Jumat, 23 Juli 2021

Martabat Bangsa

Budi Darma
nasional.kompas.com
 
Tengoklah dua peristiwa ini. Pertama, pengalaman Azrul Ananda ketika akan terbang dari Jakarta ke Surabaya. Kedua, ketika Michael Junarko akan memotret di sebuah kafe di Jakarta.
 
Azrul Ananda adalah tokoh muda yang ingin merevitalisasi kehidupan bola basket dan Michael Junarko adalah penulis surat pembaca Kompas, 19 Juni 2011. Pesawat Jakarta-Surabaya terlambat lama karena pilotnya ngambek menghadapi sistem kerja yang tak adil.
 
Kopilot bule yang tugasnya membantu pilot ini ternyata dibayar tiga kali lebih tinggi. Michael Junarko, sementara itu, melihat turis-turis asing bebas memotret, tetapi ketika akan memotret, dia kena marah oleh kaki tangan pemilik kafe. Orang asing boleh saja bebas memotret, tetapi orang Indonesia yang akan memotret harus memohon izin terlebih dahulu dan membayar.
 
Minke
 
Peristiwa lain yang intinya sama sudah sering kita dengar. Kesimpulannya, sikap mental kita dahulu ketika masih dijajah tak jauh berbeda dengan sikap kita sekarang kendati kita sudah lama merdeka. Pada zaman penjajahan dulu, tempat-tempat tertentu dipasangi tanda ”anjing dan pribumi dilarang masuk”.
 
Lalu, tengoklah novel Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia. Nama tokoh sentral Minke sebetulnya bukanlah nama sebenarnya. Nama ini pelesetan dari monkey alias kera dan intelektual pribumi pada waktu itu—dalam anggapan orang Belanda—tidak lain hanyalah kera.
 
Kemerdekaan politik ternyata tak memerdekakan mental yang lebih suka dijajah. Gejala mental lebih suka dijajah ini terjadi di mana-mana, di bekas negara-negara jajahan. Seorang psikiater kulit hitam, Frantz Fanon namanya, pernah menulis buku Black Skin, White Masks.
 
Gagasan untuk menulis buku ini dipicu oleh pengamatannya terhadap bangsa bekas jajahan di Afrika dan juga pengalaman estetikanya dalam membaca novel Things Fall Apart dan No Longer at Ease karya pengarang Afrika, Chinua Achebe. Things Fall Apart dan No Longer at Ease menggambarkan masa-masa kritis ketika orang Inggris mulai menanamkan kekuasaannya di Afrika, sewaktu seorang pemimpin berwibawa bernama Okonkwo ditinggalkan oleh kaumnya sendiri karena kaumnya lebih suka memihak Inggris.
 
Anak turun Okonkwo berlagak sebagai orang kulit putih, disekolahkan ke Inggris, lalu pulang menjadi orang penting di negerinya sendiri dan akhirnya—seperti para pemimpin kita—terlibat dalam korupsi. Kulit mereka tetap hitam, black skin ’kulit hitam’, tetapi lagak mereka seperti orang kulit putih yang merendahkan harkat kaumnya sendiri, white masks ’topeng putih’. Okonkwo, pemimpin yang awalnya berwibawa dan merasa dikhianati oleh kaumnya sendiri ini, akhirnya terpaksa memutuskan untuk bunuh diri.
 
Memang benar dua novel tersebut hanyalah fiksi, tetapi sebagaimana fiksi pada umumnya yang menggambarkan zeitgeist ’semangat zaman’, dua novel ini tidak bisa dilepaskan dari realitas yang sesungguhnya.
 
Kehidupan kaum Okonkwo ada miripnya dengan Friday dalam novel Daniel Defoe, Robinson Crusoe. Begitu melihat orang kulit putih bernama Robinson Crusoe, diam-diam dalam hati Friday sudah timbul keinginan mengabdikan diri kepada Robinson Crusoe. Diam-diam pula dalam hati Robinson Crusoe sudah tebersit keinginan memperbudak Friday dengan alasan akan mendidik Friday menjadi makhluk beradab.
 
Inilah sekadar contoh ”di negeri sana”. Di ”negeri sini” pun seorang pakar kolonialisme bernama Homi Bhabha pernah membahas sikap mental bangsa-bangsa bekas jajahan. Ada tiga butir pemikiran Homi Bhabha: mimikri, ambivalensi, dan hibriditas. Mimikri adalah sikap suka meniru bekas penjajah dahulu, seperti mengecat rambut menjadi pirang dan memutihkan kulit dengan white cleansing.
 
Kegemaran masyarakat kita menonton sinetron dengan bintang-bintang berkulit putih tak lain adalah pencerminan rasa rendah diri masyarakat karena lebih suka mengidolakan orang kulit putih daripada masyarakatnya sendiri.
 
Demikianlah, orang berkulit putih di Indonesia mendapat tempat terhormat dalam industri hiburan. Timbul pertanyaan, seandainya mereka dikembalikan ke negara nenek moyang mereka masing-masing, apakah mereka akan laku? Entahlah, tetapi mungkin tidak.
 
Ambivalensi adalah ketidakjelasan ”apakah ini atau itu”. Masyarakat kita tak lain adalah masyarakat kita sendiri, tetapi diam-diam dalam hati lebih suka dianggap sebagai masyarakat Barat. Masyarakat sadar bahwa dirinya adalah ”ini”, tetapi dalam hati ingin menjadi ”itu”.
 
Hibriditas mirip mimikri dan ambivalensi: kehidupan masyarakat kita tidak lagi ”asli”, tetapi sudah ”campuran”. Dan, masyarakat lebih suka apabila yang asli tinggal sedikit untuk didominasi oleh yang bukan asli.
 
Gelombang besar
 
Pengalaman pilot sebagaimana yang dilihat Azrul Ananda dan pengalaman Michael Junarko hanyalah riak-riak kecil di antara sekian banyak gelombang yang lebih besar. Tengoklah, misalnya, ulah IMF mendatangkan konsultan asing ke instansi pemerintah pada 1980-an. Mereka dianggap pandai dan terhormat karena mereka bukan orang Indonesia. Seorang pembesar Depdikbud terpaksa mengaku bahwa kemampuan banyak konsultan itu setara dengan sopir bus kota di Jakarta.
 
Ini juga terjadi di sebuah universitas di Surabaya. Konsultan asing datang mengajari dan mendidik para dosen. Ternyata konsultan ini harus diajari dan dididik oleh dosen yang seharusnya dikonsultani. Mengapa? Ya, karena kemampuan konsultan asing ini lebih kurang setara dengan kemampuan sopir bus kota.
 
Dalam perundingan mengenai penanaman modal asing, sementara itu, kita sering berada pada pihak yang dikalahkan. Contoh yang sudah bukan rahasia antara lain bisa dilihat dari kasus pertambangan: penduduk dikor- bankan, lingkungan dirusak, pembagian keuntungan tak seimbang; sementara kalau ada gejolak, pihak asing langsung atau tak langsung jadi pemenang.
 
Dalam sebuah percakapan tak resmi, ekonom Faisal Basri menyatakan bahwa kekalahan dalam penanaman modal asing dimulai pada zaman Orde Baru, waktu kita dalam keadaan terpaksa. Memang benar, andai kata tak ditopang oleh kekuatan asing, kemungkinan besar Orde Baru tak mampu mempertahankan kekuasaan dalam waktu lama. Situasi dan kondisi pada waktu itu memaksa Indonesia dikalahkan oleh kekuatan-kekuatan asing dalam penanaman modal.
 
Lalu, sekarang bagaimana? Mungkin juga dalam semua perundingan, sadar atau tidak, kita memang ”ingin dikalahkan” dan orang asing take it for granted pasti menang, sebagaimana yang tampak pada hubungan antara Robinson Crusoe dan Friday.

Budi Darma Sastrawan /30 Juni 2011 http://sastra-indonesia.com/2012/04/martabat-bangsa/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.S. Dharta Abdul Hadi WM Abdul Wachid B.S. Abdullah Abubakar Batarfie Abdurrahman Wahid Achmad Faesol Achmad S Achmad Soeparno Yanto Adin Adrian Balu Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Sasongko Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Prasmono Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Mustofa Bisri Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat al-Kindi Alex R. Nainggolan Ali Ahsan Al Haris Ali Audah Ali Syariati Amien Kamil Amien Wangsitalaja Andhika Dinata Andi Neneng Nur Fauziah Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Andy Riza Hidayat Anindita S. Thayf Anton Kurniawan Anton Sudibyo Aprinus Salam Arafat Nur Arif Hidayat Arman A.Z. Arthur Rimbaud Asap Studio Asarpin Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Badaruddin Amir Bagja Hidayat Balada Bambang Riyanto Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Butet Kartaredjasa Cak Bono Catatan Cecil Mariani Cerbung Cerpen Chairil Anwar Charles Bukowski Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dahta Gautama Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Danarto Dara Nuzzul Ramadhan Dareen Tatour Darju Prasetya Darojat Gustian Syafaat Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Sartika Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dianing Widya Yudhistira Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Pitono Djoko Saryono Djoko Subinarto Doan Widhiandono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Klik Santosa Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erik Purnama Putra Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esti Nuryani Kasam Evan Ys Evi Idawati F Aziz Manna F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Firman Wally Fiyan Arjun Forum Penulis dan Pegiat Literasi Lamongan (FP2L) Franz Kafka Galih M. Rosyadi Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Garna Raditya Gendut Riyanto Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gurindam Gusti Eka H.B. Jassin Halim HD Hamdy Salad Hamka Hari Sulastri Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasbi Zainuddin Hasif Amini Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Hermawan Mappiwali Herry Lamongan Hikmat Gumelar HM. Nasruddin Anshoriy Ch Hudan Hidayat Humam S Chudori Ibnu Wahyudi Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Iksaka Banu Ilham Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Arlado Imron Tohari Indra Tjahyadi Indrawati Jauharotun Nafisah Indrian Koto Inung As Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Ismi Wahid Iva Titin Shovia Iwan Fals Iwan Kurniawan Jakob Oetama Janual Aidi JJ. Kusni Johan Fabricius John H. McGlynn Jordaidan Rizsyah Jual Buku Sastra K.H. A. Azis Masyhuri Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kahlil Gibran Kamajaya Al. Katuuk Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khatijah Khoirul Inayah Ki Dhalang Sulang Ki Ompong Sudarsono Kikin Kuswandi Kodirun Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Sastra Mangkubumen (KSM) Komunitas Teater Se-Lamongan Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kucing Oren Kurniawan Junaedhie Kurniawan Muhammad Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Larung Sastra Latief S. Nugraha lensasastra.id Leo Tolstoy Leon Agusta Linda Christanty Lutfi Mardiansyah M. Aan Mansyur M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Harir Muzakki M. Lutfi M. Shoim Anwar M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marniati Martin Aleida Mashuri Masuki M. Astro Matroni Muserang Mawar Kusuma Max Arifin Melani Budianta Mihar Harahap Mikael Johani Miziansyah J. Moch. Fathoni Arief Moh. Ghufron Cholid Mohammad Afifi Mohammad Rafi Azzamy Muhammad Hanif Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun AS Muhidin M. Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Murnierida Pram Myra Sidharta Nadia Cahyani Naim Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nessa Kartika Ni Made Purnama Sari Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Noor H. Dee Nurel Javissyarqi Nurul Fahmy Nurul Ilmi Elbana Nyoman Tusthi Eddy Ong Hok Ham Orasi Budaya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Pablo Neruda Pay Jarot Sujarwo PDS H.B. Jassin Pendidikan Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Bergerak Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin Qismatun Nihayah R Sutandya Yudha Khaidar R Toto Sugiharto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Rambuana Ramdhan Triyadi Bempah Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ricarda Huch Riezky Andhika Pradana Riki Dhamparan Putra Rizki Aprima Putra Rokhim Sarkadek Rony Agustinus Royyan Julian Rukardi Rumah Budaya Pantura Rumah Budaya Pantura (RBP) Ruth Indiah Rahayu S Yoga S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safitri Ningrum Sahaya Santayana Sahli Hamid Saini KM Sajak Salvator Yen Joenaidy Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setyaningsih Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosial Media Sastra Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sudarmoko Sudirman Sugeng Sulaksono Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunaryata Soemarjo Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susie Evidia Y Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka T Agus Khaidir T.A. Sakti Tangguh Pitoyo Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teater Pendopo nDalem Mangkubumen (Dokumen) Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tiya Hapitiawati Tiyasa Jati Pramono Toeti Heraty TS Pinang Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Usman Arrumy UU Hamidy Veronika Ninik Vika Wisnu W.S. Rendra Wahyu Triono Ks Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wilda Fizriyani Willy Ana Y Alpriyanti Y.B. Mangunwijaya Yanto le Honzo Yasin Susilo Yasir Amri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yulhasni Zehan Zareez Zuhdi Swt Zul Afrita