Sabtu, 18 Juli 2020

Asbabul Wurud

Kedung Darma Romansha *
Jawa Pos, 23 Okt 2016

TUBUH Karim mendadak diserang panas. Keringat membasahi seluruh tubuh dan tempat tidurnya. Napasnya berat, matanya memancarkan ketakutan yang dahsyat seolah-olah ia akan masuk neraka. Memang benar, ia akan masuk neraka. Kenapa bisa ia akan masuk neraka? Padahal seluruh hidupnya dihabiskan untuk beribadah. Sejak keluar sekolah dasar ia sudah nyantri di Tebuireng, Jombang, kemudian menginjak SMA ia lanjut mesantren ke Krapyak, Jogja. Semasa kuliah pun ia habiskan hidupnya di pesantren dengan mengabdi menjadi guru mengaji. Lengkap. Seluruh napasnya seakan-akan untuk Yang Memberinya Hidup. Tapi kenapa ia akan masuk neraka? Sementara Warjem, seorang PSK di kampungnya bisa masuk surga.

Sudah empat kali ini ia bermimpi masuk neraka. Mimpi itu seperti nyata. Ia masih ingat betul dengan sosok tubuh tinggi besar dengan wajah yang tak pernah terbayangkan sebelumnya memanggilnya di depan pintu neraka. Dan, ketika pintu itu terbuka, lantas ia terbangun oleh hawa api neraka yang menyambar seluruh tubuhnya, di dalam mimpinya. Ia merasakan seolah-olah tubuhnya mencair, lumer seperti margarin. Tulang-tulangnya linu seperti ingin terlepas, dan tubuhnya gemetar. Ia terengah-engah lalu meludah ke arah kiri sebanyak tiga kali sambil mengucap istighfar.

Ini kali pertama ia dicengkeram ketakutan yang amat. Ia belum pernah merasakan rasa takut selaknat ini. Mula-mula ia menduga kalau mimpi ini datangnya dari setan, sebab ia meyakini bahwa setiap mimpi buruk itu datangnya dari setan. Tapi ketika ia bermimpi berturut-turut sampai empat kali, ia mulai berpikir bahwa ini semacam ta’bir mimpi. Ia ingat cerita Nabi Yusuf dalam surat Yusuf: 6, bagaimana Tuhan menegurnya lewat mimpi. Artinya mimpi bisa jadi nyata. Ia pun mulai ketakutan, kenapa ia bisa mimpi seburuk itu. Kenapa ia masuk neraka, sementara seorang PSK bisa masuk surga.

Ia ingat cerita seorang PSK yang masuk surga hanya gara-gara memberi minum anjing yang kehausan, dan PSK tersebut merelakan dirinya menahan haus yang amat. Tapi apakah Tuhan memberi pelajaran dengan cerita yang sama? Maka ia mencari apa sebab perempuan itu bisa masuk surga di dalam mimpinya.

Ia bisa melihat wajah perempuan itu dengan jelas meskipun ia belum pernah bertemu dengannya sama sekali. Mulanya ia tidak meyakini wajah perempuan itu seperti dalam mimpinya, tapi rasa ingin tahunya besar. Maka ia cari nama Warjem di seluruh sosial media, tapi tak ada. Ia ingin menanyakannya pada Mang Kaslan, tapi ia malu. Maka malam itu ia iseng membuka dinding FB Mang Kaslan. Dengan teliti ia baca satu per satu. Betapa terkejutnya ketika ia melihat wajah perempuan yang sama di dalam mimpinya. Tapi anehnya namanya Si Cantik Nadira. Kemudian karena semakin penasaran ia membuka percakapan Mang Kaslan dengan perempuan tersebut. Dan betapa terperangah ia ketika membaca celotehan Mang Kaslan: wahhh Warjem udah ganti nama jadi Si Cantik Nadira niyeee… jangan lupa sawerannya buat masjid.

Sejak saat itu ia mulai berpikir bahwa mimpinya akan benar-benar terjadi. Setiap malam ia susah tidur. Ia takut mimpi itu akan kembali datang dalam tidurnya. Ia takut meninggal ketika tidur, dan mimpinya berubah menjadi nyata. Ia ingin bercerita, tapi siapa yang sanggup menjawab rahasia mimpinya. Sebab di kampungnya hanya dialah yang paling masyhur ilmu agamanya. Malah bisa jadi ia ditertawakan oleh ustad-ustad yang lain. Maka ia simpan sendiri gundah itu. Sempat terpikir ia akan menelepon kiainya di Krapyak. Tapi ia mengurungkannya, sebab secara adab itu kuranglah baik. Maka ia putuskan sowan ke Krapyak esok paginya. Ia akan naik kereta Fajar Utama dari Staskiun Jatibarang.

Mang Kaslan

Sejak hadirnya Ustad Karim di Masjid Baiturrahim, acara keagamaan di kampung kami benar-benar hidup. Dulu, Masjid Baiturrahman sepi. Hanya pada acara-acara peringatan hari besar keagamaan saja masjid itu nampak hidup. Selebihnya mati. Memang benar ada ustad-ustad lain di kampung kami, tapi semua disibukkan dengan agenda masing-masing. Seperti rencana membangun madrasah sendiri dengan mengirimkan proposal pengajuan dana ke pemda setempat. Bahkan ada yang ingin mendirikan pesantren. Padahal jujur saja, kalau dibanding dengan Ustad Karim keilmuan agama mereka sangat jauh. Saya tidak bermaksud menghina, tapi mestinya tahu diri dengan kemampuan yang dimiliki. Paling tidak memberdayakan apa yang ada, tidak bermimpi muluk-muluk.

Saya benar-benar tidka menduga Ustad Karim bersedia menjadi kemit masjid alias marbot. Ia yang mengurusi semua persoalan Masjid Baiturrahim. Mulai mencuci karpet, mengepel, mengelap kaca, sampai membersihkan kamar mandi. Ia juga yang menggagas madrasah di Masjid Baiturrahim. Sehingga setiap hari masjid ini tampak hidup. Semarak dan bergairah.

Saya tahu Ustad Karim seorang sarjana muda. Tapi saya tak habis pikir kenapa ia memilih jadi takmir masjid. Padahal untuk menjadi takmir masjid tak perlu sarjana. Tapi itulah pilihannya, tak terduga. Saya tahu, ia menjadi guru honorer di salah satu negeri di kampung kami. Jika lepas subuh, ia akan mengepel lantai masjid, membersihkan kamar mandi, dan menyirami tanaman di halaman masjid. Baru setelah itu ia mandi dan berangkat mengajar. Pulang mengajar pukul setengah satu, kemudian dilanjutkan mengajar madrasah pukul dua siang sampai pukul setengah lima sore. Lepas mengajar ia menggelar karpet untuk persiapan salat magrib berjamaah sampai selesai isak. Barulah setelahnya ia bisa bersantai dan mengobrol bersama kami, seorang tua yang menghabiskan sisa usia dengan salat berjamaah di masjid.

Tapi ada suatu hal yang membuat kami seperti terkena bogem tinju, yaitu ketika kami menghitung uang sumbangan masjid yang biasa dikerjakan usai Jumatan. Tidak biasanya Ustad Karim menanyakan nama-nama pemberi sedekah yang rutin setiap bulan. Beberapa nama yang ditanyakan kami jawab sesuai apa yang kami tahu. Hingga kemudian pada nama Warjem, seorang PSK yang bekerja di luar kota. Mendadak Ustad Karim terdiam. Seolah ia terheran-heran mendengar penjelasan kami.

”Sudah berapa lama Warjem menyumbang?“

”Sebelas tahun,“ jawab saya dengan ringan.

”Ustad Muslih, Ustad Mukhlis, Ustad Jakfar, tidak ada yang tahu kalau Warjem adalah seorang PSK?“

Kami menggeleng. Maksudnya kami tidak tahu apakah mereka tahu kalau Warjem seorang PSK.

”Mereka tidak pernah menanyakan hal itu,“ kata saya kemudian.
Ustad Karim terdiam. Kami pun diam.

”Kumpulkan semua uang yang disumbangkan Warjem dan kirimkan balik ke pemiliknya!“ ujarnya dengan tegas.
Kami diam.

”Haram! Masjid ini tidak akan berkarh! Kumpulkan uang itu, minggu depan saya sendiri yang akan mengirimkannya,“ lanjutnya kemudian. Lantas ia masuk ke dalam masjid meninggalkan kami di serambi. Kami masih terdiam. Sampai kami memutuskan pulang ke rmah masing-masing.

Sejak saat itulah saya melihat Ustad Karim suka termenung sendiri. Tidak seperti dulu, suka berbincang-bincang dengan kami. Ia terlihat murung. Seperti menyimpan sesuatu yang entah apa. Saya menduga karena sumbangan uang dari Warjem yang tak sepatutnya kami terima. Sumbangan itu secara turun-temurun belum pernah ada yang menolaknya. Maka kami pun meneruskan apa yang menjadi pendahulu kami. Tapi, kini, sedekah Warjem harus dihentikan. Seketika. Dan dalam seminggu ini semua uang Warjem selama sebelas tahun harus terkumpul. Sebelas tahun, ya, sebelas tahun.

Barangkali beberapa uang itu sudah menjadi pagar masjid dan kamar mandi yang tiga tahun lalu direhab. Atau barangkali bangku-bangku mengaji madrasah itu di antaranya adalah uang Warjem. Atau karpet masjid yang baru dibeli tiga bulan lalu. Kini Warjem menjadi persoalan kami. Persoalan Ustad Karim, yang membuatnya beberapa hari ini murung dan suka menyendiri.

Kami tidak tahu apakah ini salah takmir masjid atau siapa. Tapi, seakan-akan kami adalah penyebab kemurungan Ustad Karim. Ustad Karim yang dikenal periang dan energik, sekarang jadi pemurung dan loyo. Kami tidak tahu harus berbuat apa supaya Ustad Karim bisa kembali seperti semula. Yang jelas, sekarang kami tengah mengupayakan untuk mengupulkan uang Warjem dalam minggu ini. Uang haram itu.

Ustad Karim

Saya duduk lesehan setelah seorang pembantu mempersilahkan masuk. Cat dinding rumah Kiai Rifqi sudah tidak seperti dulu berwarna kuning, kini berwarna putih melati. Lebih terlihat luas dan seakan-akan saya seperti tidak di rumahnya saja. Barangkali karena memang saya sudah lama tidak sowan ke Krapyak, terutama ke Kiai Rifqi. Kadang saya merasa dia seperti ayah saya sendiri. Pernah dulu saya tidak punya uang sama sekali. Untuk naik angkutan ke kampus saja tidak ada. Waktu itu saya duduk-duduk sendiri di depan kamar asrama. Tiba-tiba Kiai Rifqi berhenti dan memanggil saya.

”Melu aku…,“ katanya dengan suaranya yang khas.

Saya beranjak dari duduk, mengambil peci dan menghampiri Kiai Rifqi. Kemudian kami pergi. Saya tidak tahu kami akan pergi ke mana. Saya tidak mau menanyakannya pada Kiai Rifqi. Saya segan. Tapi tak lama kemudian kendaraan kami berhenti.

”Di kamarmu ada bungkus rokok bekas?“

”Ada,“ jawab saya.

”Nah, sekarang kumpulin semua bungkus rokok yang ada di asramamu.’

“Nggih, Kiai.”

Dan, saya pun bergegas mengambil bungkus rokok yang ada di kamar-kamar asrama sambil berpikir sebenarnya buat apa bungkus rokok itu. Saya masuki kamar-kamar asrama satu per satu dan mengambil semua bungkus rokok. Beberapa kawan asrama membantu mengangkut bungkus-bungkus rokok itu, dan dapatlah dua kardus sedang. Kemudian kami kembali berkeliling ke kompleks pesantren untuk kembali mencari bungkus rokok, sampai-sampai motor kami tak cukup untuk menampung bungkus-bungkus rokok itu. Akhirnya kami menaruhnya terlebih dahulu ke rumah Kiai Rifqi, lalu kembali keliling asrama untuk mencari bungkus rokok lagi.

Tidak sampai dua jam akhirnya kami menyelesaikannya. Saya capek. Haus dan lapar. Kiai Rifqi malah terawa. Ia menyuruh saya duduk. Tak lama berselang seorang pembantu mengambilkan minuman dan makanan. ”Makan dulu, Rim,” ujar Kiai Rifqi dari dalam rumah.

Setelah saya selesai makan, Kiai Rifqi kembali keluar dengan membawa dua bungkus rokok kretek. ”Ngudud sik (Merokok dulu),” katanya sambil kemudian menyalakan rokok. Saya hanya tersenyum. Diam. Meskipun saya menahan rasa asam di mulut saya. ”Loh, kenapa malah diam? Ini satu bungkus buat kamu, Rim.“

Dengan canggung saya mengambil rokok itu dan menyulutnya sebatang.
”Setelah lulus jadi sarjana, kamu pulang ke kampung halamanmu. Pesantren yang sebenarnya itu ada di luar sana. Bukan di sini, Rim,“ ujarnya, seolah-olah ia seperti menasihati anaknya sendiri. ”Ini buatmu, hasil kerjamu tadi,“ lanjutnya sambil menyodorkan amplop putih. Tak lama kemudian azan dhuhur berkumandang, saya pamit. Saya tahu Kiai Rifqi akan bersiap-siap salat berjamaah di masjid.

Sesampai di kamar, ketika hendak membuka amplop putih itu, Bahri, teman saya, menepuk bahu saya. Kemudian ia menyodorkan uang duaratus ribu. ”Lunas ya, Rim.“ Saya mengambil uang itu dan amplop yang diberikan Kiai Rifqi tak jadi saya buka. Hingga sekarang amplop itu masih saya simpan. Dan belakangan saya ketahui kalau bungkus-bungkus rokok itu dijual oleh Kiai Rifqi dan uangnya digunakan untuk kegiatan salawatan di pesantren. Kebiasaan unik Kiai Rifqi itu dilakukannya sampai sekarang.

Saya masih menunggu Kiai Rifqi. Apakah beliau masih sama seperti dulu. Suaranya yang khas itu. senyumnya yang bersinar dan tangannya yang lembut. Kebiasaannya memanggil santri-santrinya lewat speaker hanya untuk mengumpulkan bungkus rokok yang hasil penjualannya digunakan untuk acara panggung selawatan.

”Saya kan sudah bilang, pesantren sebenarnya di masyarakat, Rim. Malah kamu bali lagi ke sini.“

”Saya mau matur, Kiai.“

”Matur opo?“

Saya ragu mau menceritakan mimpi saya. Saya takut. Saya tidak tahu perasaan apa ini. Jadi beberapa saat saya hanya mematung.

”Rim, kamu kan tahu apa itu asbabul wurud, to? Kalau belum tahu asbabul wurud, jangan bilang tahu. Itu rekayasa pikiranmu, su’udzon namanya. Bisa jadi fitnah. Ingat, sekarang kamu berada di pesantren yang sebenarnya. Sekarang kamu pulang!“

”Tapi, Kiai….“

Belum selesai bicara saya terbangun dari tidur. Saya tercenung sejenak. Mimpi seolah-olah nyata. Kiai Rifqi seolah tahu apa yang sedang saya hadapi. Asbabul wurud, fitnah, su’udzon. Tiga hal itu yang saya dari mimpi tadi. Barangkali ini memang tanda saya harus sowan kepadanya. Dan pagi ini saya memang berencana akan berangkat dari Stasiun Jatibarang. Makin mantap hati saya. Saya pikitr selepas salat subuh nanti saya mesti meneleponnya terlebih dahulu agar tidak terkesan mendadak. Barulah setelah Kiai Rifqi merestui, saya langsung berangkat.

Barangkali saya akan menginap tiga hari di Krapyak, sekaligus mengobati kerinduan saya dengan pesantren. Meskipun memang saya baru delapan bulan meninggalkan Krapyak tapi rindu itu seolah-olah memanggil-manggil dari peluit kereta masinis. Ah, iya, saya lupa menelepon Kiai Rifqi untuk mengabari bahwa saya akan sowan kepadanya. Tapi tak lama setelah saya berniat menelepon, HP saya berdering. Saya lihat Kiai Rifqi menelepon saya. Dengan rasa takjub dan keanehan yang merubungi kepala saya, saya angkat telepon itu.

”Assalamualaikum…”

Masih sama suaranya, khas. Saya masih bisa membayangkan senyumnya itu.

”Ustad Karim, bagaimana kabarnya?”

Ah, sekarang dia memanggil saya ustad. Saya merasa terharu. Pertama kalinya beliau memanggil saya ustad.

”Alhamdulillah, baik. Nyuwun sewu, Kiai, saya hari ini berencana sowan ke Panjenengan, saya akan berangkat naik kereta pagi ini.“

”Hehehe… tidak perlu, Karim. Buat apa menemui saya?“

Lama tidak ada suara dari dalam telepon itu. Kami diam. Akhirnya saya menceritakan apa yang saya alami. Meskipun awalnya saya ragu.

”Karim, coba kamu pikir, menurutmu iman seperti apa yang dimiliki perempuan itu? Padahal dia tahu uang yang dia sedekahkan itu tidak diterima oleh Allah. Tapi dia terus menerus mengulangi sedekah yang jelas-jelas tidak diterima oleh Allah. Pulanglah sekarang! Saya yakin kamu juga belum membuka amplop yang dulu saya kasih, kan? Pulanglah, Nak. Assalamualaikum…“

Saya terpaku sejenak. Iman seperti apa yang dimiliki perempuan itu? warjem. Saya beristighfar berkali-kali. Kemudian saya pulang. Langsung masuk kamar. Saya cari amplop yang dulu pernah diberikan Kiai Rifqi. Saya pandangi amplop itu. Pelan-pelan saya buka. Entah kenapa saya tiba-tiba menangis, tubuh saya bergetar, tak henti air mata saya mengalir. Tulisan di kertas itu adalah salawat yang setiap hari saya dengar. Tapi entah kenapa kali ini saya bergetar membacanya. Saya terus-menerus menangis di dalam kamar, seorang diri.

Jogja, 2016

Cerpen ini dedikasikan untuk almarhum Gus Kelik, Pondok Pesantren Krapyak, Jogjakarta.

<a href="http://sastra-indonesia.com/wp-content/uploads/2020/07/Kedung-Darma-Romansha.jpg"><img src="http://sastra-indonesia.com/wp-content/uploads/2020/07/Kedung-Darma-Romansha.jpg" alt="" width="429" height="336" class="alignnone size-full wp-image-35733" /></a>

*) Kedung Darma Romansha, lahir pada tanggal 25 Februari 1984 di Indramayu, Jawa Barat. Alumni jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY, 2009) serta pascasarjana Ilmu Sastra di Universitas Gajah Mada (UGM, 2017). Sebagai sastrawan, karya-karyanya dipublikasikan di pelbagai media massa, baik lokal maupun nasional serta antologi bersama. Ia juga aktif dalam seni peran, teater dan film. Pada Agustus 2018, bersama Saturday Acting Club diundang oleh Asia Theatre Directors Festival TOGA, Toyama, Jepang, membawakan “The Decision” karya Bertold Brecht. Novelnya “Kelir Slindet” merupakan buku pertama dari dwilogi Slindet/Telembuk (2014), dinobatkan karya terbaik Tabloid Nyata. Novel keduanya “Telembuk, Dangdut dan Kisah Cinta yang Keparat,” masuk short list Kusala Sastra Khatulistiwa 2017, serta menjadi buku yang direkomendasikan majalah Tempo kategori prosa, 2017. Novel itu juga salah satu yang terpilih dalam Market Focus, London Book Fair (Komite Buku Nasional, 2019). Dua buku puisinya, “Uterus” (2015), dan “masa lalu terjatuh ke dalam senyumanmu” (Rumah Buku, 2018). Yang segera terbit, buku kumcer perdananya “Rab(b)i”, dikonsep tidak seperti kumcer pada umumnya. Ia mengelola gerakan literasi di Indramayu, Jamiyah Telembukiyah, yang beberapa anggotanya terlibat dalam gerakan literasi jalanan, penyuluhan, dan pendataan terhadap Pekerja Seks Komersial di Indramayu. Anggota yang lain terlibat dalam gerakan sastra dan budaya di Indramayu. Program ini atas kerjasama dengan Universitas Wiralodra, telah mengundang beberapa sastrawan dalam negeri dan luar negeri, di antaranya Joko Pinurbo, Katrin Bandel, Afrizal Malna, Sosiawan Leak, dan Mubalmaddin Shaiddin dari Malaysia. Ia juga mengelola komunitas Rumah Kami/Rumah Buku di Yogyakarta.
https://klipingsastra.com/id/kumcer/2016/10/asbabul-wurud.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.S. Dharta Abdul Hadi WM Abdul Wachid B.S. Abdullah Abubakar Batarfie Abdurrahman Wahid Achmad Faesol Achmad S Achmad Soeparno Yanto Adin Adrian Balu Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Sasongko Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Prasmono Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Mustofa Bisri Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat al-Kindi Alex R. Nainggolan Ali Ahsan Al Haris Ali Audah Ali Syariati Amien Kamil Amien Wangsitalaja Andhika Dinata Andi Neneng Nur Fauziah Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Andy Riza Hidayat Anindita S. Thayf Anton Kurniawan Anton Sudibyo Aprinus Salam Arafat Nur Arif Hidayat Arman A.Z. Arthur Rimbaud Asap Studio Asarpin Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Badaruddin Amir Bagja Hidayat Balada Bambang Riyanto Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Butet Kartaredjasa Cak Bono Catatan Cecil Mariani Cerbung Cerpen Chairil Anwar Charles Bukowski Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dahta Gautama Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Danarto Dara Nuzzul Ramadhan Dareen Tatour Darju Prasetya Darojat Gustian Syafaat Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Sartika Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dianing Widya Yudhistira Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Pitono Djoko Saryono Djoko Subinarto Doan Widhiandono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Klik Santosa Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erik Purnama Putra Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esti Nuryani Kasam Evan Ys Evi Idawati F Aziz Manna F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Firman Wally Fiyan Arjun Forum Penulis dan Pegiat Literasi Lamongan (FP2L) Franz Kafka Galih M. Rosyadi Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Garna Raditya Gendut Riyanto Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gurindam Gusti Eka H.B. Jassin Halim HD Hamdy Salad Hamka Hari Sulastri Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasbi Zainuddin Hasif Amini Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Hermawan Mappiwali Herry Lamongan Hikmat Gumelar HM. Nasruddin Anshoriy Ch Hudan Hidayat Humam S Chudori Ibnu Wahyudi Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Iksaka Banu Ilham Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Arlado Imron Tohari Indra Tjahyadi Indrawati Jauharotun Nafisah Indrian Koto Inung As Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Ismi Wahid Iva Titin Shovia Iwan Fals Iwan Kurniawan Jakob Oetama Janual Aidi JJ. Kusni Johan Fabricius John H. McGlynn Jordaidan Rizsyah Jual Buku Sastra K.H. A. Azis Masyhuri Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kahlil Gibran Kamajaya Al. Katuuk Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khatijah Khoirul Inayah Ki Dhalang Sulang Ki Ompong Sudarsono Kikin Kuswandi Kodirun Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Sastra Mangkubumen (KSM) Komunitas Teater Se-Lamongan Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kucing Oren Kurniawan Junaedhie Kurniawan Muhammad Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Larung Sastra Latief S. Nugraha lensasastra.id Leo Tolstoy Leon Agusta Linda Christanty Lutfi Mardiansyah M. Aan Mansyur M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Harir Muzakki M. Lutfi M. Shoim Anwar M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marniati Martin Aleida Mashuri Masuki M. Astro Matroni Muserang Mawar Kusuma Max Arifin Melani Budianta Mihar Harahap Mikael Johani Miziansyah J. Moch. Fathoni Arief Moh. Ghufron Cholid Mohammad Afifi Mohammad Rafi Azzamy Muhammad Hanif Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun AS Muhidin M. Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Murnierida Pram Myra Sidharta Nadia Cahyani Naim Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nessa Kartika Ni Made Purnama Sari Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Noor H. Dee Nurel Javissyarqi Nurul Fahmy Nurul Ilmi Elbana Nyoman Tusthi Eddy Ong Hok Ham Orasi Budaya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Pablo Neruda Pay Jarot Sujarwo PDS H.B. Jassin Pendidikan Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Bergerak Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin Qismatun Nihayah R Sutandya Yudha Khaidar R Toto Sugiharto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Rambuana Ramdhan Triyadi Bempah Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ricarda Huch Riezky Andhika Pradana Riki Dhamparan Putra Rizki Aprima Putra Rokhim Sarkadek Rony Agustinus Royyan Julian Rukardi Rumah Budaya Pantura Rumah Budaya Pantura (RBP) Ruth Indiah Rahayu S Yoga S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safitri Ningrum Sahaya Santayana Sahli Hamid Saini KM Sajak Salvator Yen Joenaidy Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setyaningsih Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosial Media Sastra Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sudarmoko Sudirman Sugeng Sulaksono Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunaryata Soemarjo Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susie Evidia Y Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka T Agus Khaidir T.A. Sakti Tangguh Pitoyo Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teater Pendopo nDalem Mangkubumen (Dokumen) Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tiya Hapitiawati Tiyasa Jati Pramono Toeti Heraty TS Pinang Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Usman Arrumy UU Hamidy Veronika Ninik Vika Wisnu W.S. Rendra Wahyu Triono Ks Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wilda Fizriyani Willy Ana Y Alpriyanti Y.B. Mangunwijaya Yanto le Honzo Yasin Susilo Yasir Amri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yulhasni Zehan Zareez Zuhdi Swt Zul Afrita