Maman S. Mahayana *
Lokalitas (locality) sebagai konsep umum berkaitan dengan tempat atau
wilayah tertentu yang terbatas atau dibatasi oleh wilayah lain. Lokalitas
mengasumsikan adanya sejumlah garis pembatas yang bersifat permanen, tegas, dan
mutlak yang mengelilingi satu wilayah atau ruang tertentu. Dalam konsep
politik, terutama yang berkaitan dengan kekuasaan dan penguasaan wilayah,
lokalitas dengan sejumlah garis pembatas yang dimilikinya itu diandaikan pula
seperti berhadapan dengan kepungan garis pembatas lain sebagai simbol atau
representasi kekuasaan lain dalam posisi yang bisa bersifat arbitrer atau bisa
juga dalam posisi yang saling mengancam.
Dalam konteks budaya, lokalitas bergerak dinamis, licin, dan lentur, meski
kerap diandaikan tidak dapat dilepaskan dari komunitas kultural yang
mendiaminya, termasuk di dalamnya persoalan etnisitas. Secara metaforis, ia
merupakan wilayah yang masyarakatnya secara mandiri dan arbitrer bertindak
sebagai pelaku dan pendukung kebudayaan tertentu. Atau komunitas itu mengklaim
sebagai warga yang mendiami wilayah, dan pemilik-pendukung kebudayaan tertentu.
Ia bergerak dalam sebuah komunitas dengan sejumlah sentimen, emosi, harapan,
dan pandangan hidup yang direpresentasikan melalui kesamaan bahasa dan perilaku
dalam tata kehidupan sehari-hari.
Ada garis imajinatif yang seolah-olah menjadi penanda untuk pembatas
-relatif- berdasarkan garis keturunan, genealogi, atau lingkaran kehidupan
sosio-kultural. Oleh karena itu, lokalitas budaya, lantaran sifatnya yang
dinamis, licin, dan lentur, dapat ditarik ke belakang yang menyentuh tradisi
dan kearifan masyarakat dalam menyikapi masa lalu, ke depan yang mengungkapkan
harapan ideal yang hendak dicapai sebagai tujuan, ke sekitarnya dalam konteks
kekinian, berkaitan dengan kondisi dan berbagai fenomena yang sedang terjadi,
atau bahkan ke segala arah yang menerabas lokalitas budaya yang lain.
Dalam hal itulah, lokalitas budaya tidak bisa direduksi dengan melakukan
pembatasan melalui garis geografi atau politik. Bagaimanapun, lokalitas budaya
tidak akan pernah sejalan dengan lokalitas dalam pengertian politik
pemerintahan yang melihatnya sebagai persoalan kedaerahan dengan batas
kewilayahan yang diasumsikan bersifat permanen, tegas, dan mutlak. Maka dalam
pengertian politik itu, lokalitas budaya dimaknai sebagai budaya lokal yang lalu
diperlakukan sebagai budaya daerah.
Dari sanalah dimulainya problem kebudayaan (Indonesia) yang bergulir dengan
lahirnya usaha membuat dikotomi kebudayaan lokal (: etnik) dan kebudayaan
nasional. Kebudayaan lokal yang dibenturkan dengan kebudayaan nasional
berakibat terjadinya marjinalisasi sejumlah kebudayaan etnik yang lantaran
berbagai faktor, secara sepihak ditempatkan sebagai bukan termasuk kebudayaan
nasional. Ada hegemoni dan penafikan terhadap dinamika kebudayaan lokal yang
secara salah kaprah dicap sebagai kebudayaan daerah. Dengan demikian, dikotomi
pusat-daerah mengisyaratkan bahwa pusat mengatasi daerah. Tak ada kesejajaran
di sana. Relasinya hegemonik, sebab ada kecenderungan budaya yang satu
melakukan hegemoni terhadap yang lain, dan hubungannya berlaku secara vertikal,
tidak horisontal. Pandangan dikotomis semacam itu, diskriminatif karena
menempatkan yang satu (pusat) seolah-olah lebih penting daripada yang lain
(daerah). Contoh kasus pandangan dikotomis yang bersifat hegemonik tampak dalam
perumusan kebudayaan nasional yang dikatakannya sebagai “puncak-puncak
kebudayaan daerah”.
***
Sastra merupakan produk budaya. Ia lahir dari kegelisahan kultural seorang
pengarang. Secara sosiologis, pengarang adalah anggota masyarakat, makhluk
sosial yang sangat dipengaruhi lingkungan budaya masyarakatnya. Ketika ia
memutuskan hendak mengungkapkan kegelisahannya sebagai tanggapan evaluatif atas
segala problem yang terjadi dalam komunitas budayanya, representasinya
terakumulasi dalam teks sastra. Dengan demikian, teks sastra sebenarnya dapat
digunakan sebagai pintu masuk untuk memahami kebudayaan sebuah komunitas.
Lokalitas dalam sastra tidaklah identik dengan sastra lokal. Sastra lokal
bertumpu pada pemakaian bahasa etnik, sedangkan lokalitas dalam sastra
mengasumsikan adanya ruang kultural yang menjiwai karya sastra. Meski begitu,
lokalitas dalam sastra bukanlah sekadar ruang (space), locus, tempat (place)
atau wilayah geografi yang dibatasi atau berbatasan dengan wilayah lain yang
secara fisikal dapat diukur, melainkan ruang dalam ranah budaya. Secara
struktural, lokalitas dalam sastra kerap dimaknai sebagai wilayah, tempat,
kondisi, atau situasi dalam teks yang menggambarkan para pelaku memainkan
perannya. Lokalitas seperti mengalami pereduksian menjadi sekadar latar
(setting) dalam teks yang mewartakan tempat, situasi, suasana, atau gambaran
tentang masyarakat budaya.
Lokalitas dalam sastra (teks) mestinya diperlakukan bukan sekadar latar an
sich, melainkan sebuah wilayah kultural yang membawa pembacanya pada medan
tafsir tentang situasi sosio-kultural yang mendekam di belakang teks. Di sana
lokalitas bukan abstraksi tentang ruang atau wilayah dalam teks yang beku,
melainkan ruang kultural yang menyimpan sebuah potret sosial, bahkan juga
ideologi yang direpresentasikan melalui interaksi tokoh-tokohnya dan dinamika
kultural yang mengungkapkan dan menyimpan nilai-nilai kemanusiaan dalam
kehidupan berkebudayaan. Lokalitas – menyitir pandangan Melani Budianta –
adalah “proses pembumian yang tidak pernah berhenti bergeser, berpindah, dan
berubah.” Jika demikian, lokalitas dalam sastra, dapat dikatakan sebagai proses
pemaknaan atas teks yang tersurat atau tersirat. Di sinilah imajinasi pembaca
sangat menentukan proses pemaknaannya. Maka, tidak terhindarkan, makna teks
jadinya akan terus menggelinding, membengkak, dan memancarkan banyak hal yang
dapat dicantelkan dengan realitas masa lalu, masa kini, atau masa depan.
Begitulah, lokalitas dalam sastra semestinya dimaknai sebagai ruang
kultural yang dinamis dan tak pernah berhenti pada makna tertentu ketika ia
melekat pada teks. Teks sastra pada gilirannya menjelma medan tafsir yang
bermuara pada ruang imajinasi pembaca. Bukankah sastra dalam proses pemaknaan
pembaca adalah teks yang akan terus menggelindingkan hiruk-pikuk penafsiran.
Oleh karena itu, pemahaman lokalitas dalam (teks) sastra sebagai ruang budaya
akan menempatkan makna teks ke dalam wilayah medan tafsir yang lebih luas
lantaran bisa ditarik, dipadankan, dan dicantelkan dengan realitas kehidupan.
Makna teks pada akhirnya tidak berhenti pada makna tekstual, tetapi terus
berkeliaran mengembangkan maknanya secara kontekstual.
Dalam banyak pandangan pengamat sastra Indonesia, kesusastraan Indonesia
yang sejatinya merupakan bagian tidak terpisahkan dari kebudayaan yang
melahirkannya, seolah-olah wujud begitu saja, tanpa proses, tanpa pergulatan
budaya pengarangnya. Sepertinya, sastra Indonesia dibawa para malaikat dari
langit dan kemudian jatuh seketika di ruang pembaca. Seolah-olah lagi, sastra
Indonesia datang dari tiada menjadi ada, dari situasi kosong, tanpa apa pun,
tiba-tiba lahir dan mengada. Sastra Indonesia dimaknai tanpa ada usaha memahami
berbagai masalah sosio-kultural yang melatarbelakanginya dan penyelusupan
ideologi yang melatardepaninya. Akibatnya, sastra Indonesia tercerabut dari
akar budaya dan problem ideologi, ketika ia diposisikan sebagai teks an sich.
Pencerabutan sastra Indonesia dari akar budayanya itu terjadi juga ketika
tiba-tiba ada pemisahan yang tegas antara sastra Indonesia lama dan sastra
Indonesia modern. Demikian juga hubungan sastra daerah dan sastra Indonesia
seolah-olah sudah menjadi produk budaya yang berada dalam dua kutub yang
berjauhan. Keduanya seperti berjalan sendiri-sendiri dan seolah-olah tidak
saling mengenal, tidak saling mempengaruhi.
***
Secara temporal, lokalitas dalam sastra sesungguhnya dihadirkan oleh momen
dan peristiwa tertentu. Muhammad Yamin, misalnya, dalam dua puisi awalnya,
menyebut Sumatera-Andalas mula-mula sebagai tanah Melayu yang bahasanya digunakan
sebagai lingua franca penduduk Nusantara. Sumatera ditempatkan sebagai titik
berangkat tradisi yang melahirkannya. “Di mana Sumatera, di situ bangsa/Di mana
perca, di sana bahasa// (“Bahasa, Bangsa”). Dalam puisi “Tanah Air”, Sumatera
lebih tegas lagi dikatakan sebagai Tanah Air: ” Itulah tanah, tanah
airku/Sumatera namanya tumpah darahku//
Sumatera sebagai lokalitas budaya, bagi Yamin tidak berhenti pada tanah
Melayu. Juga kemudian disadari bukan sekadar tempat kelahiran: tumpah darahku.
Dalam konteks itu, Tanah Air yang pada awalnya dimaknai sebagai tempat
kelahiran yang tidak lain adalah Sumatera, memperoleh perluasan makna. Tumpah
darahku dan Tanah Airku sebagai tempat kelahiran, tidak lagi jatuh pada
Sumatera, melainkan Indonesia. Puisinya yang berjudul -Indonesia, Tumpah
darahku- menunjukkan gagasan Yamin tentang lokalitas budaya yang melingkupi:
wilayah, bangsa, dan bahasa.
Demikianlah, pemaknaan lokalitas dalam sastra tidak dapat berhenti hanya
pada teks, hanya pada makna tekstual. Di belakangnya bertaburan kekayaan makna
lain yang tidak hanya menuntut pembaca mengisi ruang kosong yang ditinggalkan
teks, melainkan juga menuntut pembaca memahami kode bahasa, kode budaya, dan
kode sastra.
***
Lokalitas dalam sejumlah besar novel terbitan Balai Pustaka sebelum merdeka
memperlihatkan terjadinya perang ideologi. Di satu pihak, Balai Pustaka sebagai
lembaga kolonial mengemban tugas suci kolonialisme dengan menerapkan sejumlah
syarat dan aturan main, dan di pihak lain, berdiri para pengarang Indonesia yang
bagaimanapun juga menyadari tugas suci nasionalisme. Sebagai contoh kasus,
Sitti Nurbaya dan Salah Asuhan, misalnya, seperti merepresentasikan perang
ideologi itu.
Pertama, lokalitas Minangkabau dengan Datuk Meringgih dan
tradisionalismenya adalah musuh ideologi yang harus diperangi. Tetapi di sana,
ada juga pihak lain yang harus dibela: ninik-mamak, kultur leluhur, tanah
kelahiran, dan idealisme anak muda Minang. Maka, Datuk Meringgih, dengan
sejumlah sisi negatifnya, juga mempunyai alat legitimasi: membela ninik-mamak,
kultur leluhur, dan tanah kelahiran. Datuk Meringgih tampil dalam dua kutub
yang saling berlawanan: tradisionalisme- patriotisme. Ia menjadi sosok tokoh
penindas, curang-licik, serakah, dan brengsek yang menunjukkan segalam sisi
negatif bagi kemanusiaan. Sementara itu, sistem pajak (belasting) yang dapat
dimaknai sebagai penghancuran otoritas ninik-mamak, pencemaran kultur leluhur,
dan pencaplokan tanah kelahiran, adalah alat legitimasi tindakan patriotisme
sang Datuk Meringgih. Maka, tersirat ia tampil sebagai pahlawan.
Kedua, lokalitas Jakarta (Batavia) dengan Samsulbahri dan modernismenya,
juga musuh ideologis yang harus diperangi. Jakarta dengan Stovia-nya, memang
menawarkan sisi positif modernisme melalui dunia pendidikan. Tetapi di sisi
yang lain, Jakarta sebagai pusat kekuasaan kolonial, memproduksi politik
kolonial yang diskriminatif, menciptakan pengkhianatan pada tanah leluhur.
Bahwa Datuk Meringgih dan Samsulbahri pada akhirnya tewas, itulah bentuk
kompromi yang menggiring pembaca melakukan introspeksi. Pembelaan dengan
memberi kemenangan pada tradisionalisme Datuk Meringgih, sama buruknya dengan
pembelaan pada Samsulbahri yang tercerabut dari akar budaya leluhur, jadi
pengkhianat, lalu datang ke tanah kelahiran justru untuk membunuhi
sanak-saudaranya sendiri. Bahwa kematian Samsuhbahri diusung sebagai pahlawan,
itu juga bentuk kompromi dengan syarat dan aturan main yang ditetapkan Balai
Pustaka.
Lokalitas dalam Salah Asuhan pada dasarnya juga merepresentasikan perang
ideologi yang semacam itu. Minangkabau -Jakarta, Rafiah-Hanafi-Corrie adalah
simbolisasi dua kutub ideologi. Minangkabau- Rafiah adalah dunia adat yang
dalam hal-hal tertentu bermakna negatif. Ia hidup dengan segala kesederhaan,
keterbelakangan, dan kebodohannya, meski pada akhirnya tampil sebagai korban
dan sekaligus juga pemenang. Batavia-Corrie adalah modernisme yang dalam
beberapa hal, justru berdampak negatif ketika gaya hidup modern (: Barat)
menjadi ukuran. Maka, Batavia tempat yang subur bagi pemuasan gaya hidup modern
Corrie, tetapi tidak untuk Hanafi. Keadaannya lebih buruk lagi bagi Hanafi. Ia
membuang kultur leluhur dan hidup di kota yang dijalaninya setengah hati.
Hanafi tertolak di tanah kelahirannya dan mati sebagai pecundang.
Sejak Balai Pustaka berdiri dan memainkan peranannya sebagai agen ideologi
kolonial, lokalitas Minangkabau yang pada awalnya diposisikan dalam
tarik-menarik tradisionalisme dan modernisme, seperti sengaja diperluas menjadi
stereotipe tentang Timur yang kemudian dibenturkan dengan stereotipe Barat.
Lokalitas dalam sastra yang terbit pada zaman itu lalu ditandai dengan
ciri-ciri umum yang memperlihatkan potret etnik yang eksotik, tradisional,
komunal, dan karikaturis. Ciri umum itu tentu saja berlainan dengan stereotipe
Barat yang lumrah, modern, individual, kompleks, dan berperadaban dan
berkebudayaan tinggi dengan berbagai teknologinya.
Perdebatan Timur-Barat yang terjadi pada dasawarsa tahun 1930-an yang lalu
diberi label oleh Achdiat Karta Mihardja sebagai Polemik Kebudayaan, sesungguhnya
merupakan tafsir atas lokalitas kultur etnik yang diperlakukan sebagai
representasi dunia Timur berhadapan dengan globalitas dan semangat rasional
Barat. Lokalitas dalam sastra terbitan Balai Pustaka ketika itu memperlihatkan
marjinalisasi dan inferioritas dunia Timur dalam berhadapan dengan superioritas
dunia Barat. Tentu saja tafsir ini tidak berlaku ketika kita mencermati
karya-karya yang berada di luar jalur Balai Pustaka. Kesusastraan di luar Balai
Pustaka ini pula yang seolah-olah sengaja dibiarkan tanpa suara, dituding
sebagai “bacaan liar” dan dicemooh sebagai roman picisan. Di dalam novel-novel
yang terbit di luar Balai Pustaka, kita akan menjumpai tokoh-tokoh Belanda yang
pemabuk, keluar-masuk rumah bordil, bahkan juga potret dunia pernyaian yang
terjadi ketika itu.
Pada zaman Jepang (1942-1945), konsep lokalitas bisa ditarik-ulur sesuai
tuntutan ideologi pemerintah pendudukan Jepang. Lokalitas Jawa dengan ikon
Borobudur, misalnya, bisa ditempatkan sebagai milik Indonesia, cermin kemajuan
peradaban Asia Tenggara, menjadi kebanggaan bangsa Asia, awal kebangkitan
kembali bangsa-bangsa di Asia-Afrika (: Mesir). Dengan demikian, Sakura, Angkor
Wat, Tembok Besar Cina atau piramida Mesir, sengaja digunakan sebagai pintu
masuk untuk menumbuhkan rasa percaya diri bangsa Asia dan kebangkitan
bangsa-bangsa Asia dan Afrika dalam menentang kolonialisme. Lokalitas digunakan
sebagai alat menggugah sentimen ras sesama bangsa Asia. Jika pada zaman
sebelumnya dunia Timur digambarkan sebagai stereotipe tradisional, terbelakang,
tidak berbudaya, irasional, dan mirip barang rongsokan, maka pada zaman Jepang,
stereotipe itu dibongkar dan dicitrakan sebaliknya.
***
Lokalitas dalam sastra pada akhirnya tidak dapat dipatok sebatas makna
tekstual. Teks sekadar bertugas memberi isyarat pada pembaca akan adanya
simpul-simpul makna yang mendekam dan bersembunyi di balik teks. Ketika makna
itu diterjemahkan, seketika itu simpul-simpul tadi memberi sinyal lain yang
memungkinkan saklar imajinasi pembaca bergentayangan memasuki medan tafsir,
mengungkap kekayaan dan kompleksitas sosio-budaya yang melingkari, membentuk,
mempengaruhi, dan menciptakan visi budaya dalam diri sastrawan bersangkutan.
Jadi, lokalitas dalam sastra, lebih merupakan ruang imajinatif pembaca yang titik
berangkatnya bersumber pada teks, pada makna tekstual.
Perhatikan teks berikut ini:
Aston kelihatan kaget. Ia melangkah menerobos kesibukan – Orang-orang
mengikutinya-. Sebuah komidi puter dengan ributnya memanggil anak-anak kampung
dengan lagu-lagu dangdut. Seorang pedagang kain dengan aksen orang awak sibuk
berteriak-teriak mengatasi suara mesin parutan kelapa, menarik perhatian
ibu-ibu yang mondar-mandir mencari bumbu dapur. Sebuah truk kecil yang biasa
mengangkut es, ribut mengklakson untuk mencari parkiran menggeser tukang-tukang
becak yang tak mau minggir kalau tidak dicolek secara pribadi oleh kenek. Dari
arah yang lain, masuk mobil penjual jamu dengan badut kate. Jalan yang
menampung dua arus kendaraan – itu agak kalang kabut, sebagaimana biasanya.
Sepasang suami-istri muda dengan tenang mendorong kereta bayi, anaknya yang
baru berusia beberapa bulan menggeliat-geliat. Di pinggang bapak muda itu ada
walkman. Di atas atap dua buah rumah, terlihat beberapa anak mengayun-ayunkan
burung merpati, memangil merpati yang baru saja diterbangkan. Dan sebuah kapal
terbang melintas dekat sekali, tapi tak ada yang mengacuhkan. (Putu Wijaya,
Pol, Jakarta: Grafiti, 1987, hlm. 10-11).
Bagaimana kita menyimpulkan persoalan lokalitas dalam teks di atas?
Bukankah ketika kita mengikuti deretan kalimat dalam teks itu, tanpa sadar,
saklar imajinasi kita menyala seketika dan kemudian bergentayangan mencari
cantelannya pada makna di luar teks? Tidak dapat lain, pintu masuknya memang
teks. Dan yang menghidupkan teks itu memperoleh lokalitasnya, tidak lain,
karena pembaca juga mempunyai persediaan referensi tentang lokalitas
berdasarkan pemahaman dan pengalamannya sendiri. Bukankah teks itu hidup
lataran imajinasi pembaca menghidupinya.
Perhatikan juga puisi Sutardji Calzoum Bachri berikut ini:
LUKA
ha ha
Bagaimana kita menemukan lokalitas dalam puisi itu ketika sinyal dan
simpul-simpul maknanya tidak kita temukan atau seola-olah tidak ada di sana.
Kembali, persoalan lokalitas dalam sastra tidak berhenti pada teks. Dalam hal
ini, salah satu tugas utama pembaca adalah menelusuri, melacak dan mencari
makna di luar teks. Pencarian dan pelacakan itu memang pada akhirnya bermuara
pada latar belakang sosio-kultural yang melingkari diri pengarang. Cantelan
teks dengan konteks menjadi niscaya ketika kita hendak menguak kekayaan
maknanya. Lokalitas menjadi ruang sosio-kultural yang harus diterjemahkan
berdasarkan pemahaman tiga kode: kode bahasa, kode sastra, kode budaya.
Ketika kita mencoba menerjemahkan makna puisi itu secara tekstual, seketika
itu pula kegagalan membayangi kita dalam usaha mengungkapkan kekayaan makna
yang mendekam di belakang teks. Meskipun begitu, ketika kita menemukan makna
yang berada di belakang teks, problem lokalitas tetaplah mesti ditempatkan
dalam medan tafsir yang terus menggelindingkan maknanya sampai entah ke mana.
Sutardji Calzoum Bachri secara kultural menyerap dan merevitalisasi mantra,
pantun, gurindam, dan tradisi sosial-budaya Melayu. Tetapi ketika ia berada di
level sastra Indonesia, lokalitas Melayu serta-merta berhadapan dengan
lokalitas budaya lain dan diizinkan menerobos wilayah dalam wacana
keindonesiaan. Tetapi, ketika Melayu ditempatkan dalam wilayah regional,
lokalitas Melayu seketika bisa menerabas lokalitas budaya yang lain hingga
melewati batas politik wilayah negara Asia Tenggara. Lokalitas dalam sastra
menjadi begitu lentur, fleksibel, licin, dinamis, dan tidak menyediakan sebuah
tempat pemberhentian terakhir. Dalam ruang imajinasi pembaca, memang tersedia
terminal. Tetapi ia bukan tempat pemberhentian terakhir, tetapi sebagai titik
pemberangkatan berikutnya menuju makna teks yang tidak pernah berhenti
menggelinding, dan oleh karena itu juga tidak pernah selesai dirumuskan.
Lokalitas dalam konteks global pada akhirnya juga dapat diperlakukan begitu
licin, lentur, dinamis yang dalam bahasa Melani Budianta, tidak pernah berhenti
bergeser, berpindah, dan berubah. Dengan demikian, dikotomi
lokalitas?globalitas adalah konsepsi yang secara spasial bersifat relatif
lantaran tidak dapat dirumuskan sebagai konsepsi yang sudah selesai. Ia berada
dalam ruang dinamis yang secara terus-menerus dapat diperluas atau dipersempit,
bergantung pada keluasan wawasan pembaca dan kecerdasannya memainkan ruang
imajinasi ketika ia memasuki dan berada dalam medan tafsir.
***
Salah satu problem besar pemahaman sastra Indonesia -sebagaimana yang
tampak dalam pengajaran sastra Indonesia di sekolah dan berdasarkan pengamatan
sejumlah besar skripsi atau tesis di berbagai institusi sastra- adalah
kemalasan mencari dan menemukan cantelan teks dengan konteks sosio-budaya.
Padahal, sastra Indonesia menyajikan begitu banyak problem itu. Belum lagi jika
dikaitkan dengan perubahan politik sekarang yang memberi ruang pemerintah
daerah mengurus dan mengembangkan dirinya (otonomi daerah). Oleh karena itu,
keyakinan bahwa teks sudah menyediakan segalanya dan pemaknaannya cukup sampai
pada makna tekstual, mesti dimaknai sebagai salah satu halte yang memungkinkan
pembaca melanjutkan perjalanannya sampai entah ke mana.
Demikianlah, lokalitas dalam sastra tidak lain adalah isyarat dan simpul
makna teks yang mempunyai kualitas untuk menghidupkan saklar imajinasi pembaca
memasuki medan tafsir yang tidak pernah selesai. Tanpa kualitas itu, lokalitas
dalam sastra akan terjerembab pada ketersesatan.
(Tulisan ini bersumber dari Makalah Diskusi “Lokalitas dalam Sastra”
diselenggarakan Bale Sastra Kecapi bekerja sama dengan Harian Kompas dan
Bentara Budaya Jakarta, di Bentara Budaya Jakarta, Senin, 16 April 2007, Pukul
15.00: 17.00).
*) Maman S. Mahayana, lahir di Cirebon, Jawa Barat, 18 Agustus 1957. Dia
salah satu penerima Tanda Kehormatan Satyalancana Karya Satya dari Presiden
Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono (2005). Menyelesaikan
pendidikannya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FS UI) tahun 1986, dan
sejak itu mengajar di almamaternya yang kini menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan
Budaya Universitas Indonesia (FIB-UI). Tahun 1997 selesai Program Pascasarjana
Universitas Indonesia. Pernah tinggal lama di Seoul, dan menjadi pengajar di
Department of Malay-Indonesian Studies, Hankuk University of Foreign Studies,
Seoul, Korea Selatan. Selain mengajar, banyak melakukan penelitian. Beberapa
hasil penelitiannya antara lain, “Inventarisasi Ungkapan-Ungkapan Bahasa
Indonesia” (LPUI, 1993), “Pencatatan dan Inventarisasi Naskah-Naskah Cirebon”
(Anggota Tim Peneliti, LPUI, 1994), dan “Majalah Wanita Awal Abad XX
(1908-1928)” (LPUI, 2000). http://sastra-indonesia.com/2008/12/lokalitas-dalam-sastra-indonesia/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Dharta
Abdul Hadi WM
Abdul Wachid B.S.
Abdullah Abubakar Batarfie
Abdurrahman Wahid
Achmad Faesol
Achmad S
Achmad Soeparno Yanto
Adin
Adrian Balu
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agung Sasongko
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Prasmono
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Mustofa Bisri
Ahmad Tohari
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akhudiat
al-Kindi
Alex R. Nainggolan
Ali Ahsan Al Haris
Ali Audah
Ali Syariati
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Andhika Dinata
Andi Neneng Nur Fauziah
Andra Nur Oktaviani
Andrenaline Katarsis
Andy Riza Hidayat
Anindita S. Thayf
Anton Kurniawan
Anton Sudibyo
Aprinus Salam
Arafat Nur
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Arthur Rimbaud
Asap Studio
Asarpin
Asti Musman
Atafras
Awalludin GD Mualif
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Balada
Bambang Riyanto
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernadette Aderi
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budi Darma
Butet Kartaredjasa
Cak Bono
Catatan
Cecil Mariani
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Charles Bukowski
Christine Hakim
Cinta Laura Kiehl
D. Zawawi Imron
Dahta Gautama
Daisy Priyanti
Damhuri Muhammad
Danarto
Dara Nuzzul Ramadhan
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darojat Gustian Syafaat
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Sartika
Dharmadi
Dhenok Kristianti
Dian Wahyu Kusuma
Dianing Widya Yudhistira
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djoko Subinarto
Doan Widhiandono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Yan Masfa
Donny Anggoro
Dwi Cipta
Dwi Klik Santosa
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Enda Menzies
Erik Purnama Putra
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esti Nuryani Kasam
Evan Ys
Evi Idawati
F Aziz Manna
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Fairuzul Mumtaz
Fajar Alayubi
Farah Noersativa
Faris Al Faisal
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrozak
Faza Bina Al-Alim
Feby Indirani
Felix K. Nesi
Fian Firatmaja
Firman Wally
Fiyan Arjun
Forum Penulis dan Pegiat Literasi Lamongan (FP2L)
Franz Kafka
Galih M. Rosyadi
Galuh Tulus Utama
Ganug Nugroho Adi
Garna Raditya
Gendut Riyanto
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Gombloh
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gurindam
Gusti Eka
H.B. Jassin
Halim HD
Hamdy Salad
Hamka
Hari Sulastri
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasbi Zainuddin
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Hermawan Mappiwali
Herry Lamongan
Hikmat Gumelar
HM. Nasruddin Anshoriy Ch
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
Ibnu Wahyudi
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Iksaka Banu
Ilham
Imam Muhayat
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Arlado
Imron Tohari
Indra Tjahyadi
Indrawati Jauharotun Nafisah
Indrian Koto
Inung As
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Ismi Wahid
Iva Titin Shovia
Iwan Fals
Iwan Kurniawan
Jakob Oetama
Janual Aidi
JJ. Kusni
Johan Fabricius
John H. McGlynn
Jordaidan Rizsyah
Jual Buku Sastra
K.H. A. Azis Masyhuri
Kadjie Mudzakir
Kahfie Nazaruddin
Kahlil Gibran
Kamajaya Al. Katuuk
Kamran Dikarma
Kedung Darma Romansha
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khansa Arifah Adila
Khatijah
Khoirul Inayah
Ki Dhalang Sulang
Ki Ompong Sudarsono
Kikin Kuswandi
Kodirun
Koh Young Hun
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Sastra Mangkubumen (KSM)
Komunitas Teater Se-Lamongan
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kurniawan Junaedhie
Kurniawan Muhammad
Kuswaidi Syafi’ie
Kuswinarto
L.K. Ara
Laksmi Shitaresmi
Lan Fang
Larung Sastra
Latief S. Nugraha
lensasastra.id
Leo Tolstoy
Leon Agusta
Linda Christanty
Lutfi Mardiansyah
M. Aan Mansyur
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Lutfi
M. Shoim Anwar
M. Yoesoef
M. Yunis
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahdi Idris
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Marniati
Martin Aleida
Mashuri
Masuki M. Astro
Matroni Muserang
Mawar Kusuma
Max Arifin
Melani Budianta
Mihar Harahap
Mikael Johani
Miziansyah J.
Moch. Fathoni Arief
Moh. Ghufron Cholid
Mohammad Afifi
Mohammad Rafi Azzamy
Muhammad Hanif
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun AS
Muhidin M. Dahlan
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Myra Sidharta
Nadia Cahyani
Naim
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nessa Kartika
Ni Made Purnama Sari
Nikita Mirzani
Nirwan Ahmad Arsuka
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Nurel Javissyarqi
Nurul Fahmy
Nurul Ilmi Elbana
Nyoman Tusthi Eddy
Ong Hok Ham
Orasi Budaya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Pay Jarot Sujarwo
PDS H.B. Jassin
Pendidikan
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pringgo HR
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Pustaka Bergerak
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
Qismatun Nihayah
R Sutandya Yudha Khaidar
R Toto Sugiharto
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rahmat Sutandya Yudhanto
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Prambudhi Dikimara
Rambuana
Ramdhan Triyadi Bempah
Ratnani Latifah
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ribut Wijoto
Ricarda Huch
Riezky Andhika Pradana
Riki Dhamparan Putra
Rizki Aprima Putra
Rokhim Sarkadek
Rony Agustinus
Royyan Julian
Rukardi
Rumah Budaya Pantura
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Ruth Indiah Rahayu
S Yoga
S. Arimba
S. Jai
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Sahaya Santayana
Sahli Hamid
Saini KM
Sajak
Salvator Yen Joenaidy
Samsul Anam
Sapardi Djoko Damono
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Selendang Sulaiman
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setyaningsih
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sosial Media Sastra
Sosiawan Leak
Sovian Lawendatu
Sudarmoko
Sudirman
Sugeng Sulaksono
Sugito Ha Es
Sumani
Sumargono SN
Suminto A. Sayuti
Sunaryata Soemarjo
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suryanto Sastroatmodjo
Susie Evidia Y
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
T Agus Khaidir
T.A. Sakti
Tangguh Pitoyo
Tatan Daniel
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Eska
Teater Pendopo nDalem Mangkubumen (Dokumen)
Teater Tawon
Tedy Kartyadi
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tiya Hapitiawati
Tiyasa Jati Pramono
Toeti Heraty
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Usman Arrumy
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vika Wisnu
W.S. Rendra
Wahyu Triono Ks
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Jengki Sunarta
Wayan Sunarta
Welly Kuswanto
Wilda Fizriyani
Willy Ana
Y Alpriyanti
Y.B. Mangunwijaya
Yanto le Honzo
Yasin Susilo
Yasir Amri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yonathan Rahardjo
Yudha Kristiawan
Yudhistira ANM Massardi
Yulhasni
Zehan Zareez
Zuhdi Swt
Zul Afrita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar