Selasa, 14 Juli 2020

Reyog, Warok, Dan Gemblak;

Tri Tunggal Dalam Seni Pertunjukan Reyog Ponorogo

Sudirman *
Majalah Dinamika

Cerita Terjadinya Reyog Ponorogo (Versi Ki Ageng Kutu)

Jika sedang berlangsung pertunjukan Reyog Ponorogo pada jaman dulu, waktu penulis masih kecil (tahun 1970–1980); banyak terjumpai sosok dewasa yang gagah dan kekar dengan baju hitam penadhon.
Celana kombor hitam dingkikan sebatas bawah lutut, memakai sabuk othok terbuat dari bahan kulit dan ikat kepala (udheng), ditambah mothik yang diselipkan di pinggang sebagai identitas Warok yang menambah wibawa penampilannya. Mereka menggandeng seorang bocah laki-laki belasan tahun yang berparas tampan, berbaju warna menyolok, potongan rambut rapi, berkaca mata hitam atau biru laut, di saku bajunya terselip sapu tangan, dan ditangannya melingkar arloji krepyak, terkadang memakai topi moris. Jika tersenyum, maka terlihat platina kuning emas atau perak melekat di gigi taring kiri atas yang disebut gigik/tlasah/patik. Dialah sosok Gemblak yang selalu setia mendampingi para warok dalam setiap kesempatan.

Komunitas mereka banyak sekali, hampir seluruh desa dan dusun di perkampungan pendudu,k terdapat perkumpulan warok-warok yang “ngopeni” Gemblak. Apalagi dalam suatu acara hajatan seperti temanten, khitanan atau lainnya. Pemandangan tersebut menjadi “wajib” bagi komunitas keberadaan Warok.

Menurut pengamatan penulis secara mendalam dan berdasar penuturan para sesepuh yang tertemui (penulis pernah terlibat dalam komunitas reyog secara intens, sejak umur belasan tahun); asal muasal Reyog, Warok, dan Gemblak, berawal dari salah satu Punggawa dari Kerajaan Majapahit yang mengasingkan diri dan membuat suatu tempat yang diberi nama Kademangan Suru Kubeng, dengan gelar ki Demang Kutu atau Ki Suryo Alam. Dengan berdirinya Kademangan Suru Kubeng, lama-kelamaan banyak pengikut yang jadi murid Ki Ageng Kutu, untuk berlatih kanoragan.

Meski telah mengasingkan diri dari Kerajaan Majapahit, tapi Ki Surya Alam tetap ikuti perkembangan Kerajaan Majapahit. Dalam pengamatannya, Ki Demang Kutu tidak sependapat dengan yang dilakukan Raja, karena setiap tindakan dan keputusan besar diambil kerajaan, selalu dipengaruhi sang Permaisuri. Raja tidak memiliki pendirian tegas dalam ambil putusan, karena tergantung permaisuri; posisi Raja sangat lemah juga tak punya prinsip yang kuat, tidak mandiri.

Demikian juga yang terjadi pada barisan Prajurit Kerajaan Majapahit, bala tentaranya sangat lemah, tak memiliki keberanian berperang untuk menyerang, seperti masa dahulu. Ketangguhan prajurit tak serupa ketika Ki Surya Alam masih menjadi Tamtama di Majapahit, yang gagah berani, selalu siap bertempur di mana dan kapan saja dibutuhkan kerajaan.

Ki Demang Kutu sangat kecewa atas keadaan kerajaan yang demikian merosot, maka dia memprotes lewat membuat satire/sindiran terhadap raja dan prajurit Majapahit. Wujud dari ketidakpuasannya dituangkan dalam bentuk pertunjukan rakyat, dengan mencipta sebuah topeng kepala harimau sebagai simbul seorang raja, dan di atasnya diberi burung merak yang sedang membentangkan sayap-sayap indahnya sebagai simbul dari sang permaisuri raja. Bentuk permainan itu dinamakan Barongan, yang nantinya terkenal dengan sebutan Reyog. Yaitu lambang atau simbul bahwa Raja dapat disetir sang permaisuru dalam menjalankan tugasnya. Untuk menyindir Prajurit Majapahit, Ki Demang Surya Alam mencipta tarian yang dilakukan anak muda yang tampan dengan menunggang kuda perpakaian keprajuritan, tapi baju yang dikenakannya kebaya perempuan, dengan rambut panjang perempuan, dan dirias cantik seperti wanita, ditambah lagi gerak-gerik menarinya sangat feminine, lemah gemulai layaknya wanita sedang menari. Hal ini sangat ironis, dengan jiwa seorang prajurit yang seharusnya tegas, sigap penuh semangat.

Dalam pertunjukannya, permainan ini disebut Barongan dengan diringi penabuh beberapa bende, ketipung, kendang, dan bunyi-bunyian yang mengeluarkan suara gemuruh, jika dibunyikan akan mengundang orang-orang datang menyaksikan tontonan ini. Setiap mengadakan pertunjukan tontonan ini, akan banyak disaksikan masyarakat yang ingin melihat pertunjukan baru yang diciptakan Ki Demang Kutu. Merasa banyak yang menyaksikan simbul kritikannya pada Majapahit, maka timbul kekhawatiran dari Ki Demang. Maka dikumpulkan para pengikutnya untuk waspada berjaga-jaga, terhadap kemungkinan jika kerajaan Majapahit marah, dan akan menyerang kademangan Kutu. 

Dalam mengantisipasi kemungkinan tersebut, para pengikutnya dilatih olah kanoragan, yaitu ilmu beladiri dan berperang seperti yang dipunyai ketika masih menjadi Prajurit pilihan di Majapahit pada jaman dulu. Yang tua dikelompokkan dengan yang tua, untuk diajarkan ilmu kadigdayaan dari dalam, agar memiliki kesaktian luar dan dalam yang tinggi. Sedangkan yang muda, dikelompokkan dengan yang muda untuk berlatih adu kekuatan luar, agar kebal terhadap senjata apapun. Ki Demang memang orang hebat dan sakti, hal ini dibuktikan dengan ajaran-ajaran yang diberikan kepada semua murid dan pengikutnya. Untuk melengkapi kesiapan para murid dan pengikutnya, mereka dibekali dengan senjata kolor, yaitu seutas tali pengikat celana yang dililitkan di pinggang menyerupai sabuk. Kolor ini dapat digunakan sebagai sarana alat dan senjata jika menghadapi musuh dalam suatu pertempuran, sehingga selain adu kekuatan badan dan tenaga dalam, dapat pula mengguna kolor sebagai senjata andalan pengikut dari Ki Demang Kutu. Inilah cikal bakal munculnya Warok di Ponorogo.

Kekuatan dan kesaktian Warok pengikut Ki Demang Kutu harus dijaga, demi tidak hilang dari badan dan dapat digunakan sewaktu-waktu menghadapi musuh. Agar bisa bertahan kekuatannya, ada beberapa pantangan harus dihindari dan dijauhi oleh mereka. Pantangan yang harus dihindari ialah melakukan hubungan intim dengan wanita, maka seorang warok harus menjauhi wanita. Pantangan ini sangat berat, karena merupakan kebutuhan biologis bagi pria. Maka untuk melampiaskan hasrat biologisnya, dia memelihara seorang anak muda usia belasan tahun untuk dijadikan Gemblak. Jika dia memperlakukan gemblaknya seperti tersebut, maka kekuatan yang dimiliki terjaga dan tetap sakti. Gemblak akan mendampingi ke manapun sang Warok berada, seakan sudah sejiwa, artinya di mana ada Warok di situ pasti ada seorang Gemblak mendampinginya.

Antara Warok dan Gemblak menyatu, demikian pula dalam memainkan barongan  yang menjadi kesenian pertunjukan baru di lingkungan Kademangan Suru Kubeng. Untuk bisa memainkan dan menjadi peraga pertunjukan tersebut, para pengikut di Kademangan harus diseleksi sesuai umur dan tingkatan ilmu kesaktian yang dimiliki. Jika pemula dan usia masih muda cukup menjadi penggembira dan “penyenggak” yaitu bersorak-sorai memberi semangat, nada suaranya serempak keras ambisius serta lantang, pada yang sedang beraksi.

Sedangkan tingkatan di atasnya dipercaya memainkan irama pengiring yaitu memukul bendhe, angklun, ketipung, dan kendang. Bagi warok yang memiliki tingkatan ilmu tinggi, ditugasi memanggul topeng kepala harimau atau barongannya. Ia harus kuat dan pandai, karena ini fokus utamanya sebagai figur yang ditonjolkan, harus lihai menghidupkan sang topeng agar benar-benar seperti bernyawa jika sedang beraksi ditonton banyak orang, maka tidak sembarang orang bisa menjadi pembarong.

Sedangkan para Gemblaknya diberi tugas menjadi Jathilan, yaitu gambaran prajurit Majapahit yang lemah lembut dan gemulai seperti apa yang jadi sindiran sang Demang. Begitu permainan Barongan ini dipertunjukan Warok dan Gemblak di Kademangan Suru Kubeng oleh Ki Surya Alam, sebagai ketidakpuasannya kepada Pemerintahan di Majapahit, dan inilah awal pertunjukan Reyog Ponorogo.

Warok Dan Gemblak Dalam Kehidupan Masyarakat Di Pedesaan.

Figur Warok telah terpatri dalam gambaran masyarakat di Ponorogo, seperti contohnya Warok Suromenggolo, Warok Suro Gentho, Warok Guno Seco dan lain-lain dalam cerita rakyat di daerah Ponorogo. Gambaran tubuh yang kekar, tinggi besar, wajah angker, karena selalu berkumis dan jambang yang tebal adalah ilustrasi yang ada dalam pemikiran sebagian orang.

Karakter tegas dan keras serta gagah berani itu jiwa pemberani seorang warok, apalagi dengan basutan busana  celana kombor dan baju penadhon hitam, serta ikat yang selalu menghias sebagai penutup kepala, melengkapi kesan angker/garang. Figur tersebut ikon yang sangat diidolakan kebanyakan masyarakat di pelosok-pelosok pedesaan, bahkan sampai lereng-lereng gunung. Banyak masyarakat membentuk kelompok atau grup perkumpulan warok di lingkungan dusun, dengan model penampilan seperti di atas, sebagai komunitas Warok baru. Dengan terhimpunnya kelompok tersebut lalu mereka mencari Gemblak yang akan mewarnai ikatan kuat perkumpulan Warok tersebut.

Definisi Gemblak dapat didiskripsikan sebagai berikut, seorang anak (bocah) lelaki muda usia belasan (antara 12-18 tahun) yang memiliki wajah tampan, berkulit bersih. Umumnya dari golongan keluarga tidak mampu, yang dikontrak (dipelihara) selama dua tahun, dengan imbalan seekor lembu atau garapan sebidang tanah pinjaman selama masa kontrak tersebut.

Penampilan seorang gemblak harus selalu memikat, dengan kerapian busana dan potongan model rambut yang khas yaitu baju hem lengan panjang press body warna menyolok (hijau, merah muda, ungu, kuning, dan lainnya), rambut cepak, ciri yang sangat khusus ialah pemakaian platina warna kunig keemasan atau warna perak yang menempel di gigi taring kiri atas, yang disebut gigik, tlasah, atau patik, serta berkepribadian sopan, dan santun terhadap siapa saja yang mengajaknya. Di tangan aksesoris arloji, dan di saku bajunya selalu terselip kacu (sapu tangan), berkaca mata biru laut atau hitam juga memakai topi moris menambah kelengkapan busana resmi, yang menjadikan ciri khas gemblak berbeda dengan anak-anak lain yang bukan gemblak.

Inilah figur/gambaran gemblak yang harus memiliki inner beauty terpancar dari dalam diri, sehingga pesonanya menambah daya tarik siapa pun melihatnya. Tidak terkecuali anak-anak, tua muda, laki-laki dan perempuan semua terpikat, karena pada diri gemblak pula dipasang susuk  “pasang pengasihan”.

Jika kelompok Warok akan memiliki gemblak, harus melalui beberapa tahap: (1) Nlesihne; mengutus kurir untuk mencari anak yang akan dijadikan gemblak. (2) Lamaran, proses ini dilakukan kurir sebagai utusan, bersama tokoh lingkungan calon gemblak yang akan dipinang, sebagai juru bicara. Serta menentukan masa dan nilai kontrak yang harus disepakati (biasanya 2 tahun) dengan imbalan 1 ekor lembu atau berupa tanah sawah garapan selama 2 tahun sebagai pinjaman. (3) Penjemputan (boyongan), setelah ditentukan hari baik untuk menjemput calon gemblak, diadakan Selamatan (Brokohan), di rumah calon gemblak dengan mengundang beberapa tetangga, selesai acara lalu pamitan untuk membawa calon gemblak ke rumah para Warok.

Gemblak Ditempat Dan Lingkungan Baru

Lingkungan tempat para warok sangat sibuk menyambut kedatangan sang bintang baru, gemblak yang akan mewarnai keceriaan mereka. Di tempat baru telah dipersiapkan selamatan dengan mengundang para anggota warok untuk meresmikan, dan mensosialisasikan keberadaan gemblak di lingkungan mereka.

Sebagai tempat pertama giliran rumah ketua warok selama 2 sampai 5 hari, untuk tinggal dan tidur dengannya. Gemblak baru harus segera menyesuaikan kehidupan barunya, misalnya selalu memakai kostum/baju kebesaran yaitu celana pendek, kaos dalam singlet serta baju hem press body/ketat, lengan panjang dengan potongan/model khusus berwarna terang; misalnya kuning, hijau, merah, atau warna menyolok lain, serta di saku bajunya terselip sapu tangan. Memakai kaos kaki dan sandal (biasanya merek Lily).

Agar lebih memesona, seorang Gemblak harus dipasang  Pengasihan, semacam susuk yang ditanamkan di wajah Gemblak oleh Paranormal (dukun), dengan tujuan siapa saja yang melihat, pasti senang dan tertarik. Gemblak sangat dimanjakan oleh para Waroknya, tidak boleh bekerja atau melakukan pekerjaan berat/kasar. Tugasnya menemani dimana Bapakan Waroknya berada. Karena yang memiliki adalah kolektif, maka keberadaan  tinggal di rumah para Bapakan waroknya digilir dua hari secara bergantian. Begitu roling berputar setiap harinya harus menemani, sampai seluruh anggota Warok mendapat giliran Gemblaknya.

Kebiasaan Warok yang rumahnya mendapat giliran, warok tersebut sebelumnya akan bekerja keras untuk mendapat/mencari uang, karena selama 2 hari tersebut kadang-kadang warok tidak melakukan aktivitas bekerja, hanya bersenang-senang dengan gemblaknya, pergi ke kota mengajak gemblak dengan naik sepeda, mencari/melihat hiburan dan makan enak-enak di rumah makan, untuk menyenangkan hati gemblak. Begitu seterusnya.

Bagi Warok yang sudah beristri, maka sang istrilah yang menyiapkan kamar untuk tidur suami dan gemblaknya. Sang istri senang dan bangga, jika suami atau rumahnya ketempatan, karena ini gengsi martabat suami, demikian juga sang istri akan memasak yang mewah serta enak, demi menjamu gemblak suaminya.

Demikian tinggi masyarakat memandang gemblak sebagai identitas keberadaan seorang Warok, akan dilihat dari kelompok tersebut memiliki Gemblak atau tidak. Sehingga gemblak sangat dielu-elukan oleh masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan. Apalagi jika sedang ada hajatan pernikahan, temanten utamanya, maka gemblak adalah hiasan utama dan wajib dalam perhelatan tersebut. Bahkan kalau perlu dengan meminjam gemblak pada kelompok Warok dari daerah lain, sehingga jumlah gemblak bisa 5 sampai 10 orang. Mereka akan menemani para warok, dan selalu mendampingi manten pria selama 5 hari.

Untuk meminjam Gemblak dari daerah lain, ada aturan tersendiri, misalnya sebagai imbalannya beberapa bungkus rokok dari beberapa merk, lalu dibungkus dengan kain mirip saputangan tapi agak besar ukurannya, dan itu diserahkan ketika bersamaan dengan mengembalikan Gemblak.

Gemblak Adalah  Penari Jathilan Reyog

Group Reyog banyak tumbuh-berkembang di desa dan dusun di Ponorogo. Reyog ini sebenarnya hanya dimiliki oleh kelompok Warok. Mereka memelihara, memainkan, mempelajari dan menjaganya. Semua penari, pengrawit serta penyenggaknya ialah para warok dan gemblak.

Tidak ada yang memiliki dan memainkan kesenian Reyog ini, kecuali para komunitas warok dan gemblak. Karena di masa dulu, kesenian ini tumbuh-berkembang di daerah dusun-dusun atau pelosok-pelosok desa, di mana tumbuh subur budaya/keberadaan para warok dan gemblak pada komunitasnya. Para warok muda sebagai penyenggak, yang agak dewasa pada bagian iringan/penabuh, yang memiliki kekuatan (ilmu kanuragan dan kebatinan) ”lebih” pada diri peraga penari seperti Pembarong, bujang ganong Potrojoyo, dan Potrotholo, atau yang lainya.

Sedangkan untuk penari jathilan adalah para gemblak. Para warok senang sekaligus bersemangat jika gemblaknya menari Jathilan. Dengan gerakan lemah gemulai dan ekspresi menawan, menambah daya tarik gemblak pada seluruh penontonnya. Dengan begitu para Warok (bapakannya) akan selalu memanjakan gemblak-gemblak kesayangannya. Semakin tampan dan menariknya penari Jathilan, kian terkenal nama group dan desa di mana kesenian reyog tersebut berasal.

Pada setiap iring-iringan reyog berlangsung, mengelilingi jalan-jalan desa, maka secara spontan masyarakat akan berduyun-duyun mengikuti ke mana saja kesenian Reyog tersebut akan iker. Mereka menyaksikan penari Jathilan kususnya, dengan sabar dan penuh gembira menanti tempat-tempat iker, terkadang dipertigaan atau perempatan jalan berhenti sejenak untuk atraksi. Di tempat-tempat seperti itulah, penonton berjubel berdesak-desakan laki-laki ataupun perempuan, tua-muda, besar-kecil, bahkan anak-anak kecil gembira dipanggul di atas kepala orang tuanya, supaya dapat jelas menyaksikan pertunjukan.

Itulah pamor seni pertunjukan Reyog saat dipentaskan, serasa memiliki kekuatan magnet luar biasa. Dengan mendengar alunan musik yang ditabuh bertalu-talu, gemanya sampai kiloan meter dapat didengar. Daya sugesti ini menyebabkan orang berkeinginan mendekat-menyaksikan, hingga usai pertunjukan Reyog digelar. Reyog Ponorogo memang luar biasa, beruntung bangsa Indonesia memiliki khasanah budaya adi luhung tersebut.

Yang lebih patut dihargai, para warok Ponorogo yang dulu loyal setia berdedikasi tinggi, dalam memelihara kesenian Reyog. Merekalah pemilik Reyog, pemain Reyog, dan yang melestarikan Reyog. Tanpa para warok dan gemblaknya, kita tak dapat membayangkan bagaimana kesenian termasyhur, mahakarya nenek moyang yang memukau tersebut, bisa dinikmati anak cucu. Berbanggalah Ponorogo, termashurlah Indonesia, tersenyumlah para warok dan gemblak, kesenianmu kini telah mendunia.

*) Sudirman, S. Pd, Guru Kesenian SMPN 1 Jetis Ponorogo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.S. Dharta Abdul Hadi WM Abdul Wachid B.S. Abdullah Abubakar Batarfie Abdurrahman Wahid Achmad Faesol Achmad S Achmad Soeparno Yanto Adin Adrian Balu Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Sasongko Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Prasmono Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Mustofa Bisri Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat al-Kindi Alex R. Nainggolan Ali Ahsan Al Haris Ali Audah Ali Syariati Amien Kamil Amien Wangsitalaja Andhika Dinata Andi Neneng Nur Fauziah Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Andy Riza Hidayat Anindita S. Thayf Anton Kurniawan Anton Sudibyo Aprinus Salam Arafat Nur Arif Hidayat Arman A.Z. Arthur Rimbaud Asap Studio Asarpin Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Badaruddin Amir Bagja Hidayat Balada Bambang Riyanto Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Butet Kartaredjasa Cak Bono Catatan Cecil Mariani Cerbung Cerpen Chairil Anwar Charles Bukowski Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dahta Gautama Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Danarto Dara Nuzzul Ramadhan Dareen Tatour Darju Prasetya Darojat Gustian Syafaat Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Sartika Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dianing Widya Yudhistira Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Pitono Djoko Saryono Djoko Subinarto Doan Widhiandono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Klik Santosa Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erik Purnama Putra Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esti Nuryani Kasam Evan Ys Evi Idawati F Aziz Manna F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Firman Wally Fiyan Arjun Forum Penulis dan Pegiat Literasi Lamongan (FP2L) Franz Kafka Galih M. Rosyadi Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Garna Raditya Gendut Riyanto Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gurindam Gusti Eka H.B. Jassin Halim HD Hamdy Salad Hamka Hari Sulastri Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasbi Zainuddin Hasif Amini Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Hermawan Mappiwali Herry Lamongan Hikmat Gumelar HM. Nasruddin Anshoriy Ch Hudan Hidayat Humam S Chudori Ibnu Wahyudi Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Iksaka Banu Ilham Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Arlado Imron Tohari Indra Tjahyadi Indrawati Jauharotun Nafisah Indrian Koto Inung As Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Ismi Wahid Iva Titin Shovia Iwan Fals Iwan Kurniawan Jakob Oetama Janual Aidi JJ. Kusni Johan Fabricius John H. McGlynn Jordaidan Rizsyah Jual Buku Sastra K.H. A. Azis Masyhuri Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kahlil Gibran Kamajaya Al. Katuuk Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khatijah Khoirul Inayah Ki Dhalang Sulang Ki Ompong Sudarsono Kikin Kuswandi Kodirun Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Sastra Mangkubumen (KSM) Komunitas Teater Se-Lamongan Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kucing Oren Kurniawan Junaedhie Kurniawan Muhammad Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Larung Sastra Latief S. Nugraha lensasastra.id Leo Tolstoy Leon Agusta Linda Christanty Lutfi Mardiansyah M. Aan Mansyur M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Harir Muzakki M. Lutfi M. Shoim Anwar M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marniati Martin Aleida Mashuri Masuki M. Astro Matroni Muserang Mawar Kusuma Max Arifin Melani Budianta Mihar Harahap Mikael Johani Miziansyah J. Moch. Fathoni Arief Moh. Ghufron Cholid Mohammad Afifi Mohammad Rafi Azzamy Muhammad Hanif Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun AS Muhidin M. Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Murnierida Pram Myra Sidharta Nadia Cahyani Naim Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nessa Kartika Ni Made Purnama Sari Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Noor H. Dee Nurel Javissyarqi Nurul Fahmy Nurul Ilmi Elbana Nyoman Tusthi Eddy Ong Hok Ham Orasi Budaya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Pablo Neruda Pay Jarot Sujarwo PDS H.B. Jassin Pendidikan Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Bergerak Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin Qismatun Nihayah R Sutandya Yudha Khaidar R Toto Sugiharto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Rambuana Ramdhan Triyadi Bempah Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ricarda Huch Riezky Andhika Pradana Riki Dhamparan Putra Rizki Aprima Putra Rokhim Sarkadek Rony Agustinus Royyan Julian Rukardi Rumah Budaya Pantura Rumah Budaya Pantura (RBP) Ruth Indiah Rahayu S Yoga S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safitri Ningrum Sahaya Santayana Sahli Hamid Saini KM Sajak Salvator Yen Joenaidy Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setyaningsih Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosial Media Sastra Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sudarmoko Sudirman Sugeng Sulaksono Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunaryata Soemarjo Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susie Evidia Y Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka T Agus Khaidir T.A. Sakti Tangguh Pitoyo Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teater Pendopo nDalem Mangkubumen (Dokumen) Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tiya Hapitiawati Tiyasa Jati Pramono Toeti Heraty TS Pinang Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Usman Arrumy UU Hamidy Veronika Ninik Vika Wisnu W.S. Rendra Wahyu Triono Ks Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wilda Fizriyani Willy Ana Y Alpriyanti Y.B. Mangunwijaya Yanto le Honzo Yasin Susilo Yasir Amri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yulhasni Zehan Zareez Zuhdi Swt Zul Afrita