Moch. Fathoni Arief
kabarindonesia.com
Kekeringan hebat melanda desa antah berantah. Sebuah desa yang terletak di
daerah perbukitan. Saat Tuhan menunjukkan tanda kekuasaan apalah daya
manusia-manusia yang lemah ini. Musim hujan yang ditunggu-tunggu tak juga
datang. Bencana bagi semua mahluk yang ada. Lahan kering, tanah retak-retak,
bongkahan-bongkahan yang begitu keras sehingga tak mungkin untuk digarap. Air
menjadi masalah tersendiri. Untuk memasak, dan kebutuhan masak-memasak dan
minum saja sulit apalagi untuk mandi. Air baru bisa didapatkan setelah berjalan
kaki sejauh lebih dari tiga kilometer dari desa ini. Itupun sangat sulit
membawanya dalam jumlah volume banyak. Sulitnya medan membuat tiap-tiap orang
hanya mampu membawa satu jerigen ukuran besar air bersih.
Permasalahan warga, hal penting yang turut dihadapi oleh Tardji. Anak asli
desa ini yang telah lama merantau menimba ilmu hingga menjadi seorang sarjana
dari kota. Hampir lima belas tahun ia meninggalkan desanya. Dulunya ia dibawa
oleh seorang sanak kerabatnya. Ia meninggalkan desa semenjak kedua orang
tuannya meninggal akibat bencana tanah longsor lima belas tahun yang lalu.
Sekarang Tardji bukanlah anak desa yang biasa. Ia kini seorang sarjana jika
dipasang namanya biasa ditulis Sutardji. ST. Seorang sarjana teknik jurusan
Sipil dari sebuah Universitas yang konon katanya tertua di negeri ini. Kini
Tardji kembali, sebagai seorang pelaksana lapangan dalam pembangunan check dam
didesa yang mengalami kekeringan itu. Rencananya akan dibangun beberapa
bangunan yang fungsinya sebagai pengendali erosi dan konservasi air. Dana
pembangunannya sendiri murni dari APBD. “Sore mas Tardji!” Sapa orang demi
orang sepanjang perjalanannya hari ini menuju rumah Pak Kepala Desa.
“Lik Man tahu kan dia itu mas Tardji orang pinter yang dulunya juga berasal
dari desa ini?” Sugiono menunjuk Tajdi dari kejauhan.
“Wah ya jelas tahu dia itu Tardji anaknya Suminten sama Kardiman yang dulu
ketimbun tanah longsor lima belas tahun yang lalu itu kan”. Lik Man nampaknya
tahu benar tentang Tardji.
“Kabarnya dia itu orang yang sakti dan pemberani. Kemarin dia itu sendirian
malam-malam didekat sungai pinggiran desa yang terkenal angker itu”. “Ya lho
Lik kemarin aku lihat didepan rumah pondokannya dia ngajari anaknya pak
bacaan-bacaan yang katanya agar bisa segera turun hujan”. Dari belakang muncul
Yu Sunarti yang sedari tadi mengikuti pembicaraan keduanya.
Dipundak Tardji lah masyarakat bergantung. Anggapan warga Tardji sarjana
kota itu mampu mengatasi segala masalah yang ada. Beban berat yang harus
dihadapi oleh seorang yang baru saja lulus dari jenjang kesarjanaannya.
“Sore Bu, Pak Kades ada dirumah?” Tanya Tardji pada bu Kades yang
membukakannya pintu. “Mas Tardji to, oo..silahkan duduk dulu mas!” Bu Kades
mempersilahkan sang sarjana itu duduk.”Mas Tardji, bagaimana kabarnya, darimana
saja?” Pak Kades keluar dari depan menyambutnya.
“Pak Kades saya ingin cerita sesuatu pada anda. Kegelisahan yang saya
alami, terutama akhir-akhir ini setelah kedatangan saya di desa ini”.
“Memangnya ada apa nak Tardji?” Tardjipun segera ceritakan semuanya pada
Pak Kades. Ada banyak hal yang dia paparkan diantaranya tentang anggapan warga
desa tentang dirinya sebagai orang linuwih hal lain adalah sedikitnya jama’ah
yang pergi ke Masjid satu-satunya di desa ini. Hati Tardji begitu terusik,
meronta melihat tiap kali sholat Jum’at tak lebih dari empat puluh orang yang
datang ke masjid.
“Maaf nak saya mengerti kegelisahan yang anda rasakan. Sebagai orang yang
lama tinggal disini saya sepenuhnya mengerti sangat sulit mengatasi
permasalahan yang ada”. Pak Kades hanya menarik nafas dan kemudian menghisap
rokok kreteknya.
Ada-ada saja masalah yang terjadi didesa ini akhir-akhir ini. Beberapa hari
sebelum kedatangan Tardji sempat terjadi pemutusan listrik didaerah desa itu.
Warga yang telah terpasang listriknya tetapi tidak mau melunasi biaya pasang,
lagi-lagi pak kadesnya yang harus turun tangan.
“Tapi minimal ada satu hal yang saya minta pak! Warga desa jangan
berprasangka macam-macam terhadap saya. Saya hanya manusia biasa sama seperti
mereka”.
Pembicaraan diantara Tardji dan Pak Kades terputus oleh datangnya Bu Kades
yang membawa singkong goreng dan minuman. “Nak Tardji ini dinikmati dulu, ayo
jangan malu-malu! Maklum orang desa bisanya cuma menghidangkan seperti ini”. Bu
Kades mempersilahkan Tardji dan pak Kades menikmati hasil olahan singkongnya.
Singkong merupakan salah satu hasil utama dari desa ini. Terbatasnya air
membuat ladang-ladang disini sebagian besar hanya ditanami oleh singkong.
Daerah desa yang terletak didaerah perhutani ini sebenarnya dulunya banyak
ditumbuhi tanaman pinus. Karena penebangan liar, perbukitan inipun menjadi gundul.
Penggundulan yang pernah mengakibatkan bencana banjir bandang dan tanah longsor
lima belas tahun lalu. Keluarga Tardji adalah salah satu orang yang menjadi
korban tewasnya.
“Rencananya nak Tardji akan tinggal sampai kapan didesa ini?” Tanya Pak
Kades “Sebenarnya sampai selesai proyek pembangunan check dam kira-kira sampai
tiga bulan kedepan”.”Saya turut dukung saja. Kalau ada masalah dan butuh
bantuan saya mas Tardji bisa langsung berhubungan dengan saya”.
Tardjipun berpamitan dengan Pak Kades. Sang insinyur kebanggan desa inipun
segera menghilang diantara jalanan berbatu yang kanan kirinya ditumbuhi
semak-semak. Dari kejauhan Pak Kades tersenyum dia terlihat bangga melihat
putra asal daerahnya itu.
“Aku turut bangga bu dengan orang seperti Insinyur Tardji itu!”
“Ya Pak seandainya kita masih punya anak gadis tentunya pingin punya
menantu seperti dia”. Sunyi, sepi perasaan itulah yang tengah dirasakan oleh
Tardji saat ini. Meskipun dulunya berasal dari daerah ini hampir dari dua
pertiga usianya dihabiskan dikota.
“Tugas berat ini harus bisa kuselesaikan. Tak hanya proyek pembangunan chek
dam itu saja. Hal-hal yang mengusik pikiranku selama ini harus juga bisa
kuselesaikan”.
Tardji terduduk di bawah pohon didekat sungai yang kering. Rencana disitu
termasuk lokasi pembangunan. Esok hari sesuai jadwal pembangunannya sudah
dimulai. Disaat sang sarjana Teknik itu termenung seorang penduduk desa
mendatanginya. Diantara mereka akhirnya terlibat pembicaraan.
“Rencananya mau dibangun apa mas?” Mas Katijo penduduk yang rumahnya
disebelah Barat Pak Kepala Desa.
“Ini mas nantinya akan dibangun namanya check dam. Tujuannya nantinya
masalah kekeringan tak akan dialami lagi oleh warga ini. Nanti partisipasi
warga sangat dibutuhkan seperti mas Katijo nanti juga sangat saya harapkan
kontribusinya”.
“Orang-orang bodoh seperti saya ini cuma manut saja mas. Kalau itu bener
dan masuk akal ya saya ikuti”.
“Mau rokok mas ini silahkan ambil!” Tardji tawarkan rokok kreteknya pada
mas Katijo.
“Suwun mas”. Dengan sedikit malu-malu Mas Katijo mengambil rokok kretek
yang ditawari Tardji. Keduanya terus terlibat pembicaraan sesekali mereka hisap
rokok kreteknya.
“Mas Tardji ada yang mau saya tanyakan! Apa benar yang selama ini dikatakan
oleh warga?”
“Memangnya ada apa mas Katijo?”
“Katanya mas Tardji punya ilmu yang bisa manggil hujan dan tahu kapan hujan
akan terjadi”.
Sebuah pekerjaan yang lebih besar bagi Tardji. Sebuah pelurusan terhadap
kepercayaan yang salah kaprah. Namun Tardji tak ingin membuat warga tersinggung
nampaknya ia ingin perlahan-lahan.
“Mas Katijo benar-benar pingin belajar caranya?” Tanya Tardji.
“Ya mas mbok saya diajari ilmunya!”
“Mas siap-siap saja nanti waktunya saya kabari”.
Proyek pembangunan itupun dimulai. Ternyata partisipasi warga sangat
membantu. Tiga buah bangunan yang direncanakan selesai dalam dua bulan ternyata
hanya satu setengah bulan telah mendekati selesai. Berita tentang Tardji yang
akan menurunkan ilmunya terus saja tersebar. Warga tak pandang tua atau muda
terus menunggu kapan dilaksanakannya. Setiap hari Katijo menagih janji pada
Tardji untuk mengajari doa tersebut.
“Mas Katijo sudah dapat kabar dari mas Tardji belum? Kapan waktu
pelaksanaannya aku juga pingin ikut” tanya Lik Man pada Mas Katijo
“Ngga tahu Lik tapi kata mas Tardji dua hari lagi. Katanya pelaksanaannya
dilapangan desa ini”. Jawab mas Katijo Dari kejauhan mereka melihat Tardji
dengan sepeda motornya. Lagsung saja keduanya memanggil Sarjana Teknik itu
menagih janjinya.
“Mas Tardji bagaimana katanya mau ngajari ilmu memanggil hujan?” Tanya mas
Katijo.
“Ya mas kami sudah tak sabar lagi menunggu datangnya hujan”.Desak Lik Man.
“Nanti Lik Man sama Mas Katijo ajak warga disini ya nanti kita kumpul di
lapangan depan balai desa”.
“Bawa apa saja mas?” Tanya Lik Man.
“Nanti jangan lupa bawa alat sholat sama tikar”. Jawab Tardji.
“Maaf mas, saya belum bisa sholat bagaimana?” Lik Man dengan malu-malu
tanya lagi pada mas Tardji.
“Pokoknya bawa tikar. Kalo yang laki-laki pakai celana atau sarung dan yang
perempuan bawa mukena”. Tardji memperjelas kembali.
Selepas itu hebohlah desa itu. Deg-degan menunggu, dan melihat Tardji yang
mau menurunkan ilmu pemanggil hujannya.Sebagian besar warga sudah bersiap-siap
sesuai dengan yang diperintahkan Tardji. Diantara mereka ada yang
mengobrak-abrik isi lemari sambil mengeluarkan mukena yang telah berwarna
kekuning-kuningan sudah lama sekali tidak diapakai.
Sampailah pada hari yang dijanjikan. Siang itu didepan balai desa sudah
berkumpul banyak sebagian warga desa itu. Ada diantara mereka yang membawa
peralatan sesuai dengan yang diperintahkan Tardji tapi ada juga yang hanya
sebagai penonton saja.
Sesudah banyak orang berkumpul Tardji mulai memberi komando. Menyusun
mereka dalam barisan-barisan seperti shalat jama’ah sedemikian rupa. Mereka
semua menurut apa yang dikatakan Tardji.
“Bapak-bapak, Ibu-ibu, dan saudara-saudara kita akan menjalankan sholat
Istisqa. Nanti bagi yang belum pernah ikuti saja gerakan saya”. Sholat Istisqa’
pun dimulai dan beserta khutbah dan doa’anya. Diakhir khutbah Tardji sempat
menyampaiakan pesan singat “Insya Allah sebentar lagi akan datang hujan
setidaknya dalam minggu ini”.
Benar apa yang dikatakan oleh Tardji kira-kira empat hari setelah
melaksanakan sholat datanglah musim hujan. Kejadian hujan itu semakin
menguatkan pandangan warga tentang bukti kesaktian dari Tardji. Sesuatu yang
sangat menyiksa bagi Tardji usaha peluirusan keyakinan yang dia usahakan
ternyata belum berhasil. Sempat Tardji menjelaskan dengan gamblang bahwa apa
yang dikatakan tentang hujan bukanlah hal yang bersifat mistik semuanya berdasarkan
data dari Badan Meteorologi Dan Geofisika, sesuatu yang ilmiah. Tentang yang
dilakukan dilapangan itu hanyalah sholat Istisqa semua bisa melakukan tak ada
yang spesial.
Setahun sudah kejadian itu berlalu. Masih juga ada warga yang menganggap
hal yang tidak-tidak pada Tardji. Terakhir setelah dibangun check dam dan usaha
pengananan konservasi air desa itu tak lagi mengalami kekuarangan air. Kontan
saja kini Tardji dianggap sebagai Imam Mahdi sang penyelamat desa Tardji
sebenarnya menangis hatinya diantara persepsi dan keyakinan dari warga.
Diantara semuanya kini ia sudah agak lega mengingat tiap kali sholat Jum’at
sudah ada lebih dari lima puluh orang yang datang dan tiap kali jama’ah sholat
wajib tak lagi terdiri dari satu imam dan satu makmum.
***
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Rabu, 11 Agustus 2021
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Dharta
Abdul Hadi WM
Abdul Wachid B.S.
Abdullah Abubakar Batarfie
Abdurrahman Wahid
Achmad Faesol
Achmad S
Achmad Soeparno Yanto
Adin
Adrian Balu
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agung Sasongko
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Prasmono
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Mustofa Bisri
Ahmad Tohari
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akhudiat
al-Kindi
Alex R. Nainggolan
Ali Ahsan Al Haris
Ali Audah
Ali Syariati
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Andhika Dinata
Andi Neneng Nur Fauziah
Andra Nur Oktaviani
Andrenaline Katarsis
Andy Riza Hidayat
Anindita S. Thayf
Anton Kurniawan
Anton Sudibyo
Aprinus Salam
Arafat Nur
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Arthur Rimbaud
Asap Studio
Asarpin
Asti Musman
Atafras
Awalludin GD Mualif
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Balada
Bambang Riyanto
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernadette Aderi
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budi Darma
Butet Kartaredjasa
Cak Bono
Catatan
Cecil Mariani
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Charles Bukowski
Christine Hakim
Cinta Laura Kiehl
D. Zawawi Imron
Dahta Gautama
Daisy Priyanti
Damhuri Muhammad
Danarto
Dara Nuzzul Ramadhan
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darojat Gustian Syafaat
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Sartika
Dharmadi
Dhenok Kristianti
Dian Wahyu Kusuma
Dianing Widya Yudhistira
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djoko Subinarto
Doan Widhiandono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Yan Masfa
Donny Anggoro
Dwi Cipta
Dwi Klik Santosa
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Enda Menzies
Erik Purnama Putra
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esti Nuryani Kasam
Evan Ys
Evi Idawati
F Aziz Manna
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Fairuzul Mumtaz
Fajar Alayubi
Farah Noersativa
Faris Al Faisal
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrozak
Faza Bina Al-Alim
Feby Indirani
Felix K. Nesi
Fian Firatmaja
Firman Wally
Fiyan Arjun
Forum Penulis dan Pegiat Literasi Lamongan (FP2L)
Franz Kafka
Galih M. Rosyadi
Galuh Tulus Utama
Ganug Nugroho Adi
Garna Raditya
Gendut Riyanto
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Gombloh
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gurindam
Gusti Eka
H.B. Jassin
Halim HD
Hamdy Salad
Hamka
Hari Sulastri
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasbi Zainuddin
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Hermawan Mappiwali
Herry Lamongan
Hikmat Gumelar
HM. Nasruddin Anshoriy Ch
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
Ibnu Wahyudi
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Iksaka Banu
Ilham
Imam Muhayat
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Arlado
Imron Tohari
Indra Tjahyadi
Indrawati Jauharotun Nafisah
Indrian Koto
Inung As
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Ismi Wahid
Iva Titin Shovia
Iwan Fals
Iwan Kurniawan
Jakob Oetama
Janual Aidi
JJ. Kusni
Johan Fabricius
John H. McGlynn
Jordaidan Rizsyah
Jual Buku Sastra
K.H. A. Azis Masyhuri
Kadjie Mudzakir
Kahfie Nazaruddin
Kahlil Gibran
Kamajaya Al. Katuuk
Kamran Dikarma
Kedung Darma Romansha
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khansa Arifah Adila
Khatijah
Khoirul Inayah
Ki Dhalang Sulang
Ki Ompong Sudarsono
Kikin Kuswandi
Kodirun
Koh Young Hun
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Sastra Mangkubumen (KSM)
Komunitas Teater Se-Lamongan
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kurniawan Junaedhie
Kurniawan Muhammad
Kuswaidi Syafi’ie
Kuswinarto
L.K. Ara
Laksmi Shitaresmi
Lan Fang
Larung Sastra
Latief S. Nugraha
lensasastra.id
Leo Tolstoy
Leon Agusta
Linda Christanty
Lutfi Mardiansyah
M. Aan Mansyur
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Lutfi
M. Shoim Anwar
M. Yoesoef
M. Yunis
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahdi Idris
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Marniati
Martin Aleida
Mashuri
Masuki M. Astro
Matroni Muserang
Mawar Kusuma
Max Arifin
Melani Budianta
Mihar Harahap
Mikael Johani
Miziansyah J.
Moch. Fathoni Arief
Moh. Ghufron Cholid
Mohammad Afifi
Mohammad Rafi Azzamy
Muhammad Hanif
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun AS
Muhidin M. Dahlan
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Myra Sidharta
Nadia Cahyani
Naim
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nessa Kartika
Ni Made Purnama Sari
Nikita Mirzani
Nirwan Ahmad Arsuka
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Nurel Javissyarqi
Nurul Fahmy
Nurul Ilmi Elbana
Nyoman Tusthi Eddy
Ong Hok Ham
Orasi Budaya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Pay Jarot Sujarwo
PDS H.B. Jassin
Pendidikan
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pringgo HR
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Pustaka Bergerak
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
Qismatun Nihayah
R Sutandya Yudha Khaidar
R Toto Sugiharto
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rahmat Sutandya Yudhanto
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Prambudhi Dikimara
Rambuana
Ramdhan Triyadi Bempah
Ratnani Latifah
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ribut Wijoto
Ricarda Huch
Riezky Andhika Pradana
Riki Dhamparan Putra
Rizki Aprima Putra
Rokhim Sarkadek
Rony Agustinus
Royyan Julian
Rukardi
Rumah Budaya Pantura
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Ruth Indiah Rahayu
S Yoga
S. Arimba
S. Jai
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Sahaya Santayana
Sahli Hamid
Saini KM
Sajak
Salvator Yen Joenaidy
Samsul Anam
Sapardi Djoko Damono
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Selendang Sulaiman
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setyaningsih
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sosial Media Sastra
Sosiawan Leak
Sovian Lawendatu
Sudarmoko
Sudirman
Sugeng Sulaksono
Sugito Ha Es
Sumani
Sumargono SN
Suminto A. Sayuti
Sunaryata Soemarjo
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suryanto Sastroatmodjo
Susie Evidia Y
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
T Agus Khaidir
T.A. Sakti
Tangguh Pitoyo
Tatan Daniel
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Eska
Teater Pendopo nDalem Mangkubumen (Dokumen)
Teater Tawon
Tedy Kartyadi
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tiya Hapitiawati
Tiyasa Jati Pramono
Toeti Heraty
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Usman Arrumy
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vika Wisnu
W.S. Rendra
Wahyu Triono Ks
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Jengki Sunarta
Wayan Sunarta
Welly Kuswanto
Wilda Fizriyani
Willy Ana
Y Alpriyanti
Y.B. Mangunwijaya
Yanto le Honzo
Yasin Susilo
Yasir Amri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yonathan Rahardjo
Yudha Kristiawan
Yudhistira ANM Massardi
Yulhasni
Zehan Zareez
Zuhdi Swt
Zul Afrita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar