Selasa, 14 Juli 2020

Pemberontakan Pattimura di Mata Orang Belanda

Teriakan Kakatua Putih; Pemberontakan Pattimura di Maluku
Mahamuda *

Johan Fabricius mengarang sebuah novel bahasa Belanda: “De Schreeuw van de Witte Kakatoe”, diterjemahkan H.B. Jassin ke dalam bahasa Indonesia: “Teriakan Kakatua Putih; Pemberontakan Pattimura di Maluku”, Penerbit Djambatan, cetak pertama tahun 1980, dan kedua 1984, termasuk buku tipis di masa kekinian, 81 halaman. Di sampul depan terdapat stempel melingkar warna biru masih jelas: “Departemen Pendidikan dan Kebudayaan SMP 3 Sidoarjo.” Bukunya seperti jarang mendapat sentuhan dan lirikan mata di perpustakaan sekolah, berdebu serta kusam, ‘ber-uang’ jika dikiloan ke toko buku bekas. Ada sebuah peringatan pada bukunya, tertulis dengan huruf kapital: “Milik Departeman Pendidikan dan Kebudayaan, Tidak Diperdagangkan.” Tapi dijual ke pembaca dengan harga 60 ribu (entah sudah lewat tangan yang keberapa). Pembaca beranggapan sesuka hati, buku dilarang keras diperdagangkan, tetapi boleh diperjualbelikan, begitu kira-kira di Indonesia.

Di halaman pertama paragraf kedua, kita dibuat bingung, tertulis: “Nyanyian berirama orang-orang di atas orembai; mereka sedang memanggil angin; atau memanggil angin yang akan mengembangkan layar, sehingga mereka tidak usah memakai dayung dan dapat meluruskan badan di bawah naungan layar...” Di mana-mana, orembai menggunakan dayung. Sebuah orembai atau perahu layar, membutuhkan kemudi, agar tetap berlayar sesuai arah tujuan. Dayung, salah satu alat yang digunakan mengemudi. Ah! Pengarang dan penerjemah terlanjur memperlihatkan diri, kalau mereka belum pernah naik orembai, tetapi sudah mabuk laut.

Kembali lagi ke sampul depan, terlihat seekor burung kakatua putih memiliki jambul kuning sedang mengepakkan sayap mendekati sebuah batang bercabang, ada juga daun-daun hijau. Wah! Indah sekali dipandang mata. Konon, burung Kakatua pernah membakar rumah warga dengan menggunakan kakinya. Waduh! Ternyata nakal juga ini burung. Marilah kita tengok burung kakatua putih peliharaan Yonathan, pembantu di rumah residen. Inilah kutipkannya:

“Sebagai kawan serumah, di rumahku ada pula seekor kakatua, burung yang banyak terdapat di daerah ini. Yonathan mengambilnya sewaktu masih kecil dari sarangnya, dan mengajarinya bicara: 'kakatua', 'selamat pagi, tuan!' dan beberapa patah lagi, 'ada ujan! Ada ujan! teriaknya kalau hujan turun. Dia indah sekali, apabila menundukkan kepala ke depan, meminta dielus tengkuknya, dan sementara itu mengembangkan jambulnya yang kuning lembut dari dalam...”
***

Pembaca jangan terburu-buru menyimpulkan isi cerita novel ketika baca judul besar yang tertulis disampulnya. Sebab di lembaran-lembaran selanjutnya, penulis tidak lagi berkisah mengenai kakatua putih milik Yonathan. Kita baca halaman demi halaman sambil menduga-duga, siapakah teriakan kakatua putih? Apakah Belanda? Dengan alasan sederhana, mereka dahulu, senang berpakaian serba putih, dan mendapat sebutan orang kulit putih dari pribumi. Tunggu! Kita perlu melihat gambar Kapitan Pattimura. Lihat! Kapitan sedang mengenakan pakaian putih sambil memegang parang lengket di dadanya dengan gagah berani dan melawan. Kita menduga lagi, apakah teriakan itu milik Pattimura? Pembaca berani berkesimpulan, setelah mengikuti jalan kisahnya sampai tamat. Suara teriakan itu milik Thomas Matulesia yang lantang meneriaki penjajah Belanda yang rakus dan tidak adil kepada rakyat kepulauan rempah-rempah.

Apa yang paling membekas dalam ingatan setiap orang Maluku dan penjajah, ketika mendengar nama Saparua? Tidak lain adalah pemberontakan Pattimura. Buku-buku yang menceritakan hal pemberotakan Kapitan Pattimura sudah banyak diterbitkan. Johan Fabricius mengangkat kisah yang sama, tetapi dengan sugguhan yang berbeda. Pengarang berangkat dari kacamata korban pemberontakan yakni Belanda.

Jan, nama tokoh utamanya, anak seorang residen. Setelah bertahun-tahun dan terhitung abad, ianya balik datang ke Maluku, bertempat tinggal sementara di sebuah pavilyun milik Residen Doornbos, dan nyonya Eveline di Saparua. Setiap orang melihat dirinya, selalu berkata penuh belas kasihan kepadanya. Mereka masih merawat baik ingatan pada kejadian yang mengerikan itu. Berkatalah mereka, “Itulah orang yang ketika masih kecil dapat lolos dari pembunuhan di pulau Maluku. Dan ialah satu-satunya anak kecil! Masih kelihatan di mata kanannya, bekas retakan Kelewang, umurnya waktu itu baru lima tahun, keluarganya di bunuh di benteng...”

Kedua orang tuanya serta kedua adiknya, laki-laki dan perempuan, mati di dalam benteng Duursetede saat terjadinya pemberontakan. Jan selamat dari maut atas bantuan perempuan Maluku bernama Hanna dan Magdalena, yang merawat luka-luka ditubuhnya. Waktu berganti, kedatangan Jan ke Saparua, salah satunya ingin berjumpa Hanna dan Magdalena. Namun kedua perempuan Maluku tersebut tidak lagi tinggal di Saparua. Hanna kini tinggal di Tuhaha, sedang Magdalena di Kailolo pulau Oma, sebelah Barat Honimoa. Niat ingin berjumpa telah mendarah daging membuatnya terus berusah mencari jalan rindu, agar bisa bertemu kembali dengan kedua perempuan hebat dalam hidupnya. Jan tumbuh besar, dan berumah tangga di Belanda. Ia selalu merasa hidupnya tak sempurna, jika tak balik menengok Saparua, sebelum maut menghampiri.
***

Masa-masa silam kembali dikenang lewat tutur Yosef Latupersia, saksi mata pemberontakan Pattimura. Diceritakan dengan sangat hati-hati kepada Jan. Bagaimana awal mulanya terjadi pemberontakan yang memakan banyak korban. Beberapa orang yang pernah ditemuinya juga memberi sebuah pengakuan atas kesetiaan Thomas Matulesia, sebagai jemaat gereja Protestan Kalvinis. Belanda-lah yang membawa aliran kepercayaan Kalvinis ke Maluku. Sebelumnya di masa Portugis, sebagian penduduknya telah memeluk kepercayaan Katholik. Kemudian masuk Belanda dengan cara halus, mengajak penduduk untuk memeluk kepercayaan yang dibawanya. Seiring berjalannya waktu, Thomas Matulesia melihat sikap Belanda kepada rakyat Maluku melenceng dari ajaran kepercayaan. Ia mengatakan, Belanda-lah yang dimaksud orang fasik dalam Mazmur 17. Mereka yang harus kita lawan, dan perlawanan terus terang dilakukan Thomas Matulesia, sampai berakhir pada penangkapannya dan dijatuhi hukuman gantung.

Detik-detik menghadapi hukuman gantung, Thomas Matulesia masih sempat berkata-kata tanpa rasa takut sedikitpun! “Selamat tinggal tuan-tuan!” Kata Thomas Matulesia kepada tuan-tuan Belanda. Membuat tuan-tuan Belanda geger dan merasa dipermalukan di depan orang banyak. Selain Matulesia, disebutkan juga beberapa nama yang juga dijatuhkan hukuman gantung, di antaranya: Anthonius Rhebok, Philippus Latumahina, dan Sayad Printa.
***

Novel ini juga menyinggung peperangan di Teluk Wai Asil, yang dimenangkan pasukan Thomas Matulesia. Di akhiran cerita, pengarang menggambarkan seorang perempuan yang melawan, Martha Kristina. Anak dari raja tua perkampungan Abubu di Nusa Laut, bernama Paulus Triago. Di usia yang sangat muda, membantu ayah dalam pertempuran di Nusa Laut yang berakhir dengan kekalahan Paulus Trigo. Martha kemudian menjadi tawanan. Di kapal Reigersbergen, dirinya menjemput kematiannya dengan cara menolak makan dan minum yang diberikan kepadanya, lalu jasadnya di buang ke tengah laut. Penulis melukiskan sosok Martha Kristina dengan sangat indah, demikian kutipannya:

Dialah ikan, yang terbang jauh mencecah laut/ Kristina Martha/ Dialah camar, yang turun di atas gelombang setelah lesu berkelana/ Kristina Martha/ Dialah duyung, yang menghimbau menghiba-hiba di malam hari/ Kristina Martha/ Dialah hempasan gelombang, yang mendesir membasuh pantai/ Dialah taman lautan, ikan macan bergerombol-gerombol di dalamnya/ Kristina Martha/ Dialah yang tiada kelihatan, yang mengumpulkan bunga karang di dalam taman/ Kendaraannya penyu laut. Rambutnya ganggang menari/ Kristina Martha/ Dialah nafas panas gemetar di permukaan laut/ Di situ dia kadang kelihatan, kemudian menghilang/ Kristina Martha/ Dialah gempa laut, yang meruntuhkan rumah-rumah/ Menumbangkan pohon-pohon/ Memeluk manusia dan binatang dengan lengannya basah dalam pelukan maut/ Itulah dia: Kristina Martha... Kristina Martha...
***

Buku ini mengajak pembaca melihat sebuah kejadian, yang tak hanya menggunakan satu sudut pandang. Dalam novel ini, pengarang tetap mempertahankan serta menampakkan sikap seorang Belanda yang dikutuk dan disumpahi se-Nusantara, melalui tuan residen dan nyonya Eveline. Selama ini, kita selalu pukul rata, kalau orang Belanda itu penjajah dan biadab, tetapi di kisah ini disodorkan, bahwa tidak semua orang Belanda ialah penjajah dan biadab. Di mata Maluku, Thomas Matulesia adalah penyelamat, di mata Belanda, Thomas Matulesia ialah pemberontak, dan di mata Indonesia, Thomas Matulesia sebagai Pahlawan Nasional.


 _____________
*) Mahamuda adalah nama pena dari Mahyuddin M. Dahlan. Anak bungsu dari lima bersaudara, lahir di Wayaua, Bacan Timur Selatan, Halmahera Selatan, 3 Juli 1994, dari pasangan Mahmud Dahlan dan Srida Midjan. Penulis menyelesaikan pendidikan Madrasah Ibtidaiyah al-Khairaat Wayaua, dan SD Wayaua di tahun 2006. Merantau ke Sulawesi Tengah, dan belajar di MTs al-Khairaat Pusat Palu, tamatan tahun 2009, masuk Madrasah Aliyah al-Khairaat Pusat Palu, lulus 2012, kemudian merantau ke Tanah Jawa. Tahun 2013 menjadi mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, Jurusan Perbandingan Agama, Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam di Yogyakarta. Pada semester V, memilih meninggalkan kampus, sibuk mencari uang untuk membeli buku-buku sambil menghibur diri belajar mengarang cerita dan lagu, disamping senang berpergian naik kapal..
http://sastra-indonesia.com/2020/07/pemberontakan-pattimura-di-mata-orang-belanda/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.S. Dharta Abdul Hadi WM Abdul Wachid B.S. Abdullah Abubakar Batarfie Abdurrahman Wahid Achmad Faesol Achmad S Achmad Soeparno Yanto Adin Adrian Balu Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Sasongko Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Prasmono Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Mustofa Bisri Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat al-Kindi Alex R. Nainggolan Ali Ahsan Al Haris Ali Audah Ali Syariati Amien Kamil Amien Wangsitalaja Andhika Dinata Andi Neneng Nur Fauziah Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Andy Riza Hidayat Anindita S. Thayf Anton Kurniawan Anton Sudibyo Aprinus Salam Arafat Nur Arif Hidayat Arman A.Z. Arthur Rimbaud Asap Studio Asarpin Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Badaruddin Amir Bagja Hidayat Balada Bambang Riyanto Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Butet Kartaredjasa Cak Bono Catatan Cecil Mariani Cerbung Cerpen Chairil Anwar Charles Bukowski Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dahta Gautama Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Danarto Dara Nuzzul Ramadhan Dareen Tatour Darju Prasetya Darojat Gustian Syafaat Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Sartika Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dianing Widya Yudhistira Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Pitono Djoko Saryono Djoko Subinarto Doan Widhiandono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Klik Santosa Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erik Purnama Putra Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esti Nuryani Kasam Evan Ys Evi Idawati F Aziz Manna F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Firman Wally Fiyan Arjun Forum Penulis dan Pegiat Literasi Lamongan (FP2L) Franz Kafka Galih M. Rosyadi Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Garna Raditya Gendut Riyanto Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gurindam Gusti Eka H.B. Jassin Halim HD Hamdy Salad Hamka Hari Sulastri Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasbi Zainuddin Hasif Amini Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Hermawan Mappiwali Herry Lamongan Hikmat Gumelar HM. Nasruddin Anshoriy Ch Hudan Hidayat Humam S Chudori Ibnu Wahyudi Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Iksaka Banu Ilham Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Arlado Imron Tohari Indra Tjahyadi Indrawati Jauharotun Nafisah Indrian Koto Inung As Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Ismi Wahid Iva Titin Shovia Iwan Fals Iwan Kurniawan Jakob Oetama Janual Aidi JJ. Kusni Johan Fabricius John H. McGlynn Jordaidan Rizsyah Jual Buku Sastra K.H. A. Azis Masyhuri Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kahlil Gibran Kamajaya Al. Katuuk Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khatijah Khoirul Inayah Ki Dhalang Sulang Ki Ompong Sudarsono Kikin Kuswandi Kodirun Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Sastra Mangkubumen (KSM) Komunitas Teater Se-Lamongan Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kucing Oren Kurniawan Junaedhie Kurniawan Muhammad Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Larung Sastra Latief S. Nugraha lensasastra.id Leo Tolstoy Leon Agusta Linda Christanty Lutfi Mardiansyah M. Aan Mansyur M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Harir Muzakki M. Lutfi M. Shoim Anwar M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marniati Martin Aleida Mashuri Masuki M. Astro Matroni Muserang Mawar Kusuma Max Arifin Melani Budianta Mihar Harahap Mikael Johani Miziansyah J. Moch. Fathoni Arief Moh. Ghufron Cholid Mohammad Afifi Mohammad Rafi Azzamy Muhammad Hanif Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun AS Muhidin M. Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Murnierida Pram Myra Sidharta Nadia Cahyani Naim Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nessa Kartika Ni Made Purnama Sari Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Noor H. Dee Nurel Javissyarqi Nurul Fahmy Nurul Ilmi Elbana Nyoman Tusthi Eddy Ong Hok Ham Orasi Budaya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Pablo Neruda Pay Jarot Sujarwo PDS H.B. Jassin Pendidikan Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Bergerak Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin Qismatun Nihayah R Sutandya Yudha Khaidar R Toto Sugiharto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Rambuana Ramdhan Triyadi Bempah Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ricarda Huch Riezky Andhika Pradana Riki Dhamparan Putra Rizki Aprima Putra Rokhim Sarkadek Rony Agustinus Royyan Julian Rukardi Rumah Budaya Pantura Rumah Budaya Pantura (RBP) Ruth Indiah Rahayu S Yoga S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safitri Ningrum Sahaya Santayana Sahli Hamid Saini KM Sajak Salvator Yen Joenaidy Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setyaningsih Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosial Media Sastra Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sudarmoko Sudirman Sugeng Sulaksono Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunaryata Soemarjo Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susie Evidia Y Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka T Agus Khaidir T.A. Sakti Tangguh Pitoyo Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teater Pendopo nDalem Mangkubumen (Dokumen) Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tiya Hapitiawati Tiyasa Jati Pramono Toeti Heraty TS Pinang Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Usman Arrumy UU Hamidy Veronika Ninik Vika Wisnu W.S. Rendra Wahyu Triono Ks Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wilda Fizriyani Willy Ana Y Alpriyanti Y.B. Mangunwijaya Yanto le Honzo Yasin Susilo Yasir Amri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yulhasni Zehan Zareez Zuhdi Swt Zul Afrita