Rabu, 10 Februari 2021

Lelaki Ikan: Antara Idealisme dan Konsumerisme

T Agus Khaidir
Analisa, Januari 2007
 
“Saat satu karya tulis (termasuk di luar sastra) diputuskan untuk dikumpulkan dan kemudian diterbitkan dalam bentuk buku, maka seketika itu karya tersebut sudah memiliki kelamin. Begitulah, sebagaimana mahluk yang hidup, tiap bentuk tulisan pun sebenarnya memiliki kelamin. Ada dua kelamin. Yang pertama bernama idealisme, sedangkan kelamin kedua bernama popularitas (popular culture) -yang sangat erat kaitannya dengan konsumerisme.”
 
DALAM hal sastra, tidak sedikit penulis yang (pada awalnya) dengan gagah mengatakan bahwa kelamin mereka adalah kelamin pertama. Mereka akan tetap bertahan pada idealisme. Sikap ini kemudian lebih sering bergeser ke arah kompromistis. Tentu saja, sebab setiap karya pastilah membutuhkan publikasi. Ia jelas tak efektif apabila hanya beredar di kalangan terbatas.
 
Sardono W Kusumo, penari yang kini menjadi rektor IKJ, dalam perjalanan ke Kalimantan pada awal tahun 1980-an,  tepatnya ketika ia berada di tengah hutan Apo Kayan yang perawan, melihat begitu banyak bunga anggrek. Sardono berkata,” apa gunanya semua keindahan ini jika tidak ada yang menikmatinya.”
 
Demikian pula dengan karya sastra. Sehebat, seindah dan bahkan seagung apapun karya itu, hanya akan menjadi sebuah upaya yang sia-sia belaka apabila tidak ada yang membacanya. Yang menjadi permasalahan, idealisme para penulis memang lebih sering berseberangan dengan laku konsumerisme, dengan keinginan publik.
 
Hudan Hidayat, dalam khasanah sastra Indonesia , boleh dikata berada dalam posisi yang agak istimewa. Mengapa dikatakan demikian? Jika tolak ukurnya adalah publikasi, maka Hudan tidak termasuk dalam jajaran penulis garda terdepan. Cukup jarang kita mendapati karya-karyanya termuat di koran-koran nasional maupun daerah. Namun apabila kualitas yang bicara, maka tempat Hudan justru tidak dapat ditempatkan pada kelas rata-rata.
 
Sejumlah penulis garda terdepan, sebutlah misalnya Kurnia Effendi atau Triyanto Triwikromo, mengakui kualitas karya Hudan berada jauh di atas karya mereka. “Satu hal yang saya kagumi dari Hudan Hidayat adalah ketak-konvensional-an dan idealismenya. Ia konsisten kedua hal itu dalam tulisan-tulisannya,” kata Kurnia.
 
Seperti Joni Ariadinata, Hudan kelihatannya memang cenderung menahan diri untuk tak terlalu mengekspos karya-karyanya di media massa . Ia lebih banyak berfokus pada pengelolaan jurnal-jurnal sastra. Selama ini, memang dalam jusrnal-jurnal semacam itulah karya idealis dapat diterbitkan secara utuh tanpa mengalami “penyesuaian” dengan selera pasar.  Dalam hal penerbitan, buku-buku Hudan pun sebagian besar beredar secara underground.
 
Karena itu pula cukup banyak yang merasa takjub tatkala mengetahui sekumpulan cerita pendeknya dibukukan oleh penerbit Kompas. Penerbitan yang di negeri terkasih ini sudah terlanjur ditabalkan sebagai penerbitan yang (meminjam istilah di dunia musik) “Major Label”. Dan apa boleh buat, ketakjuban itu makin bertambah besar karena ternyata kumpulan tersebut juga memuat cerpen-cerpen Hudan dari “Keluarga Gila” dan “Orang Sakit“, kumpulan-kumpulan cerpen Hudan terdahulu yang sempat membawa kehebohan dan perdebatan berkepanjangan, bahkan hingga sekarang.
 
Sampai di sini mencuat pertanyaan, apakah dengan penerbitan ini penerbit Kompas sudah siap untuk menerima sengitan kening dari pembaca yang menjadi pasar potensialnya? Cerpen-cerpen Hudan Hidayat, termasuk karya mutakhirnya yang terkumpul dalam “Lelaki Ikan“, hampir semuanya bukan termasuk karya yang mudah untuk dicerna. Selain dari sisi tematis dan pilihan metafor-metafornya yang memang aneh-aneh, metode penulisannya juga tidak biasa.
 
Mariana Aminuddin, penulis dan aktivis perempuan yang menuliskan semacam pengantar di buku ini, mengibaratkan gaya bertutur Hudan sebagai gaya nge-rap. Cepat, lugas dan menghadirkan permainan bunyi. Pilihan kata-katanya juga lugas, tidak berbunga-bunga, lebih sering panas menyengat atau nyerempet-nyerempet erotisme.
 
Khusus menyangkut erotisme ini, bagi mereka yang pertama kali membaca tulisan-tulisan Hudan mungkin akan merasa sangat terperanjat. Betapa tidak, Hudan bisa dengan ringan menuliskan kalimat, atau sekedar kata, yang dalam pemahaman masyarakat secara umum dinilai amat tabu.
 
Seperti yang ditemukan dalam “Calsberg Kecil“. Hudan tanpa canggung menuturkan, “aku menggigit … mu sampai putus. Tentu kamu akan lucu sekali tanpa … lagi” (Halaman 125. Khusus … dari adalah dari saya. Hudan Hidayat sendiri di sini menempatkan sebuah pilihan kata yang mewakili alat kelamin laki-laki -dan pilihan itu bukan ‘penis’).
 
Kemudian dalam “Urat Kecil“. Terdapat kalimat dimana teman sang tokoh berdoa dan doanya berbunyi seperti ini: “Ya, Allah, jangan jadikan aku orang yang … kanan … kiri.” (Halaman 116. Kembali … dari saya. Oleh Hudan, pilihan kata untuk melengkapi kalimat ini adalah kata yang mewakili adegan persetubuhan -dan pilihannya memang bukan ‘senggama’).
 
Hudan Hidayat, bicara soal seks dengan bebas. Ia seakan mengkarnavalkan seks itu, merayakannya dengan terbuka seperti hal itu memang bukan sebuah ritual yang suci dan memiliki rambu-rambu. Namun dalam kemeriahan dan kebebasannya, seks dalam cerpen-cerpen Hudan adalah seks yang muram dan hampir selalu dilatarbelakangi persoalan-persoalan psikologis yang pelik lagi rumit. Hudan memang menguliti perihal seks. Tapi dalam hal ini ia memang tak sekedar menawarkan erotisme, tapi lebih jauh mengajak pembaca untuk menelisik dan mengeksplorasi kekayaan maknanya.
 
Hudan menolak seks dikurung sebagai praktika individu dibalik selimut. Seks yang menjadi luhur, sakral, konservatif tapi memberi keabsahan pada kemunafikan dan manipulasi. Dalam “Burung Termangu” (halaman 156-161), misalnya. Penerjemahan pemikiran Hudan, seks dapat menjadi tergugat ketika ia berada dalam posisi sebagai penjajah. Seks yang berlangsung tanpa sambutan adalah perkosaan.
 
Kejutan berikut yang barangkali akan menghantam pembaca yang asing dengan Hudan kelugasannya menghadirkan ajaran-ajaran Ketuhanan. Bukan ajaran Ketuhahan yang “ordinary” tentunya, melainkan yang sudah menjurus pada sufistik, kaji tingkat tinggi. Dalam “Ayat Gelap” kita bisa menemukan kalimat seperti ini: “Dari mana Tuhan itu berasal? Siapa yang menciptakan-Nya? Menurut orangtua dan kakekku, tuhan tidak berasal dari mana-mana. Ada dengan sendirinya. Tidak berbentuk dan tidak berupa. Sudah lama aku mendengar kata-kata ini. Tapi aku tak bertanya apa maknanya. Sampai suatu sore ketika aku berusia 12 tahun, seakan saja pertanyaan itu melompat dari bawah sadarku. … Aku tidak mengerti dan tidak menerima. Bagaimana mungkin. Aku yang dididik dengan pancaindra, tiba-tiba harus memahami Tuhan tidak berasal dari mana-mana?”
 
Atau kalimat dalam “Nampan Mati“: “Tuhanlah pencipta sandiwara. Tetapi dengan cepat Budiman memotong, kalau Tuhan pencipta sandiwara berarti Dia ikut merencanakan kejahatan. Kalau begitu halnya, demikian pendapat Budiman, lalu siapa penghuni neraka?”
 
Adakah kejutan-kejutan yang lainnya? Bicara kejutan, buku ini memang penuh kejutan (yang benar-benar mengejutkan). Tidak ada satu pun kisah yang bisa dengan cepat ditebak mau ke mana arahnya. Bahkan sejumlah kisah masih sulit untuk dipahami meski sudah dibaca berulangkali. Matafor-metafor yang aneh, seperti lelaki yang menginginkan dirinya menjadi ikan lantas benar-benar menjadi ikan (“Lelaki ikan“, halaman 5-19), percakapan dengan sebuah kafe (“Kafe dan Salju“, halaman 77-84), pertemanan semu dengan seekor patung singa (“Singa yang Anggun“, halaman 72-76), atau kisah tragis yang bermula dari persoalan halal-tidaknya ayam potong dan berakhir dengan matinya seorang warga negara biasa sebagai tahanan politik (“Nampan Mati“), memang menempatkan cerpen-cerpen Hudan Hidayat sebagai misteri yang menggoda untuk dipecahkan.
***
http://sastra-indonesia.com/2020/09/lelaki-ikan-antara-idealisme-dan-konsumerisme/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.S. Dharta Abdul Hadi WM Abdul Wachid B.S. Abdullah Abubakar Batarfie Abdurrahman Wahid Achmad Faesol Achmad S Achmad Soeparno Yanto Adin Adrian Balu Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Sasongko Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Prasmono Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Mustofa Bisri Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat al-Kindi Alex R. Nainggolan Ali Ahsan Al Haris Ali Audah Ali Syariati Amien Kamil Amien Wangsitalaja Andhika Dinata Andi Neneng Nur Fauziah Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Andy Riza Hidayat Anindita S. Thayf Anton Kurniawan Anton Sudibyo Aprinus Salam Arafat Nur Arif Hidayat Arman A.Z. Arthur Rimbaud Asap Studio Asarpin Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Badaruddin Amir Bagja Hidayat Balada Bambang Riyanto Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Butet Kartaredjasa Cak Bono Catatan Cecil Mariani Cerbung Cerpen Chairil Anwar Charles Bukowski Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dahta Gautama Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Danarto Dara Nuzzul Ramadhan Dareen Tatour Darju Prasetya Darojat Gustian Syafaat Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Sartika Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dianing Widya Yudhistira Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Pitono Djoko Saryono Djoko Subinarto Doan Widhiandono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Klik Santosa Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erik Purnama Putra Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esti Nuryani Kasam Evan Ys Evi Idawati F Aziz Manna F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Firman Wally Fiyan Arjun Forum Penulis dan Pegiat Literasi Lamongan (FP2L) Franz Kafka Galih M. Rosyadi Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Garna Raditya Gendut Riyanto Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gurindam Gusti Eka H.B. Jassin Halim HD Hamdy Salad Hamka Hari Sulastri Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasbi Zainuddin Hasif Amini Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Hermawan Mappiwali Herry Lamongan Hikmat Gumelar HM. Nasruddin Anshoriy Ch Hudan Hidayat Humam S Chudori Ibnu Wahyudi Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Iksaka Banu Ilham Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Arlado Imron Tohari Indra Tjahyadi Indrawati Jauharotun Nafisah Indrian Koto Inung As Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Ismi Wahid Iva Titin Shovia Iwan Fals Iwan Kurniawan Jakob Oetama Janual Aidi JJ. Kusni Johan Fabricius John H. McGlynn Jordaidan Rizsyah Jual Buku Sastra K.H. A. Azis Masyhuri Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kahlil Gibran Kamajaya Al. Katuuk Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khatijah Khoirul Inayah Ki Dhalang Sulang Ki Ompong Sudarsono Kikin Kuswandi Kodirun Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Sastra Mangkubumen (KSM) Komunitas Teater Se-Lamongan Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kucing Oren Kurniawan Junaedhie Kurniawan Muhammad Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Larung Sastra Latief S. Nugraha lensasastra.id Leo Tolstoy Leon Agusta Linda Christanty Lutfi Mardiansyah M. Aan Mansyur M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Harir Muzakki M. Lutfi M. Shoim Anwar M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marniati Martin Aleida Mashuri Masuki M. Astro Matroni Muserang Mawar Kusuma Max Arifin Melani Budianta Mihar Harahap Mikael Johani Miziansyah J. Moch. Fathoni Arief Moh. Ghufron Cholid Mohammad Afifi Mohammad Rafi Azzamy Muhammad Hanif Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun AS Muhidin M. Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Murnierida Pram Myra Sidharta Nadia Cahyani Naim Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nessa Kartika Ni Made Purnama Sari Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Noor H. Dee Nurel Javissyarqi Nurul Fahmy Nurul Ilmi Elbana Nyoman Tusthi Eddy Ong Hok Ham Orasi Budaya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Pablo Neruda Pay Jarot Sujarwo PDS H.B. Jassin Pendidikan Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Bergerak Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin Qismatun Nihayah R Sutandya Yudha Khaidar R Toto Sugiharto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Rambuana Ramdhan Triyadi Bempah Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ricarda Huch Riezky Andhika Pradana Riki Dhamparan Putra Rizki Aprima Putra Rokhim Sarkadek Rony Agustinus Royyan Julian Rukardi Rumah Budaya Pantura Rumah Budaya Pantura (RBP) Ruth Indiah Rahayu S Yoga S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safitri Ningrum Sahaya Santayana Sahli Hamid Saini KM Sajak Salvator Yen Joenaidy Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setyaningsih Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosial Media Sastra Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sudarmoko Sudirman Sugeng Sulaksono Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunaryata Soemarjo Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susie Evidia Y Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka T Agus Khaidir T.A. Sakti Tangguh Pitoyo Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teater Pendopo nDalem Mangkubumen (Dokumen) Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tiya Hapitiawati Tiyasa Jati Pramono Toeti Heraty TS Pinang Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Usman Arrumy UU Hamidy Veronika Ninik Vika Wisnu W.S. Rendra Wahyu Triono Ks Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wilda Fizriyani Willy Ana Y Alpriyanti Y.B. Mangunwijaya Yanto le Honzo Yasin Susilo Yasir Amri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yulhasni Zehan Zareez Zuhdi Swt Zul Afrita