Film bisu atau tanpa suara, sudah sering kita ketahui. Komik ‘bisu’, alias tanpa narasi dan balon dialog? Tidak banyak komikus yang berani menempuh jalan sunyi ini. Di Belgia, pada tahun 70-an, Jean Henri Gaston Giraud pernah melakukannya melalui komik Arzach. Namun, medium ini tetap belum populer.
Tahun 1989, komik-komik supehero DC dan Marvel mulai berani menggunakan banyak panel tanpa dialog. Ternyata sambutan pembaca cukup positif. Mulai saat itu, semakin banyak yang menerbitkan komik bisu. Bukan hanya sebagian panel, melainkan seluruh isi buku.
Sesungguhnya komik bisu memang memiliki kelebihan dibandingkan komik dengan narasi. Di dalam komik narasi, panel-panel adegannya cenderung berupa adegan tableau. Satu gambar dipaksa mewakili banyak adegan, dan pembaca baru mengetahui apa yang terjadi melalui narasi atau dialog.
Sementara itu, komik bisu menuturkan cerita lewat gerak berkesinambungan (sekuen). Pembaca seperti disuguhi adegan dari layar lebar. Panel-panelnya seolah bergerak, karena setiap panel diolah dengan ‘meminjam’ cara kamera bekerja. Kadang berputar ke atas, kadang panning, sering pula pull out.
Untuk bisa mencapai hal itu, syarat utama dari sebuah komik bisu adalah: ilustratornya harus piawai menguasai anatomi tubuh manusia (dan hewan), juga efek perspektif ruang dari segala arah. Masih ditambah lagi dengan kemampuan menerjemahkan kisah ke dalam panel. Ini bukan perkara mudah.
Kang Toni Masdiono, yang sudah lama malang melintang di dunia komik, adalah salah satu illustrator Indonesia yang memenuhi semua syarat berat itu.
Dalam ‘Karimata 1890’, ia membiarkan seluruh halaman bercerita dalam panel-panel bisu yang sangat filmis, komunikatif, dan memikat.
Kita bisa membayangkan bagaimana serunya adu kesaktian Malla dan Inang, serta para tokoh lain, melalui adegan perkelahian yang berurutan dan akrobatis. Diambil dari segala sudut. Pada saat yang sama, melalui tarikan pena dan penguasaan visual, kita juga dibawa hanyut ke dalam suasana abad 19 yang sangat detail dan matang risetnya: desa, kedai, laut, pelabuhan, dan dek kapal orang Belanda.
Bila Anda sedang jenuh menatap buku penuh huruf, tetapi takut pergi ke bioskop untuk menonton film akibat pandemi ini, Anda bisa menyegarkan mata dengan memandang panel-panel indah dalam buku ‘Karimata 1890’ – a silent comic’ ini berkali-kali tanpa bosan.
Hatur nuhun, Kang Toni. Buku Anda luar biasa.
9 Februari 2021
*) Iksaka Banu, lahir di Yogyakarta 7 Oktober 1964. Namanya dikenal melalui karya-karyanya berupa komik dan prosa yang dipublikasikan ke berbagai media massa. Ia salah satu penerima Penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa melalui karyanya “Semua Untuk Hindia” tahun 2014, dan Penghargaan Pena Kencana (2008 dan 2009). http://sastra-indonesia.com/2021/02/karimata-1890-a-silent-comic-toni-masdiono/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar