Rabu, 06 Januari 2021

Realisme Dalam Puisi Kita Kini

Indra Tjahyadi *
sinarharapan.co.id
 
Beberapa tahun belakangan ini kita disuguhi pemadangan terlalu banyaknya realisme dalam puisi kita. Hampir setiap bulan, bahkan minggu, pemandangan puisi yang muncul dihadapan kita sesak benar dengan realisme. Hal ini jelas berbeda apabila kita bandingkan dengan keadaan pemandangan puisi yang merebak pada kisaran era pertengahan tahun 1980-an sampai dengan awal 2000an.
 
Pada kisaran era pertengahan tahun 1980-an sampai dengan awal tahun 2000an pemandangan puisi yang muncul penuh dengan semerbak aroma sihir metafora yang mampu menghipnotis dan membangkitkan daya dan semangat dalam rasa puitik penikmatnya. Jalinan metafora yang membetuk larik-larik puisi semacam:
 
Kucium lumpur dan aku maklum pada kesuraman
Yang menandai jejak bulan
 
kamar sunyi. dengan jemariku yang gemetaran
laut ombak matamu kudiamkan. darah zaman,
di mana muaramu? di sini tanah dan kerikil
 
Seperti kilatan lembing, kemurnian masa kanakku
Mengusir mereka ke jurang-jurang galaksi.
 
ataupun larik semacam:
 
Lalu kubayangkan tanganku bersayap
Tubuhku berbulu seperti seekor gagak
Aku pun menari lalu berteriak:
Ini lambungku empuk. Tikamlah aku
Dan:
 
cahaya larut meluluhkan semua benda
sementara itu hari hari dan kelam malam
menunggu angin memandikan jagat
 
adalah pemandangan puisi “keseharian” kita pada saat itu, yang pada beberapa tahun belakangan ini seakan-akan raib.
 
Tren terlampau banyaknya atau melimpah ruahnya realisme dalam pemandangan puisi kita beberapa tahun belakangan ini, sebenarnya dapatlah dikatakan, dimulai semenjak diterbitkannya untuk pertama kali kumpulan puisi “Misalkan Kita di Sarajevo” milik Goenawan Muhammad oleh penerbit Kalam pada tahun 1998.
 
Tengok saja puisi-puisinya yang termuat dalam buku kumpulan puisi tersebut, semisal puisi yang menceritakan kembali tentang keadaan dan perasaan, serta harapan dan khayalan, seorang perempuan yang sedang menggerus garam di sebuah dapur, yang berjudul “Perempuan itu Menggerus Garam” ataupun pada puisi “Di Malioboro” yang bercerita tentang pertemuan antara subyek-lirik dengan sesuatu di luarnya di sepanjang jalan Malioboro.
 
Dan tren ini semakin menguat tatkala Joko Pinurbo menerbitkan buku kumpulan puisinya yang berjudul “Pacar Senja” pada tahun 2005.
 
Buku kumpulan puisi “Pacar Senja”, yang diberi kata penutup oleh Ayu Utami tersebut, sebenarnya lebih merupakan buku kumpulan sepilihan puisi karya penyair Joko Pinurbo dalam rentang karir kepenyairannya semenjak tahun 1991 s/d 2004, meskipun demikian dapatlah dilihat, dipahami dan dirasakan betapa realisme begitu kuat menafasi dan memenuhi “semangat putik” dari puisi-puisi yang termuat dalam kumpulan tersebut. Semisal pada puisinya yang berjudul “Penjual Bakso”:
 
Hujan-hujan begini, penjual bakso dan anaknya
lewat depan pintu rumahku. Ting ting ting.
Seperti suara piring dan mangkok peninggalan ibuku.
(2005: 130)
 
Ataupun juga pada puisinya yang berjudul “Telepon Tengah Malam”:
 
Telepon berkali-kali berdering, kubiarkan saja.
Sudah sering aku terima telepon dan bertanya
“Siapa ini?”, jawabannya cuma “Ini siapa?”
(2005: 104)
 
dari dua kutipan puisi tersebut dapatlah dilihat bagaimana Joko Pinurbo, sebagai penyairnya, dengan kuat sekali dihidupi oleh realisme, sehingga dalam kedua karya puisinya tersebut dapatlah dirasakan betapa realisme terasa melimpah ruah memenuhi daya dalam dan luar puisinya.
 
Pada puisi “Penjual Bakso”, keberadaan sosok penjual bakso beserta realitas peristiwa yang melingkupinya adalah objek bagi puisi tersebut, sementara pada puisi “Telepon Tengah Malam” keberadaan realitas telepon dan peristiwanya adalah objek bagi puisi tersebut, dan dalam kedua puisi tersebut keberadaan objek dihadirkan atau dibiarkan hadir sebagaimana adanya objek tersebut meng-ada dan tampak. Bagi seorang penganut realisme hal semacam ini adalah sebuah pilihan yang mutlak, kebiasaan yang tak dapat ditolak. Karena seorang realisme, merujuk pada Lorens Bagus, dalam melihat sesuatu akan senantiasa berupaya melihat sesuatu tersebut sebagaimana adanya tanpa idealisasi, spekulasi atau idolisasi, dan juga menerima fakta-fakta apa adanya, betapapun tidak menyenangkan atau kurang menyenangkannya sesuatu tersebut.
 
Hal ini akan berbeda keadaannya apabila kita bandingkan dengan puisi-puisi yang dihidupi dan disesaki oleh semangat selain realisme, surrealisme misalnya. Pada puisi-puisi yang dilimpahi daya surrealisme, objek tidak akan hanya jadir begitu saja, melainkan akan mengalami pemecahan, penghancuran dan penciptaannya kembali.
 
Seorang surrealis, tidak akan melihat objek dan menampilkannya kembali sebagaimana sebuah objek itu tampak, akan tetapi objek tersebut akan diimpikan, difantasikan, diasosiasikan secara bebas, diintuisikan, disurrealkan dengan menggunakan tenaga bawah sadar alam pikiran, sehingga objek tersebut hancur dan tampil kembali dalam wujudnya yang berbeda, atau dalam bahasa kaum surrealis, muncul kembali sebagai sebuah “dunia yang baru”, sebuah realitas tersendiri yang berbeda secara semena-mena dengan realitas sehari-hari.
 
Sebagai contoh puisi yang dilimpahi surrealisme bisa saya kutipkan sebuah puisi karya Ronnie Burk yang dimuat di sebuah media komunikasi kaum surrealis Manticore edisi autumn 1998, yang terbit di Leeds, yang berjudul “Fever”:
 
To suck the diamond
spinning
behind the tongue
A flower sweats
dying of its own
grief
 
twelve pills
the sleeping
machine?s
chrome to touch
this side of you
 
hangnail is the serpent
raped of wisdom &
the lotus of sleep
returns the damage
 
Saat ini melimpahnya realisme bukan hanya menjadi milik puisi-puisi Goenawan Muhammad ataupun Joko Pinurbo, akan tetapi para penyair di luar itu, para penyair yang datang belakangan sesudah mereka, utamanya penyair yang mulai menapaki jejang karir kepenyairannya pada kisaran tahun awal 2000an.
 
Adakah kecenderungan atau tren yang sedang merebaki pemandangan puisi kita ini merupakan hal buruk atau berdampak buruk bagi perkembangan puisi kita ke depan?
 
Entahlah. Barangkali hanya Tuhan yang tahu adakah hal ini merupakan sesuatu yang buruk ataupun negatif bagi perkembangan puisi kita, ataukah bernilai baik ataupun positif bagi keberadaan puisi kita, atau hal yang biasa-biasa saja, yang tidak perlu terlampau dipusingkan. Hanya saja seorang penyair pelopor puisi modern Jepang, Sakutaro Hagiwara pernah menyatakan bahwa sebuah puisi haruslah mengemban semangat puitik yang berupa: (a) mengatasi kenyataan, (b) mencari yang ideal, (c) memperbaiki bahasa, (d) mengangkat keindahan lebih tinggi daripada kebenaran, (e) mengkritik kenyataan, (f) mengangkan dunia yang transendental, (g) menuntut bentuk, dan (h) menuntut kebangsawanan dan kejarangan.
 
Dan seorang pemikir besar sastra Indonesia, Wiratmo Soekito, pernah berpendapat bahwa krisis puitis akan terjadi apabila seorang penyair, ketika menciptakan sajaknya, telah mencoba untuk mengadakan komunikasi dengan masyarakat, sebab di bawah kondisi ini ia tidak lagi melahirkan suatu mitos melainkan ingin memotret mitos yang tidak ada.

*) Penyair, esais, staf pengajar di Fakultas Sastra & Filsafat, Universitas Panca Marga, Probolinggo. http://sastra-indonesia.com/2009/03/realisme-dalam-puisi-kita-kini/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.S. Dharta Abdul Hadi WM Abdul Wachid B.S. Abdullah Abubakar Batarfie Abdurrahman Wahid Achmad Faesol Achmad S Achmad Soeparno Yanto Adin Adrian Balu Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Sasongko Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Prasmono Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Mustofa Bisri Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat al-Kindi Alex R. Nainggolan Ali Ahsan Al Haris Ali Audah Ali Syariati Amien Kamil Amien Wangsitalaja Andhika Dinata Andi Neneng Nur Fauziah Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Andy Riza Hidayat Anindita S. Thayf Anton Kurniawan Anton Sudibyo Aprinus Salam Arafat Nur Arif Hidayat Arman A.Z. Arthur Rimbaud Asap Studio Asarpin Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Badaruddin Amir Bagja Hidayat Balada Bambang Riyanto Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Butet Kartaredjasa Cak Bono Catatan Cecil Mariani Cerbung Cerpen Chairil Anwar Charles Bukowski Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dahta Gautama Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Danarto Dara Nuzzul Ramadhan Dareen Tatour Darju Prasetya Darojat Gustian Syafaat Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Sartika Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dianing Widya Yudhistira Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Pitono Djoko Saryono Djoko Subinarto Doan Widhiandono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Klik Santosa Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erik Purnama Putra Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esti Nuryani Kasam Evan Ys Evi Idawati F Aziz Manna F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Firman Wally Fiyan Arjun Forum Penulis dan Pegiat Literasi Lamongan (FP2L) Franz Kafka Galih M. Rosyadi Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Garna Raditya Gendut Riyanto Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gurindam Gusti Eka H.B. Jassin Halim HD Hamdy Salad Hamka Hari Sulastri Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasbi Zainuddin Hasif Amini Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Hermawan Mappiwali Herry Lamongan Hikmat Gumelar HM. Nasruddin Anshoriy Ch Hudan Hidayat Humam S Chudori Ibnu Wahyudi Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Iksaka Banu Ilham Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Arlado Imron Tohari Indra Tjahyadi Indrawati Jauharotun Nafisah Indrian Koto Inung As Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Ismi Wahid Iva Titin Shovia Iwan Fals Iwan Kurniawan Jakob Oetama Janual Aidi JJ. Kusni Johan Fabricius John H. McGlynn Jordaidan Rizsyah Jual Buku Sastra K.H. A. Azis Masyhuri Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kahlil Gibran Kamajaya Al. Katuuk Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khatijah Khoirul Inayah Ki Dhalang Sulang Ki Ompong Sudarsono Kikin Kuswandi Kodirun Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Sastra Mangkubumen (KSM) Komunitas Teater Se-Lamongan Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kucing Oren Kurniawan Junaedhie Kurniawan Muhammad Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Larung Sastra Latief S. Nugraha lensasastra.id Leo Tolstoy Leon Agusta Linda Christanty Lutfi Mardiansyah M. Aan Mansyur M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Harir Muzakki M. Lutfi M. Shoim Anwar M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marniati Martin Aleida Mashuri Masuki M. Astro Matroni Muserang Mawar Kusuma Max Arifin Melani Budianta Mihar Harahap Mikael Johani Miziansyah J. Moch. Fathoni Arief Moh. Ghufron Cholid Mohammad Afifi Mohammad Rafi Azzamy Muhammad Hanif Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun AS Muhidin M. Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Murnierida Pram Myra Sidharta Nadia Cahyani Naim Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nessa Kartika Ni Made Purnama Sari Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Noor H. Dee Nurel Javissyarqi Nurul Fahmy Nurul Ilmi Elbana Nyoman Tusthi Eddy Ong Hok Ham Orasi Budaya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Pablo Neruda Pay Jarot Sujarwo PDS H.B. Jassin Pendidikan Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Bergerak Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin Qismatun Nihayah R Sutandya Yudha Khaidar R Toto Sugiharto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Rambuana Ramdhan Triyadi Bempah Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ricarda Huch Riezky Andhika Pradana Riki Dhamparan Putra Rizki Aprima Putra Rokhim Sarkadek Rony Agustinus Royyan Julian Rukardi Rumah Budaya Pantura Rumah Budaya Pantura (RBP) Ruth Indiah Rahayu S Yoga S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safitri Ningrum Sahaya Santayana Sahli Hamid Saini KM Sajak Salvator Yen Joenaidy Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setyaningsih Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosial Media Sastra Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sudarmoko Sudirman Sugeng Sulaksono Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunaryata Soemarjo Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susie Evidia Y Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka T Agus Khaidir T.A. Sakti Tangguh Pitoyo Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teater Pendopo nDalem Mangkubumen (Dokumen) Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tiya Hapitiawati Tiyasa Jati Pramono Toeti Heraty TS Pinang Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Usman Arrumy UU Hamidy Veronika Ninik Vika Wisnu W.S. Rendra Wahyu Triono Ks Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wilda Fizriyani Willy Ana Y Alpriyanti Y.B. Mangunwijaya Yanto le Honzo Yasin Susilo Yasir Amri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yulhasni Zehan Zareez Zuhdi Swt Zul Afrita