Rabu, 10 Februari 2021

KEMATIAN SEBAGAI CITA-CITA

Damhuri Muhammad *
 
Judul Buku : Lelaki Ikan
Penulis : Hudan Hidayat
Penerbit : Buku Kompas, Jakarta
Cetakan : Pertama, September 2006
Tebal : 256 halaman
 
Sambil bergurau, iseng-iseng saya pernah bertanya pada Hudan Hidayat, “Kau sudah jadi pengarang, jabatan di kantor juga sudah punya, hidupmu lebih mapan dibanding teman-teman pengarang lain, apa lagi yang kau inginkan Dan?” Dengan santai Hudan menjawab, “Aku pingin tahu bagaimana rasanya mati!” Saya terperangah. “Ngawur! Sudah bosan hidup kau rupanya?” kata saya. “Ya, aku memang sudah kepingin mati!” balas Hudan lagi.
 
Semula, saya tidak terlalu gamang dengan tabiat ganjil Hudan yang memang suka bermain-main. Tapi, setelah membaca dan mendalami karya-karya fiksinya sejak dari Orang Sakit, Keluarga Gila hingga Tuan & Nona Kosong, saya mulai cemas kalau-kalau sahabat saya itu tidak berumur panjang. Betapa tidak? Ekplorasi tematik dalam proses kreatifnya benar-benar tidak berjarak dengan keinginannya mengecap rasa mati. Pilihannya jatuh pada kematian sebagai cita-cita estetik.
 
Belakangan, eskalasi kecemasan saya pada Hudan makin meningkat, lebih-lebih setelah buku keempatnya, Lelaki Ikan, diterbitkan. Cerpenis ini makin berdalam-dalam menyelami tema kematian. Narasi prosaiknya begitu akrab dengan bunuh diri, sakratul maut, belati, dan pistol. Seolah-olah hingar-bingar kehidupan tidak lagi menggiurkan baginya. Seakan-akan hidup tak lagi bermutu. Jangan-jangan kematian memang lebih bermutu ketimbang kehidupan, atau kematian adalah kehidupan baru yang lebih nyaman. Lalu? Ya, ayo kita bergegas menjemput ajal. Menyongsong maut. Bila hanya menunggu, ajal tak bisa dipastikan. Maka, seyogyanya kita mengejar dan meraihnya, agar kematian lebih pasti, lebih segera.
 
Begitulah tabiat literer Hudan dalam Parit Terakhir. Tokoh rekaannya tak hanya ingin mengecap rasa mati, juga hendak menyaksikan proses lepasnya nyawa dari badan. Ingin mencicipi kematian serupa mengecap sepotong pizza, sekerat demi sekerat. Hudan melakukan desakralisasi makna kematian. Ajal yang metafisik dan suprainderawi diprofankan hingga mewujud seperti kue. Enak dimakan, lebih-lebih saat lapar menyerang. Sekarat tak lagi sakit, tapi nikmat.
 
Imaji kekerasan, pembunuhan, dan perilaku paranoid merupakan resistensi yang harus ditanggung setiap watak yang terbangun dalam cerpen-cerpen Hudan (Ulat di Hati, Senar Putus, Parit Terakhir, Nampan Mati). Tapi, sejatinya ia tidak sedang merayakan imaji brutalitas dan sadomasokis itu. Kegilaaan mempermainkan hasrat mencincang ayah, nafsu membantai ibu (Lampu Kristal Pecah) hanya sekadar medium untuk menggapai kematian. Ibu menggebu-gebu ingin menyembelih ayah, ayah tidak sabar ingin menyudahi hidup ibu, begitu pun tokoh anak (aku) yang juga ingin bergegas membunuh keduanya. Bukankah hasrat gila yang bergejolak dalam watak tokoh-tokoh itu berhulu pada kematian? Jadi, yang penting bukan pembunuhannya, tapi ketersampaian obsesi masing-masing tokoh pada kematian yang diidam-idamkan.
 
Ada yang ganjil soal pesakitan dan kegilaan Hudan pada tema kematian. Ia selalu membawa-bawa Tuhan. Apa hubungannya? Mencermati cerpen-cerpen dalam buku ini, saya mulai ragu. Apakah benar obsesi literercerpen-cerpen Hudan itu rindu kematian? Ah, jangan-jangan tidak merindukan kematian, tapi merindukan Tuhan. Kematian (lagi-lagi) hanyalah wasilah untuk menggapai Tuhan. Di titik ini saya membaca kompleksitas kerumitan eksplorasi estetik Hudan. Kerumitan itu mempersulit saya menjangkau hulu pelayaran estetiknya. Kekerasan, kematian atau rindu bertemu Tuhan? Jalin-menjalin, himpit-menghimpit, tindih-menindih serupa jalinan ratusan benang di dalam kain tenun. Padat. Kokoh. Bergelintin. Sukar diurai. Sewaktu-waktu imaji kekerasan begitu kentara, tapi (di saat yang sama) juga tercium aroma kematian yang menyengat, sekaligus gejolak kerinduan sufistik akan Tuhan yang sukar terkendali. Lalu, apa maunya cerpen-cerpen Hudan itu?
 
Di bagian pengantar buku ini, Hudan menulis wejangan perihal pesakitan dan kegilaan yang keduanya berujung pada: mati. Wejangan ini diperkuat oleh catatan penutup Mariana Amiruddin bahwa Hudan itu sakit “sesakit-sakit”-nya, gila “segila-gila”-nya. Maka, proses kreatif Hudan adalah terapi penyembuhannya. Mariana keliru membaca sosok kepengarangan Hudan. Sebab, sakit dan gila itu bukanlah muaranya. Itu hanya akibat dari kecamuk rindu hendak merangkul Tuhan. Lihatlah kegelisahan tokoh aku pada Ayat Gelap. Terombang-ambing antara menerima atau menolak Tuhan. Sebuah gelagat ingin membuktikan apakah Tuhan itu ada atau tidak. Inilah kerinduan asketik yang selalu menggelora dalam ruh karya-karya Hudan.
 
Buku ini memperlihatkan perubahan idealisme Hudan sebagai kreator yang biasanya kurang bersetuju dengan gaya surealisme. Kini ia menulis Lelaki Ikan, sekaligus dipilih sebagai judul buku. Saya berusaha mengggali muasal kenapa tokoh lelaki dalam cerpen itu tiba-tiba saja kakinya bersisik dan lama-kelamaan berubah jadi ikan, tapi tak kunjung saya temukan. Saya hanya mampu menangkap pertanda bahwa manusia yang memilih berubah wujud jadi ikan, tentulah manusia yang sudah mati. Ia lupakan anak dan istri di darat, lalu hidup di laut sebagai ikan yang aneh. Lagi-lagi soal mati bukan?
 
Kalaupun cerpen ini agak berbeda dari cerpen lain, itu terasa pada eksperimentasi teknik bercerita. Hal yang jarang dilakukan Hudan sebelumnya. Biasanya, Hudan meluap-luap, menggebu-gebu, tergesa-gesa. Kini, ia agak tenang, lentur, santun. Tidakkah lagi ia memilih imaji kekerasan sebagai jalan menuju kematian? Atau ia sudah menggapai kematian dengan cara yang lain? Mati dengan cara menjadi ikan, misalnya. Jawabnya, hanya Hudan dan Tuhan yang tahu.
 
Mungkin, kematian salah satu anak tangga menuju Tuhan. Tapi, terlalu lama memuja kematian, saya khawatir bila kerinduan metafisik yang tak kunjung tercapai pada karya-karyanya, lalu ia mengikuti jejak Virginia Woolf (bunuh diri dengan menenggelamkan diri di Sungai Ouse, 1941), Ernest Hemingway (menembak kepala sendiri, 1961), Yukio Mishima (mengakhiri hidup dengan cara seppuku –ritual memburaikan isi perut–,1970) dan Yanusari Kawabata (mati secara harakiri, 1972). Bila “latihan-latihan bunuh diri” tak jitu lagi memuaskan hasrat ingin matinya, bisa saja Hudan “kesurupan” tokoh rekaannya sendiri.
 
Semoga kau panjang umur, kawan …

*) Damhuri Muhammad, cerpenis. http://sastra-indonesia.com/2020/09/kematian-sebagai-cita-cita/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.S. Dharta Abdul Hadi WM Abdul Wachid B.S. Abdullah Abubakar Batarfie Abdurrahman Wahid Achmad Faesol Achmad S Achmad Soeparno Yanto Adin Adrian Balu Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Sasongko Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Prasmono Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Mustofa Bisri Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat al-Kindi Alex R. Nainggolan Ali Ahsan Al Haris Ali Audah Ali Syariati Amien Kamil Amien Wangsitalaja Andhika Dinata Andi Neneng Nur Fauziah Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Andy Riza Hidayat Anindita S. Thayf Anton Kurniawan Anton Sudibyo Aprinus Salam Arafat Nur Arif Hidayat Arman A.Z. Arthur Rimbaud Asap Studio Asarpin Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Badaruddin Amir Bagja Hidayat Balada Bambang Riyanto Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Butet Kartaredjasa Cak Bono Catatan Cecil Mariani Cerbung Cerpen Chairil Anwar Charles Bukowski Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dahta Gautama Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Danarto Dara Nuzzul Ramadhan Dareen Tatour Darju Prasetya Darojat Gustian Syafaat Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Sartika Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dianing Widya Yudhistira Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Pitono Djoko Saryono Djoko Subinarto Doan Widhiandono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Klik Santosa Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erik Purnama Putra Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esti Nuryani Kasam Evan Ys Evi Idawati F Aziz Manna F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Firman Wally Fiyan Arjun Forum Penulis dan Pegiat Literasi Lamongan (FP2L) Franz Kafka Galih M. Rosyadi Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Garna Raditya Gendut Riyanto Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gurindam Gusti Eka H.B. Jassin Halim HD Hamdy Salad Hamka Hari Sulastri Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasbi Zainuddin Hasif Amini Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Hermawan Mappiwali Herry Lamongan Hikmat Gumelar HM. Nasruddin Anshoriy Ch Hudan Hidayat Humam S Chudori Ibnu Wahyudi Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Iksaka Banu Ilham Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Arlado Imron Tohari Indra Tjahyadi Indrawati Jauharotun Nafisah Indrian Koto Inung As Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Ismi Wahid Iva Titin Shovia Iwan Fals Iwan Kurniawan Jakob Oetama Janual Aidi JJ. Kusni Johan Fabricius John H. McGlynn Jordaidan Rizsyah Jual Buku Sastra K.H. A. Azis Masyhuri Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kahlil Gibran Kamajaya Al. Katuuk Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khatijah Khoirul Inayah Ki Dhalang Sulang Ki Ompong Sudarsono Kikin Kuswandi Kodirun Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Sastra Mangkubumen (KSM) Komunitas Teater Se-Lamongan Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kucing Oren Kurniawan Junaedhie Kurniawan Muhammad Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Larung Sastra Latief S. Nugraha lensasastra.id Leo Tolstoy Leon Agusta Linda Christanty Lutfi Mardiansyah M. Aan Mansyur M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Harir Muzakki M. Lutfi M. Shoim Anwar M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marniati Martin Aleida Mashuri Masuki M. Astro Matroni Muserang Mawar Kusuma Max Arifin Melani Budianta Mihar Harahap Mikael Johani Miziansyah J. Moch. Fathoni Arief Moh. Ghufron Cholid Mohammad Afifi Mohammad Rafi Azzamy Muhammad Hanif Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun AS Muhidin M. Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Murnierida Pram Myra Sidharta Nadia Cahyani Naim Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nessa Kartika Ni Made Purnama Sari Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Noor H. Dee Nurel Javissyarqi Nurul Fahmy Nurul Ilmi Elbana Nyoman Tusthi Eddy Ong Hok Ham Orasi Budaya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Pablo Neruda Pay Jarot Sujarwo PDS H.B. Jassin Pendidikan Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Bergerak Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin Qismatun Nihayah R Sutandya Yudha Khaidar R Toto Sugiharto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Rambuana Ramdhan Triyadi Bempah Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ricarda Huch Riezky Andhika Pradana Riki Dhamparan Putra Rizki Aprima Putra Rokhim Sarkadek Rony Agustinus Royyan Julian Rukardi Rumah Budaya Pantura Rumah Budaya Pantura (RBP) Ruth Indiah Rahayu S Yoga S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safitri Ningrum Sahaya Santayana Sahli Hamid Saini KM Sajak Salvator Yen Joenaidy Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setyaningsih Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosial Media Sastra Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sudarmoko Sudirman Sugeng Sulaksono Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunaryata Soemarjo Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susie Evidia Y Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka T Agus Khaidir T.A. Sakti Tangguh Pitoyo Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teater Pendopo nDalem Mangkubumen (Dokumen) Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tiya Hapitiawati Tiyasa Jati Pramono Toeti Heraty TS Pinang Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Usman Arrumy UU Hamidy Veronika Ninik Vika Wisnu W.S. Rendra Wahyu Triono Ks Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wilda Fizriyani Willy Ana Y Alpriyanti Y.B. Mangunwijaya Yanto le Honzo Yasin Susilo Yasir Amri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yulhasni Zehan Zareez Zuhdi Swt Zul Afrita