di
Tegalsari, Ponorogo.
Pada saat di pesantren, kebengalan Bagus Burhan semakin menjadi. Hal ini
membuat Kyai Imam Bestari kewalahan. Kesukaannya bertaruh dan berjudi sabung
ayam tidak kunjung luntur. Karena kebiasaan buruknya ini, maka sering kali
bekal yang dibawanya dari Solo habis tak karuan di arena judi sabung ayam.
Karena kenakalannya, setelah setahun berguru, tak ada kemajuan sama sekali.
Oleh karena itulah Kyai Imam Bestari memintanya agar pulang ke Solo. Sang Kyai
merasa tak sanggup untuk mengajarnya ilmu-ilmu keagamaan.
Wibawa Kyai Imam Bestari membuat Bagus Burhan tak kuasa untuk menolak
titahnya. Namun, dia menghadapi dilema. Kalau dirinya pulang ke Solo, kakeknya
pasti akan marah besar.
Karena takut pada murka kakeknya inilah, maka bersama dengan Ki Tanujoyo
pamomongnya, Bagus Burhan memutuskan untuk tidak pulang ke Solo. Dia memilih
berguru ke Kediri.
Dikisahkan, dalam perjalanan menuju Kediri, Bagus Burhan dan Ki Tanujoyo
tersesat di sebuah hutan. Karena hingga tiga hari tiga malam tak menjumpai
rumah penduduk, maka selama itu pula mereka tak makan dan tak minum. Karena
kelaparan, Bagus Buhan yang biasa hidup enak dan serba kecukupan akhirnya
pingsan.
Sementa itu, di tempat lain, yakni di padepokan Kyai Imam Bestari, sang
Kyai memperoleh wangsit yang memberikan pertanda bahwa Ponorogo akan dilanda
kelaparan. Dalam wangsit itu dikatakan bahwa bencana kelaparan ini akan
tertolong bila Bagus Burhan yang telah pergi jauh itu mau diajak kembali ke
Ponorogo.
Demi mendapatkan isyaroh ini, sebagai seorang linuwih, Kyai Imam Bestari
langsung mengirim utusan untuk menjemput kembali bocah Bengal itu ke Solo.
Celakanya, menurut laporan yang diperoleh, para utusan itu tidak mendapatkan
Bagus Burhan di Solo. Bahkan, anak itu belum juga sampai ke rumah kakeknya.
Setelah mendapatkan laporan itu, Kyai Imam Bestari bermunajat kepada Allah
untuk meminta petunjukNya. Singkat cerita, Bagus Burhan memang berhasil
diketemukan. Bocah ini pun tidak menolak ketika diajak kembali ke padepokan,
karena ini memang harapannya agar tidak mendapatkan murka dari sang kakek.
Saat menetap kembali di pesantren Gebang Tinatar, Tegalsari, Ponorogo.
Perilaku Bagus Burhan ternyata tak kunjung berubah. Tetap suka berboros-boros
dengan bertaruh dan berjudi sabung ayam. Hal ini sangat mengecewakan Kyai Imam
Bestari. Karena tak tak tahan melihat kelakukan santrinya, maka suatu hari sang
Kyai memarahi Bagus Burhan dengan kata-kata yang sangat menusuk perasaan si
anak muda.
Mendapatkan kemarahan hebat dari Kyai Imam Bestari, Bagus Burhan berniat
segera hengkang dari pesantren. Untunglah, dalam kondisi seperti iini Ki
Tanujoyo segera mengambil peranan. Dia berusaha tampil menolong keadaan, dengan
cara membesarkan hati Raden Bagus Burhan.
“Raden ini bukan keturunan orang kebanyakan. Leluhur Raden adalah bangsawan
keraton yang hebat. Untuk diketahui, itu semua bukan dicapai dengan hidup
enak-enak. Akan tetapi, dicapai dengan cara laku prihatin, tirakat, mesu budi
dan patiraga. Apakah Raden tidak ingin seperti mereka?””
Mendengar perkataan Ki Tanujoyo seperti itu, akhirnya bangkitlah semangat
Raden Bagus. Dia pun mencoba tetap bertahan di pesantren Gebang Tinatar di
Tegalsari, Ponorogo. Sampai suatu ketika, dirinya minta diantar ke kali Kedhung
Batu untuk menjalani tirakat, sebagaimana yang pernah ditempuh oleh para
leluhurnya.
Berkat kekerasan hati dan ketekunannya, maka setelah menjalani tirakat
selama 40 hari 40 malam di kedung Watu, tanpa makan dan minum, kecuali sesisir
pisang setiap harinya, akhirnya ada hasil yang dia peroleh. Dari tirakatnya ini
Raden Bgus memperoleh wisik, yakni ditemui eyang buyutnya, R.Ng.Yosodipuro I.
Dia diminta menengadahkan telinganya, dan gaib sang kakek buyutnya kemudian masuk
kedalamnya.
Ada kisah lain yang tak kalah aneh. Konon, Ki Tanujoyo yang menemaninya
dipinggir kali, sewaktu menyiapkan nasi untuk buka saat tirakat menginjak hari
kw 40, orang tua ini melihat ada sinar masuk ke dalam kendilnya, yang ternyata
berupa ikan untuk lauk sang Bagus berbuka puasa.
Semenjak usai menjalani tirakat ini, pribadi Raden Bagus Burhan pun berubah
180 derajat. Kebengalannya berubah menjadi sikap yang sangat patuh. Tak hanya
itu, kalau pada awalnya dia santri yang bebal, akhirnya berubah menjadi santri
yang cepat menerima pelajaran yang diberikan oleh Kyai Imam Bestari. Dia juga
memiliki kelebihan dalam hal mengaji dan berdakwah, sehingga jauh lebih
menonjol dibandingkan santri-santri lainnya. Karena kecerdasannya ini, Bagus
Burhan memperoleh sebutan baru dari Kyai Imam Bestari, yakni Mas Ilham.
Misteri Kematian Sang Pujangga
Pada akhir sekitar rentang 1979, kematian R.Ng. Ronggowarsito alias Bagus
Burham memang sempat menjadi bahan polemik. Pokok pangkal polemik tersebut
adalah sekitar kematian Ronggowarsito yang telah diketahui sebelumnya oleh
dirinya sendiri. Ya, delapan hari sebelum ajal menjemputnya sang pujangga telah
menulis berita kematian tersebit dalam Serat Sabda Jati. Demikian cuplikannya
dalam susunan kalimat asli:
“Amung kurang wolu ari kadulu, tamating pati patitis. Wus katon neng lobil
makpul, antarane luhur, selaning tahun Jumakir, toluhu madyaning janggur.
Sengara winduning pati, netepi ngumpul sakenggon.”
Artinya kurang lebih bahwa dirinya akan meninggal pada tanggal 5 Dulkaidah
1802 atau tanggal 24 Desember 1873 pada hari Rabu Pon.
Tulisan tersebut memang sempat melahirkan kontroversi berkepanjangan. Ada
yang menilai bahwa Ronggowarsito meninggal bukan secara alami, akan tetapi
dibunuh atas perintah persekongkolan Raja Paku Buwono IX yang mendapat desakan
Belanda. Ketika itu Belanda merasa resah karena melihat kelebihan dan
kemampuannya. Karena itulah Belanda berkepentingan menghabisinya. Apalagi,
ayahanda Ronggowarsito ternyata juga telah diculik Belanda hingga akhirnya
tutup usia di Jakarta.
Keinginan Belanda itub rupanya sejalan dengan Paku Buwono IX. Sang raja
juha merasakan adanya sesuatu yang kurang berkenan dengan sepak terjang
Ronggowarsito yang ketika itu namanya sangat terkenal mengingat karya-karyanya.
Maka kuat dugaan, konspirasi menyikirkan Ronggowarsito akhirnya berjalan
sempurna.
Apakah keraguan ini benar? Memang, sampai sekarang hal tersebut tetap
menjadi misteri. Di satu pihak menganggap bahwa dengan kelinuwihannya
Ronggowarsito memang mampu mengetahui saat-saat kematiannya, meski kematian
adalah rahasia Tuhan. Namun di pihak lain menduga bahwa tidak menutup
kemungkinan ada tangan-tangan lain yang merekayasa kematian tersebut,
sekaliggus merekayasa kalimat ramalan pada Serat Sabda Jati sebagaimana dinukuli
di atas.
Memang, banyak kalangan ahli yang beranggapan, bahwa bait-bait sebagaimana
kami nukilkan itu merupakan tambahan dari orang lain. Hal ini jika mengingat
dari sekitar 50 buku tulisan karya Ronggowarsito tidak terlalu nyata, mana
tulisan murni karyanya, dan mana yang ditulis bersama-sama dengan orang lain,
maupun yang merupakan terjemahan. Hal ini mudah dimaklumi, mengingat pada waktu
itu belum ada perlindungan hak cipta. Apalagi sewaktu Ronggowarsito bertugas di
keraton Solo kerajaan dalam kondisi tidak menentu, terpengaruh dengan
perseteruan keluarga raja dan campur tangan kaum penjajah Belanda yang ingin
mengail d iair keruh. Bagaimana yang sebenarnya, hanya Tuhan yang Maha Tahu.
Sumur Tua Bernuansa Mistis
Beberapa waktu yang lalu Misteri berziarah ke makam pujangga agung Tanah
Jawa ini. Yang menarik, di bagian utara komplek makam, terdapat sebuah sumur
tua, yang konon sudah ada sejak pertama kali makam tersebut dibangun.
Mungkin karena ketuaannya, Misteri memang merasakan kalau sumur ini telah
dipengaruhui oleh khodam sang pujangga yang memiliki daya linuwih tersebut.
Kekuatan khodam ini terasa sangat dominant.
Memang, menurut kepercayaan sumur ini menyimpan karomah untuk memperoleh
atau meramalkan gambaran jati diri seseorang. Caranya adalah dengan prosesi
ritual tertentu, yakni dengan memasukkan uang gobang kuno ke dalam sumur yang
saat penghujan hanya berkedalaman sekitar satu setengah meter dari permukaan
tanah tersebut.
Menurut tutur, orang yang melakukan ritual akan memperoleh gambaran yang
dapat terlihat, yang melambangkan nasib atau peruntungannya. Contohnya, jika
terlihat gambaran payung, maka diyakini akan memperoleh jabatan tinggi. Contoh
lainnya, bila si pelaku ritual melihat gambaran buku, maka diyakini dia akan
menjadi penulis atau pengarang terkenal yang buku-bukunya laris.
Masih banyak gambaran lain yang bisa diperoleh peziarah, yang tentu saja
untuk membacanya kita perlu minta petunjuk juru kunci.
“Sumur ini ada yang menyebutnya Sumur Tiban. Menurut penerawangan, sumur
itu ditunggu oleh sejenis jin yang berwujud seorang puteri.Namanya Sekar Lara
Gadung Melati,” demikian tutur Bu Bambang, 55 tahun, isteri juru kunci yang
sering diminta tolong mengantarkan tamu, apabila suaminya tidak sedangg ada di
tempuh karena keperluan yang tak dapat ditinggalkan.
Ketika Misteri berkunjung ke tempat ini, maih terlihat batang-batang hio
bekas para peziarah. Juga terlihat di sana sini tersebar kembang dari para
peziarah yang belum sempat dibersihkan.
“Hampir setiap hari ada tamu yang ritual di sini. Tetapi yang paling banyak
di hari Kamis malam Jum’at Kliwon,” tambahnya pula.
Kompleks makam Ronggowarsito ini dibangun hingga mencapai bentuknya yang
sekarang sekitar 1955 oleh Dinas P & K kala ini. Yang terasa unik, di luar
cungkup pujangga terlihat makam Carel Prederick Winters (1799-1859), berikut
isterinya, Jacoma Hendrika Logeman (1828). Maka ini memang dipindahkan dari
makam Kerkop di Jebres Solo sekitar 1985.
Tak jauh dari maka sang pujangga juga ada makam Bagus Tlogo dan Bagus
Gumyur. Mereka disebut sebagai cikal bakal makam, yang merupakan pemuda kembar
yang hingga kini masih masih paling diangap wingit.
Sementara itu, terlepas dari mana yang benar tentang peristiwa wafatnya
sang pujangga, tulisan-tulisan karyanya telah memberikan andil dalam
kesusteraan kita. Khususnya sastrawan bahasa Jawa. Tanpa Ronggowarsito, mungkin
terlampau sedikit kajian sastra-sastra Jawa yang dapat dimanfaatkan.
Ramalan Jangka Jayabaya, misalnya, sangat besar andilnya bagi masyarakat
Jawa khususnya, dan Indonesia pada umumnya. Terlebih, apabila kondisi bangsa
sedang terpuruk, biasanya ada secercah harapan, bahwa di suatu saat nanti
cobaan akan berakhir setelah munculnya seorang pemimpin sejati, yang disenangi
rakyat, yaitu Satrio Piningit atau Ratu Adil, yang akan mengentaskan kita dari
keterpurukan keadaan.
Sebagai contoh, pada zaman pemberontakan Dipenogoro (1825-1830), pengikut
sang pangeran mengira bahwa beliaulah Ratu adil yang ditunggu-tunggu, yang akan
mampu melepaskan mereka dari derita akibat ulah penjajah Belanda. Demikian pula
ketika Jepang mencengkramkan kuku-kuku penjajahannya di Indonesia.
Demikian juga ketika negara kita dilanda oleh krisis multi dimensi,
harga-harga mahal, kesulitan hidup mencekik leher seperti sekarang ini. Dengan
adanya wacana akan datangnya sang Ratu Adil, maka rakyat tetap memiliki rasa
optimis. Setidaknya, mereka masih punya harapan bahwa di suatu waktu nanti
keadaan ini akan berakhir, dan kejayaan bangsa akan pulih, bahkan melebihi
kejayaan masa lampau.
Kapan itu? Kita sama-sama menunggu. “Bayang-bayang hanya setinggi badan.”
Demikian kata pepatah., yang artinya cobaan dari Tuhan sebatas kita mampu
menanggungnya. Mungkin, kita memang masih harus bersabar!
***
http://sastra-indonesia.com/2021/02/rongowarsito-dari-santri-bengal-jadi-pujangga-agung/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Dharta
Abdul Hadi WM
Abdul Wachid B.S.
Abdullah Abubakar Batarfie
Abdurrahman Wahid
Achmad Faesol
Achmad S
Achmad Soeparno Yanto
Adin
Adrian Balu
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agung Sasongko
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Prasmono
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Mustofa Bisri
Ahmad Tohari
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akhudiat
al-Kindi
Alex R. Nainggolan
Ali Ahsan Al Haris
Ali Audah
Ali Syariati
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Andhika Dinata
Andi Neneng Nur Fauziah
Andra Nur Oktaviani
Andrenaline Katarsis
Andy Riza Hidayat
Anindita S. Thayf
Anton Kurniawan
Anton Sudibyo
Aprinus Salam
Arafat Nur
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Arthur Rimbaud
Asap Studio
Asarpin
Asti Musman
Atafras
Awalludin GD Mualif
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Balada
Bambang Riyanto
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernadette Aderi
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budi Darma
Butet Kartaredjasa
Cak Bono
Catatan
Cecil Mariani
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Charles Bukowski
Christine Hakim
Cinta Laura Kiehl
D. Zawawi Imron
Dahta Gautama
Daisy Priyanti
Damhuri Muhammad
Danarto
Dara Nuzzul Ramadhan
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darojat Gustian Syafaat
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Sartika
Dharmadi
Dhenok Kristianti
Dian Wahyu Kusuma
Dianing Widya Yudhistira
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djoko Subinarto
Doan Widhiandono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Yan Masfa
Donny Anggoro
Dwi Cipta
Dwi Klik Santosa
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Enda Menzies
Erik Purnama Putra
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esti Nuryani Kasam
Evan Ys
Evi Idawati
F Aziz Manna
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Fairuzul Mumtaz
Fajar Alayubi
Farah Noersativa
Faris Al Faisal
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrozak
Faza Bina Al-Alim
Feby Indirani
Felix K. Nesi
Fian Firatmaja
Firman Wally
Fiyan Arjun
Forum Penulis dan Pegiat Literasi Lamongan (FP2L)
Franz Kafka
Galih M. Rosyadi
Galuh Tulus Utama
Ganug Nugroho Adi
Garna Raditya
Gendut Riyanto
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Gombloh
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gurindam
Gusti Eka
H.B. Jassin
Halim HD
Hamdy Salad
Hamka
Hari Sulastri
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasbi Zainuddin
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Hermawan Mappiwali
Herry Lamongan
Hikmat Gumelar
HM. Nasruddin Anshoriy Ch
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
Ibnu Wahyudi
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Iksaka Banu
Ilham
Imam Muhayat
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Arlado
Imron Tohari
Indra Tjahyadi
Indrawati Jauharotun Nafisah
Indrian Koto
Inung As
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Ismi Wahid
Iva Titin Shovia
Iwan Fals
Iwan Kurniawan
Jakob Oetama
Janual Aidi
JJ. Kusni
Johan Fabricius
John H. McGlynn
Jordaidan Rizsyah
Jual Buku Sastra
K.H. A. Azis Masyhuri
Kadjie Mudzakir
Kahfie Nazaruddin
Kahlil Gibran
Kamajaya Al. Katuuk
Kamran Dikarma
Kedung Darma Romansha
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khansa Arifah Adila
Khatijah
Khoirul Inayah
Ki Dhalang Sulang
Ki Ompong Sudarsono
Kikin Kuswandi
Kodirun
Koh Young Hun
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Sastra Mangkubumen (KSM)
Komunitas Teater Se-Lamongan
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kurniawan Junaedhie
Kurniawan Muhammad
Kuswaidi Syafi’ie
Kuswinarto
L.K. Ara
Laksmi Shitaresmi
Lan Fang
Larung Sastra
Latief S. Nugraha
lensasastra.id
Leo Tolstoy
Leon Agusta
Linda Christanty
Lutfi Mardiansyah
M. Aan Mansyur
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Lutfi
M. Shoim Anwar
M. Yoesoef
M. Yunis
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahdi Idris
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Marniati
Martin Aleida
Mashuri
Masuki M. Astro
Matroni Muserang
Mawar Kusuma
Max Arifin
Melani Budianta
Mihar Harahap
Mikael Johani
Miziansyah J.
Moch. Fathoni Arief
Moh. Ghufron Cholid
Mohammad Afifi
Mohammad Rafi Azzamy
Muhammad Hanif
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun AS
Muhidin M. Dahlan
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Myra Sidharta
Nadia Cahyani
Naim
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nessa Kartika
Ni Made Purnama Sari
Nikita Mirzani
Nirwan Ahmad Arsuka
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Nurel Javissyarqi
Nurul Fahmy
Nurul Ilmi Elbana
Nyoman Tusthi Eddy
Ong Hok Ham
Orasi Budaya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Pay Jarot Sujarwo
PDS H.B. Jassin
Pendidikan
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pringgo HR
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Pustaka Bergerak
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
Qismatun Nihayah
R Sutandya Yudha Khaidar
R Toto Sugiharto
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rahmat Sutandya Yudhanto
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Prambudhi Dikimara
Rambuana
Ramdhan Triyadi Bempah
Ratnani Latifah
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ribut Wijoto
Ricarda Huch
Riezky Andhika Pradana
Riki Dhamparan Putra
Rizki Aprima Putra
Rokhim Sarkadek
Rony Agustinus
Royyan Julian
Rukardi
Rumah Budaya Pantura
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Ruth Indiah Rahayu
S Yoga
S. Arimba
S. Jai
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Sahaya Santayana
Sahli Hamid
Saini KM
Sajak
Salvator Yen Joenaidy
Samsul Anam
Sapardi Djoko Damono
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Selendang Sulaiman
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setyaningsih
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sosial Media Sastra
Sosiawan Leak
Sovian Lawendatu
Sudarmoko
Sudirman
Sugeng Sulaksono
Sugito Ha Es
Sumani
Sumargono SN
Suminto A. Sayuti
Sunaryata Soemarjo
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suryanto Sastroatmodjo
Susie Evidia Y
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
T Agus Khaidir
T.A. Sakti
Tangguh Pitoyo
Tatan Daniel
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Eska
Teater Pendopo nDalem Mangkubumen (Dokumen)
Teater Tawon
Tedy Kartyadi
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tiya Hapitiawati
Tiyasa Jati Pramono
Toeti Heraty
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Usman Arrumy
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vika Wisnu
W.S. Rendra
Wahyu Triono Ks
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Jengki Sunarta
Wayan Sunarta
Welly Kuswanto
Wilda Fizriyani
Willy Ana
Y Alpriyanti
Y.B. Mangunwijaya
Yanto le Honzo
Yasin Susilo
Yasir Amri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yonathan Rahardjo
Yudha Kristiawan
Yudhistira ANM Massardi
Yulhasni
Zehan Zareez
Zuhdi Swt
Zul Afrita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar