Selasa, 05 Januari 2021

Menunggu Seharian

Karya: Ernest Hemingway

Penerjemah: Rambuana *
 
Ia masuk ke dalam kamar untuk menutup jendela, saat kami masih di tempat tidur dan kulihat ia tampak sakit. Ia menggigil, wajahnya pasi, dan ia berjalan pelan seakan linu, meski hanya untuk bergerak.
 
"Ada apa, Schaltz?"
 
"Aku sakit kepala."
 
"Sebaiknya kamu kembali tidur."
 
"Tidak. Aku tidak apa-apa."
 
"Kembali ke kamarmu. Aku akan melihatmu setelah aku pakai baju."
 
Tetapi saat aku ke bawah ia sudah berpakaian, duduk dekat perapian, dengan keadaan bocah lelaki umur sembilan tahun yang mengenaskan dan benar-benar sakit. Saat aku letakkan tanganku di keningnya, aku tahu ia demam.
 
"Naiklah ke kamarmu," kataku, "kamu sakit."
 
"Aku tidak apa-apa," katanya.
 
Saat dokter datang, dia mengukur suhu tubuh bocah itu.
 
"Berapa?" Kataku.
 
"Seratus dua."
 
Di bawah, dokter meninggalkan tiga obat yang berbeda dalam kapsul berwarna dengan petunjuk pemberian obat-obat itu. Satu untuk menurunkan demam, satu untuk pencahar, yang ketiga untuk mengatasi kondisi asam. Dia menerangkan, kuman penyebab influenza hanya bisa eksis pada kondisi asam. Dia tampak mengetahui semua seluk-beluk tentang influenza, dan berkata tak ada yang perlu dikhawatirkan, jika demamnya tidak sampai ke seratus empat derajat. Ini adalah epidemi ringan dan tak berbahaya, jika kita menghindari pneumonia.
 
Aku kembali ke kamar dan mencatat suhu bocah itu, dan membuat catatan kapan waktunya untuk memberikan bermacam kapsul tersebut.
 
"Kamu ingin aku membaca untukmu?"
 
"Kalau kamu mau, baiklah," kata bocah itu. Wajahnya sangat pucat dan ada bidang suram di bawah matanya. Ia berbaring kaku di tempat tidur dan tampak terpisah sama sekali dari apa sedang terjadi.
 
Aku membaca keras-keras kata-katanya Howard Pyle dari Book of Pirates; tetapi aku bisa lihat ia tak memperhatikan apa yang kubaca.
 
"Bagaimana perasaanmu, Schaltz?" Aku bertanya padanya.
 
"Sampai sekarang, sama saja," katanya.
 
Aku duduk di kaki ranjang dan membaca untuk diriku sendiri, saat aku menunggu waktu untuk memberikan kapsul lainnya. Akan menjadi wajar baginya untuk tertidur, tetapi saat aku menengok ke atas, ia menatap ke arah kaki ranjang, menatap penuh heran.
 
"Kenapa kamu tak mencoba untuk tidur? Aku akan membangunkanmu untuk minum obat."
 
"Aku lebih suka untuk tetap bangun."
 
Setelah beberapa saat ia berkata padaku, "Kau tak harus tetap di dalam sini bersamaku, Papa, kalau itu mengganggumu."
 
"Ini tak menggangguku."
 
"Bukan. Maksudku kau tak harus tetap di sini, jika ini akan mengganggumu."
 
Aku kira mungkin ia sedikit pusing dan setelah memberinya kapsul sesuai resep pada jam sebelas, aku pergi keluar sebentar.
 
Itu adalah hari yang dingin, terang, tanah ditutupi oleh hujan bercampur salju yang telah membeku, sehingga tampak seperti semua pepohonan gundul, belukar, semak potong, dan seluruh rerumputan dan tanah kosong, semuanya telah dipernis dengan es. Aku membawa seekor irish sette muda untuk berjalan-jalan kecil menyusuri jalan setapak sepanjang anak sungai yang membeku, tetapi sulit untuk berdiri atau berjalan di atas permukaan licin seperti kaca, dan anjing merah itu terpeleset dan melata, dan aku terjatuh dua kali, keras, sekali menjatuhkan senapanku dan membuatnya meluncur jauh di atas es.
 
Kami menghalau sekawanan burung puyuh di bawah lempung ambang sungai yang tinggi dengan semak bergantungan, dan aku membunuh dua saat mereka pergi ke atas ambang sungai. Beberapa ekor dari kawanan benar-benar berada di pepohonan, tetapi sebagian besar dari mereka tersebar ke dalam tumpukan semak, dan perlu beberapa kali melompat di atas gundukan-gundukan semak berlapis es sebelum mereka terhalau. Keluar saat kuda-kudamu goyah di atas semak berlapis es dan lenting, mereka membuat tembakan yang sulit dan aku membunuh dua, meleset lima, dan mulai kembali senang untuk menemukan sekawanan dekat dengan rumah dan bahagia, karena ada begitu banyak yang tersisa untuk dicari kemudian hari.
 
Di rumah, mereka berkata bocah itu tak membiarkan seorang pun masuk ke dalam kamar.
 
"Kau tak boleh masuk," katanya, "kau tak boleh terkena apa yang mengenaiku."
 
"Aku naik menghampirinya dan menemukannya persis pada posisi saat aku pergi, pucat, tetapi di atas pipinya kemerah-merahan karena demam, menatap terpaku, seperti ia menatap kaki ranjang.
 
Aku mengukur suhu tubuhnya.
 
"Berapa?"
 
"Sekitar seratus," kataku. Suhunya seratus dua empat persepuluh.
 
"Suhunya seratus dua."
 
"Siapa yang bilang?"
 
"Dokter."
 
"Suhunya baik-baik saja," kataku. "Tak ada yang perlu dikhawatirkan."
 
"Aku tak khawatir," katanya, "tapi aku tak bisa berhenti berpikir."
 
"Jangan memikirkannya," kataku, "tenang saja."
 
"Aku tenang-tenang saja," katanya dan menatap lurus ke depan. Ia terbukti berpegang erat kepada dirinya sendiri tentang sesuatu.
 
"Minum air ini."
 
"Apa kau pikir itu ada gunanya?"
 
"Tentu saja ada."
 
Aku duduk dan membuka buku Bajak Laut dan mulai membaca, tetapi aku bisa lihat ia tidak memperhatikan, jadi aku berhenti.
 
"Sekitar jam berapa kau pikir aku akan mati?" Ia bertanya.
 
"Apa?"
 
"Sekitar berapa lama lagi sebelum aku mati?"
 
"Kamu tak akan mati. Ada apa denganmu?"
 
"O iya. Aku akan mati. Aku dengar dia bilang seratus dua."
 
"Orang tidak akan mati dengan demam hanya seratus dua. Itu cara tolol untuk bicara."
 
"Aku tahu mereka akan mati. Saat sekolah di Prancis anak-anak bilang padaku kau tak bisa hidup dengan suhu tubuh empatpuluh empat derajat. Suhuku seratus dua."
 
Ia telah menunggu untuk mati sepanjang hari, dari sejak pukul sembilan pagi ini.
 
"Kamu Schaltz yang malang," kataku. "Schaltz tua yang malang. Itu seperti mil dan kilometer. Kamu tak akan mati. Itu termometer yang berbeda. Pada termometer yang itu, tiga-tujuh adalah normal. Pada termometer jenis ini, adalah sembilan-delapan."
 
"Apa kau yakin?"
 
"Pasti," kataku. "Itu seperti mil dan kilometer. Kau tahu, seperti berapa kilometer yang kita dapat saat kita menempuh tujuhpuluh mil dengan mobil?"
 
"Oh," katanya.
 
Tetapi pandangannya pada kaki ranjang rileks pelahan-lahan, pegangan erat pada dirinya sendiri rileks juga, akhirnya, dan pada keesokan harinya, pegangan itu benar-benar kendor dan ia gampang sekali menangis pada hal-hal kecil yang tak penting.
***
 
Judul asli: A Day's Wait, dari koleksi cerpen Ernest Hemingway, Winner Take Nothing, 1933.

*) Rambuana, pedagang kaki lima yang gemar membaca dan senang menulis, tinggal di Tangerang, Banten. http://sastra-indonesia.com/2021/01/menunggu-seharian/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.S. Dharta Abdul Hadi WM Abdul Wachid B.S. Abdullah Abubakar Batarfie Abdurrahman Wahid Achmad Faesol Achmad S Achmad Soeparno Yanto Adin Adrian Balu Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Sasongko Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Prasmono Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Mustofa Bisri Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat al-Kindi Alex R. Nainggolan Ali Ahsan Al Haris Ali Audah Ali Syariati Amien Kamil Amien Wangsitalaja Andhika Dinata Andi Neneng Nur Fauziah Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Andy Riza Hidayat Anindita S. Thayf Anton Kurniawan Anton Sudibyo Aprinus Salam Arafat Nur Arif Hidayat Arman A.Z. Arthur Rimbaud Asap Studio Asarpin Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Badaruddin Amir Bagja Hidayat Balada Bambang Riyanto Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Butet Kartaredjasa Cak Bono Catatan Cecil Mariani Cerbung Cerpen Chairil Anwar Charles Bukowski Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dahta Gautama Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Danarto Dara Nuzzul Ramadhan Dareen Tatour Darju Prasetya Darojat Gustian Syafaat Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Sartika Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dianing Widya Yudhistira Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Pitono Djoko Saryono Djoko Subinarto Doan Widhiandono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Klik Santosa Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erik Purnama Putra Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esti Nuryani Kasam Evan Ys Evi Idawati F Aziz Manna F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Firman Wally Fiyan Arjun Forum Penulis dan Pegiat Literasi Lamongan (FP2L) Franz Kafka Galih M. Rosyadi Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Garna Raditya Gendut Riyanto Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gurindam Gusti Eka H.B. Jassin Halim HD Hamdy Salad Hamka Hari Sulastri Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasbi Zainuddin Hasif Amini Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Hermawan Mappiwali Herry Lamongan Hikmat Gumelar HM. Nasruddin Anshoriy Ch Hudan Hidayat Humam S Chudori Ibnu Wahyudi Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Iksaka Banu Ilham Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Arlado Imron Tohari Indra Tjahyadi Indrawati Jauharotun Nafisah Indrian Koto Inung As Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Ismi Wahid Iva Titin Shovia Iwan Fals Iwan Kurniawan Jakob Oetama Janual Aidi JJ. Kusni Johan Fabricius John H. McGlynn Jordaidan Rizsyah Jual Buku Sastra K.H. A. Azis Masyhuri Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kahlil Gibran Kamajaya Al. Katuuk Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khatijah Khoirul Inayah Ki Dhalang Sulang Ki Ompong Sudarsono Kikin Kuswandi Kodirun Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Sastra Mangkubumen (KSM) Komunitas Teater Se-Lamongan Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kucing Oren Kurniawan Junaedhie Kurniawan Muhammad Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Larung Sastra Latief S. Nugraha lensasastra.id Leo Tolstoy Leon Agusta Linda Christanty Lutfi Mardiansyah M. Aan Mansyur M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Harir Muzakki M. Lutfi M. Shoim Anwar M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marniati Martin Aleida Mashuri Masuki M. Astro Matroni Muserang Mawar Kusuma Max Arifin Melani Budianta Mihar Harahap Mikael Johani Miziansyah J. Moch. Fathoni Arief Moh. Ghufron Cholid Mohammad Afifi Mohammad Rafi Azzamy Muhammad Hanif Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun AS Muhidin M. Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Murnierida Pram Myra Sidharta Nadia Cahyani Naim Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nessa Kartika Ni Made Purnama Sari Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Noor H. Dee Nurel Javissyarqi Nurul Fahmy Nurul Ilmi Elbana Nyoman Tusthi Eddy Ong Hok Ham Orasi Budaya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Pablo Neruda Pay Jarot Sujarwo PDS H.B. Jassin Pendidikan Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Bergerak Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin Qismatun Nihayah R Sutandya Yudha Khaidar R Toto Sugiharto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Rambuana Ramdhan Triyadi Bempah Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ricarda Huch Riezky Andhika Pradana Riki Dhamparan Putra Rizki Aprima Putra Rokhim Sarkadek Rony Agustinus Royyan Julian Rukardi Rumah Budaya Pantura Rumah Budaya Pantura (RBP) Ruth Indiah Rahayu S Yoga S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safitri Ningrum Sahaya Santayana Sahli Hamid Saini KM Sajak Salvator Yen Joenaidy Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setyaningsih Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosial Media Sastra Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sudarmoko Sudirman Sugeng Sulaksono Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunaryata Soemarjo Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susie Evidia Y Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka T Agus Khaidir T.A. Sakti Tangguh Pitoyo Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teater Pendopo nDalem Mangkubumen (Dokumen) Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tiya Hapitiawati Tiyasa Jati Pramono Toeti Heraty TS Pinang Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Usman Arrumy UU Hamidy Veronika Ninik Vika Wisnu W.S. Rendra Wahyu Triono Ks Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wilda Fizriyani Willy Ana Y Alpriyanti Y.B. Mangunwijaya Yanto le Honzo Yasin Susilo Yasir Amri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yulhasni Zehan Zareez Zuhdi Swt Zul Afrita