Jumat, 23 Juli 2021

Menyemai Sastra dari Ujung Timur Pulau Dewata

Nyoman Tusthi Eddy
Pewawancara: Asti Musman
balipost.co.id
 
BAGI kalangan sastrawan, Kepala SMU Amplapura Nyoman Tusthi Eddy cukup dikenal. Pria kelahiran Pidpid, Karangasem tahun 1945 yang menyemai sastra dari ujung timur Pulau Dewata ini sering menulis puisi dan artikel di sejumlah koran. Selain koran lokal, juga jurnal budaya yang diterbitkan di Malaysia dan Brunei. Dalam pengamatan penulis yang telah menerbitkan 16 buku sastra ini, dunia mengarang, seringkali dipandang sebelah mata oleh para siswa, dan orang awam pun menilainya hanya sebagai pekerjaan seorang seniman yang hobi melamun. Padahal, menurutnya, mengarang akan membuka lebih luas gagasan dalam pikiran kita yang bisa disampaikan dalam kerja sehari-hari. Apakah Anda, sidang pembaca, salah satu orang yang benci dengan pelajaran mengarang? Jangan menjawabnya terlebih dulu sebelum Anda membaca hasil wawancara Bali Post kali ini. Hasil wawancara ini juga disiarkan di Radio Global FM, Sabtu (26/4) kemarin.
 
PELAJARAN mengarang kembali diaktifkan dalam ujian nasional, apa komentar Anda?
Sebenarnya pelajaran mengarang dari dulu sudah ada. Cuma dalam tes evaluasi tahap akhir nasional sejak tiga tahun yang lalu tidak muncul dalam Ebtanas. Sejak tahun ajaran 2002/2003, pelajaran mengarang dimunculkan kembali. Kemunculan kembali pengajaran mengarang ini sebagai ujian praktik dalam rangka menyongsong pelaksanaan kurikulum berbasis kompetensi. Dalam kurikulum itu, setiap pelajaran yang dipelajari siswa bukan saja harus dipahami secara teori, tetapi juga harus mempunyai kompetensi atau harus benar-benar memahami bidang terapannya. Nah, untuk itu, kembali pada bahasa Indonesia, bidang terapannya yang paling jelas adalah mengarang.
 
Apa keuntungan mengarang?
Jika orang mengatakan bahwa mengarang itu adalah pekerjaan merenung, sastra adalah hasil renungan, itulah citra yang terjadi berpuluh-puluh tahun ada dalam masyarakat. Ini karena masyarakat kita hanya ada beberapa persen yang memahami sastra. Karangan sebenarnya merupakan pengungkapan kehidupan nyata. Karena itu tidak benar kalau karangan itu hasil perenungan. Keuntungan karang-mengarang itu banyak. Misalnya, di perguruan tinggi seseorang harus menulis skripsi, lebih tinggi lagi menulis tesis, lalu disertasi. Orang yang saat sekolah kesulitan mengarang, lalu terbawa-bawa hingga keperguruan tinggi. Di sana ia akan setengah mampu kalau menyusun skripsi. Ini saya buktikan pada banyak mahasiswa. Banyak yang mengatakan sulit menulis skripsi.
 
Nah, ini artinya ia kesulitan karang-mengarang. Sebenarnya menulis skripsi itu paling mudah. Saya berpengalaman menulis skripsi walaupun hanya skripsi sarjana muda. Menulis skripsi itu sangat mudah karena bahannya tersedia dan teknik menulisnya juga ada. Pola-polanya sudah disediakan, tuangkan saja, kan banyak juga pembimbing. Menulis puisi, itu yang paling sulit. Bisakah saudara mendapatkan puisi dalam tiga bulan? Belum tentu. Kalau saya menargetkan skrispi itu dalam enam bulan, jika bahan sudah ada dan outline-nya disetujui, jangankan enam bulan, tiga bulan saja sudah selesai. Dulu skripsi saya diberi target tiga bulan, tapi dalam dua bulan sudah selesai.
 
Lantas bicara soal kualitas guru yang kurang memadai, apakah peningkatan finansial akan menggairahkan mereka?
Saya kira tidak selalu letaknya di sana. Gaji guru berapa kali naik? Di era otonomi daerah tunjangan guru lebih banyak sumbernya, misalnya dari daerah dapat, dan ada sumber lain. Musyawarah Guru Bidang Studi juga diadakan. Tetapi mutu guru tetap tidak meningkat. Memang ia jalan, namun hanya jalan di tempat. Jadi bukan soal uang. Kebanyakan bukan soal itu. Kecuali jika mau seperti imbauan pemerintah, jika saudara jadi guru terpaksa, itu sudah diketahui oleh pemerintah. Sekarang saudara sudah terjun ke sana. Cobalah saudara berdamai dengan profesi guru. Sama dengan orang dikawin paksa. Kalau mau dua atau tiga tahun tumbuh cinta antara keduanya, baguslah. Tetapi kalau sudah punya anak dan masih ada sekat yang sulit ditembus, pada akhirnya ia akan cerai. Baik itu cerai kamuflase atau cerai beneran.
 
Di sisi lain, Anda juga suka menulis puisi, apa keuntungannya?
Jawabannya, menulis puisi itu tidak punya arti apa-apa. Tetapi sebagai manusia, bagi saya, menulis puisi itu ada artinya. Sama saja, artinya jika manusia hanya mengurusi perut dan maunya enak tidur, itu artinya manusia itu tidak berevolusi. Manusia berevolusi itu bukan hanya fisiknya, namun juga mentalnya tahap budayanya juga berevolusi. Jika ada yang mengatakan, pak tidak ada gunanya menulis puisi, itu hanya klangenan. Jika ada yang mengatakan demikian, maka banyak hal di kebudayaan manusia ini tidak ada gunanya. Apa gunanya kesenian? Apa gunanya main layang-layang? Apa gunanya agama? Orang yang enggak beragama juga sehat-sehat, misalnya di Rusia zaman dulu, memang benar fisiknya sehat, namun bagaimana dengan jiwanya? Puisi adalah salah satu skrup yang mencirikan manusia adalah manusia. Itu hasil kebudayaan.
 
Dalam buku CD Louise diinterpretasikan tentang orang yang cacat fisik, maka untuk mengkompensasikannya mereka menulis puisi. Mengapa? Dengan menulis puisi-puisi mantra karena fisiknya tidak berjalan normal, mentalnya normal, maka puisi-puisinya memiliki tuah. Secara magis bisa dinikmati. Misalnya, panah-panah dibacakan puisi sebelum dipakai berburu. Sehingga apa yang diharapkan akan terjadi dalam kenyataan.
 
Lantas, pendapat Anda melihat perkembangan puisi saat ini?
Perkembangan puisi saat ini sangat kompleks. Ini beda jika dibandingkan awal saya menulis di Bali Post, karya-karya lebih seragam. Tema yang dipakai saat itu lebih banyak tema sosial atau filosofi kehidupan. Sedangkan sekarang, tema sosial memang ada, namun lebih mengarah ke protes. Struktur atau komposisi puisinya juga jauh lebih kaya dibandingkan dulu. Pada tahun 1970 hingga 1980-an puisinya masih konvensional, tidak jauh dari gaya puisi Angkatan 45. Sekarang rasanya hampir tidak dapat terdeteksi lagi.
Hanya Bali Post yang konsisten menerbitkan puisi.
 
Apakah ini mengkhawatirkan karena media lain tidak melakukan hal itu?
Ya, sebagai penulis puisi, itu memang kurang sehat, cukup mengkhawatirkan. Seharusnya semua media sekarang ini memberikan ruang pada itu.
 
Bagaimana dengan perkembangan puisi yang ditulis dalam bahasa Bali?
Sebelum ada putra Bali yang menerima hadiah Rancage, puisi-puisi berbahasa Bali yang dimuat di Bali Post memang kurang menggembirakan. Puisi hanya dipakai untuk menutup ruang kosong. Tetapi setelah sekitar delapan orang putra Bali yang menerima Rancage, pemuatan sastra Bali modern di Bali Post semakin bagus. Memang biasanya yang diprioritaskan yang berbahasa Indonesia, namun bagi saya itu tidak masalah, sama saja. Bahkan dulu ketika Saba Sastra Bali membuka ruangan di Bali Post, di sana spesial satu halaman untuk sastra Bali, baik cerita pendek, kajian dan puisi.
***
 
Anda akan tetap tinggal di Karangasem?
Saya ingat ketika pak Fuad Hasan menjadi Mendikbud, saya pernah meminta rekomendasi buku saya “Mengenal Bali Modern”. Lalu beliau menulis surat pada saya, “Dik Tusthi, saya tahu Karangasem, saya pernah berkunjung ke sana. Sebaiknya Anda tetap saja tinggal di Karangsem! Jangan berlatah-latah setiap penyair harus pindah ke Jakarta. Tinggallah di Karangasem, karena daerah itu kondusif, masih murni”.
 
Tetapi sebenarnya ada alasan lain, mengapa saya tidak pindah ke mana-mana. Karena saya guru, saya pikirkan masalah finansial. Dengan gaji seperti sekarang, saya bisa makan pasir di Denpasar! Kedua, saya ingat teori kreativitas. Di mana pun dia tinggal, dia akan tetap kreatif. Dalam biografinya Boris Pasternak, saat ia akan mapan sebagai pengarang, ia kembali ke desa. Dari sana ia mengarang. Saya lihat juga pengarang-pengarang yang lain. Misalnya seperti Umbu Landu Paranggi yang sekarang sangat membenci Yogya, katanya Malioboro sudah bukan Malioboro lagi. Bahkan Wianta juga kembali ke desanya. Jadi, di mana pun ia sebenarnya bisa berkreativitas. Ini bukan egonya seniman.
 
Anda guru dan juga seniman tulen, bagaimana upaya merangkum keduanya?
Saya rasanya bukan seniman tulen. Saya sedikit seniman palsu. Yang namanya ilham, namanya kreativitas, sering saya korbankan di meja kerja saya di sekolah. Ini contoh nyata, sekali waktu ketika saya mengerjakan tugas-tugas dinas, misalnya saya diobsesi oleh ilham untuk menulis cerpen saya segera menulis. Karena mencatatnya tidak suntuk dan saya masih tersita perhatian dengan tugas dinas, maka ketika saya lihat catatan itu kembali ilhamnya bisa hilang.
 
BIODATA
Nama : Nyoman Tusthi Eddy
Tempat/tgl lahir : Pidpid, Karangasem, 12 Desember 1945
Nama istri : Ni Nengah Wijani
Nama anak-anak : I Gede Agustina Adi Sumantri
Made Lily Hermayanthi
Ketut Budi Sastrawan
Putu Dedy Ariawan
 
Pekerjaan :
Kepala SMU Saraswati Amplapura
Asisten Dosen Universitas Mahasaraswati Denpasar Kelas Eksekutif di Amplapura/FKIP
Ketua Seksi Sastra Nasional Listibiya Kabupaten Karangasem
Penulis puisi, cerpen, esai, artikel dan resensi buku di Bali Post, Suara Karya, Kompas, Horison, Basis, Warta Hindu Dhrama, Sarad dan sejumlah media lainnya.

http://sastra-indonesia.com/2010/11/menyemai-sastra-dari-ujung-timur-pulau-dewata/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.S. Dharta Abdul Hadi WM Abdul Wachid B.S. Abdullah Abubakar Batarfie Abdurrahman Wahid Achmad Faesol Achmad S Achmad Soeparno Yanto Adin Adrian Balu Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Sasongko Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Prasmono Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Mustofa Bisri Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat al-Kindi Alex R. Nainggolan Ali Ahsan Al Haris Ali Audah Ali Syariati Amien Kamil Amien Wangsitalaja Andhika Dinata Andi Neneng Nur Fauziah Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Andy Riza Hidayat Anindita S. Thayf Anton Kurniawan Anton Sudibyo Aprinus Salam Arafat Nur Arif Hidayat Arman A.Z. Arthur Rimbaud Asap Studio Asarpin Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Badaruddin Amir Bagja Hidayat Balada Bambang Riyanto Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Butet Kartaredjasa Cak Bono Catatan Cecil Mariani Cerbung Cerpen Chairil Anwar Charles Bukowski Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dahta Gautama Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Danarto Dara Nuzzul Ramadhan Dareen Tatour Darju Prasetya Darojat Gustian Syafaat Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Sartika Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dianing Widya Yudhistira Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Pitono Djoko Saryono Djoko Subinarto Doan Widhiandono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Klik Santosa Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erik Purnama Putra Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esti Nuryani Kasam Evan Ys Evi Idawati F Aziz Manna F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Firman Wally Fiyan Arjun Forum Penulis dan Pegiat Literasi Lamongan (FP2L) Franz Kafka Galih M. Rosyadi Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Garna Raditya Gendut Riyanto Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gurindam Gusti Eka H.B. Jassin Halim HD Hamdy Salad Hamka Hari Sulastri Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasbi Zainuddin Hasif Amini Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Hermawan Mappiwali Herry Lamongan Hikmat Gumelar HM. Nasruddin Anshoriy Ch Hudan Hidayat Humam S Chudori Ibnu Wahyudi Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Iksaka Banu Ilham Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Arlado Imron Tohari Indra Tjahyadi Indrawati Jauharotun Nafisah Indrian Koto Inung As Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Ismi Wahid Iva Titin Shovia Iwan Fals Iwan Kurniawan Jakob Oetama Janual Aidi JJ. Kusni Johan Fabricius John H. McGlynn Jordaidan Rizsyah Jual Buku Sastra K.H. A. Azis Masyhuri Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kahlil Gibran Kamajaya Al. Katuuk Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khatijah Khoirul Inayah Ki Dhalang Sulang Ki Ompong Sudarsono Kikin Kuswandi Kodirun Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Sastra Mangkubumen (KSM) Komunitas Teater Se-Lamongan Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kucing Oren Kurniawan Junaedhie Kurniawan Muhammad Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Larung Sastra Latief S. Nugraha lensasastra.id Leo Tolstoy Leon Agusta Linda Christanty Lutfi Mardiansyah M. Aan Mansyur M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Harir Muzakki M. Lutfi M. Shoim Anwar M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marniati Martin Aleida Mashuri Masuki M. Astro Matroni Muserang Mawar Kusuma Max Arifin Melani Budianta Mihar Harahap Mikael Johani Miziansyah J. Moch. Fathoni Arief Moh. Ghufron Cholid Mohammad Afifi Mohammad Rafi Azzamy Muhammad Hanif Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun AS Muhidin M. Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Murnierida Pram Myra Sidharta Nadia Cahyani Naim Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nessa Kartika Ni Made Purnama Sari Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Noor H. Dee Nurel Javissyarqi Nurul Fahmy Nurul Ilmi Elbana Nyoman Tusthi Eddy Ong Hok Ham Orasi Budaya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Pablo Neruda Pay Jarot Sujarwo PDS H.B. Jassin Pendidikan Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Bergerak Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin Qismatun Nihayah R Sutandya Yudha Khaidar R Toto Sugiharto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Rambuana Ramdhan Triyadi Bempah Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ricarda Huch Riezky Andhika Pradana Riki Dhamparan Putra Rizki Aprima Putra Rokhim Sarkadek Rony Agustinus Royyan Julian Rukardi Rumah Budaya Pantura Rumah Budaya Pantura (RBP) Ruth Indiah Rahayu S Yoga S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safitri Ningrum Sahaya Santayana Sahli Hamid Saini KM Sajak Salvator Yen Joenaidy Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setyaningsih Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosial Media Sastra Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sudarmoko Sudirman Sugeng Sulaksono Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunaryata Soemarjo Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susie Evidia Y Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka T Agus Khaidir T.A. Sakti Tangguh Pitoyo Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teater Pendopo nDalem Mangkubumen (Dokumen) Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tiya Hapitiawati Tiyasa Jati Pramono Toeti Heraty TS Pinang Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Usman Arrumy UU Hamidy Veronika Ninik Vika Wisnu W.S. Rendra Wahyu Triono Ks Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wilda Fizriyani Willy Ana Y Alpriyanti Y.B. Mangunwijaya Yanto le Honzo Yasin Susilo Yasir Amri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yulhasni Zehan Zareez Zuhdi Swt Zul Afrita