Rabu, 10 Februari 2021

PLANET MARS, 2003 *

Persentuhan Bumi dan Mars 1883, 1942 (2003), 2063
 
Doddi Ahmad Fauji **
 
Menurut para ahli antariksa, bukan hanya planet bumi yang memiliki daya gravitasi, tapi seluruh benda langit yang terhimpun dalam tata kelola galaksi bimasakti, kiranya memiliki daya gravitasinya masing-masing, termasuk planet mars. Selain punya daya gravitasi, tiap benda angkasa itu, posisinya tidak diam mematung seperti pertapa, melainkan bergerak pada poros dan equatornya masing-masing, sambil memutari pusat galaksi, yaitu matahari. Perputaran benda-benda langit itu, ternyata tidak membentuk lingkaran bulat, melainkan sedikit lonjong atau agak oval, serta bergerak tidak tetap pada satu garis lurus, melainkan bergerak agak sempoyongan antara ke utara dan ke selatan. Titik sempoyong bumi, berada pada garis 27 derajat lintang utara dan 27 derajat lintang selatan. Jika di suatu waktu bumi ini mengalami kegalauan, sehingga pergerakannya keluar dari titik sempoyong yang 27 derajat itu, katakanlah yang di utara mencapai 28 derajat atau yang di selatan mencapai 26 derajat, saya yakin akan berdampak pada penciptaan perubahan pranatamangsa secara global.
 
Merujuk pada penjelasan dalam ajaran kitab suci Quran, serta teori para antariksawan bahwa seluruh benda langit sedang bergerak pada satu titik hitam (black hole), sungguh bahwa kegalauan benda-benda langit itu akan terjadi secara serempak, yakni ketika masing-masing benda, sudah mendekati titik hitam sebagai stasiun tujuannya. Kondisi tersebut akan memicu terciptanya kehancuran agung yang masif, atau apa yang disebut dengan kiamat kubro.
 
Kembali pada masalah gravitasi serta wilayah putar benda langit yang agak lonjong, hal itu telah memungkinkan terciptanya koresponsi resiprokal antar-benda langit dalam dua kondisi, yaitu kondisi korespondensi terjauh dan kondisi korespondensi terdekat. Menurut para antariksa, bumi dan mars mengalami korespondensi terdekat adalah pada jarak 57,8 juta KM, sedangkan titik terjauhnya pada jarak 401 juta KM. Namun tiap 60 tahun sekali, bumi dan mars akan berhadap-hadapan dalam jarak paling dekat, yaitu 55,8 juta KM, dan mengalami jarak terdekat sekali, terjadi pada 6.000 tahun sekali, yang diperkirakan mencapai 40 juta KM.
 
Saya ingin melihat jarak terdekat antara bumi dan mars dalam periodik 60 tahunan, dan dampaknya terhadap prilaku alam, tumbuhan, bintang, dan manusia. Titik terdekat bumi dan mars dalam periodik 60 tahunan itu, terjadi pada tahun 2003, dan bila ditarik ke belakang, berarti pernah terjadi pada tahun 1943, bila ditarik lagi ke belakang, bumi dan mars saling mendekat pernah terjadi pada tahun 1883. Sedangkan bila ditarik ke depan, bumi dan mars akan saling mendekat lagi pada tahun 2063. Pada tahun itu, semua yang hadir hari ini di sini, diperkirakan sudah tidak lagi jadi saksi jaman.
 
Saya katakan tadi di atas, bahwa tiap benda langit memiliki daya tarik gravitasi. Nah, ketika bumi dan mars saling mendekat pada jarak yang lumayan intim, yaitu pada 2003 itu, tentu akan berdampak besar terhadap kehidupan ini, namun tidak kita sadari. Secara imajinasi saja, saya membayangkan ketika bumi dan mars akan saling mendekat, saat itu daya gravitasi masing-masing planet, saling berpengaruh seperti dua kekuatan penyihir sedang berada ilmu kedigdayaan, hingga terciptalah suhu yang lebih panas, yang berdampak pada alam sekitarnya. Akibat suhu yang lebih panas itu, terciptalah global warming (pemanasan global), serta terjadi perubahan iklim secara ekstrem, yang membuat perpindahan musim penghujan dan kemarau sedikit bergeser. Periode berbuahnya tanaman ikut berubah, prilaku binatang ikut berubah, dan ulah manusia jadi banyak yang aneh. Semua itu terjadi, karena bumi dan mars sedang beradu gravitasi.
 
Mendekati tahun-tahun 2003 itu, banyak kejadian di muka bumi yang mendekati destruktif, akibat ulah manusia. Puncaknya adalah peledakan gedung WTC di New York pada 11/9 2001. Kita tengok pada 1943 ketika bumi dan mars berdekatan, di sana ada ledakan Bom Atom di Hiroshima dan Nagasaki. Kita lihat pada 1883, manusia modern memacu agresivitasnya dengan lahirnya Revolusi Industri gelombang 1.0.
 
Sebelum WTC diledakan, manusia terus-menerus mengumbar ego, karena suhu bumi memang sedang memanas, yang membuat manusia dan seluruh penghuni di dalamnya, hidupnya bagai diopen seperti kue nastar. Darah lebih mendidih, dan tingkah laku manusia menjadi lebih agresif. Perilaku binatang yang saya amati nampak benar-benar berubah, terjadi pada tikus, kucing, dan anjing. Dulu, tikus itu takut oleh kucing, kucing takut oleh anjing, dan anjing akan menggonggong bila melihat kucing.
 
Dulu, sebelum bumi dan mars saling mendekat pada 2003 itu, kucing punya sifat malu-malu bila dikasih makanan, sehingga muncul peribahasa ‘malu-malu kucing’. Itu dulu, setelah peritiwa 2003, kucing tidak malu bila dikasih makanan, dan bahkan tanpa rasa takut, kucing berani menepuk kaki ke manusia untuk meminta makanan.
 
Sifat anggota DPR, suka diibaratkan dengan kucing, dan koruptor diibaratkan dengan tikus. Maka lihatlah, sebelum tahun 2003, dulu tikus itu suka sembunyi-sembunyi saat mencuri akan makanan, tapi setelah 2003, tikus berkeliaran terang-terangan, dan menjadi gambaran bahwa para koruptor makin berkeliaran, serta anggota DPR sudah tidak malu-malu kucing lagi, tapi dengan tanpa rasa malu dan takut, mereka meminta naik gaji, mobil dan rumah dinas yang bagus, serta sekian fasilitas lainnya.
 
Tentunya, tiap 60 tahun sekali itu, terjadi pula perubahan generasi pada manusia, sekaligus tiap generasi itu, memiliki perilaku dan perangainya yang secara fenomena, dapat dibedakan dari generasi sebelum dan sesudahnya. Orang Amerika, suka rajin memberi nama pada tiap generasi itu. Istilah generasi milenial, muncul dari kelewat rajinnya orang-orang Amerika dalam memberikan penanda terhadap sebuah generasi. Label Milenial untuk menandai sebuah generasi, distempelkan oleh berbabagi lembaga di Amerika, namun bila ditarik kesamaannya, umumnya mengacu pada generasi yang lahir antara tahun 1980-an hingga 2004, yaitu generai yang lahir dua warsa jelang tahun 2003, ketika bumi dan mars berada pada titik intim terdekat. Saya kutip dari berbagai sumber, tidak kurang dari 20 lembaga atau institusi di Amerika, seperti Majalah Time, memberi penanda atau penamaan terhadap generasi yang lahir pada 1980-2004 ini. Umumnya mengerucut pada pendapat yang sama, bahwa manusia yang lahir di Amerika pada periode itu, adalah generasi dengan ego yang kelewat tinggi. Aku adalah pusat dari kehidupan. Majalah time menyebut mereka dengan generasi “Milenial: Me Me Me!”
 
Kebetulan generasi milenial ini lahir berbarengan dengan penemuan dan penciptaan gawai, serta peradaban dunia tengan memasuki era digitalisasi. Maka Generasi Milenial ini, di Amerika sana, diidentikkan dengan generasi yang melek gawai dan digital, di mana kedua piranti tersebut, telah melahirkan realitas baru yang maya, yaitu dunia supranatural teknologis alias internet. Penemuan internet telah melahirkan efek domino, yakni terciptanya era transparansi informasi dan komunikasi. Di era ini, di dunia realitas kedua itu, sungguh pembagian dunia tidak lagi dibatasi oleh geografis, melainkan oleh ketersediaan Kuota internet.
 
Di Indonesia, penamaan generasi milenial ini hanyalah kelatahan yang muncul untuk mempertegas: bahwa bangsa Indonesia adalah pengekor, pengguna, dan bangsa terdampak secara sistemik. Jadi, generasi milenial di negeri kita, adalah generasi terdampak paling buruk di sepanjang sejarah Republik ini, karena tepat pada saat ini, bangsa ini lahir di permukaan bumi, dengan nyaris tidak memiliki kreativitas yang patut dibanggakan di tingkat dunia. Berbeda dengan leluhur kita, yang pernah menorehkan prestasi mengagumkan di dunia, yaitu tercatat sebagai bangsa yang berani melakukan pelayaran bunuh diri pada sekira 400-an tahun sebelum masehi, di mana para pelaut dari Nusantara, dengan menggunakan kapal bercadik, berani mengarungi Samudra Hindia, hingga terdampar di Madagakar, dan pelayaran maut itu diberi nama Arung Borobudur. Dinasti Sanjaya mengabadikan pelayaran maut itu dengan sebuah bangunan monumental bernama Candi Borobudur.
 
Catatlah ini, bahwa Candi Borobudur bukan hanya rumah ibadat, melainkan perpustakaan nasional kala itu. Di sanalah kejayaan bangsa Nusantara lama dicatatkan. Sayangnya, kita tidak mewarisi tradisi literatif sejak dijajah oleh Belanda, sehingga para sejarawan, arkeolog, filolog, antropolog, arsitek, ustad, habib, pendeta, rahib, dan ahli-ahli lainnya, tak mampu membaca serta memaknai secara sungguh-sungguh apa yang dituliskan dalam sandi dan aksara berbentuk relief dan arsitektur itu, di perpustakaan masa silam bernama Borobudur.
 
Leluhur kita, setidaknya pernah meninggalkan jejak dan artefak yang diakui oleh dunia, sebagai warisan budaya tak benda, atau “the intangible heritage for the world civiliation”. Wayang, keris, angkung, tari saman, instrumen sasando, dan corak batik, telah diakui oleh Unesco sebagai warisan budaya tak benda itu.
 
Bila kita berbicara tentang dampak, tentu saja ada dampak baik dan dampak buruk yang akan ikut diserap oleh kita sebagai bangsa terdampak ini. Sayangnya, para tetua feodalistik, yang lahir antara 1940 – 1960an, acapkali lebih mendahulukan melihat yang negatifnya, yang buruknya, dan bilapun menyadari ada dampak positif dari setiap peristiwa, mereka enggan melihatnya.
 
Saya tidak lahir dalam kurun 1940-1960, melainkan pada periode 1960-1980, yang di Amerika sana diberi nama Generasi X atau generasi Baby Boom, sedangkan generasi Milenial disebutnya Generasi Y. Pembeda dari Generasi X dan Generasi Y, di Amerika dan menurut orang Amerika, adalah pada kesadaran akan narsisme. Generasi Y (milenial) lebih narsis karena ditunjang oleh teknologi digital, gawai, dan internet. Titik baik dari generasi Y, mereka lebih adaftif tergadap perubahan ketimbang generasi X, adapun titik lemahnya, generasi Y ini lebih individual alias lebih asosial dan autis. Corak dan perangai Generasi Y atau generasi milenial ini, sepanjang pengamatan saya, ternyata berlaku juga di Indonesua. Saya datang ke UPI, serasa sedang ziarah ke kuburan, sebab mahasiswa dan dosen, tampak mematung dengan gawainya masing-masing. Bila mengutip puisi Chairil Anwar, mereka itu tampak “iseng sendiri”.
 
Di tengah kondisi yang seperti ini, lalu seberapa penting puisi dihadirkan? Sebab tak ada pakar sastra atau pakar sosial di tahun yang lewat, yang melakukan prediksi, seperti apa kira-kira atmosfer kesusastraan pada era milenial? Di luar dugaan, sastra yang dulu hanya diminati oleh segelintir orang terpilih, kini terasa memasyarakat lebih masif, berkat penemuan teknologi ekpresi dan publikasi yang canggih, yaitu facebook beserta teknologi terusannya. Puisi dan antologi puisi, kini membanjir!
 
Di tengah kondisi seperti itu, saya ikut memandang perlu, bahwa tiap komunitas sastra yang berdaulat terhadap anggotanya, harus membangun mazhab sendiri, konsep sendiri, dan keyakinan sendiri, bahwa komunitasnya adalah yang terbaik. Jiwa korsa korp, atau esprite de corp, harus dinyalakan. Bahkan cita-cita perorangan pun, saya kira perlu diekspresikan untuk mewarani dunia kesusastraan.
 
Apa yang dilakukan oleh Ustad Soni Farid Maulana dengan menciptakan puisi klasik di era kontemporer, yaitu puisi Sonian, adalah sudah bagus dan perlu. Sekarang ini, penggemar Sonian makin merebak. Sampai-sampai di sebuah grup kepenulisan para guru di Jawa Barat, dibuka kelas menulis Sonian. Di luar masalah tindakan moral, apa yang dilakukan Denny JA dengan membuat puisi esai atau esai puisi, adalah sesuatu yang bagus karena memperkaya corak kesusastraan. Yang tidak saya setujui dari gerakan Denny JA, adalah gerakan keinginan untuk dinobatkan sebagai Tokoh Sastra Indonesia paling Berpengaruh di Indonesia, yang ditempuh dengan beberapa cara melabrak kesantunan dan kepatutan sebagai bangsa Nusantara.
 
Memasuki era konvergensi kelima, atau revolusi industi 4.0 (Jepang dan China sedang memasuki revolusi Industri 5.0), yang lebih berat adalah menghadapi manusia generasi kelahiran 1980-2004 itu, yang disebut-sebut lebih narsis, autis, dan asosial. Narsis boleh, tapi harus kokoh dengan kuda-kuda, namun autis dan asosial adalah bahaya, sebab hal tersebut akan mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara. Orang-orang asyik dengan gawainya hingga tak peduli terhadap orang di hadapannya, apalagi terghadap sumber daya alam yang berada di pelosok dan pedalaman bumi. Orang-orang larut memasuki dunia maya, sedangkan para oligarkhi pertambangan, sedang asyik merangsek ke pedalaman, dan mengacak-acak perut bumi Nusantara. Mereka mengeruk emas, giok, semen, minyak, kaolin, timah, ikan asin, sambil membuang kaos oblong, jeruk, apel, gawai, dan kosmetik yang membahayakan!
***
 
*) Disampaikan dalam diskusi Malam Sastra, Balai Bahasa Jawa Barat, 28 November 2019.
**) Doddi Ahmad Fauji, penulis buku Menghidupkan Ruh Puisi, Sastrawan Angkatan 2000 versi Korrie Layun Rampan, dan mantan redaktur sastra Koran Media Indonesia (1999 - 2001). http://sastra-indonesia.com/2020/08/planet-mars-2003/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.S. Dharta Abdul Hadi WM Abdul Wachid B.S. Abdullah Abubakar Batarfie Abdurrahman Wahid Achmad Faesol Achmad S Achmad Soeparno Yanto Adin Adrian Balu Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Sasongko Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Prasmono Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Mustofa Bisri Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat al-Kindi Alex R. Nainggolan Ali Ahsan Al Haris Ali Audah Ali Syariati Amien Kamil Amien Wangsitalaja Andhika Dinata Andi Neneng Nur Fauziah Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Andy Riza Hidayat Anindita S. Thayf Anton Kurniawan Anton Sudibyo Aprinus Salam Arafat Nur Arif Hidayat Arman A.Z. Arthur Rimbaud Asap Studio Asarpin Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Badaruddin Amir Bagja Hidayat Balada Bambang Riyanto Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Butet Kartaredjasa Cak Bono Catatan Cecil Mariani Cerbung Cerpen Chairil Anwar Charles Bukowski Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dahta Gautama Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Danarto Dara Nuzzul Ramadhan Dareen Tatour Darju Prasetya Darojat Gustian Syafaat Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Sartika Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dianing Widya Yudhistira Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Pitono Djoko Saryono Djoko Subinarto Doan Widhiandono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Klik Santosa Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erik Purnama Putra Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esti Nuryani Kasam Evan Ys Evi Idawati F Aziz Manna F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Firman Wally Fiyan Arjun Forum Penulis dan Pegiat Literasi Lamongan (FP2L) Franz Kafka Galih M. Rosyadi Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Garna Raditya Gendut Riyanto Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gurindam Gusti Eka H.B. Jassin Halim HD Hamdy Salad Hamka Hari Sulastri Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasbi Zainuddin Hasif Amini Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Hermawan Mappiwali Herry Lamongan Hikmat Gumelar HM. Nasruddin Anshoriy Ch Hudan Hidayat Humam S Chudori Ibnu Wahyudi Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Iksaka Banu Ilham Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Arlado Imron Tohari Indra Tjahyadi Indrawati Jauharotun Nafisah Indrian Koto Inung As Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Ismi Wahid Iva Titin Shovia Iwan Fals Iwan Kurniawan Jakob Oetama Janual Aidi JJ. Kusni Johan Fabricius John H. McGlynn Jordaidan Rizsyah Jual Buku Sastra K.H. A. Azis Masyhuri Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kahlil Gibran Kamajaya Al. Katuuk Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khatijah Khoirul Inayah Ki Dhalang Sulang Ki Ompong Sudarsono Kikin Kuswandi Kodirun Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Sastra Mangkubumen (KSM) Komunitas Teater Se-Lamongan Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kucing Oren Kurniawan Junaedhie Kurniawan Muhammad Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Larung Sastra Latief S. Nugraha lensasastra.id Leo Tolstoy Leon Agusta Linda Christanty Lutfi Mardiansyah M. Aan Mansyur M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Harir Muzakki M. Lutfi M. Shoim Anwar M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marniati Martin Aleida Mashuri Masuki M. Astro Matroni Muserang Mawar Kusuma Max Arifin Melani Budianta Mihar Harahap Mikael Johani Miziansyah J. Moch. Fathoni Arief Moh. Ghufron Cholid Mohammad Afifi Mohammad Rafi Azzamy Muhammad Hanif Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun AS Muhidin M. Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Murnierida Pram Myra Sidharta Nadia Cahyani Naim Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nessa Kartika Ni Made Purnama Sari Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Noor H. Dee Nurel Javissyarqi Nurul Fahmy Nurul Ilmi Elbana Nyoman Tusthi Eddy Ong Hok Ham Orasi Budaya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Pablo Neruda Pay Jarot Sujarwo PDS H.B. Jassin Pendidikan Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Bergerak Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin Qismatun Nihayah R Sutandya Yudha Khaidar R Toto Sugiharto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Rambuana Ramdhan Triyadi Bempah Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ricarda Huch Riezky Andhika Pradana Riki Dhamparan Putra Rizki Aprima Putra Rokhim Sarkadek Rony Agustinus Royyan Julian Rukardi Rumah Budaya Pantura Rumah Budaya Pantura (RBP) Ruth Indiah Rahayu S Yoga S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safitri Ningrum Sahaya Santayana Sahli Hamid Saini KM Sajak Salvator Yen Joenaidy Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setyaningsih Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosial Media Sastra Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sudarmoko Sudirman Sugeng Sulaksono Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunaryata Soemarjo Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susie Evidia Y Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka T Agus Khaidir T.A. Sakti Tangguh Pitoyo Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teater Pendopo nDalem Mangkubumen (Dokumen) Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tiya Hapitiawati Tiyasa Jati Pramono Toeti Heraty TS Pinang Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Usman Arrumy UU Hamidy Veronika Ninik Vika Wisnu W.S. Rendra Wahyu Triono Ks Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wilda Fizriyani Willy Ana Y Alpriyanti Y.B. Mangunwijaya Yanto le Honzo Yasin Susilo Yasir Amri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yulhasni Zehan Zareez Zuhdi Swt Zul Afrita