Rabu, 15 Juli 2020

Fenomena Cerita Cinta Terlarang Golan dan Mirah

Golan-Mirah, Sukorejo, Kabupaten Ponorogo
Sumani *

Di era yang serba modern, dimana suatu generasi mudah membaur, transformasi barang sangat cepat, masih sering muncul berbagai pertanyaan dari beberapa kalangan, terutama dari orang-orang di luar wilayah Kecamatan Sukorejo, Kabupaten Ponorogo, misalnya: Betulkah air dari desa Golan dan dari Mirah, tidak mau bercampur? Orang akan mengalami kebingungan, jika membawa benda atau barang dari Golan ke Mirah, dan sebaliknya? Orang Mirah tidak diperkenankan menanam kedelai? Orang Mirah tidak bisa membuat tempe? Orang Mirah dan orang Golan, jika bertemu di tempat orang hajatan di mana saja, jalannya hajatan akan mengalami gangguan? Tidak akan terjadi perkawinan, antara orang Golan dan orang Mirah? Dan sebagainya...

Dari berbagai pertanyaan yang sering muncul itulah, penulis coba telusuri cerita tersebut dengan mencari informasi kepada tokoh-tokoh masyarakat, yang penulis anggap lebih mengenal fenomena kekisahnya, serta membaca buku lakon yang telah ada, dan hasil penelusurannya sebagaimana berikut:
***

Pada jaman dahulu, di suatu tempat terdapat seorang tokoh terkenal dengan gagah berani, punya ilmu kesaktian tinggi, sehingga sangat disegani orang-orang sekitarnya. Beliau bersebut Ki Ageng Honggolono. Di samping sebagai orang pemberani dan sakti, juga bijaksana, dikarena itulah beliau mendapat sebutan Ki Bayu Kusuma. Karena daya kelebihan yang dimilikinya, diangkatlah sebagai Palang atau Kepala Desa.

Dalam cerita ini, Ki Ageng Honggolono mempunyai seorang anak laki-laki bernama Joko Lancur. Seperti halnya ayahnya, Joko Lancur juga terkenal gagah pemberani. Sebagai anak orang terpandang pada umumnya, hampir semua hajat keinginannya selalu terpenuhi. Salah satu kegemarannya bersabung ayam (adu jago). Ke mana pun pergi, tak pernah terpisah seekor ayam jantan (jago) yang menjadi kesayangannya.

Suatu hari dalam lawatannya menyabung ayam, melewati suatu tempat bernama Mirah. Di situlah, jago kesayangannya terlepas dari himpitannya. Maka sangatlah gundah benak Si Joko Lancur oleh peristiwa itu. Ia berusaha menangkap jago kesayangannya. Berbagai upaya dilakukan, tetapi belum jua berhasil. Telah lama kesana-kemari dicari jago itu, akhirnya masuk ke belakang rumah (dapur) Ki Ageng Mirah (Ki Honggojoyo), adik sepupu Ki Honggolono. Si Mirah Putri Ayu (Putri Ki Ageng Honggojoyo) yang sedang membatik, sangatlah terkejut melihat ada seekor ayam jantan memasuki rumahnya. Si Mirah Putri Ayu berhasil menangkap jago yang masuk ke rumahnya, dan betapa senang hatinya, karena jago yang telah ditangkapnya, ternyata sangatlah jinak.

Tak lama kemudian, datanglah pemuda tampan mencari seekor jago. Pemuda itu tiada lain Joko Lancur. Betapa kagetnya hati Joko, melihat jago yang lama dicarinya berada dalam bopongan seorang perawan cantik jelita, bak Bidadari turun dari Kahyangan. Orang-orang Mirah dan sekitarnya, menganggap Mirah Putri Ayu sebagai Bunga Desa, dan memanggil dengan julukan Putri Mirah Kencono Wungu. Si Joko Lancur tidak segera meminta jago kesayangannya, tapi menjadi gugup, karena melihat kecantikan Mirah Putri Ayu. Sebaliknya, Si Mirah Putri Ayu juga demikian sama, sangat terpesona ketampanan Joko Lancur. Keduanya saling curi pandang lantas perkenalan, berlanjut sampailah jatuh cinta pada pandangan pertama. Sama layaknya anak muda yang baru dapati kenalan, mereka saling bercanda tertawa bahagia. Di sela-sela candanya, Si Joko Lancur bertanya: “Mengapa pamannya, Ki Honggojoyo tidak pernah memperkenalkan putrinya yang cantik ini?” Ternyata, Si Mirah Putri Ayu gadis pingitan, dilarang bergaul dengan pria, dan tidak diperkenankan keluar rumah.

Karena asyiknya bercanda, keduanya sampai lupa waktu berganti. Betapa kaget mereka berdua, setelah mendengar Ki Ageng Mirah berada di luar rumah. Mirah Putri Ayu segera menyerahkan jago yang dibopongnya kepada Joko Lancur, dan dengan perasaan halus, meminta Joko Lancur segera pulang, sebab takut-kawatir, kalau nanti dimarahi ayahnya. Joko Lancur segera memenuhi permintaan Si Mirah Putri Ayu, dan segera beranjak pergi. Ketika keluar dari rumah Joko Lancur kepergok Ki Ageng Mirah. Joko menjelaskan apa yang terjadi sebenarnya. Ki Ageng Mirah tak menerima apa yang disampaikan Joko. Joko Lancur dimarahi, dicaci maki tak karuan, dikatakan pemuda tak punya tata krama, tak memiliki sopan santun, masuk rumah orang lain tanpa permisi dan sebagainya.

Merasa bersalah, Joko Lancur meminta maaf kepada Ki Ageng Mirah dan menyesali perbuatnnya. Ki Ageng Mirah dengan suaranya yang seram, Joko Lancur dibentak agar segera meninggalkan dari hadapannya. Pulanglah Si Joko, dengan perasaan malu sekaligus cemas, tetapi di benaknya senantiasa teringat, paras kecantikan Si Mirah Putri Ayu.

Waktu terus berlalu, Joko Lancur tidak seperti biasanya kemana saja tak pernah pisah dengan jago kesayangannya, tetapi kini selalu mengurung diri di rumah. Sering melamun, karena dalam hatinya hanya ada Si Mirah Putri Ayu, wanita pujaannya. Keadaan seperti itu, akhirnya diketahui Ayahnya, Ki Ageng Honggolono. Ki Ageng bertanya kepada anaknya, tentang apa yang terjadi padanya. Semula Joko Lancur tak mau mengatakan yang sedang melanda dirinya. Tapi setiap hari Ki Ageng melihat putra kesayangannya bersikap lain dari biasanya; kerap melamun, termenung, menyendiri, sering tak makan, waktu malam-malam pun sering tak tidur, dan yang merisaukan, tidak mau mendekati si jago kesayangannya.

Maka terus didesaklah, apa yang sebenarnya terjadi pada Joko Lancur. Dengan desakan dari sang Ayah, akhirnya membuka mulut, Joko Lancur menyampaikan kepada sang ayah, bahwa dirinya sedang jatuh hati kepada seorang wanita jelita, yakni Si Mirah Putri Ayu, Putri dari Ki Ageng Mirah. Mendengar apa yang dialami putranya, Ki Ageng Honggolono terkaget. Karena Joko Lancur satu-satunya putra kinasih-nya, olehnya tidak merasa keberatan apa yang jadi keinginan puteranya itu. Segeralah Ki Ageng memerintahkan salah seorang muridnya untuk melamar Mirah Putri Ayu.

Berangkatlah utusan Ki Ageng Honggolono menuju Mirah, melamar Si Mirah Putri Ayu. Kedatangan utusan Ki Ageng Honggolono disambut muka ceria oleh Ki Ageng Mirah, meski di benaknya tidak sudi mempunyai calon menantu seorang penjudi sabung ayam. Ki Ageng Mirah berupaya tidak menerima lamaran Putra Ki Ageng Honggolono, tapi dengan cara halus, agar tidak menusuk perasaan keluarga si pelamar, dan tidak menimbulkan pertikaian kemudian hari. Maka lamaran Joko Lancur diterima, tetapi ada syarat atau serahan yang harus dipenuhi oleh keluarga Ki Ageng Honggolono. Adapun syarat-syaratnya antara lain:

1. Supaya dibuatkan bendungan sungai untuk mengairi sawah-sawah di Mirah.
2. Serahan berupa padi satu lumbung yang tidak boleh diantar oleh siapa pun, dalam arti lumbung itu berjalan sendiri.

Itulah siasat Ki Ageng Mirah didalam upaya menggagalkan lamaran Joko Lancur, dengan syarat diluar batas kemampuan manusia biasa. Dan lantas segera pulanglah utusan Ki Ageng Honggolono. Sekembalinya dari Mirah, segera mengabarkan yang disyaratkan Ki Ageng Mirah untuk diterima lamarannya kepada Ki Ageng Honggolono. Honggolono sebenarnya telah mengerti apa yang dimaksud Ki Ageng Mirah, atas rupa-rupa persyaratan seperti itu. Dengan muka garang sambil terkekeh-kekeh, setelah mendengar laporan dari utusannya, Ki Ageng Honggolono tetap menyanggupi apa yang dipersyaratkan Ki Ageng Mirah.

Dengan niat kesanggupan Ki Ageng Honggolono memenuhi persyaratan tersebut, merasa khawatir dan takut perasaan Ki Ageng Mirah, jangan-jangan nantinya Ki Ageng Honggolono bisa memenuhi persyaratannya. Untuk mengantisipasi hal itu, Ki ageng Mirah berusaha keras menggagalkan pembuatan bendungan, serta menggagalkan pengumpulan padi yang dilakukan Ki Ageng Honggolono untuk mengisi lumbung.

Sementara Ki Ageng Honggolono berusaha sungguh dengan bantuan para muridnya didalam membangun bendungan dan mengumpulkan pepadian yang sangat banyak untuk mengisi lumbung serahan. Berkat kerja kerasnya, apa yang diniatkan Honggolono dalam waktu singkat mendekati keberhasilan. Pembuatan bendungan berjalan terus, pengumpulan padi pun lancar.

Melihat apa yang dilakoni Ki Ageng Honggolono, bagaimana Ki Ageng Mirah? Ki Ageng Mirah menemukan strategi untuk menggagalkan apa yang dikerjakan Ki Ageng Honggolono. Ki Ageng Mirah meminta bantuan kepada sahabat karibnya berwujud Genderuwo, agar mengganggu pembuatan bendungan, dan mencuri padi yang telah dikumpulkan di lumbung, sehingga apa yang dikerjakan Honggolono mengalami kegagalan.

Apa yang diperbuat Genderuwo utusan Ki Ageng Mirah, kiranya diketahui Ki Ageng Honggolono. Maka dari itu, Ki Ageng Honggolono tak mau lagi mengisi lumbungnya dengan padi, lalu menyuruh para muridnya mencari damen (jerami) dan titen (kulit kedelai) untuk mengisi lumbungnya. Dengan kesaktian dimiliki, jerami dan kulit kedelai disabda menjelma padi.

Mengetahui isi lumbung yang sebenarnya, Genderuwo utusan Ki Ageng Mirah tak lagi mencuri padi yang ada dalam lumbung. Lalu apa yang dilakukan dalam menggagalkan usaha Honggolono. Genderuwo utusan Ki Ageng Mirah mengalihkan perhatiannya, lalu mengganggu pembuatan bendungan yang akan digunakan mengairi pesawahan di Mirah. Dengan gangguan Genderuwo, maka sering jebol bendungan yang telah dibuat oleh para murid Honggolono.

Rupanya, penyebab kegagalan dalam pembuatan bendungan pun diketahui Honggolono. Maka Ki Ageng Honggolono pun meminta bantuan kepada sahabatnya berupa buaya untuk membuat bendungan. Datanglah buaya-buaya, jumlahnya mencapai ratusan ekor. Kawanan buaya tersebut berjajaran membentuk bendungan, sehingga dapat mengalirkan air ke sawah-sawah di Mirah.

Genderuwo utusan Ki Ageng Mirah yang hendak gagalkan pembuatan bendungan, tertangkap kawanan buaya. Terjadilah peperangan hebat antara Genderuwo dan buaya-buaya. Dalam pertempuran, Genderuwo dapat ditakhlukkan, dan berjanji tidak akan mengganggu pembuatan bendungan lagi. Sejak itulah pembuatan bendungan jadi lancar dan segera selesai.

Semua yang dipersyaratkan Ki Ageng Mirah sebagai serahan sudah purna dipersiapkan, Ki Ageng Honggolono menyabda lumbung berisi padi berangkat sendiri. Maka, berangkatlah iring-iringan calon mempelai laki-laki, Joko Lancur diikuti murid-murid Ayahnya serta menuju Mirah.

Awal kedatangan calon mempelai laki-laki beserta para pengikutnya disambut baik oleh Ki Ageng Mirah. Namun Ki Ageng Mirah juga bukan orang sembarangan, yang memiliki kesaktian tinggi. Apa yang terjadi, Ki Ageng Mirah melihat sendiri, adanya lumbung berisi penuh padi bisa berjalan sendiri, yang sebenarnya isinya bukan padi, tapi berupa damen dan titen (jerami dan kulit kedelai).

Melihat hal tersebut, di hadapan para muridnya dan tetamu, Ki Ageng Mirah bersabda: Hai konco-konco kabeh, titenono ngisor, wiga-tek’no ndhuwur (lihatlah bawah dan tengoklah atas). Atas sabda itu, yang semula isi lumbung berupa padi, dengan seketika berubah menjelma jerami dan kulit kedelai.

Dengan terjadinya peristiwa ini, Ki Ageng Honggolono marah benar, karena rencana perkawinan putranya Joko Lancur dengan Mirah Putri Ayu, gagal. Maka terjadilah perang mulut antara Ki Ageng Mirah beserta pengikutnya, dengan Ki Ageng Hongglono beserta pengikutnya pula. Dan bukan hanya percekcokan saja, tetapi sampai adu fisik serta unjuk kesaktian.
***

Saat terjadinya peperangan itu, Joko Lancur mencari sang kekasihnya, Mirah Putri Ayu yang cantik jelita, karena tak sanggup menahan asmara. Di balik itu, mereka sudah tahu semua peristiwa yang tengah terjadi. Lantaran kegagalan cinta, mereka berdua mengambil keputusan lampus diri (bunuh diri).

Bersamaan terjadinya peperangan, bendungan yang dibuat oleh ratusan buaya ambrol, maka terjadilah air bah atau banjir bandang amat dahsyat. Ribuan manusia hanyut terbawa arus air yang menderas, dan di mana-mana bergelimpangan mayat, baunya menyengat hidung.

Usai peperangan, Ki Ageng Honggolono berhari-hari mencari putra kesayangannya, Joko Lancur. Lama dalam pencariannya dengan perasaan duka mendalam, karena putra kesayangannya didapati telah tewas bersama kekasihnya beserta ayam jagonya. Jasadnya dimakamkan bersama jago kesayangannya, dan makam itu diberi nama Kuburan Setono Wungu.

Memperhatikan semua peristiwa yang telah usai, di hadapan para pengikutnya yang masih hidup, dan para muridnya, Ki Ageng Honggolon bersabda:

1. Wong Golan lan wong Mirah turun-temurun, ora oleh jejodhohan (Orang Golan dan orang Mirah beserta keturunannya, tidak boleh diperjodohkan).
2. Isen-isene ndonyo soko Golan kang wujude kayu, watu, banyu lan sapanunggalane, ora biso digowo menyang Mirah (Segala sesuatu barang dari Golan yang wujudnya kayu, batu, air dan sebagainya, tidak bisa dibawa ke Mirah).
3. Barang-barange wong Golan lan Mirah, ora biso diwor dadi sidji. (Semua barang dari Golan dan Mirah, tidak bisa disatukan).
4. Wong Golan, ora oleh gawe iyup-iyup soko kawul. (Orang Golan, tidak boleh membuat atap dari jerami).
5. Wong Mirah ora oleh nandur, nyimpen, lan gawe panganan soko dele. (Orang Mirah dilarang menanam, menyimpan, dan membuat makanan dari kedelai).


Usai menyampaikan sabdanya, Ki Ageng Honggolono menandaskan: Sing sopo wonge nglanggar aturan iki, bakal ciloko (Siapa saja yang melanggar aturan ini, akan mendapati celaka). Dengan perasaan sebal dan cemas, Honggolono beserta para murid juga pengikutnya kembali ke Golan.
***

Semenjak kehilangan putra kesayangannya, Ki Ageng Honggolono sering merenung, di dalam hatinya selalu terbayang Joko Lancur. Di samping merenungi hidupnya yang tak pernah merasakan kebahagiaan lahir-batin, meski dari segi materi kaya raya, harta melimpah, dan mempunyai kesaktian tinggi. Ia merasa dalam menjalani hidup selama ini hanya menuruti nafsu duniawi serta tak dapat menahan emosi. Peperangan, perkelahian dan mencari lawan, jadi kebiasaan sehari-hari.

Dengan merenungi hidupnya seperti ini, akhirnya insyaf bertaubat membenahi jadi diri didalam menghabiskan sisa hayatnya, maka berangkatlah  berguru kepada seorang Kyai. Hari demi hari mengabdikan diri, Ki Ageng Honggolono masuk Islam, beribadat dan mempelajari syariat agama.

Dipandang sudah cukup berguru mempelajari titah agama, segera pulanglah demi menyebarkan ajaran Islam kepada masyarakatnya. Sebelum berpamitan, Ki Ageng Honggolono sempat menanyakan kepada Kyainya: Apakah ilmu-ilmu kesaktian yang diperoleh sebelum memeluk Agama Islam, masih perlu dipertahankan?

Dari pertanyaan yang diajukan, mendapati kesimpulan jawaban, bahwa ilmu kesaktian yang diperoleh sebelum masuk Islam, tidak perlu dipertahankan. Sekembalinya Ki Ageng Honggolono, penyebaran ajaran Islam berkembang pesat di kampung halamannya. Dengan begitu, tercapai cita-citanya bisa hidup tentram, aman, dan damai, melalui jalan yang benar menuju kebenaran.

Setelah wafat, jasad Ki Ageng Honggolono dimakamkan di Desa Golan, Sukorejo, Ponorogo (Surono, Riwayat Babat Desa Golan, 1997). Demikian juga Ki Ageng Mirah, seusai peperangan serta banyaknya para pengikutnya yang hanyut terbawa air bah saat terjadi peristiwa ambrolnya bendungan, beliau pun masuk Islam. Ki Ageng Mirah juga berguru kepada seorang Kyai. Karena keberhasilannya didalam mempelajari ajaran Islam, beliau pun menjadi seorang Kyai, dengan gelar Kyai Muslim, dan bahkan mendirikan pondok pesantren.
***

Bagaimana keaslian ceritanya? Dari fenomena kisah ini masih ada bekas-bekas yang memungkinkan, bahwa lakon tersebut mendekati peristiwa sebenarnya. Hal itu ditunjukkan adanya makam Ki Ageng Honggolono di Desa Golan, yang sampai kini oleh masyarakat setempat dianggap keramat. Dan di Desa Nambangrejo, Kecamatan Sukorejo, juga terdapat sebuah padukuhan bernama Dukuh Mirah, yang konon kabarnya juga keramat. Namun versi kebenarannya kurang didukung bukti kuat, tersebab banyak yang diceritakan dari mulut ke mulut. Seandainya ada yang tertulis, hanyalah amat sederhana.

Meski demikian, kepercayaan masyarakat dari kedua tempat tersebut terhadap cerita ini masih cukup tinggi. Sabda-sabda Ki Ageng Honggolono sangat dipercayai, meski tidak secara keseluruhan. Bahkan para birokrat tingkat kecamatan setempat yakin adanya kisah tersebut, dan banyak para peziarah datang ke tempat terjadinya lakon Golan Mirah.

*) Sumani, S. Pd., guru SD Negeri Lengkong. Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Dinamika PGRI Ponorogo, editor postingan oleh NJ. Dan sumber gambar dari penelusuran di google, terkait Golan-Mirah serta jathil cantik Ponorogo.
http://sastra-indonesia.com/2020/07/fenomena-cerita-cinta-terlarang-golan-dan-mirah/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.S. Dharta Abdul Hadi WM Abdul Wachid B.S. Abdullah Abubakar Batarfie Abdurrahman Wahid Achmad Faesol Achmad S Achmad Soeparno Yanto Adin Adrian Balu Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Sasongko Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Prasmono Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Mustofa Bisri Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat al-Kindi Alex R. Nainggolan Ali Ahsan Al Haris Ali Audah Ali Syariati Amien Kamil Amien Wangsitalaja Andhika Dinata Andi Neneng Nur Fauziah Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Andy Riza Hidayat Anindita S. Thayf Anton Kurniawan Anton Sudibyo Aprinus Salam Arafat Nur Arif Hidayat Arman A.Z. Arthur Rimbaud Asap Studio Asarpin Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Badaruddin Amir Bagja Hidayat Balada Bambang Riyanto Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Butet Kartaredjasa Cak Bono Catatan Cecil Mariani Cerbung Cerpen Chairil Anwar Charles Bukowski Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dahta Gautama Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Danarto Dara Nuzzul Ramadhan Dareen Tatour Darju Prasetya Darojat Gustian Syafaat Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Sartika Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dianing Widya Yudhistira Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Pitono Djoko Saryono Djoko Subinarto Doan Widhiandono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Klik Santosa Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erik Purnama Putra Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esti Nuryani Kasam Evan Ys Evi Idawati F Aziz Manna F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Firman Wally Fiyan Arjun Forum Penulis dan Pegiat Literasi Lamongan (FP2L) Franz Kafka Galih M. Rosyadi Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Garna Raditya Gendut Riyanto Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gurindam Gusti Eka H.B. Jassin Halim HD Hamdy Salad Hamka Hari Sulastri Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasbi Zainuddin Hasif Amini Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Hermawan Mappiwali Herry Lamongan Hikmat Gumelar HM. Nasruddin Anshoriy Ch Hudan Hidayat Humam S Chudori Ibnu Wahyudi Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Iksaka Banu Ilham Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Arlado Imron Tohari Indra Tjahyadi Indrawati Jauharotun Nafisah Indrian Koto Inung As Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Ismi Wahid Iva Titin Shovia Iwan Fals Iwan Kurniawan Jakob Oetama Janual Aidi JJ. Kusni Johan Fabricius John H. McGlynn Jordaidan Rizsyah Jual Buku Sastra K.H. A. Azis Masyhuri Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kahlil Gibran Kamajaya Al. Katuuk Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khatijah Khoirul Inayah Ki Dhalang Sulang Ki Ompong Sudarsono Kikin Kuswandi Kodirun Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Sastra Mangkubumen (KSM) Komunitas Teater Se-Lamongan Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kucing Oren Kurniawan Junaedhie Kurniawan Muhammad Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Larung Sastra Latief S. Nugraha lensasastra.id Leo Tolstoy Leon Agusta Linda Christanty Lutfi Mardiansyah M. Aan Mansyur M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Harir Muzakki M. Lutfi M. Shoim Anwar M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marniati Martin Aleida Mashuri Masuki M. Astro Matroni Muserang Mawar Kusuma Max Arifin Melani Budianta Mihar Harahap Mikael Johani Miziansyah J. Moch. Fathoni Arief Moh. Ghufron Cholid Mohammad Afifi Mohammad Rafi Azzamy Muhammad Hanif Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun AS Muhidin M. Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Murnierida Pram Myra Sidharta Nadia Cahyani Naim Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nessa Kartika Ni Made Purnama Sari Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Noor H. Dee Nurel Javissyarqi Nurul Fahmy Nurul Ilmi Elbana Nyoman Tusthi Eddy Ong Hok Ham Orasi Budaya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Pablo Neruda Pay Jarot Sujarwo PDS H.B. Jassin Pendidikan Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Bergerak Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin Qismatun Nihayah R Sutandya Yudha Khaidar R Toto Sugiharto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Rambuana Ramdhan Triyadi Bempah Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ricarda Huch Riezky Andhika Pradana Riki Dhamparan Putra Rizki Aprima Putra Rokhim Sarkadek Rony Agustinus Royyan Julian Rukardi Rumah Budaya Pantura Rumah Budaya Pantura (RBP) Ruth Indiah Rahayu S Yoga S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safitri Ningrum Sahaya Santayana Sahli Hamid Saini KM Sajak Salvator Yen Joenaidy Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setyaningsih Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosial Media Sastra Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sudarmoko Sudirman Sugeng Sulaksono Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunaryata Soemarjo Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susie Evidia Y Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka T Agus Khaidir T.A. Sakti Tangguh Pitoyo Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teater Pendopo nDalem Mangkubumen (Dokumen) Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tiya Hapitiawati Tiyasa Jati Pramono Toeti Heraty TS Pinang Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Usman Arrumy UU Hamidy Veronika Ninik Vika Wisnu W.S. Rendra Wahyu Triono Ks Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wilda Fizriyani Willy Ana Y Alpriyanti Y.B. Mangunwijaya Yanto le Honzo Yasin Susilo Yasir Amri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yulhasni Zehan Zareez Zuhdi Swt Zul Afrita