Persentuhan Bumi dan Mars 1883, 1942 (2003), 2063
Doddi Ahmad Fauji **
Menurut para ahli antariksa, bukan hanya planet bumi yang memiliki daya
gravitasi, tapi seluruh benda langit yang terhimpun dalam tata kelola galaksi
bimasakti, kiranya memiliki daya gravitasinya masing-masing, termasuk planet
mars. Selain punya daya gravitasi, tiap benda angkasa itu, posisinya tidak diam
mematung seperti pertapa, melainkan bergerak pada poros dan equatornya
masing-masing, sambil memutari pusat galaksi, yaitu matahari. Perputaran
benda-benda langit itu, ternyata tidak membentuk lingkaran bulat, melainkan
sedikit lonjong atau agak oval, serta bergerak tidak tetap pada satu garis
lurus, melainkan bergerak agak sempoyongan antara ke utara dan ke selatan.
Titik sempoyong bumi, berada pada garis 27 derajat lintang utara dan 27 derajat
lintang selatan. Jika di suatu waktu bumi ini mengalami kegalauan, sehingga
pergerakannya keluar dari titik sempoyong yang 27 derajat itu, katakanlah yang
di utara mencapai 28 derajat atau yang di selatan mencapai 26 derajat, saya
yakin akan berdampak pada penciptaan perubahan pranatamangsa secara global.
Merujuk pada penjelasan dalam ajaran kitab suci Quran, serta teori para
antariksawan bahwa seluruh benda langit sedang bergerak pada satu titik hitam
(black hole), sungguh bahwa kegalauan benda-benda langit itu akan terjadi
secara serempak, yakni ketika masing-masing benda, sudah mendekati titik hitam
sebagai stasiun tujuannya. Kondisi tersebut akan memicu terciptanya kehancuran
agung yang masif, atau apa yang disebut dengan kiamat kubro.
Kembali pada masalah gravitasi serta wilayah putar benda langit yang agak
lonjong, hal itu telah memungkinkan terciptanya koresponsi resiprokal
antar-benda langit dalam dua kondisi, yaitu kondisi korespondensi terjauh dan
kondisi korespondensi terdekat. Menurut para antariksa, bumi dan mars mengalami
korespondensi terdekat adalah pada jarak 57,8 juta KM, sedangkan titik
terjauhnya pada jarak 401 juta KM. Namun tiap 60 tahun sekali, bumi dan mars
akan berhadap-hadapan dalam jarak paling dekat, yaitu 55,8 juta KM, dan
mengalami jarak terdekat sekali, terjadi pada 6.000 tahun sekali, yang
diperkirakan mencapai 40 juta KM.
Saya ingin melihat jarak terdekat antara bumi dan mars dalam periodik 60
tahunan, dan dampaknya terhadap prilaku alam, tumbuhan, bintang, dan manusia.
Titik terdekat bumi dan mars dalam periodik 60 tahunan itu, terjadi pada tahun
2003, dan bila ditarik ke belakang, berarti pernah terjadi pada tahun 1943,
bila ditarik lagi ke belakang, bumi dan mars saling mendekat pernah terjadi
pada tahun 1883. Sedangkan bila ditarik ke depan, bumi dan mars akan saling
mendekat lagi pada tahun 2063. Pada tahun itu, semua yang hadir hari ini di
sini, diperkirakan sudah tidak lagi jadi saksi jaman.
Saya katakan tadi di atas, bahwa tiap benda langit memiliki daya tarik
gravitasi. Nah, ketika bumi dan mars saling mendekat pada jarak yang lumayan
intim, yaitu pada 2003 itu, tentu akan berdampak besar terhadap kehidupan ini,
namun tidak kita sadari. Secara imajinasi saja, saya membayangkan ketika bumi
dan mars akan saling mendekat, saat itu daya gravitasi masing-masing planet,
saling berpengaruh seperti dua kekuatan penyihir sedang berada ilmu
kedigdayaan, hingga terciptalah suhu yang lebih panas, yang berdampak pada alam
sekitarnya. Akibat suhu yang lebih panas itu, terciptalah global warming
(pemanasan global), serta terjadi perubahan iklim secara ekstrem, yang membuat
perpindahan musim penghujan dan kemarau sedikit bergeser. Periode berbuahnya
tanaman ikut berubah, prilaku binatang ikut berubah, dan ulah manusia jadi
banyak yang aneh. Semua itu terjadi, karena bumi dan mars sedang beradu
gravitasi.
Mendekati tahun-tahun 2003 itu, banyak kejadian di muka bumi yang mendekati
destruktif, akibat ulah manusia. Puncaknya adalah peledakan gedung WTC di New
York pada 11/9 2001. Kita tengok pada 1943 ketika bumi dan mars berdekatan, di
sana ada ledakan Bom Atom di Hiroshima dan Nagasaki. Kita lihat pada 1883,
manusia modern memacu agresivitasnya dengan lahirnya Revolusi Industri
gelombang 1.0.
Sebelum WTC diledakan, manusia terus-menerus mengumbar ego, karena suhu
bumi memang sedang memanas, yang membuat manusia dan seluruh penghuni di
dalamnya, hidupnya bagai diopen seperti kue nastar. Darah lebih mendidih, dan
tingkah laku manusia menjadi lebih agresif. Perilaku binatang yang saya amati
nampak benar-benar berubah, terjadi pada tikus, kucing, dan anjing. Dulu, tikus
itu takut oleh kucing, kucing takut oleh anjing, dan anjing akan menggonggong
bila melihat kucing.
Dulu, sebelum bumi dan mars saling mendekat pada 2003 itu, kucing punya
sifat malu-malu bila dikasih makanan, sehingga muncul peribahasa ‘malu-malu
kucing’. Itu dulu, setelah peritiwa 2003, kucing tidak malu bila dikasih
makanan, dan bahkan tanpa rasa takut, kucing berani menepuk kaki ke manusia
untuk meminta makanan.
Sifat anggota DPR, suka diibaratkan dengan kucing, dan koruptor diibaratkan
dengan tikus. Maka lihatlah, sebelum tahun 2003, dulu tikus itu suka
sembunyi-sembunyi saat mencuri akan makanan, tapi setelah 2003, tikus
berkeliaran terang-terangan, dan menjadi gambaran bahwa para koruptor makin
berkeliaran, serta anggota DPR sudah tidak malu-malu kucing lagi, tapi dengan
tanpa rasa malu dan takut, mereka meminta naik gaji, mobil dan rumah dinas yang
bagus, serta sekian fasilitas lainnya.
Tentunya, tiap 60 tahun sekali itu, terjadi pula perubahan generasi pada
manusia, sekaligus tiap generasi itu, memiliki perilaku dan perangainya yang
secara fenomena, dapat dibedakan dari generasi sebelum dan sesudahnya. Orang
Amerika, suka rajin memberi nama pada tiap generasi itu. Istilah generasi
milenial, muncul dari kelewat rajinnya orang-orang Amerika dalam memberikan
penanda terhadap sebuah generasi. Label Milenial untuk menandai sebuah
generasi, distempelkan oleh berbabagi lembaga di Amerika, namun bila ditarik
kesamaannya, umumnya mengacu pada generasi yang lahir antara tahun 1980-an
hingga 2004, yaitu generai yang lahir dua warsa jelang tahun 2003, ketika bumi
dan mars berada pada titik intim terdekat. Saya kutip dari berbagai sumber,
tidak kurang dari 20 lembaga atau institusi di Amerika, seperti Majalah Time,
memberi penanda atau penamaan terhadap generasi yang lahir pada 1980-2004 ini.
Umumnya mengerucut pada pendapat yang sama, bahwa manusia yang lahir di Amerika
pada periode itu, adalah generasi dengan ego yang kelewat tinggi. Aku adalah
pusat dari kehidupan. Majalah time menyebut mereka dengan generasi “Milenial:
Me Me Me!”
Kebetulan generasi milenial ini lahir berbarengan dengan penemuan dan
penciptaan gawai, serta peradaban dunia tengan memasuki era digitalisasi. Maka
Generasi Milenial ini, di Amerika sana, diidentikkan dengan generasi yang melek
gawai dan digital, di mana kedua piranti tersebut, telah melahirkan realitas
baru yang maya, yaitu dunia supranatural teknologis alias internet. Penemuan
internet telah melahirkan efek domino, yakni terciptanya era transparansi informasi
dan komunikasi. Di era ini, di dunia realitas kedua itu, sungguh pembagian
dunia tidak lagi dibatasi oleh geografis, melainkan oleh ketersediaan Kuota
internet.
Di Indonesia, penamaan generasi milenial ini hanyalah kelatahan yang muncul
untuk mempertegas: bahwa bangsa Indonesia adalah pengekor, pengguna, dan bangsa
terdampak secara sistemik. Jadi, generasi milenial di negeri kita, adalah
generasi terdampak paling buruk di sepanjang sejarah Republik ini, karena tepat
pada saat ini, bangsa ini lahir di permukaan bumi, dengan nyaris tidak memiliki
kreativitas yang patut dibanggakan di tingkat dunia. Berbeda dengan leluhur
kita, yang pernah menorehkan prestasi mengagumkan di dunia, yaitu tercatat
sebagai bangsa yang berani melakukan pelayaran bunuh diri pada sekira 400-an
tahun sebelum masehi, di mana para pelaut dari Nusantara, dengan menggunakan
kapal bercadik, berani mengarungi Samudra Hindia, hingga terdampar di Madagakar,
dan pelayaran maut itu diberi nama Arung Borobudur. Dinasti Sanjaya mengabadikan
pelayaran maut itu dengan sebuah bangunan monumental bernama Candi Borobudur.
Catatlah ini, bahwa Candi Borobudur bukan hanya rumah ibadat, melainkan
perpustakaan nasional kala itu. Di sanalah kejayaan bangsa Nusantara lama
dicatatkan. Sayangnya, kita tidak mewarisi tradisi literatif sejak dijajah oleh
Belanda, sehingga para sejarawan, arkeolog, filolog, antropolog, arsitek,
ustad, habib, pendeta, rahib, dan ahli-ahli lainnya, tak mampu membaca serta
memaknai secara sungguh-sungguh apa yang dituliskan dalam sandi dan aksara
berbentuk relief dan arsitektur itu, di perpustakaan masa silam bernama
Borobudur.
Leluhur kita, setidaknya pernah meninggalkan jejak dan artefak yang diakui
oleh dunia, sebagai warisan budaya tak benda, atau “the intangible heritage for
the world civiliation”. Wayang, keris, angkung, tari saman, instrumen sasando,
dan corak batik, telah diakui oleh Unesco sebagai warisan budaya tak benda itu.
Bila kita berbicara tentang dampak, tentu saja ada dampak baik dan dampak
buruk yang akan ikut diserap oleh kita sebagai bangsa terdampak ini. Sayangnya,
para tetua feodalistik, yang lahir antara 1940 – 1960an, acapkali lebih
mendahulukan melihat yang negatifnya, yang buruknya, dan bilapun menyadari ada
dampak positif dari setiap peristiwa, mereka enggan melihatnya.
Saya tidak lahir dalam kurun 1940-1960, melainkan pada periode 1960-1980,
yang di Amerika sana diberi nama Generasi X atau generasi Baby Boom, sedangkan
generasi Milenial disebutnya Generasi Y. Pembeda dari Generasi X dan Generasi
Y, di Amerika dan menurut orang Amerika, adalah pada kesadaran akan narsisme.
Generasi Y (milenial) lebih narsis karena ditunjang oleh teknologi digital,
gawai, dan internet. Titik baik dari generasi Y, mereka lebih adaftif tergadap
perubahan ketimbang generasi X, adapun titik lemahnya, generasi Y ini lebih
individual alias lebih asosial dan autis. Corak dan perangai Generasi Y atau
generasi milenial ini, sepanjang pengamatan saya, ternyata berlaku juga di
Indonesua. Saya datang ke UPI, serasa sedang ziarah ke kuburan, sebab mahasiswa
dan dosen, tampak mematung dengan gawainya masing-masing. Bila mengutip puisi
Chairil Anwar, mereka itu tampak “iseng sendiri”.
Di tengah kondisi yang seperti ini, lalu seberapa penting puisi dihadirkan?
Sebab tak ada pakar sastra atau pakar sosial di tahun yang lewat, yang
melakukan prediksi, seperti apa kira-kira atmosfer kesusastraan pada era
milenial? Di luar dugaan, sastra yang dulu hanya diminati oleh segelintir orang
terpilih, kini terasa memasyarakat lebih masif, berkat penemuan teknologi
ekpresi dan publikasi yang canggih, yaitu facebook beserta teknologi
terusannya. Puisi dan antologi puisi, kini membanjir!
Di tengah kondisi seperti itu, saya ikut memandang perlu, bahwa tiap
komunitas sastra yang berdaulat terhadap anggotanya, harus membangun mazhab
sendiri, konsep sendiri, dan keyakinan sendiri, bahwa komunitasnya adalah yang
terbaik. Jiwa korsa korp, atau esprite de corp, harus dinyalakan. Bahkan
cita-cita perorangan pun, saya kira perlu diekspresikan untuk mewarani dunia
kesusastraan.
Apa yang dilakukan oleh Ustad Soni Farid Maulana dengan menciptakan puisi
klasik di era kontemporer, yaitu puisi Sonian, adalah sudah bagus dan perlu.
Sekarang ini, penggemar Sonian makin merebak. Sampai-sampai di sebuah grup
kepenulisan para guru di Jawa Barat, dibuka kelas menulis Sonian. Di luar
masalah tindakan moral, apa yang dilakukan Denny JA dengan membuat puisi esai
atau esai puisi, adalah sesuatu yang bagus karena memperkaya corak
kesusastraan. Yang tidak saya setujui dari gerakan Denny JA, adalah gerakan
keinginan untuk dinobatkan sebagai Tokoh Sastra Indonesia paling Berpengaruh di
Indonesia, yang ditempuh dengan beberapa cara melabrak kesantunan dan kepatutan
sebagai bangsa Nusantara.
Memasuki era konvergensi kelima, atau revolusi industi 4.0 (Jepang dan
China sedang memasuki revolusi Industri 5.0), yang lebih berat adalah
menghadapi manusia generasi kelahiran 1980-2004 itu, yang disebut-sebut lebih
narsis, autis, dan asosial. Narsis boleh, tapi harus kokoh dengan kuda-kuda,
namun autis dan asosial adalah bahaya, sebab hal tersebut akan mengancam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Orang-orang asyik dengan gawainya hingga tak
peduli terhadap orang di hadapannya, apalagi terghadap sumber daya alam yang
berada di pelosok dan pedalaman bumi. Orang-orang larut memasuki dunia maya,
sedangkan para oligarkhi pertambangan, sedang asyik merangsek ke pedalaman, dan
mengacak-acak perut bumi Nusantara. Mereka mengeruk emas, giok, semen, minyak,
kaolin, timah, ikan asin, sambil membuang kaos oblong, jeruk, apel, gawai, dan
kosmetik yang membahayakan!
***
*) Disampaikan dalam diskusi Malam Sastra, Balai Bahasa Jawa Barat, 28
November 2019.
**) Doddi Ahmad Fauji, penulis buku Menghidupkan Ruh Puisi, Sastrawan
Angkatan 2000 versi Korrie Layun Rampan, dan mantan redaktur sastra Koran Media
Indonesia (1999 - 2001). http://sastra-indonesia.com/2020/08/planet-mars-2003/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Dharta
Abdul Hadi WM
Abdul Wachid B.S.
Abdullah Abubakar Batarfie
Abdurrahman Wahid
Achmad Faesol
Achmad S
Achmad Soeparno Yanto
Adin
Adrian Balu
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agung Sasongko
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Prasmono
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Mustofa Bisri
Ahmad Tohari
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akhudiat
al-Kindi
Alex R. Nainggolan
Ali Ahsan Al Haris
Ali Audah
Ali Syariati
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Andhika Dinata
Andi Neneng Nur Fauziah
Andra Nur Oktaviani
Andrenaline Katarsis
Andy Riza Hidayat
Anindita S. Thayf
Anton Kurniawan
Anton Sudibyo
Aprinus Salam
Arafat Nur
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Arthur Rimbaud
Asap Studio
Asarpin
Asti Musman
Atafras
Awalludin GD Mualif
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Balada
Bambang Riyanto
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernadette Aderi
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budi Darma
Butet Kartaredjasa
Cak Bono
Catatan
Cecil Mariani
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Charles Bukowski
Christine Hakim
Cinta Laura Kiehl
D. Zawawi Imron
Dahta Gautama
Daisy Priyanti
Damhuri Muhammad
Danarto
Dara Nuzzul Ramadhan
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darojat Gustian Syafaat
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Sartika
Dharmadi
Dhenok Kristianti
Dian Wahyu Kusuma
Dianing Widya Yudhistira
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djoko Subinarto
Doan Widhiandono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Yan Masfa
Donny Anggoro
Dwi Cipta
Dwi Klik Santosa
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Enda Menzies
Erik Purnama Putra
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esti Nuryani Kasam
Evan Ys
Evi Idawati
F Aziz Manna
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Fairuzul Mumtaz
Fajar Alayubi
Farah Noersativa
Faris Al Faisal
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrozak
Faza Bina Al-Alim
Feby Indirani
Felix K. Nesi
Fian Firatmaja
Firman Wally
Fiyan Arjun
Forum Penulis dan Pegiat Literasi Lamongan (FP2L)
Franz Kafka
Galih M. Rosyadi
Galuh Tulus Utama
Ganug Nugroho Adi
Garna Raditya
Gendut Riyanto
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Gombloh
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gurindam
Gusti Eka
H.B. Jassin
Halim HD
Hamdy Salad
Hamka
Hari Sulastri
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasbi Zainuddin
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Hermawan Mappiwali
Herry Lamongan
Hikmat Gumelar
HM. Nasruddin Anshoriy Ch
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
Ibnu Wahyudi
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Iksaka Banu
Ilham
Imam Muhayat
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Arlado
Imron Tohari
Indra Tjahyadi
Indrawati Jauharotun Nafisah
Indrian Koto
Inung As
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Ismi Wahid
Iva Titin Shovia
Iwan Fals
Iwan Kurniawan
Jakob Oetama
Janual Aidi
JJ. Kusni
Johan Fabricius
John H. McGlynn
Jordaidan Rizsyah
Jual Buku Sastra
K.H. A. Azis Masyhuri
Kadjie Mudzakir
Kahfie Nazaruddin
Kahlil Gibran
Kamajaya Al. Katuuk
Kamran Dikarma
Kedung Darma Romansha
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khansa Arifah Adila
Khatijah
Khoirul Inayah
Ki Dhalang Sulang
Ki Ompong Sudarsono
Kikin Kuswandi
Kodirun
Koh Young Hun
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Sastra Mangkubumen (KSM)
Komunitas Teater Se-Lamongan
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kurniawan Junaedhie
Kurniawan Muhammad
Kuswaidi Syafi’ie
Kuswinarto
L.K. Ara
Laksmi Shitaresmi
Lan Fang
Larung Sastra
Latief S. Nugraha
lensasastra.id
Leo Tolstoy
Leon Agusta
Linda Christanty
Lutfi Mardiansyah
M. Aan Mansyur
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Lutfi
M. Shoim Anwar
M. Yoesoef
M. Yunis
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahdi Idris
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Marniati
Martin Aleida
Mashuri
Masuki M. Astro
Matroni Muserang
Mawar Kusuma
Max Arifin
Melani Budianta
Mihar Harahap
Mikael Johani
Miziansyah J.
Moch. Fathoni Arief
Moh. Ghufron Cholid
Mohammad Afifi
Mohammad Rafi Azzamy
Muhammad Hanif
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun AS
Muhidin M. Dahlan
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Myra Sidharta
Nadia Cahyani
Naim
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nessa Kartika
Ni Made Purnama Sari
Nikita Mirzani
Nirwan Ahmad Arsuka
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Nurel Javissyarqi
Nurul Fahmy
Nurul Ilmi Elbana
Nyoman Tusthi Eddy
Ong Hok Ham
Orasi Budaya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Pay Jarot Sujarwo
PDS H.B. Jassin
Pendidikan
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pringgo HR
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Pustaka Bergerak
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
Qismatun Nihayah
R Sutandya Yudha Khaidar
R Toto Sugiharto
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rahmat Sutandya Yudhanto
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Prambudhi Dikimara
Rambuana
Ramdhan Triyadi Bempah
Ratnani Latifah
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ribut Wijoto
Ricarda Huch
Riezky Andhika Pradana
Riki Dhamparan Putra
Rizki Aprima Putra
Rokhim Sarkadek
Rony Agustinus
Royyan Julian
Rukardi
Rumah Budaya Pantura
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Ruth Indiah Rahayu
S Yoga
S. Arimba
S. Jai
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Sahaya Santayana
Sahli Hamid
Saini KM
Sajak
Salvator Yen Joenaidy
Samsul Anam
Sapardi Djoko Damono
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Selendang Sulaiman
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setyaningsih
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sosial Media Sastra
Sosiawan Leak
Sovian Lawendatu
Sudarmoko
Sudirman
Sugeng Sulaksono
Sugito Ha Es
Sumani
Sumargono SN
Suminto A. Sayuti
Sunaryata Soemarjo
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suryanto Sastroatmodjo
Susie Evidia Y
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
T Agus Khaidir
T.A. Sakti
Tangguh Pitoyo
Tatan Daniel
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Eska
Teater Pendopo nDalem Mangkubumen (Dokumen)
Teater Tawon
Tedy Kartyadi
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tiya Hapitiawati
Tiyasa Jati Pramono
Toeti Heraty
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Usman Arrumy
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vika Wisnu
W.S. Rendra
Wahyu Triono Ks
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Jengki Sunarta
Wayan Sunarta
Welly Kuswanto
Wilda Fizriyani
Willy Ana
Y Alpriyanti
Y.B. Mangunwijaya
Yanto le Honzo
Yasin Susilo
Yasir Amri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yonathan Rahardjo
Yudha Kristiawan
Yudhistira ANM Massardi
Yulhasni
Zehan Zareez
Zuhdi Swt
Zul Afrita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar