Rabu, 14 Juli 2021

Selamat, Saya Kira Anda Sudah Tiba di Gerbang Puisi!

TS Pinang
 
Saya kira, saya tidak perlu mendefinisikan apa itu puisi. Berbagai definisi tentang puisi banyak ditemukan dalam buku-buku teks sastra, juga dapat ditemukan dalam kamus atau ensiklopedi. Definisi bersifat membatasi dan klasifikatif. Saya kira, berbagai versi tentang apa itu puisi dapat Anda cari sendiri. Bagaimanapun, saya yakin semua peserta bengkel ini minimal memiliki bayangan atau pemahaman tentang puisi, walaupun mungkin kesulitan merumuskannya. Apapun konsep tentang apakah puisi itu, lambat laun akan kita uji dalam proses kepenyairan kita selanjutnya.
 
Penyair adalah orang yang menulis puisi. Selama Anda menulis puisi, Anda adalah penyair. Sepanjang Anda menganggap yang Anda tulis adalah puisi, maka Anda adalah penyair, minimal menurut versi Anda sendiri. Saya kira pemahaman ini cukup untuk memulai perjalanan kita yang, yakinlah, akan sangat panjang dan melelahkan.
 
Sebelum memutuskan untuk melakoni jalan panjang ini, sebaiknya kita mulai dengan pertanyaan-pertanyaan pada diri sendiri untuk meyakinkan apakah kita memang “terpanggil” ataukah sekadar keinginan temporer karena ikut-ikutan atau hanya ingin terkenal. Saini KM menyebutkan setidaknya empat syarat untuk menjalani laku kepenyairan: motivasi yang benar, kesediaan untuk bekerja keras, kesediaan untuk gagal, dan kesediaan untuk tidak dihargai (Saini KM, Puisi dan Beberapa Masalahnya, Penerbit ITB, 1993). Saya kira, keempat pilar tersebut dapat menjadi pegangan bagi seorang calon penyair untuk membantunya mengurangi keraguan dan kebingungan dalam berpuisi.
 
Berpuisi saya kira adalah perjalanan jelajah ke rimba pengalaman-pengalaman baru seorang diri. Pengalaman-pengalaman (batin) itu kita rekam dengan bahasa. Bahasa adalah alat atau medium dalam seni puisi ini, sebagaimana kanvas dan cat bagi pelukis. Seringkali, pengalaman-pengalaman itu begitu abstrak dan ‘asing’ sehingga sulit untuk dibahasakan. Di sinilah letak pergulatan seorang penyair: menggali kemungkinan-kemungkinan pengungkapan pengalaman-pengalaman ‘puitik’ itu melalui bahasa, atau meminjam istilah Saini KM “bergulat dan menundukkan bahasa”. Pergulatan ini tidak selalu berhasil, dan bahasa tidak selalu dapat mengungkapkan suatu pengalaman secara utuh.
 
Saya kira, penyair selalu berada atau dihadapkan pada situasi ambang, perbatasan, transisi, ambigu, antara dunia batin di dalam diri dan realitas di luar dirinya. Penyair bermain di wilayah ambang ini. Puisi lalu menjadi semacam terjemahan penyair dari dunia batin yang gaib itu ke dalam bahasa verbal. Akibatnya, bahasa puisi menjadi terkesan ‘aneh’ dan berbeda dari prosa yang menggunakan bahasa cakap biasa. Kata-kata seringkali tidak mampu mengungkapkan alam batin penyair secara utuh, sehingga diperlukan upaya-upaya untuk membuat kata-kata itu selain menyarankan makna yang lain, ‘baru’, atau yang lebih luas, juga menimbulkan efek lain akibat bunyi, ritme, atau pencitraan yang ‘mendekati’ pengalaman batin itu. Karena itu, selain bentuk fisiknya yang bisa dilihat langsung pada teks kata-katanya, puisi juga membawa “aura” atau efek lain yang lebih subtil, lebih halus dan nonfisik.
 
Tubuh, Jiwa, dan Ruh
 
Saya kira sebuah sajak setidaknya memiliki tiga anasir penting, yaitu tubuh, jiwa, dan ruh (atau dua anasir penting jika jiwa dan ruh dianggap sama). Tubuh atau bentuk puisi adalah unsur-unsur fisik yang membentuknya, seperti ritme/ketukan, bunyi, kata-kata (diksi, metafora), baris, bait, tipografi atau apapun yang kita anggap sebagai bagian “luar” sebuah sajak. Jiwa atau isi adalah unsur-unsur yang diwakili oleh tubuh, yang dapat kita rasakan seperti tema/makna, emosi, atau resepsi pembaca setelah berkomunikasi dengan tubuh sajak. Sedangkan ruh lebih berupa hikmah atau wisdom yang ditimbulkan pada pembaca sajak tersebut, bersifat abstrak dan pribadi.
 
Contoh paling jelas tentang tubuh sajak dapat dilihat pada bentuk-bentuk puisi lama yang memiliki pola-pola yang mengikat unsur-unsur pembentuk tubuh sajak secara ketat, seperti jumlah sukukata dalam setiap baris, jumlah baris setiap bait, atau bunyi akhir setiap baris. Beberapa bentuk puisi lama bahkan menetapkan tema/isi tertentu untuk bentuk tertentu. Dalam puisi modern yang lebih bebas dan longgar, pola-pola ini menjadi kabur dan lentur. Unsur-unsur pembentuk tubuh sajak hadir secara lebih bebas tanpa diikat oleh aturan-aturan persajakan lagi. Meski demikian, kebebasan bentuk pada puisi mutakhir tidak begitu saja menghilangkan jejak-jejak pola puisi lama. Kadang-kadang, disadari atau tidak, seorang penyair masih memunculkan pola-pola yang teratur dalam sajak-sajaknya yang langsung mengingatkan kita pada bentuk-bentuk pantun, syair, atau sajak-sajak tradisional lainnya.
 
Bahasa, Kosakata, Diksi, Metafora/perlambang, Bunyi
 
Penyair bergulat dengan bahasa, dengan kata-kata. Sebagai medium berkarya, konsekuensi logisnya adalah menguasai medium tersebut. Ketika menulis puisi berbahasa Indonesia, maka pemahaman yang cukup tentang tatabahasa Indonesia adalah sebuah keharusan. Bagaimana kita bisa memainkan sebuah lagu dengan saksofon kalau kita tidak menguasai alat musik tersebut? Memang ada yang disebut licentia poetica atau poetic license (kebebasan puitik), yaitu “hak” penyair untuk “menyalahi” atau melanggar aturan-aturan tatabahasa. Namun, bagaimana bisa “melanggar” kalau tidak tahu batas-batasnya?
 
Guna memperluas kemungkinan-kemungkinan kreatif dalam berpuisi, seorang penyair mau tidak mau harus memperkaya dirinya dengan kosakata sebanyak-banyaknya. Ia perlu memperluas minat bacaanya, memperkaya pengalaman bahasanya baik melalui bidang-bidang lain di luar disiplin sastra maupun melalui studi bahasa-bahasa lain di luar bahasa ibu baik itu bahasa daerah maupun asing. Kekayaan kosakata ini akan memudahkan penyair memilih kata yang telak, menciptakan idiom yang segar, memudahkannya dalam menerjemahkan pengalaman batin yang abstrak ke dalam bahasa. Kekayaan kosakata menentukan diksi, kemampuan penyair memilih kata yang pas, baik dari segi makna kata maupun bunyi. Kekayaan kosakata juga membantu penyair menghindari metafora yang cliché.
 
Tema, Sumber Inspirasi
 
Puisi bersumber dari realitas kehidupan. Karena itu apapun bisa menjadi tema. Karenanya, bagi penyair (pengalaman menjalani) kehidupan itu sendiri adalah sumber inspirasi yang tak pernah habis. Namun demikian, meski bersumber dari realitas kehidupan, puisi tidak sama dengan catatan jurnal atau reportase/berita yang hanya mencatat/melaporkan peristiwa. Sebuah peristiwa atau pengalaman yang masih segar memerlukan perlakuan-perlakuan tertentu agar dapat dituliskan menjadi puisi, dan tidak jatuh menjadi sekadar catatan harian atau curhat.
 
Sebuah peristiwa harus diendapkan, disimpan, ‘dilupakan’ terlebih dahulu agar kita dapat menciptakan ‘jarak’ dari peristiwa tersebut. Dengan kata lain, peristiwa itu kita peram terlebih dahulu hingga menjadi “kenangan”. Jarak di sini tidak selalu berarti kurun waktu tertentu pascaperistiwa, tetapi lebih dimaksudkan sebagai jarak subjektif. Penyair yang sudah berpengalaman cukup biasanya mampu menciptakan jarak dari peristiwa tersebut bahkan saat ia masih berada dalam peristiwa itu. Saat seorang penyair menuliskan sebuah sajak dalam waktu singkat atau spontan, ia sebenarnya sedang memanggil kembali kenangan-kenangan dari rak bawah sadarnya. Ketika seorang penyair menulis sajak tentang cinta atau patah hati, dia tidak (hanya) mengacu pada satu peristiwa tunggal, walaupun dalam menulis sajak tersebut ia didorong oleh sebuah peristiwa. Dengan kata lain, ia mengolah sebuah peristiwa dengan (kenangan atas) peristiwa-peristiwa lain yang menghasilkan hikmah atau kesadaran baru. Pembaca pun tidak merasa hanya jadi ember curhat si penyair, tetapi ‘diajak’ bersama-sama berkontemplasi tentang situasi tersebut. Pembaca ikut terlibat dalam sajak tersebut. Pembaca tidak hanya ‘menonton’ si penyair menangis lewat sajak tersebut, tetapi bersama-sama ‘menuliskan’ kenangan.
 
Tantangan-tantangan
 
Baiklah. Katakanlah kita sepakat bahwa Anda semua sudah berada di gerbang puisi. Bayangkanlah di balik gerbang itu adalah jalan panjang yang penuh tantangan dan jebakan, sekaligus penuh pesona dan pukau yang memabukkan. Diperlukan keberanian yang cukup, stamina yang cukup, diperlukan semangat yang cukup untuk selalu belajar dari pengalaman sepanjang perjalanan itu. Perkembangan teknologi komunikasi dan multimedia telah dan akan membuka peluang-peluang kreatif yang baru. Kosakata baru banyak hadir dalam bahasa kita sehari-hari dan itu berarti bertambah pula kemungkinan-kemungkinan pengucapan dalam puisi kita. Batasan-batasan tentang estetika puisi juga akan berkembang. Singkatnya, puisi akan tetap hidup dan tumbuh seiring tumbuhnya peradaban manusia, dan sepanjang pertumbuhan itu selalu muncul tantangan-tantangan baru.
 
Kepenyairan adalah pergulatan terus-menerus untuk menaklukkan tantangan-tantangan itu. Anda mungkin (tidak) akan sampai ke puncak puisi, tapi paling tidak Anda telah berani mencoba, berani mengambil tantangan itu, dan itu tidak akan pernah sia-sia.
***

[Disampaikan pada bengkel kerja “Semua Bisa Menulis” Perkosakata 2008 komunitas Kemudian.com, Ahad Wage, 6 April 2008 di Perpumda Jakarta] http://sastra-indonesia.com/2012/04/selamat-saya-kira-anda-sudah-tiba-di-gerbang-puisi/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.S. Dharta Abdul Hadi WM Abdul Wachid B.S. Abdullah Abubakar Batarfie Abdurrahman Wahid Achmad Faesol Achmad S Achmad Soeparno Yanto Adin Adrian Balu Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Sasongko Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Prasmono Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Mustofa Bisri Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat al-Kindi Alex R. Nainggolan Ali Ahsan Al Haris Ali Audah Ali Syariati Amien Kamil Amien Wangsitalaja Andhika Dinata Andi Neneng Nur Fauziah Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Andy Riza Hidayat Anindita S. Thayf Anton Kurniawan Anton Sudibyo Aprinus Salam Arafat Nur Arif Hidayat Arman A.Z. Arthur Rimbaud Asap Studio Asarpin Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Badaruddin Amir Bagja Hidayat Balada Bambang Riyanto Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Butet Kartaredjasa Cak Bono Catatan Cecil Mariani Cerbung Cerpen Chairil Anwar Charles Bukowski Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dahta Gautama Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Danarto Dara Nuzzul Ramadhan Dareen Tatour Darju Prasetya Darojat Gustian Syafaat Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Sartika Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dianing Widya Yudhistira Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Pitono Djoko Saryono Djoko Subinarto Doan Widhiandono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Klik Santosa Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erik Purnama Putra Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esti Nuryani Kasam Evan Ys Evi Idawati F Aziz Manna F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Firman Wally Fiyan Arjun Forum Penulis dan Pegiat Literasi Lamongan (FP2L) Franz Kafka Galih M. Rosyadi Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Garna Raditya Gendut Riyanto Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gurindam Gusti Eka H.B. Jassin Halim HD Hamdy Salad Hamka Hari Sulastri Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasbi Zainuddin Hasif Amini Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Hermawan Mappiwali Herry Lamongan Hikmat Gumelar HM. Nasruddin Anshoriy Ch Hudan Hidayat Humam S Chudori Ibnu Wahyudi Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Iksaka Banu Ilham Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Arlado Imron Tohari Indra Tjahyadi Indrawati Jauharotun Nafisah Indrian Koto Inung As Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Ismi Wahid Iva Titin Shovia Iwan Fals Iwan Kurniawan Jakob Oetama Janual Aidi JJ. Kusni Johan Fabricius John H. McGlynn Jordaidan Rizsyah Jual Buku Sastra K.H. A. Azis Masyhuri Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kahlil Gibran Kamajaya Al. Katuuk Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khatijah Khoirul Inayah Ki Dhalang Sulang Ki Ompong Sudarsono Kikin Kuswandi Kodirun Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Sastra Mangkubumen (KSM) Komunitas Teater Se-Lamongan Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kucing Oren Kurniawan Junaedhie Kurniawan Muhammad Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Larung Sastra Latief S. Nugraha lensasastra.id Leo Tolstoy Leon Agusta Linda Christanty Lutfi Mardiansyah M. Aan Mansyur M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Harir Muzakki M. Lutfi M. Shoim Anwar M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marniati Martin Aleida Mashuri Masuki M. Astro Matroni Muserang Mawar Kusuma Max Arifin Melani Budianta Mihar Harahap Mikael Johani Miziansyah J. Moch. Fathoni Arief Moh. Ghufron Cholid Mohammad Afifi Mohammad Rafi Azzamy Muhammad Hanif Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun AS Muhidin M. Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Murnierida Pram Myra Sidharta Nadia Cahyani Naim Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nessa Kartika Ni Made Purnama Sari Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Noor H. Dee Nurel Javissyarqi Nurul Fahmy Nurul Ilmi Elbana Nyoman Tusthi Eddy Ong Hok Ham Orasi Budaya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Pablo Neruda Pay Jarot Sujarwo PDS H.B. Jassin Pendidikan Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Bergerak Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin Qismatun Nihayah R Sutandya Yudha Khaidar R Toto Sugiharto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Rambuana Ramdhan Triyadi Bempah Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ricarda Huch Riezky Andhika Pradana Riki Dhamparan Putra Rizki Aprima Putra Rokhim Sarkadek Rony Agustinus Royyan Julian Rukardi Rumah Budaya Pantura Rumah Budaya Pantura (RBP) Ruth Indiah Rahayu S Yoga S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safitri Ningrum Sahaya Santayana Sahli Hamid Saini KM Sajak Salvator Yen Joenaidy Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setyaningsih Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosial Media Sastra Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sudarmoko Sudirman Sugeng Sulaksono Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunaryata Soemarjo Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susie Evidia Y Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka T Agus Khaidir T.A. Sakti Tangguh Pitoyo Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teater Pendopo nDalem Mangkubumen (Dokumen) Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tiya Hapitiawati Tiyasa Jati Pramono Toeti Heraty TS Pinang Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Usman Arrumy UU Hamidy Veronika Ninik Vika Wisnu W.S. Rendra Wahyu Triono Ks Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wilda Fizriyani Willy Ana Y Alpriyanti Y.B. Mangunwijaya Yanto le Honzo Yasin Susilo Yasir Amri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yulhasni Zehan Zareez Zuhdi Swt Zul Afrita