Rabu, 11 Agustus 2021

Tionghoa dan Subversi Sastra Melayu-Rendah

Rukardi
suaramerdeka.com
 
SASTRA Melayu-Rendah yang juga disebut sastra Melayu-Tionghoa, Melayu-China, Melayu-Pasar, atau Melayu-Lingua Franca, pernah hidup di bumi Nusantara. Meski usianya tak terlampau lama, sejak medio abad ke-19 hingga tahun 1960-an, telah mencatatkan peran penting dalam sejarah literasi di Indonesia.
 
Memeringati 80 tahun Sumpah Pemuda, Fakultas Sastra Undip bersama Masyarakat Tjerita Silat menggelar bedah buku, sarasehan, dan diskusi yang mengangkat tema di seputar bahasa dan sastra Melayu-Rendah.
 
Acara yang berlangsung selama empat hari (25-28/10) itu, menghadirkan sejumlah pakar, akademisi, dan pemerhati sastra Melayu-Rendah, antara lain Jacob Sumardjo, Ajip Rosidi, Hendarto Supatra, Dwi Susanto, IM Hendrarti, Sutrisno Murtiyoso, Herudjati Purwoko, dan Stefanus. Mereka mengupas sastra Melayu-Rendah dari pelbagai sudut pandang.
 
Sebagai istilah, sastra Melayu-Rendah bermuatan politis. Ia dimunculkan oleh Balai Poestaka selaku pemegang otoritas kebahasaan Pemerintah Kolonial Belanda. Lembaga yang didirikan pada 27 September 1917 itu, menganggap semua produk kesusastraan yang tak menggunakan varian linguistik Melayu-Riau sebagai tidak standar, rendah, cabul, dan liar.
 
IM Hendrarti menengarai, pemberian stigma buruk terhadap sastra Melayu-Rendah terkait dengan politik pembatasan penyebaran informasi yang dapat membahayakan stabilitas pemerintah kolonial. Pasalnya, Melayu-Rendah dianggap sebagai ragam bahasa yang biasa dipakai untuk kepentingan-kepentingan subversif, terutama oleh para jurnalis di era pergerakan.
 
Sastra Melayu-Rendah paling banyak dikembangkan oleh masyarakat Tionghoa peranakan, terutama yang bermukim dan berdomisili di Jawa. Mereka yang tak lagi menguasai bahasa leluhur menggunakan bahasa Melayu-Rendah sebagai alat komunikasi, baik secara lisan maupun tertulis.
 
Didukung Pers
 
Karya sastra Melayu-Rendah (Tionghoa), kata Jakob Sumardjo, lebih banyak muncul dan berkembang di daerah pesisir, laiknya Jakarta (termasuk Bogor dan Sukabumi), Surabaya, Semarang, Gresik, Tuban, Tegal, Pasuruan, Pekalongan, dan Indramayu. Ada juga di kota-kota pedalaman seperti Bandung, Malang, dan Solo, namun intensitasnya relatif lebih kecil.
 
Jika dirunut, warga Tionghoa yang tinggal di kota-kota pesisir didominasi keturunan Hokkian dan kebanyakan berprofesi sebagai pedagang. Namun, apakah mereka eksponen sastra Melayu-Rendah? Jakob tak berani memastikan.
 
Ada bermacam produk kesusastraan Melayu-Rendah, antara lain novel, drama, buku syair, dan cerita terjemahan. Mengutip Claudine Salmon, Jakob mengungkapkan, sampai tahun 1960-an, terdapat 3.005 judul karya sastra Melayu-Rendah dengan jumlah penulis 806 orang. Sebanyak 248 karya lainnya anonim.
 
Dari jumlah tersebut, 1.654 terdiri atas novel yang berkisah tentang masyarakat Tionghoa serta relasi dengan masyarakat Indonesia dan Belanda.
Sebagian besar karya terjemahan berasal dari cerita klasik China, sisanya karya sastra Eropa.
 
Kata Jakob, hal itu menunjukkan kebutuhan utama pembaca karya sastra Melayu-Rendah (Tionghoa) adalah nilai-nilai budaya luhur mereka. Karya sastra Eropa ditulis, karena masyarakat Tionghoa di Indonesia – yang sudah tak menguasai bahasa China- membutuhkan karya sastra yang penting dalam pembentukan peradaban China.
 
Perkembangan sastra Melayu-Rendah didukung oleh maraknya industri penerbitan pers partikelir. Penggunaan Melayu-Rendah sebagai bahasa pergaulan sehari-hari membuat media massa, terutama koran dan majalah, menaruh minat terhadap bahasa itu.
 
Bagi penerbit partikelir, pemakaian bahasa Melayu-Rendah menjanjikan keuntungan finansial lebih besar. Terbukti, koran atau majalah berbahasa Melayu-Rendah dapat hidup dengan oplah lumayan untuk ukuran saat itu. Pembaca mereka tak terbatas pada warga keturunan Tionghoa saja, melainkan juga etnis lain.
 
Sastra Diaspora
 
Dwi Susanto melihat sastra Melayu-Rendah, khususnya Tionghoa (tusheng huaren wenxue) sebagai satu varian sastra diaspora. Ia punya karakter khas yang mencuat melalui sifat identitas, orientasi diri, jati diri, dan strategi dalam menyiasati hidup di perantauan.
 
Cerita silat misalnya, merupakan obat kerinduan dan salah satu cara untuk mewujudkan impian tersebut. Selain menceritakan komunitas orang-orang Tionghoa sendiri, sastra jenis ini berkisah tentang hubungan antarras, relasi etnisitas, dan relasi gender antara laki-laki Tionghoa dengan perempuan lokal, yang salah satu wujudnya adalah kawin campur dan sistem pernyaian.
 
Penilaian berbeda datang dari Ajip Rosidi. Menurutnya, karya sastra Melayu-Rendah (dia lebih suka menyebut sastra Melayu-Pasar) tak punya kualitas yang baik. Karya-karya di ranah tersebut lebih berfungsi sebagai hiburan belaka.
 
Dia mencoba membuktikan tesisnya dengan membedah Drama dari Boven Digoel karya Kwee Tek Hoay? yang bersama Boenga Roos dari Tjikembang dan Drama dari Merapi tulisan Liang Liji disebut-sebut sebagai puncak pencapaian sastra Melayu-Rendah.
 
Menurut Ajip, Drama dari Boven Digoel tak beda dengan roman-roman Melayu-Rendah lain, yakni jalan ceritanya dibuat-buat, meski kompleks, tidak meyakinkan secara psikologis maupun sosial. Meski berseting pemberontakan komunis 1926, roman tersebut tak menggambarkan kondisi sosial masyarakat secara baik.
 
“Nama-nama tokoh yang digunakan saja menimbulkan tanda tanya, karena tak pernah terdengar sebagai nama orang Indonesia, seperti Bukarin dan Radeko. Tokoh-tokoh Raden Mustari, Nurani, dan Subaidah niscaya beragama Islam, tapi tak tergambar sedikit pun mereka tahu agamanya.”
 
Namun, terlepas dari kelemahannya, sastra Melayu-Rendah, ungkap Herudjati Purwoko, telah memberi manfaat besar bagi kemajuan literasi di Indonesia. Meski akibat kebijakan politik kolonial lewat Balai Poestaka dan prasangka politik pada era berikutnya, jejak-jejak sastra Melayu-Rendah telah diabaikan oleh banyak pengamat.
 
Kalau kebijakan politik itu dianggap benar, bahasa Melayu-Tinggi atau bahasa Indonesia (dan sastra Indonesia modern) saat ini seolah terbentuk, atau meminjam istilah CW Watson, arose ex-nihilo (muncul dari ruang hampa).
 
Dari kacamata sosiolinguistik, argumen semacam itu tak masuk akal. Pasalnya, tidak ada satu pun bahasa alamiah di dunia ini yang bersifat a-historis, tidak terkecuali bahasa Indonesia modern.
***

http://sastra-indonesia.com/2010/03/tionghoa-dan-subversi-sastra-melayu-rendah/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.S. Dharta Abdul Hadi WM Abdul Wachid B.S. Abdullah Abubakar Batarfie Abdurrahman Wahid Achmad Faesol Achmad S Achmad Soeparno Yanto Adin Adrian Balu Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Sasongko Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Prasmono Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Mustofa Bisri Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat al-Kindi Alex R. Nainggolan Ali Ahsan Al Haris Ali Audah Ali Syariati Amien Kamil Amien Wangsitalaja Andhika Dinata Andi Neneng Nur Fauziah Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Andy Riza Hidayat Anindita S. Thayf Anton Kurniawan Anton Sudibyo Aprinus Salam Arafat Nur Arif Hidayat Arman A.Z. Arthur Rimbaud Asap Studio Asarpin Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Badaruddin Amir Bagja Hidayat Balada Bambang Riyanto Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Butet Kartaredjasa Cak Bono Catatan Cecil Mariani Cerbung Cerpen Chairil Anwar Charles Bukowski Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dahta Gautama Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Danarto Dara Nuzzul Ramadhan Dareen Tatour Darju Prasetya Darojat Gustian Syafaat Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Sartika Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dianing Widya Yudhistira Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Pitono Djoko Saryono Djoko Subinarto Doan Widhiandono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Klik Santosa Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erik Purnama Putra Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esti Nuryani Kasam Evan Ys Evi Idawati F Aziz Manna F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Firman Wally Fiyan Arjun Forum Penulis dan Pegiat Literasi Lamongan (FP2L) Franz Kafka Galih M. Rosyadi Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Garna Raditya Gendut Riyanto Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gurindam Gusti Eka H.B. Jassin Halim HD Hamdy Salad Hamka Hari Sulastri Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasbi Zainuddin Hasif Amini Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Hermawan Mappiwali Herry Lamongan Hikmat Gumelar HM. Nasruddin Anshoriy Ch Hudan Hidayat Humam S Chudori Ibnu Wahyudi Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Iksaka Banu Ilham Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Arlado Imron Tohari Indra Tjahyadi Indrawati Jauharotun Nafisah Indrian Koto Inung As Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Ismi Wahid Iva Titin Shovia Iwan Fals Iwan Kurniawan Jakob Oetama Janual Aidi JJ. Kusni Johan Fabricius John H. McGlynn Jordaidan Rizsyah Jual Buku Sastra K.H. A. Azis Masyhuri Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kahlil Gibran Kamajaya Al. Katuuk Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khatijah Khoirul Inayah Ki Dhalang Sulang Ki Ompong Sudarsono Kikin Kuswandi Kodirun Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Sastra Mangkubumen (KSM) Komunitas Teater Se-Lamongan Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kucing Oren Kurniawan Junaedhie Kurniawan Muhammad Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Larung Sastra Latief S. Nugraha lensasastra.id Leo Tolstoy Leon Agusta Linda Christanty Lutfi Mardiansyah M. Aan Mansyur M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Harir Muzakki M. Lutfi M. Shoim Anwar M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marniati Martin Aleida Mashuri Masuki M. Astro Matroni Muserang Mawar Kusuma Max Arifin Melani Budianta Mihar Harahap Mikael Johani Miziansyah J. Moch. Fathoni Arief Moh. Ghufron Cholid Mohammad Afifi Mohammad Rafi Azzamy Muhammad Hanif Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun AS Muhidin M. Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Murnierida Pram Myra Sidharta Nadia Cahyani Naim Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nessa Kartika Ni Made Purnama Sari Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Noor H. Dee Nurel Javissyarqi Nurul Fahmy Nurul Ilmi Elbana Nyoman Tusthi Eddy Ong Hok Ham Orasi Budaya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Pablo Neruda Pay Jarot Sujarwo PDS H.B. Jassin Pendidikan Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Bergerak Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin Qismatun Nihayah R Sutandya Yudha Khaidar R Toto Sugiharto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Rambuana Ramdhan Triyadi Bempah Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ricarda Huch Riezky Andhika Pradana Riki Dhamparan Putra Rizki Aprima Putra Rokhim Sarkadek Rony Agustinus Royyan Julian Rukardi Rumah Budaya Pantura Rumah Budaya Pantura (RBP) Ruth Indiah Rahayu S Yoga S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safitri Ningrum Sahaya Santayana Sahli Hamid Saini KM Sajak Salvator Yen Joenaidy Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setyaningsih Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosial Media Sastra Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sudarmoko Sudirman Sugeng Sulaksono Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunaryata Soemarjo Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susie Evidia Y Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka T Agus Khaidir T.A. Sakti Tangguh Pitoyo Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teater Pendopo nDalem Mangkubumen (Dokumen) Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tiya Hapitiawati Tiyasa Jati Pramono Toeti Heraty TS Pinang Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Usman Arrumy UU Hamidy Veronika Ninik Vika Wisnu W.S. Rendra Wahyu Triono Ks Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wilda Fizriyani Willy Ana Y Alpriyanti Y.B. Mangunwijaya Yanto le Honzo Yasin Susilo Yasir Amri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yulhasni Zehan Zareez Zuhdi Swt Zul Afrita