Karya: Enrique Vila-Matas
untuk José Luis Vigil
Penerjemah: Erwin Setia *
Persis pada pukul sepuluh
malam, ia berdiri di depan pintu rumah Rita Malú. Seorang pelayan yang bertubuh
jangkung menghalangi jalannya. Pampanini berkata:
“Aku salah satu dari tamu
undangan.”
“Kau termasuk di antara
mereka?”
“Apakah di sana ada
orang-orang lain?”
“Ayo, masuk.”
Pampanini berjalan
menyusuri koridor yang menghadap sebuah ruang tamu kecil. Selagi ia diarahkan
(hanya dengan kata-kata, sebab wujud si pelayan tiba-tiba sudah menghilang)
melewati ruangan-ruangan yang bersambung secara rumit, ia mulai menyadari bahwa
ini adalah sejenis tempat di mana kau tahu, pada suatu momen, seseorang akan
menyuguhimu kejutan yang buruk. Dan memang begitulah. Tiba-tiba sebuah pintu
berderit dan terbuka, menampakkan padanya Rita Malú, yang sedang menghadap rak
buku, merapikannya begitu lama dan sempurna, dengan sarung tangan berwarna
gading.
“Aku senang bisa hadir,”
ujarnya menghampiri si empunya rumah.
“Begitu pula aku,” timpal
Rita.
“Tapi, apa ini rumahmu?”
“Mari kita pergi ke
lantai atas.”
Mereka menaiki tangga
spiral menuju lantai atas. Di sana sudah ada beberapa kelompok tamu,
lampu-lampu pesta yang mungil dan bercahaya merah, sebuah piano, dan suasana
yang riang. Pemandangannya begitu semarak, tapi Pampanini merasa agak lengar.
Sejak ia bertemu dengan pelayan barusan, ia merasa petaka akan datang. Ketika
dua orang wanita saling melempar kue krim, seorang berkebangsaan Amerika yang bernama
Glen mengira bahwa Pampanini adalah seorang sutradara film yang sudah wafat.
Setelah menyambutnya dengan khidmat dan melupakan soal kue krim yang tengah
dibagi-bagikan, si Amerika mengucapkan selamat kepada Pampanini atas filmnya
yang sangat menakjubkan, dan memberi penekanan khusus mengenai adegan
menegangkan di mana seorang budak wanita mandi telanjang di Sungai Tigris. Pampanini
hendak melayangkan protes ketika seorang wanita tua mencacinya karena di
film-film awalnya nilai-nilai atesime terpampang begitu jelas.
“Paling tidak nanti kau
mesti mengubahnya menjadi Katolikisme,” kata si wanita tua.
“Kau salah orang, kau
merancukan aku dengan orang lain,” balas Pampanini.
Glen si Amerika
menyalakan sebatang rokok. Si wanita tua beranjak menuju seorang lelaki dengan
dagu tebal dan perut buncit, si Rossi, dan memintanya untuk memainkan piano. Si
lelaki mendesah, bangkit, tersandung kaki Pampanini sewaktu ia melewatinya, dan
duduk menghadap piano. Ia menundukkan kepala dan terdiam sejenak. Kemudian,
dengan pelan dan sangat berhati-hati, ia letakkan rokoknya di dalam asbak dan
kembali menundukkan kepalanya. Ia tetap begitu untuk beberapa saat sampai
akhirnya ia menengadah. Ia mendedikasikan penampilannya secara khusus untuk
seorang sutradara terhormat yang malam itu telah bersedia hadir. Pampanini
menginterupsi, dan berusaha menjelaskan kepada semua hadirin kerancuan perihal
identitasnya.
“Sutradara itu sudah mati
beberapa waktu lalu,” kata Pampanini.
Semua orang tertawa,
berpikir bahwa Pampanini orang yang jenaka, bahkan sebagian bertepuk tangan.
Pampanini meminta Rita untuk meluruskan semua kesalahpahaman ini.
“Kau bisa melakukannya
lebih baik daripada aku,” ucap Rita agak angkuh.
Pampanini pergi ke arah
piano, bersandar padanya, lantas berkata dengan suara yang tenang tapi tegas
kepada Rossi:
“Kau merancukanku dengan
seorang mayat. Aku seorang kaligrafer dan bekerja untuk dewan lokal. Namaku
Alfredo Pampanini.”
Suara tawa dan tepuk
tangan makin menggelegak.
“Aku tidak akan keberatan
dengan kesalahpahaman yang celaka ini,” lanjut Pampanini. “tapi pada
kenyataannya, Tuan dan Nyonya, aku bahkan tidak pernah pergi ke bioskop.
Sungguh, aku tidak pernah masuk ke gedung bioskop, tidak pula ketika aku masih
kanak-kanak, di mana waktu itu akan sangat modis apabila seseorang menghabiskan
hari Minggu dengan pergi ke tempat-tempat yang remang. Dulu dan sekarang
imajinasiku masih kelewat melimpah untuk buang-buang waktu dengan menatap
sebuah layar dan menunggu potongan-potongan gambar yang hanya muncul sepintas.”
Itu betul. Semasa bocah,
Pampanini terlalu asyik bermain-main sendirian sehingga orang tuanya tidak
pernah menemukan waktu yang tepat untuk mengajaknya ke bioskop. Ketika beranjak
besar, ia tetap tak terlihat ingin tahu soal bioskop. Tiap kali seseorang mengajaknya
pergi, ia selalu bisa menemukan alasan yang meyakinkan untuk menghindari
sesuatu yang baginya merupakan siksaan belaka itu. Menurutnya film adalah yang
paling menipu dari semua jenis seni dan satu-satunya seni yang tidak mengandung
sedikit pun kebenaran.
“Kau tidak bisa membodohi
kami,” ujar si wanita tua.
Namun Pampanini telah
beranjak. Di salah satu sudut ruangan, Rita memperkenalkan Pampanini pada dua
teman wanitanya yang masih muda. Keduanya punya sebutan Genoveva. “Itu tidak
benar,” pikir Pampanini. Salah seorang dari dua wanita muda itu yang parasnya
lebih cantik berusaha menghangatkan Pampanini dari ancaman yang menggantung di
udara.
“Kaulihat burung-burung
itu?” tanyanya.
Ada cukup banyak burung
sedang bertengger di atas kabel.
“Ada apa dengan
burung-burung itu?” sahut Pampanini.
Rita menggaet lengan
Pampanini dan membawanya ke sisi lain ruangan. Sambil berjalan, Rita bertanya
apa betul Pampanini tidak pernah pergi nonton film ke bioskop. Pampanini
berucap:
“Ya, itu benar, dan
kautahu kenapa? Karena di dalam film-film tidak ada sedikit pun kebenaran.”
Selagi mengatakan itu,
Pampanini tetap memandang ke belakang di mana Duo Genoveva berada. Ia sungguh
menyukai salah satu di antara mereka yang wajahnya kurang cantik, dan saat ia
membayangkan bisa ngobrol panjang bersama wanita itu, tiba-tiba Glen si Amerika
memarah-marahi Rita lantaran ia cuma punya sedikit alkohol di pesta itu.
“Kenapa kau mau minum
banyak-banyak?” tanya Pampanini.
“Biar mabuk, lah.”
“Dirimu? Mabuk?”
“Duduk!” seru Glen.
Glen menggeret Pampanini
ke atas sebuah kursi, dan Pampanini yang tak berani menolak, segera duduk.
Keterkejutan Pampanini belum benar-benar hilang ketika muncul sesuatu yang
lebih mengejutkan. Ia melihat Glen cekcok dengan Rita lalu si Amerika itu menampar
muka Rita begitu keras. Pampanini tercengang, ia tak pernah menyaksikan hal
semacam itu sebelumnya. Ini tidak mungkin, pikirnya. Glen melarikan diri ke
lantai teratas, sementara Rossi mengejarnya. Tak lama berselang, saat hendak
melompat dari satu lantai ke lantai berikutnya, Rossi kehilangan pijakan dan
tergelincir. Meski tergelincir, tangan Rossi berhasil meraih talang, sedangkan
topinya jatuh ke lubang. Sejumlah tamu tertawa layaknya para maniak. Tidak, ini
tidak mungkin, pikir Pampanini. Dan di sana Pampanini duduk, sungguh-sungguh
tercengang.
***
Diterjemahkan dari cerpen
“I Never Go to the Movies” karya Enrique Vila-Matas yang terhimpun dalam
Vampire in Love and Other Stories (New Directions, 2016). Cerpen itu
dialihbahasakan dari bahasa Spanyol ke bahasa Inggris oleh Margaret Jull Costa.
*) Erwin Setia lahir
tahun 1998. Penikmat puisi dan prosa. Kini menempuh pendidikan di Prodi Sejarah
dan Peradaban Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Tulisan-tulisannya pernah
dimuat di berbagai media seperti Koran Tempo, Media Indonesia, Pikiran Rakyat,
Minggu Pagi, Solopos, Haluan, Koran Merapi, Padang Ekspres, dan Detik.com.
Cerpennya terhimpun dalam Dosa di Hutan Terlarang (2018). Bisa dihubungi di
Instagram @erwinsetia14. http://sastra-indonesia.com/2021/01/aku-tidak-pernah-pergi-ke-bioskop/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Dharta
Abdul Hadi WM
Abdul Wachid B.S.
Abdullah Abubakar Batarfie
Abdurrahman Wahid
Achmad Faesol
Achmad S
Achmad Soeparno Yanto
Adin
Adrian Balu
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agung Sasongko
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Prasmono
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Mustofa Bisri
Ahmad Tohari
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akhudiat
al-Kindi
Alex R. Nainggolan
Ali Ahsan Al Haris
Ali Audah
Ali Syariati
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Andhika Dinata
Andi Neneng Nur Fauziah
Andra Nur Oktaviani
Andrenaline Katarsis
Andy Riza Hidayat
Anindita S. Thayf
Anton Kurniawan
Anton Sudibyo
Aprinus Salam
Arafat Nur
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Arthur Rimbaud
Asap Studio
Asarpin
Asti Musman
Atafras
Awalludin GD Mualif
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Balada
Bambang Riyanto
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernadette Aderi
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budi Darma
Butet Kartaredjasa
Cak Bono
Catatan
Cecil Mariani
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Charles Bukowski
Christine Hakim
Cinta Laura Kiehl
D. Zawawi Imron
Dahta Gautama
Daisy Priyanti
Damhuri Muhammad
Danarto
Dara Nuzzul Ramadhan
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darojat Gustian Syafaat
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Sartika
Dharmadi
Dhenok Kristianti
Dian Wahyu Kusuma
Dianing Widya Yudhistira
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djoko Subinarto
Doan Widhiandono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Yan Masfa
Donny Anggoro
Dwi Cipta
Dwi Klik Santosa
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Enda Menzies
Erik Purnama Putra
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esti Nuryani Kasam
Evan Ys
Evi Idawati
F Aziz Manna
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Fairuzul Mumtaz
Fajar Alayubi
Farah Noersativa
Faris Al Faisal
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrozak
Faza Bina Al-Alim
Feby Indirani
Felix K. Nesi
Fian Firatmaja
Firman Wally
Fiyan Arjun
Forum Penulis dan Pegiat Literasi Lamongan (FP2L)
Franz Kafka
Galih M. Rosyadi
Galuh Tulus Utama
Ganug Nugroho Adi
Garna Raditya
Gendut Riyanto
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Gombloh
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gurindam
Gusti Eka
H.B. Jassin
Halim HD
Hamdy Salad
Hamka
Hari Sulastri
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasbi Zainuddin
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Hermawan Mappiwali
Herry Lamongan
Hikmat Gumelar
HM. Nasruddin Anshoriy Ch
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
Ibnu Wahyudi
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Iksaka Banu
Ilham
Imam Muhayat
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Arlado
Imron Tohari
Indra Tjahyadi
Indrawati Jauharotun Nafisah
Indrian Koto
Inung As
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Ismi Wahid
Iva Titin Shovia
Iwan Fals
Iwan Kurniawan
Jakob Oetama
Janual Aidi
JJ. Kusni
Johan Fabricius
John H. McGlynn
Jordaidan Rizsyah
Jual Buku Sastra
K.H. A. Azis Masyhuri
Kadjie Mudzakir
Kahfie Nazaruddin
Kahlil Gibran
Kamajaya Al. Katuuk
Kamran Dikarma
Kedung Darma Romansha
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khansa Arifah Adila
Khatijah
Khoirul Inayah
Ki Dhalang Sulang
Ki Ompong Sudarsono
Kikin Kuswandi
Kodirun
Koh Young Hun
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Sastra Mangkubumen (KSM)
Komunitas Teater Se-Lamongan
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kurniawan Junaedhie
Kurniawan Muhammad
Kuswaidi Syafi’ie
Kuswinarto
L.K. Ara
Laksmi Shitaresmi
Lan Fang
Larung Sastra
Latief S. Nugraha
lensasastra.id
Leo Tolstoy
Leon Agusta
Linda Christanty
Lutfi Mardiansyah
M. Aan Mansyur
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Lutfi
M. Shoim Anwar
M. Yoesoef
M. Yunis
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahdi Idris
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Marniati
Martin Aleida
Mashuri
Masuki M. Astro
Matroni Muserang
Mawar Kusuma
Max Arifin
Melani Budianta
Mihar Harahap
Mikael Johani
Miziansyah J.
Moch. Fathoni Arief
Moh. Ghufron Cholid
Mohammad Afifi
Mohammad Rafi Azzamy
Muhammad Hanif
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun AS
Muhidin M. Dahlan
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Myra Sidharta
Nadia Cahyani
Naim
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nessa Kartika
Ni Made Purnama Sari
Nikita Mirzani
Nirwan Ahmad Arsuka
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Nurel Javissyarqi
Nurul Fahmy
Nurul Ilmi Elbana
Nyoman Tusthi Eddy
Ong Hok Ham
Orasi Budaya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Pay Jarot Sujarwo
PDS H.B. Jassin
Pendidikan
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pringgo HR
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Pustaka Bergerak
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
Qismatun Nihayah
R Sutandya Yudha Khaidar
R Toto Sugiharto
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rahmat Sutandya Yudhanto
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Prambudhi Dikimara
Rambuana
Ramdhan Triyadi Bempah
Ratnani Latifah
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ribut Wijoto
Ricarda Huch
Riezky Andhika Pradana
Riki Dhamparan Putra
Rizki Aprima Putra
Rokhim Sarkadek
Rony Agustinus
Royyan Julian
Rukardi
Rumah Budaya Pantura
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Ruth Indiah Rahayu
S Yoga
S. Arimba
S. Jai
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Sahaya Santayana
Sahli Hamid
Saini KM
Sajak
Salvator Yen Joenaidy
Samsul Anam
Sapardi Djoko Damono
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Selendang Sulaiman
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setyaningsih
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sosial Media Sastra
Sosiawan Leak
Sovian Lawendatu
Sudarmoko
Sudirman
Sugeng Sulaksono
Sugito Ha Es
Sumani
Sumargono SN
Suminto A. Sayuti
Sunaryata Soemarjo
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suryanto Sastroatmodjo
Susie Evidia Y
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
T Agus Khaidir
T.A. Sakti
Tangguh Pitoyo
Tatan Daniel
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Eska
Teater Pendopo nDalem Mangkubumen (Dokumen)
Teater Tawon
Tedy Kartyadi
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tiya Hapitiawati
Tiyasa Jati Pramono
Toeti Heraty
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Usman Arrumy
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vika Wisnu
W.S. Rendra
Wahyu Triono Ks
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Jengki Sunarta
Wayan Sunarta
Welly Kuswanto
Wilda Fizriyani
Willy Ana
Y Alpriyanti
Y.B. Mangunwijaya
Yanto le Honzo
Yasin Susilo
Yasir Amri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yonathan Rahardjo
Yudha Kristiawan
Yudhistira ANM Massardi
Yulhasni
Zehan Zareez
Zuhdi Swt
Zul Afrita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar