Senin, 05 Juli 2021

Hati-hati dan Waspada di ‘Jaman Kaliyuga’ ini

Achmad Soeparno Yanto
 
Sugih ilmu lan sekti. Ngelmu lan kasekteni iku ora kanggo pribadi, nanging kanggo nulung marang sapada-pada. (Ilmu dan kesaktian itu bukan untuk diri kita sendiri, melainkan untuk menolong sesama)
 
Prabu Jayabaya, merupakan tokoh penting dalam dunia kejawen. Beliau merupakan seorang raja yang masyhur dari kerajaan Kediri (1135 – 1157 M). Prabu Jayabaya merupakan raja yang bijaksana dan memiliki pandangan yang futuristik. Kewaskitaannya, mewujud dalam “ayat-ayat” spiritual dan dipercaya akan benar-benar terjadi.
 
Sabda-sabda dari Prabu Jayabaya dihafal dan disebarkan para pengikutnya secara lesan maupun tertulis. Manuskrip-manuskripnya mampu menjadi rujukan dan prediksi masa depan para pengagumnya. Sampai saat ini Prabu Jayabaya menjadi legenda yang setiap ramalannya dianggap titis, dan menyimpan rahasia kebijaksanaan bagi siapapun untuk menjadi hidup.
 
Pada saat itu, sang Prabu harus menghadapi dunia yang konon disebut sebagai “jaman Kaliyuga”, dimana tanda-tanda akan berakhirnya sebuah dinasti sudah muncul. “Jaman Kaliyuga” melanda kerajaan Kediri dan membuat kerajaan itu hancur pada sekitar tahun 1222 M. Semua tanda-tanda muncul karena Prabu Kertanegara atau biasa dikenal dengan Prabu Dandanggendis, seringkali bersikap lalim dan sewenang-wenang sehingga menyakiti hati para Brahmana. Akibatnya, sering terjadi bencana alam, kekacauan, dan perang saudara.

Ken Arok yang merupakan raja Tumapel setelah menjatuhkan dan mengambil alih kekuasaan Akuwu Tunggul Ametung, serta memperistri Ken Dedes, melihat kerajaan Kediri yang semrawut dan di ambang kehancuran. Ken Arok mencoba memanfaatkan konflik internal kerajaan Kediri. Singkat cerita Ken Arok berhasil membuat para Brahmana kerajaan Kediri bangkit dan membantu Ken Arok untuk menduduki singgasana Kediri. Hingga pada akhirnya, sekitar tahun 1222 M kerajaan Kediri berhasil di caplok dan ditumbangkan Tumapel.
 
“Jaman Kaliyuga” merupakan ironi sebuah nation, mungkin begitu yang dipikirkan sang prabu. Beliu sadar, bahwa keperkasaan Kediri tinggal menunggu waktu saja. Bagaimana tidak, disaat kerajaan-kerajaan lain berpacu dalam membasmi kemiskinan, meningkatkan pendidikan dasar dan kesehatan rakyatnya, di kerajaannya waktu malah berputar sebaliknya. Sang prabu berpikir, saat itu air tidak lagi mengalir dari sungai ke lautan, melainkan lautan yang mengalir ke sungai.
 
Idiom “jaman Kaliyuga” mungkin tepat untuk menggambarkan keadaan negeri kita saat ini. Sebagai sebuah nation, Indonesia memang menuju pada kehancuran. Kehancuran rasa nasionalisme, kehancuran moral, kehancuran budaya baik itu atas nama kesucian agama, sukuisme, politik dan lain sebagainya. Sungguh, jika pemerintah hanya membiarkan segala permasalahan berlarat-larat maka yang akan terjadi di negeri ini hanya kehancuran total. Lihat saja bencana alam, rasialisme, pembunuhan etnis, perang atas nama agama, mental korup para abdi negara, kekacauan politik, seakan menjadi budaya baru yang menggeser budaya-budaya luhur peninggalan nenek moyang.
 
Sebagai sebuah nation, Indonesia harus berhati-hati. Harus belajar banyak pada prahara-prahara besar sejarah mala lalu. Negara ini sering terperosok dan jatuh dalam lubang kesalahan yang sama. Tidak hanya sekali, melainkan berkali-kali. Kondisi “jaman Kaliyuga” pada saat melanda dan kemudian menghancurkan kerajaan Kediri, sangat relevan dengan apa yang dialami bangsa ini. Saat ini.
 
Jika bangsa-bangsa lain sibuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya dengan berlomba-lomba menyediakan ruang publik yang nyaman. Memberikan pelayanan kepada publik dengan maksimal. Memberikan kesejahteraan bagi rakyat dengan membangun tempat-tempat penampungan para tunawisma, serta melakukan terobosan di bidang ilmu pengetahuan. Yang terjadi di negara kita malah sebaliknya, banyak pejabat negara yang memakan uang rakyatnya sendiri. Perkelahian bahkan saling bunuh sesama saudara sebangsa. Prinsip-prinsip luhur seperti Pancasila sebagai filosofi dasar negara, menguap dan semakin ditinggalkan.
 
Parahnya, keterpurukan yang melanda negeri ini ternyata dimanfaatkan oleh negara lain. Kita harus tetap waspada, serta sadar bahwa musuh yang sebenarnya itu datangnya dari luar, bukan dari negeri sendiri. Jika sampai saat ini kita masih disibukkan memerangi saudara sendiri, maka sudah saatnya untuk bersatu dan mengamankan tanah air agar tidak jatuh dan disetir negara lain. Seperti ketika Tumapel mencaplok kerajaan Kediri.
 
Meski dilanda “jaman Kaliyuga”, bukan berarti tidak ada secercah harapan untuk negeri ini. Karena masih ada harapan yang lebih baik ke depan. Bahkan sang Prabu sendiri meramalkan, akan datang “jaman Kretayuga” atau “Kalakreta”, setelah “jaman Kaliyuga”. “Jaman Kretayuga” merupakan jaman yang gemilang, jaman yang gemah ripah loh jinawi tata tentrem kerta raharja, jaman keemasan dimana rakyatnya makmur dan sejahtera. Tapi menurut sang Prabu, perubahan jaman itu tidak terjadi begitun saja, melainkan melalui tangan sang pembebas atau yang disebut Ratu Adil. Sekarang yang jadi pertanyaan saya siapa yang akan menjadi Ratu Adil negeri ini?
***

http://sastra-indonesia.com/2010/11/hati-hati-dan-waspada-di-jaman-kaliyuga-ini/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.S. Dharta Abdul Hadi WM Abdul Wachid B.S. Abdullah Abubakar Batarfie Abdurrahman Wahid Achmad Faesol Achmad S Achmad Soeparno Yanto Adin Adrian Balu Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Sasongko Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Prasmono Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Mustofa Bisri Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat al-Kindi Alex R. Nainggolan Ali Ahsan Al Haris Ali Audah Ali Syariati Amien Kamil Amien Wangsitalaja Andhika Dinata Andi Neneng Nur Fauziah Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Andy Riza Hidayat Anindita S. Thayf Anton Kurniawan Anton Sudibyo Aprinus Salam Arafat Nur Arif Hidayat Arman A.Z. Arthur Rimbaud Asap Studio Asarpin Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Badaruddin Amir Bagja Hidayat Balada Bambang Riyanto Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Butet Kartaredjasa Cak Bono Catatan Cecil Mariani Cerbung Cerpen Chairil Anwar Charles Bukowski Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dahta Gautama Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Danarto Dara Nuzzul Ramadhan Dareen Tatour Darju Prasetya Darojat Gustian Syafaat Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Sartika Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dianing Widya Yudhistira Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Pitono Djoko Saryono Djoko Subinarto Doan Widhiandono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Klik Santosa Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erik Purnama Putra Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esti Nuryani Kasam Evan Ys Evi Idawati F Aziz Manna F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Firman Wally Fiyan Arjun Forum Penulis dan Pegiat Literasi Lamongan (FP2L) Franz Kafka Galih M. Rosyadi Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Garna Raditya Gendut Riyanto Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gurindam Gusti Eka H.B. Jassin Halim HD Hamdy Salad Hamka Hari Sulastri Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasbi Zainuddin Hasif Amini Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Hermawan Mappiwali Herry Lamongan Hikmat Gumelar HM. Nasruddin Anshoriy Ch Hudan Hidayat Humam S Chudori Ibnu Wahyudi Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Iksaka Banu Ilham Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Arlado Imron Tohari Indra Tjahyadi Indrawati Jauharotun Nafisah Indrian Koto Inung As Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Ismi Wahid Iva Titin Shovia Iwan Fals Iwan Kurniawan Jakob Oetama Janual Aidi JJ. Kusni Johan Fabricius John H. McGlynn Jordaidan Rizsyah Jual Buku Sastra K.H. A. Azis Masyhuri Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kahlil Gibran Kamajaya Al. Katuuk Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khatijah Khoirul Inayah Ki Dhalang Sulang Ki Ompong Sudarsono Kikin Kuswandi Kodirun Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Sastra Mangkubumen (KSM) Komunitas Teater Se-Lamongan Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kucing Oren Kurniawan Junaedhie Kurniawan Muhammad Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Larung Sastra Latief S. Nugraha lensasastra.id Leo Tolstoy Leon Agusta Linda Christanty Lutfi Mardiansyah M. Aan Mansyur M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Harir Muzakki M. Lutfi M. Shoim Anwar M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marniati Martin Aleida Mashuri Masuki M. Astro Matroni Muserang Mawar Kusuma Max Arifin Melani Budianta Mihar Harahap Mikael Johani Miziansyah J. Moch. Fathoni Arief Moh. Ghufron Cholid Mohammad Afifi Mohammad Rafi Azzamy Muhammad Hanif Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun AS Muhidin M. Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Murnierida Pram Myra Sidharta Nadia Cahyani Naim Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nessa Kartika Ni Made Purnama Sari Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Noor H. Dee Nurel Javissyarqi Nurul Fahmy Nurul Ilmi Elbana Nyoman Tusthi Eddy Ong Hok Ham Orasi Budaya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Pablo Neruda Pay Jarot Sujarwo PDS H.B. Jassin Pendidikan Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Bergerak Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin Qismatun Nihayah R Sutandya Yudha Khaidar R Toto Sugiharto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Rambuana Ramdhan Triyadi Bempah Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ricarda Huch Riezky Andhika Pradana Riki Dhamparan Putra Rizki Aprima Putra Rokhim Sarkadek Rony Agustinus Royyan Julian Rukardi Rumah Budaya Pantura Rumah Budaya Pantura (RBP) Ruth Indiah Rahayu S Yoga S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safitri Ningrum Sahaya Santayana Sahli Hamid Saini KM Sajak Salvator Yen Joenaidy Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setyaningsih Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosial Media Sastra Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sudarmoko Sudirman Sugeng Sulaksono Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunaryata Soemarjo Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susie Evidia Y Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka T Agus Khaidir T.A. Sakti Tangguh Pitoyo Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teater Pendopo nDalem Mangkubumen (Dokumen) Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tiya Hapitiawati Tiyasa Jati Pramono Toeti Heraty TS Pinang Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Usman Arrumy UU Hamidy Veronika Ninik Vika Wisnu W.S. Rendra Wahyu Triono Ks Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wilda Fizriyani Willy Ana Y Alpriyanti Y.B. Mangunwijaya Yanto le Honzo Yasin Susilo Yasir Amri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yulhasni Zehan Zareez Zuhdi Swt Zul Afrita