Judul Buku : Lelaki Ikan
Penulis : Hudan Hidayat
Penerbit : Buku Kompas, Jakarta
Cetakan : Pertama, September 2006
Tebal : 256 halaman
Sambil bergurau, iseng-iseng saya pernah bertanya pada Hudan Hidayat, “Kau sudah jadi pengarang, jabatan di kantor juga sudah punya, hidupmu lebih mapan dibanding teman-teman pengarang lain, apa lagi yang kau inginkan Dan?” Dengan santai Hudan menjawab, “Aku pingin tahu bagaimana rasanya mati!” Saya terperangah. “Ngawur! Sudah bosan hidup kau rupanya?” kata saya. “Ya, aku memang sudah kepingin mati!” balas Hudan lagi.
Semula, saya tidak terlalu gamang dengan tabiat ganjil Hudan yang memang suka bermain-main. Tapi, setelah membaca dan mendalami karya-karya fiksinya sejak dari Orang Sakit, Keluarga Gila hingga Tuan & Nona Kosong, saya mulai cemas kalau-kalau sahabat saya itu tidak berumur panjang. Betapa tidak? Ekplorasi tematik dalam proses kreatifnya benar-benar tidak berjarak dengan keinginannya mengecap rasa mati. Pilihannya jatuh pada kematian sebagai cita-cita estetik.
Belakangan, eskalasi kecemasan saya pada Hudan makin meningkat, lebih-lebih setelah buku keempatnya, Lelaki Ikan, diterbitkan. Cerpenis ini makin berdalam-dalam menyelami tema kematian. Narasi prosaiknya begitu akrab dengan bunuh diri, sakratul maut, belati, dan pistol. Seolah-olah hingar-bingar kehidupan tidak lagi menggiurkan baginya. Seakan-akan hidup tak lagi bermutu. Jangan-jangan kematian memang lebih bermutu ketimbang kehidupan, atau kematian adalah kehidupan baru yang lebih nyaman. Lalu? Ya, ayo kita bergegas menjemput ajal. Menyongsong maut. Bila hanya menunggu, ajal tak bisa dipastikan. Maka, seyogyanya kita mengejar dan meraihnya, agar kematian lebih pasti, lebih segera.
Begitulah tabiat literer Hudan dalam Parit Terakhir. Tokoh rekaannya tak hanya ingin mengecap rasa mati, juga hendak menyaksikan proses lepasnya nyawa dari badan. Ingin mencicipi kematian serupa mengecap sepotong pizza, sekerat demi sekerat. Hudan melakukan desakralisasi makna kematian. Ajal yang metafisik dan suprainderawi diprofankan hingga mewujud seperti kue. Enak dimakan, lebih-lebih saat lapar menyerang. Sekarat tak lagi sakit, tapi nikmat.
Imaji kekerasan, pembunuhan, dan perilaku paranoid merupakan resistensi yang harus ditanggung setiap watak yang terbangun dalam cerpen-cerpen Hudan (Ulat di Hati, Senar Putus, Parit Terakhir, Nampan Mati). Tapi, sejatinya ia tidak sedang merayakan imaji brutalitas dan sadomasokis itu. Kegilaaan mempermainkan hasrat mencincang ayah, nafsu membantai ibu (Lampu Kristal Pecah) hanya sekadar medium untuk menggapai kematian. Ibu menggebu-gebu ingin menyembelih ayah, ayah tidak sabar ingin menyudahi hidup ibu, begitu pun tokoh anak (aku) yang juga ingin bergegas membunuh keduanya. Bukankah hasrat gila yang bergejolak dalam watak tokoh-tokoh itu berhulu pada kematian? Jadi, yang penting bukan pembunuhannya, tapi ketersampaian obsesi masing-masing tokoh pada kematian yang diidam-idamkan.
Ada yang ganjil soal pesakitan dan kegilaan Hudan pada tema kematian. Ia selalu membawa-bawa Tuhan. Apa hubungannya? Mencermati cerpen-cerpen dalam buku ini, saya mulai ragu. Apakah benar obsesi literercerpen-cerpen Hudan itu rindu kematian? Ah, jangan-jangan tidak merindukan kematian, tapi merindukan Tuhan. Kematian (lagi-lagi) hanyalah wasilah untuk menggapai Tuhan. Di titik ini saya membaca kompleksitas kerumitan eksplorasi estetik Hudan. Kerumitan itu mempersulit saya menjangkau hulu pelayaran estetiknya. Kekerasan, kematian atau rindu bertemu Tuhan? Jalin-menjalin, himpit-menghimpit, tindih-menindih serupa jalinan ratusan benang di dalam kain tenun. Padat. Kokoh. Bergelintin. Sukar diurai. Sewaktu-waktu imaji kekerasan begitu kentara, tapi (di saat yang sama) juga tercium aroma kematian yang menyengat, sekaligus gejolak kerinduan sufistik akan Tuhan yang sukar terkendali. Lalu, apa maunya cerpen-cerpen Hudan itu?
Di bagian pengantar buku ini, Hudan menulis wejangan perihal pesakitan dan kegilaan yang keduanya berujung pada: mati. Wejangan ini diperkuat oleh catatan penutup Mariana Amiruddin bahwa Hudan itu sakit “sesakit-sakit”-nya, gila “segila-gila”-nya. Maka, proses kreatif Hudan adalah terapi penyembuhannya. Mariana keliru membaca sosok kepengarangan Hudan. Sebab, sakit dan gila itu bukanlah muaranya. Itu hanya akibat dari kecamuk rindu hendak merangkul Tuhan. Lihatlah kegelisahan tokoh aku pada Ayat Gelap. Terombang-ambing antara menerima atau menolak Tuhan. Sebuah gelagat ingin membuktikan apakah Tuhan itu ada atau tidak. Inilah kerinduan asketik yang selalu menggelora dalam ruh karya-karya Hudan.
Buku ini memperlihatkan perubahan idealisme Hudan sebagai kreator yang biasanya kurang bersetuju dengan gaya surealisme. Kini ia menulis Lelaki Ikan, sekaligus dipilih sebagai judul buku. Saya berusaha mengggali muasal kenapa tokoh lelaki dalam cerpen itu tiba-tiba saja kakinya bersisik dan lama-kelamaan berubah jadi ikan, tapi tak kunjung saya temukan. Saya hanya mampu menangkap pertanda bahwa manusia yang memilih berubah wujud jadi ikan, tentulah manusia yang sudah mati. Ia lupakan anak dan istri di darat, lalu hidup di laut sebagai ikan yang aneh. Lagi-lagi soal mati bukan?
Kalaupun cerpen ini agak berbeda dari cerpen lain, itu terasa pada eksperimentasi teknik bercerita. Hal yang jarang dilakukan Hudan sebelumnya. Biasanya, Hudan meluap-luap, menggebu-gebu, tergesa-gesa. Kini, ia agak tenang, lentur, santun. Tidakkah lagi ia memilih imaji kekerasan sebagai jalan menuju kematian? Atau ia sudah menggapai kematian dengan cara yang lain? Mati dengan cara menjadi ikan, misalnya. Jawabnya, hanya Hudan dan Tuhan yang tahu.
Mungkin, kematian salah satu anak tangga menuju Tuhan. Tapi, terlalu lama memuja kematian, saya khawatir bila kerinduan metafisik yang tak kunjung tercapai pada karya-karyanya, lalu ia mengikuti jejak Virginia Woolf (bunuh diri dengan menenggelamkan diri di Sungai Ouse, 1941), Ernest Hemingway (menembak kepala sendiri, 1961), Yukio Mishima (mengakhiri hidup dengan cara seppuku –ritual memburaikan isi perut–,1970) dan Yanusari Kawabata (mati secara harakiri, 1972). Bila “latihan-latihan bunuh diri” tak jitu lagi memuaskan hasrat ingin matinya, bisa saja Hudan “kesurupan” tokoh rekaannya sendiri.
Semoga kau panjang umur, kawan …
*) Damhuri Muhammad, cerpenis. http://sastra-indonesia.com/2020/09/kematian-sebagai-cita-cita/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar