Selasa, 14 Juli 2020

Membangun Kultur Sekolah melalui Profesionalitas Guru

Agus Prasmono *

Apakah betul, guru sebagai pembangun kultur sekolah? Di sini perlu diingatkan kembali, untuk mereposisi guru sebagai figur dan agen perubahan sosial (agent of social change) di masyarakat. Gurulah motor penggerak perubahan di sekolah. Apakah yang lain tidak perlu mengadakan perubahan. Tentu jawabnya bukan begitu. Adakah di dunia ini yang abadi? Semuanya mengalami perubahan, yang kekal hanyalah perubahan itu sendiri.

Berbincang mengenai kultur, harus dipahami sebagai budaya; wujud perilaku insan dalam hidup bermasyarakat. Dan masyarakat itu, sekumpulan individu bersegala aktivitas dari makhluk sosial. Individu yang “hidup” akan senantiasa hidup pula (baca: berubah). Perubahan kian cepat, bila manusia yang berperan jadi penggeraknya juga melaju dinamis. Orang yang cerdas (bukan pandai saja), punya trik-trik yang membuat hidupnya dinamis. Sebaliknya yang dungu (maaf terlalu kasar), selalu senang kemapanan yang dialami, apa pun bentuknya. Sedangkan yang cerdik-pandai, terus membuat perubahan di dalam hidupnya.

Apa saja yang harus berubah? 

Berbicara perihal perubahan dalam pendidikan, pada dasarnya itulah esensi kultur sekolahan. Masih banyak perubahan yang harus dilakukan di dunia pendidikan. Pertama, cara berpikir atau pola pikir. Pola pikir patut berubah searah memperbaharui setiap saat, seiring pertumbuhan masyarakat serta kemajuan jaman. Pendidik adalah ilmuwan. Walau guru bukan satu-satunya sumber ilmu bagi siswanya, dan kini sudah berubah pula; sebagai fasilitator pembelajaran, maka patutlah cerdas. Sulit rasanya menghasilkan siswa cerdas dari guru yang tidak cerdas. Kabar menggembirakan dari LPTK (Universitas bekas IKIP), belakangan animo alumni SMA melanjutkan ke FKIP mengalami perkembangan luar biasa, sehingga LPTK bisa merekrut calon mahasiswanya yang berkualitas. Jika mahasiswa FKIP cerdas, berarti nantinya pendidikan akan diemban orang-orang yang dapat mencerdaskan.

Kedua, tindakan. Guru sebagai pendidik seyogyanya bisa dijadikan panutan (pemberi contoh), atau setiap perbuatannya patut mencerminkan keteladanan bagi siswanya. Guru tetap menjadi yang “digugu dan ditiru” :idiom itu perlu dibakukan. Selama ini, banyak tindakan guru yang kurang menggambarkan teladan yang baik. Mulai dari kasus perjudian, manipulasi, perselingkuhan, dan pelanggaran hukum lain.

Ketiga, kebiasaan. Sudahkah kebiasaan yang diciptakan memantulkan nilai-nilai luhur yang berdasarkan moralitas agama yang ada di republik ini? Ketika P-4 masih didewakan di negeri ini, dianggapnya semua nilai luhur berdasar Pancasila serta termuat di dalamnya. Mereka lupa, bahwa dalam kandungannya, ada sila Ketuhanan Yang Maha Esa; menempatkan agama di atas segalanya. Dengan kata lain, Pancasila mengakui agama sebagai sumber kebenaran paling utama, dan manusia Indonesia harus ber-Tuhan yang Esa.

Keempat, perubahan penampilan. Dulu, guru identik dengan pakaian abu-abu yang lusuh, sepatu jarang disemir, tas model tas “modin” seolah jadi trade mark. Guru, sepantasnya merubah penampilannya. Tidak perlu bawa banyak buku, cukup laptop tentengannya. Kalau guru belum punya laptop, berarti belum siap berubah, karena perubahan terbesar ada di alat teknologi tersebut. Penampilan fisik dan pakaian pun, patut senantiasa yang pantas.

Kelima, keberhasilan. Kini, guru harus terpandang sebagai seorang yang berhasil. Berhasil mendidik siswanya, sehingga menghasilkan siswa yang cerdas, dan terus meningkatkan prestasinya setiap tahun. Juga berhasil mendidik anak-anaknya sendiri. Bahkan, dengan tunjangan profesionalisme, tidak aneh jikalau guru bisa dikatakan berhasil secara ekonomi, tanpa harus memanipulasi kuitansi, pun menanti dana kontinjensi yang tak kunjung tiba.

Keenam, nilai dan keyakinan. Dalam hal ini guru tidak harus merubah nilai dan keyakinan yang ada, tetapi justru menjadi benteng terakhir terhadap pelestarian nilai serta keyakinan siswanya. Gempuran pada hancurnya nilai luhur bangsa ini terus datang bertubi-tubi dengan bentuk dan model berbeda, dan guru pantas berwaspada terhadapnya. Guru harus menjadi benteng bagi siswanya yang bimbang oleh perubahan membingungkan, bahkan kadang datang terlalu cepat, sehingga sulit beradaptasi dengan perubahan itu sendiri.

Ketujuh, perubahan interaksi. Dahulu, guru sering ditakuti siswanya. Dihormati, karena takut dan sungkan. Sekarang bukan jamannya. Hubungan yang elegan antara siswa dan guru harus terus ditumbuhkan secara mesra. Jangan sampai ada jarak di antara siswa dengan gurunya; lewat membangun komunikasi keilmuan, komunikasi pribadi, dan persoalan yang dihadapi siswanya. Kalau guru betul-betul jadi tempat curahan hati siswanya, itulah yang akan disegani, sebab bisa memecahkan batu permasalahan siswanya.

Guru yang bisa menjadi pembangun kultur

Pertama, guru yang siap berubah. Guru yang dinamis, energik, selalu ingin ada yang baru di tiap langkahnya. Kalau ada guru yang anti perubahan dan senang kemapanan (baca: kemandegan), guru tersebut rasanya pantas dimusiumkan. Bukankah agama mengajarkan bekerjalah seakan kamu hidup selamanya, dan beribadahlah seolah kamu mati besok. Kerja yang dinamis, harus didukung moralitas tinggi.

Kedua, guru yang gila ilmu. Seberapa gelintir guru di negara ini yang gila ilmu? Banyak di antaranya menganggap ilmu yang diperolehnya ketika kuliah S-1 dirasa cukup. Bahkan penulis pernah dengar seorang teman guru berkata, “Kalau saya kuliah lagi dan menjadi pintar, malah murid saya nanti jadi kebingungan”. Jelas, kalimat itu menunjukkan sedari orang yang tidak cerdas. Bukankah seorang yang makin pintar, merasa kian bodoh, dikarena luasnya ilmu itu sendiri. Sebaliknya, yang merasa pintar justru menunjukkan semakin bodoh orang tersebut. Orang yang semakin pintar, akan pintar pula menyampaikan ilmunya. Maka tugas guru sebagai pengemban ilmu, sangat mulia.

Ketiga, guru yang haus keberhasilan. Haus keberhasilan akan tampak sedari ketidakpuasan pada prestasi yang pernah diraih. Baik prestasi dirinya pula anak didik yang dibinanya. Dengan begitu, guru selalu meningkatkan prestasinya, juga prestasi anak didiknya. Bukankah standar kelulusan UN, dibuat naik setiap tahunnya. Ini pancingan untuk menaikkan prestasi, tanpa harus guru memintanya, pemerintah sudah memancingnya lewat menaikkan standar kelulusan siswa.

Keempat, guru yang terus membangun interaksi dengan semua pihak. Guru yang baik, tidak boleh “kuper; kurang pergaulan” di dalam pergulatan dengan jamannya. Ketika jaman komputer sudah jadi jamannya anak-anak, kalau ada guru yang tak paham komputer, harus segera bertaubat menyesali “kedholimannya” dengan belajar dari muridnya. Senada paribasan “kebo nyusu gudel” :hal ini perlu, karena guru bukan segala sumber kebenaran dan ilmu.

Yang keempat, membangun kinerja yang bagus. Ketika ada wacana gaji berbasis kinerja, bukan berbasis golongan seperti sekarang, banyak guru dan pegawai lain yang gerah. Ini potret dari lemahnya kinerja mereka. Kalau kinerjanya baik, maka justru bermodel gaji berbasis kinerja adalah sangat menguntungkan, mengingat guru kerjanya diatur dengan jam yang padat. Selama ini, banyak guru yang kurang mencintai dalam menggeluti perannya, sehingga pekerjaannya belum bisa dijadikan ukuran profesionalitasnya.

Untuk itu, semua guru harus jujur terhadap dirinya sendiri. Apakah sudah mencerminkan hal di atas, atau telah bangga sekadar lulus portofolio sebagai guru yang profesional, namun di dalamnya kosong. Tentunya, hanya guru bersangkutan yang bisa merasainya. Kalau semua guru mau jujur, maka percepatan pembangunan di negeri ini tak usah disusu-susu dengan membuat Menteri Negara Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal, toh negeri kita ini, semuanya masih tertinggal.

*) Agus Prasmono, S.Pd.,  Guru SMA Negeri 3 Ponorogo. Tinggal di Kertosari Indah.Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Dinamika PGRI Ponorogo.
http://sastra-indonesia.com/2013/12/membangun-kultur-sekolah-melalui-profesionalitas-guru/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.S. Dharta Abdul Hadi WM Abdul Wachid B.S. Abdullah Abubakar Batarfie Abdurrahman Wahid Achmad Faesol Achmad S Achmad Soeparno Yanto Adin Adrian Balu Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Sasongko Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Prasmono Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Mustofa Bisri Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat al-Kindi Alex R. Nainggolan Ali Ahsan Al Haris Ali Audah Ali Syariati Amien Kamil Amien Wangsitalaja Andhika Dinata Andi Neneng Nur Fauziah Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Andy Riza Hidayat Anindita S. Thayf Anton Kurniawan Anton Sudibyo Aprinus Salam Arafat Nur Arif Hidayat Arman A.Z. Arthur Rimbaud Asap Studio Asarpin Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Badaruddin Amir Bagja Hidayat Balada Bambang Riyanto Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Butet Kartaredjasa Cak Bono Catatan Cecil Mariani Cerbung Cerpen Chairil Anwar Charles Bukowski Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dahta Gautama Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Danarto Dara Nuzzul Ramadhan Dareen Tatour Darju Prasetya Darojat Gustian Syafaat Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Sartika Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dianing Widya Yudhistira Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Pitono Djoko Saryono Djoko Subinarto Doan Widhiandono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Klik Santosa Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erik Purnama Putra Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esti Nuryani Kasam Evan Ys Evi Idawati F Aziz Manna F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Firman Wally Fiyan Arjun Forum Penulis dan Pegiat Literasi Lamongan (FP2L) Franz Kafka Galih M. Rosyadi Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Garna Raditya Gendut Riyanto Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gurindam Gusti Eka H.B. Jassin Halim HD Hamdy Salad Hamka Hari Sulastri Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasbi Zainuddin Hasif Amini Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Hermawan Mappiwali Herry Lamongan Hikmat Gumelar HM. Nasruddin Anshoriy Ch Hudan Hidayat Humam S Chudori Ibnu Wahyudi Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Iksaka Banu Ilham Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Arlado Imron Tohari Indra Tjahyadi Indrawati Jauharotun Nafisah Indrian Koto Inung As Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Ismi Wahid Iva Titin Shovia Iwan Fals Iwan Kurniawan Jakob Oetama Janual Aidi JJ. Kusni Johan Fabricius John H. McGlynn Jordaidan Rizsyah Jual Buku Sastra K.H. A. Azis Masyhuri Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kahlil Gibran Kamajaya Al. Katuuk Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khatijah Khoirul Inayah Ki Dhalang Sulang Ki Ompong Sudarsono Kikin Kuswandi Kodirun Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Sastra Mangkubumen (KSM) Komunitas Teater Se-Lamongan Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kucing Oren Kurniawan Junaedhie Kurniawan Muhammad Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Larung Sastra Latief S. Nugraha lensasastra.id Leo Tolstoy Leon Agusta Linda Christanty Lutfi Mardiansyah M. Aan Mansyur M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Harir Muzakki M. Lutfi M. Shoim Anwar M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marniati Martin Aleida Mashuri Masuki M. Astro Matroni Muserang Mawar Kusuma Max Arifin Melani Budianta Mihar Harahap Mikael Johani Miziansyah J. Moch. Fathoni Arief Moh. Ghufron Cholid Mohammad Afifi Mohammad Rafi Azzamy Muhammad Hanif Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun AS Muhidin M. Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Murnierida Pram Myra Sidharta Nadia Cahyani Naim Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nessa Kartika Ni Made Purnama Sari Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Noor H. Dee Nurel Javissyarqi Nurul Fahmy Nurul Ilmi Elbana Nyoman Tusthi Eddy Ong Hok Ham Orasi Budaya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Pablo Neruda Pay Jarot Sujarwo PDS H.B. Jassin Pendidikan Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Bergerak Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin Qismatun Nihayah R Sutandya Yudha Khaidar R Toto Sugiharto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Rambuana Ramdhan Triyadi Bempah Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ricarda Huch Riezky Andhika Pradana Riki Dhamparan Putra Rizki Aprima Putra Rokhim Sarkadek Rony Agustinus Royyan Julian Rukardi Rumah Budaya Pantura Rumah Budaya Pantura (RBP) Ruth Indiah Rahayu S Yoga S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safitri Ningrum Sahaya Santayana Sahli Hamid Saini KM Sajak Salvator Yen Joenaidy Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setyaningsih Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosial Media Sastra Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sudarmoko Sudirman Sugeng Sulaksono Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunaryata Soemarjo Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susie Evidia Y Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka T Agus Khaidir T.A. Sakti Tangguh Pitoyo Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teater Pendopo nDalem Mangkubumen (Dokumen) Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tiya Hapitiawati Tiyasa Jati Pramono Toeti Heraty TS Pinang Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Usman Arrumy UU Hamidy Veronika Ninik Vika Wisnu W.S. Rendra Wahyu Triono Ks Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wilda Fizriyani Willy Ana Y Alpriyanti Y.B. Mangunwijaya Yanto le Honzo Yasin Susilo Yasir Amri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yulhasni Zehan Zareez Zuhdi Swt Zul Afrita