Senin, 05 Juli 2021

Bung Sultan, Mengakhiri Mitos Ratu Adil?

R Toto Sugiharto *
kr.co.id
 
BUNG Sultan yang dimaksud dalam tulisan ini bukan Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X), melainkan ayahanda beliau, mendiang Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) IX. Penyebutan “bung” untuk kalangan aristokrat, seperti juga untuk Sultan HB IX, bukannya tanpa sebab. Panggilan “bung” untuk aristokrat adalah akibat dari revolusi sosial pada 1946 di Surakarta (Kedaulatan Rakjat, 17 Djanuari 1946). Pemanggilan itu sebagai tuntutan kesetaraan dan demokratisasi dari kelompok radikal yang menghendaki pemusnahan feodalisme yang berakar dari kalangan bangsawan yang berpusat di Keraton Surakarta: Kasunanan dan Mangkunegaran. Tuntutan lainnya adalah peleburan sistem pemerintahan istimewa di daerah (khususnya Surakarta) agar bergabung dengan pemerintah Republik Indonesia.
 
Prosesnya adalah kebetulan, bila saya mendapatkan tulisan tentang peran Sultan HB IX semasa menjabat Menteri Pertahanan dalam pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS) pada 1950-an yang berhasil meredam konflik di beberapa daerah di wilayah Indonesia Timur. Tulisan ini saya temukan dalam salah satu esai pada manuskrip karya mendiang Raden Panji Anom (RPA) Suryanto Sastroatmodjo, budayawan dan mantan jurnalis yang mengisahkan perihal eratnya persahabatan antara Suryanto kecil (putra seorang bupati Bojonegoro) dengan Sultan HB IX yang bertahta sebagai Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Esai obituari tentang Sultan HB IX itu ditulis Suryanto pada 29 November 1998, sebulan setelah Sultan HB IX wafat pada 8 Oktober 1988. Kebetulan pula saya yang menyunting buku RPA Suryanto Sastroatmodjo, Bung Sultan: Bunga Rampai Esai tentang Lelaku Priyayi Jawa (Adiwacana, Juni 2008).
 
Diilustrasikan dalam esai itu, tetua Samin yang bergelar Kyai Lunggadung dari Nagaran – di perbatasan Bojonegoro – Blora – meyakini Sultan HB IX sebagai Ratu Amisani, raja terakhir di tanah Jawa, seperti diramalkan Raja Kediri, Jayabaya. Beberapa sifat yang menandainya, antara lain menurut Suryanto: kepribadian yang merakyat, keberhasilan meredam konflik di sejumlah wilayah “federal” dari kekuasaan RIS, dan keberhasilan merangkul dua peradaban Timur dengan Barat.
 
Di masa sekarang, Ratu Adil atau Mesiah hanya tinggal sebongkah mitos. Sebagai penyunting naskah, saya tidak tahu pasti apakah Suryanto juga meyakini sesuatu yang menjadi keyakinan Kyai Lunggadung itu. Semasa hidupnya, meski saya pernah sekantor dengannya, Suryanto juga tidak pernah bercerita perihal manuskripnya itu. Saya pikir, Suryanto lebih mengedepankan perannya sebagai jurnalis saat itu dengan menulis laporan apa adanya. Yang pasti, sebagai mitos, Sultan HB IX – apabila memang diyakini sebagai Ratu Adil – toh, sudah menunaikan tugasnya dengan baik. Apakah kemudian paparan tersebut mengisyaratkan bahwa tanda berakhirnya mitos Ratu Adil?
 
Sejarawan Suhartono W Pranoto dalam bukunya, Serpihan Budaya Feodal (2001) mengilustrasikan, mitos perihal Ratu Adil atau Mesiah merupakan aliran yang meyakini kedatangan seorang mesias atau utusan Tuhan yang mampu menyelamatkan keadaan sosial menjadi lebih ideal. Ratu Adil diyakini memiliki kekuatan supranatural, misalnya dapat mempercepat proses tercapainya zaman keemasan yang adil, tertib, serta murah sandang dan pangan. Wacana tentang kemungkinan datangnya mesias biasanya karena dirindukan oleh masyarakat tertentu yang tengah menghadapi kesulitan hidup dan tekanan keadaan. Wacana itu kemudian dikontekstualisasikan sesuai masa dan kelompok masyarakatnya, antara lain untuk pemenuhan pada profil atau sosok pemimpin daerah yang jujur, adil, dan memperjuangkan serta mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Sejarawan mencatat gerakan mesianistik merebak pada abad XIX – XX.
 
Sepuluh tahun silam – setelah bebas dari rezim Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun – kita merindukan pemimpin yang benar-benar adil yang mampu membawa negara kepada situasi aman, damai, adil, dan makmur. Kita sama-sama mengantongi asa dan optimisme pasca lengsernya Soeharto. Tetapi, apa yang terjadi kemudian? Hingga sepuluh tahun era reformasi berjalan, keadaan justru semakin menyusahkan. Moralitas elite politisi semakin korup dan menjengkelkan. Kebijakan pemerintah tidak memihak rakyat. Beban hidup pun semakin berat.
 
Adakah harapan akan datangnya Ratu Adil masih relevan ditanam di benak kita? Bukankah mitos tidak lebih sebagai proses pencitraan? Pencitraan sebongkah mitos memerlukan legitimasi dari sejumlah kekuatan sinergis yang mendukungnya. Sementara sebagai sebuah paham, mesianistis semestinya memenuhi sejumlah karakteristik institusional. Tidak hanya fisik yang memenuhi kriteria ideal, seorang Mesiah – menurut sejarawan Suhartono – semestinya juga memiliki karakter kepemimpinan, ideologi, dan massa pendukung.
 
Boleh jadi, implementasinya di era reformasi untuk isu Ratu Adil juga memerlukan strategi dan siasat tertentu. Secara institusional mungkin bisa melalui partai politik atau koalisi antarparpol yang meminangnya. Tetapi, tentu saja konsepsi Ratu Adil di era keterbukaan dan demokratis sudah tereduksi tatkala mewujud atau termanifes pada sosok calon pemimpin yang dipilih melalui mekanisme pengambilan suara rakyat. Karena, pada akhirnya meskipun calon terpilih menghadapi “mitologisasi” dari kelompok sinergis yang melegitimatimasinya, pada saat bersamaan ia juga mengalami desakralisasi dari kubu oposan yang mengkritisinya. Maka, siapa pun yang menjadi pemimpin, keadaan negara pun nyaris tiada perubahan berarti.
 
Walhasil, impian untuk meraih hidup sejahtera, adil, dan makmur – di bawah kepemimpinan sosok berwibawa dan benar-benar adil – masih jauh panggang dari api. Seusai pesta demokrasi, rakyat kembali menghadapi kenyataan hidup yang semakin pahit. Lebih-lebih Menteri Keuangan Sri Mulyani sudah wanti-wanti masih adanya kemungkinan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) lagi. Tarulah kita sudah memiliki nama-nama yang diasumsikan akan mencalonkan diri dalam Pemilihan Presiden 2009 mendatang. Mereka adalah Susilo Bambang Yudhoyono, Megawati Soekarnoputri, Sri Sultan HB X, Hidayat Nur Wahid, Amien Rais, Sutiyoso, Wiranto, Abdurrahman Wahid, dan Jusuf Kalla. Nama-nama tersebut saya kutip dari hasil survei Setara Institute dan Lembaga Survei Nasional yang telah dipublikasikan di media. Tentu saja peringkat popularitas yang diperolehnya masih akan fluktuatif hingga batas waktu dilaksanakannya Pemilihan Presiden 2009. Maka, akan semakin terlihat jelas, bahwa kemunculan nama-nama tersebut tidak dilatarbelakangi dari mitos. Pun, seandainya, muncul nama kandidat baru di luar nama-nama yang sudah ada selama kurun waktu sepuluh tahun terakhir. Lembaga survei ataupun kelompok sinergis serta media informasi akan mengambil peran sebagai pembuat legitimasi dalam proses pencitraan masing-masing nama tersebut.
 
Baiklah, kita tunggu saja hari-hari menuju pertaruhan eksistensi diri di ajang Pemilihan Presiden 2009 mendatang. Masih adakah parpol yang mengemas jagonya ke dalam mitologi mesianistis? Seandainya masih ada, dari kalangan pemilih pemula pasti akan mengolok-olok, “takhayul banget…!”. q – s. (4001-2008).
***

*) Deputi Lembaga Kajian Pendidikan dan Humaniora Indonesia. http://sastra-indonesia.com/2009/06/bung-sultan-mengakhiri-mitos-ratu-adil/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.S. Dharta Abdul Hadi WM Abdul Wachid B.S. Abdullah Abubakar Batarfie Abdurrahman Wahid Achmad Faesol Achmad S Achmad Soeparno Yanto Adin Adrian Balu Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Sasongko Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Prasmono Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Mustofa Bisri Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat al-Kindi Alex R. Nainggolan Ali Ahsan Al Haris Ali Audah Ali Syariati Amien Kamil Amien Wangsitalaja Andhika Dinata Andi Neneng Nur Fauziah Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Andy Riza Hidayat Anindita S. Thayf Anton Kurniawan Anton Sudibyo Aprinus Salam Arafat Nur Arif Hidayat Arman A.Z. Arthur Rimbaud Asap Studio Asarpin Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Badaruddin Amir Bagja Hidayat Balada Bambang Riyanto Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Butet Kartaredjasa Cak Bono Catatan Cecil Mariani Cerbung Cerpen Chairil Anwar Charles Bukowski Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dahta Gautama Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Danarto Dara Nuzzul Ramadhan Dareen Tatour Darju Prasetya Darojat Gustian Syafaat Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Sartika Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dianing Widya Yudhistira Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Pitono Djoko Saryono Djoko Subinarto Doan Widhiandono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Klik Santosa Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erik Purnama Putra Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esti Nuryani Kasam Evan Ys Evi Idawati F Aziz Manna F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Firman Wally Fiyan Arjun Forum Penulis dan Pegiat Literasi Lamongan (FP2L) Franz Kafka Galih M. Rosyadi Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Garna Raditya Gendut Riyanto Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gurindam Gusti Eka H.B. Jassin Halim HD Hamdy Salad Hamka Hari Sulastri Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasbi Zainuddin Hasif Amini Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Hermawan Mappiwali Herry Lamongan Hikmat Gumelar HM. Nasruddin Anshoriy Ch Hudan Hidayat Humam S Chudori Ibnu Wahyudi Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Iksaka Banu Ilham Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Arlado Imron Tohari Indra Tjahyadi Indrawati Jauharotun Nafisah Indrian Koto Inung As Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Ismi Wahid Iva Titin Shovia Iwan Fals Iwan Kurniawan Jakob Oetama Janual Aidi JJ. Kusni Johan Fabricius John H. McGlynn Jordaidan Rizsyah Jual Buku Sastra K.H. A. Azis Masyhuri Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kahlil Gibran Kamajaya Al. Katuuk Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khatijah Khoirul Inayah Ki Dhalang Sulang Ki Ompong Sudarsono Kikin Kuswandi Kodirun Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Sastra Mangkubumen (KSM) Komunitas Teater Se-Lamongan Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kucing Oren Kurniawan Junaedhie Kurniawan Muhammad Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Larung Sastra Latief S. Nugraha lensasastra.id Leo Tolstoy Leon Agusta Linda Christanty Lutfi Mardiansyah M. Aan Mansyur M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Harir Muzakki M. Lutfi M. Shoim Anwar M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marniati Martin Aleida Mashuri Masuki M. Astro Matroni Muserang Mawar Kusuma Max Arifin Melani Budianta Mihar Harahap Mikael Johani Miziansyah J. Moch. Fathoni Arief Moh. Ghufron Cholid Mohammad Afifi Mohammad Rafi Azzamy Muhammad Hanif Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun AS Muhidin M. Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Murnierida Pram Myra Sidharta Nadia Cahyani Naim Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nessa Kartika Ni Made Purnama Sari Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Noor H. Dee Nurel Javissyarqi Nurul Fahmy Nurul Ilmi Elbana Nyoman Tusthi Eddy Ong Hok Ham Orasi Budaya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Pablo Neruda Pay Jarot Sujarwo PDS H.B. Jassin Pendidikan Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Bergerak Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin Qismatun Nihayah R Sutandya Yudha Khaidar R Toto Sugiharto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Rambuana Ramdhan Triyadi Bempah Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ricarda Huch Riezky Andhika Pradana Riki Dhamparan Putra Rizki Aprima Putra Rokhim Sarkadek Rony Agustinus Royyan Julian Rukardi Rumah Budaya Pantura Rumah Budaya Pantura (RBP) Ruth Indiah Rahayu S Yoga S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safitri Ningrum Sahaya Santayana Sahli Hamid Saini KM Sajak Salvator Yen Joenaidy Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setyaningsih Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosial Media Sastra Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sudarmoko Sudirman Sugeng Sulaksono Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunaryata Soemarjo Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susie Evidia Y Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka T Agus Khaidir T.A. Sakti Tangguh Pitoyo Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teater Pendopo nDalem Mangkubumen (Dokumen) Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tiya Hapitiawati Tiyasa Jati Pramono Toeti Heraty TS Pinang Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Usman Arrumy UU Hamidy Veronika Ninik Vika Wisnu W.S. Rendra Wahyu Triono Ks Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wilda Fizriyani Willy Ana Y Alpriyanti Y.B. Mangunwijaya Yanto le Honzo Yasin Susilo Yasir Amri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yulhasni Zehan Zareez Zuhdi Swt Zul Afrita