Jumat, 23 Juli 2021

Binhad Nurrohmat Has Got No Balls, Or Brain!

Mikael Johani *
 
Saya geli sekaligus ngeri membaca Binhad Nurrohmat dalam “Menganiaya Puisi …” (Kompas, 21 Mei 2006) begitu marah pada “kritik gadungan” yang “menyatakan kesimpulan tanpa data yang komprehensif, tanpa fakta yang tepat, dan tanpa analisa maupun pembuktian yang meyakinkan,” (ini di alinea 2) tapi sampai alinea 6 waktu dia mengulangi lagi pidatonya, “Mari menilai dan mohon jangan menduga belaka secara subyektif, tanpa data yang komprehensif, tanpa fakta yang tepat, dan tanpa analisa serta pembuktian yang meyakinkan,” dia sendiri pun belum juga menunjukkan sedikit pun “data yang komprehensif”, maupun “fakta yang tepat”, apalagi “analisa serta pembuktian yang meyakinkan” tadi. Dan sampai tulisan ini berakhir 3 alinea kemudian semua hal yang dikoarkan Binhad harus muncul dari mulut seorang kritik itu tetap saja tidak muncul dari mulutnya sendiri.
 
Salah satu “kritik gadungan” ini adalah F Rahardi yang menurut Binhad “menuduh puisi penyair generasi terkini kalah oleh puisi penyair generasi terdahulu, puisi penyair Jakarta tertinggal jauh dari puisi penyair Bali dan Lampung, dan puisi penyair generasi terkini kalah mutu dengan cerpen dan novel terkini.”
 
Menurut saya kesimpulan Binhad tentang tuduhan F Rahardi itu agak melenceng. Tuduhan F Rahardi pada puisi generasi terkini sebenarnya jauh lebih kejam. Dalam tulisannya (“Umbu dan Puisi Indonesia Modern”, Kompas, 14 Mei—seminggu sebelum balasan Binhad) F Rahardi menyatakan, “… dalam sepuluh tahun terakhir … tidak ada puisi bagus.”
 
Sesungguhnya kalau Binhad ingin membuktikan bahwa tuduhan ini salah, gampang. Tunjukkan saja sebuah contoh “puisi bagus” dari sepuluh tahun terakhir ini! Satu puisi pun akan sekaligus menjadi “data yang komprehensif, fakta yang tepat, dan analisa serta pembuktian yang meyakinkan” yang didamba-dambakan Binhad dari tadi.
 
Tapi pembuktian yang diberikan Binhad justru argumen-argumen ad hominem yang sekedar menempelkan stiker-stiker mengerikan pada jidat komentator-komentator puisi Indonesia: “nostalgis”, “provinsialistik”, “suka mencomot kesimpulan dari gerundelan pribadi”, “dangkal”, “antik”, “omong besar”, “melantur”, “ajaib”, “berbunga-bunga”, dan masih banyak lagi.
 
Sekalinya Binhad mengalihkan perhatian dari mencerca kritik gadungan dan mencoba memberi pembelaan untuk yang dikritik dia hanya menyatakan, “Hampir sepanjang dua dasawarsa ini, hampir semua koran edisi Minggu di negeri ini dan juga situs-situs puisi di internet menampilkan puisi-puisi para penyair generasi terkini yang jumlahnya tak tertandingi sepanjang sejarah puisi Indonesia modern.” Jumlahnya! Begitu cepat Binhad lupa bahwa yang dikeluhkan F Rahardi, dan yang membuat Binhad sendiri begitu murka, adalah bahwa “tidak ada puisi bagus”. Bukan bahwa tidak ada puisi.
 
Memang kemudian Binhad meneruskan bahwa mungkin masalahnya “puisi-puisi yang jumlahnya tak tertandingi sepanjang sejarah puisi Indonesia modern” tadi (“data”-mu “yang komprehensif” untuk ini mana, Binhad?) “belum semuanya dijamah, diendus, dan dirogoh secara representatif dan saksama oleh kritikus manapun”. Tapi bukannya ini satu lagi kesempatan, pas sekali, untuk menunjukkan satu, satu saja ayo, “puisi bagus” tadi? Kalau tidak ada yang mau merogoh, ya rogoh saja sendiri!
 
Tapi tidak, Binhad sampai akhir tulisannya hanya memaparkan bagaimana kehidupan para penyair generasi terkini begitu berbeda dari penyair generasi sebelumnya (eg. “bisa ‘berguru’ melalui internet”, tidak perlu “ngutil buku semacam Chairil Anwar”). Yang gampang ditebak mengarah ke permohonan klise supaya “kritik-kritik gadungan” tadi jangan menilai puisi-puisi penyair generasi terkini dengan nilai-nilai yang mereka pakai untuk menilai penyair-penyair generasi sebelumnya.
 
Tetap saja, menyatakan bahwa “zaman sudah berubah dan bergerak cepat” tidak sama dengan membuktikan bahwa zaman itu sudah menghasilkan puisi bagus. Binhad tetap tidak bisa melihat bahwa yang perlu dia lakukan hanyalah memberi satu contoh saja sebuah “puisi bagus”; itu cukup untuk mematahkan tuduhan F Rahardi.
 
Kenapa, misalnya, Binhad tidak menyebutkan saja sajaknya “Columbus” yang dimuat di halaman Sajak Sajak Kompas Minggu 30 April 2006, dan menantang F Rahardi untuk membuktikan bahwa puisi itu bukan “puisi bagus”? Atau membandingkannya sendiri dengan, misalnya, sajak F Rahardi “Burung Madu” yang dimuat di halaman yang sama seminggu kemudian? Menurut saya beberapa larik dalam “Columbus”, eg. “Tak ada rindu di punggungmu yang kekar”, “dan api tualang membakar alamat rumah”, atau “mata jangkar capek merobek punggung udara”, cukup memenuhi syarat-syarat “kepenyairan tulen” yang dituntut Binhad sendiri, yang “intim dengan suka-duka, manis-getir, serta bobrok-mulianya kenyataan zamannya luar dalam.” Apa Binhad kurang percaya diri?
 
Tulisan Binhad ini, selain tidak bisa membuktikan salahnya tuduhan F Rahardi bahwa “sepuluh tahun terakhir ini tidak ada puisi bagus”, justru secara tidak sadar membuktikan tuduhan (antara lain) Katrin Bandel dalam eseinya “Sastra Koran di Indonesia” bahwa “[i]nformasi yang jelas, apalagi argumentasi yang masuk akal, sangat jarang terdapat dalam esei-esei [koran] itu. Entah karena memang tak ada penulis yang mampu atau karena ‘memukul’ dan menjelekkan lawan dan memuji-muji kawan dianggap sudah cukup.” (Sastra, Perempuan, Seks, Jalasutra, 2006, hlm. 49.) Dalam kasus tulisan Binhad ini, saya rasa Katrin bisa menghapus “Entah” dan mengganti “atau” dengan “dan”.
 
Sayang, Binhad. Karena kalau anda berhenti “memukul dan menjelekkan” sebentar saja, mungkin anda akan punya waktu untuk menemukan ini:
 
Re: Kota [2]
 
ada kota penuh kaki
muda, mulus, dan liar
 
inilah kaki dari senja emas
 
(Edo Wallad, Antologi Bunga Matahari, Avatar Press, 2005, hlm. 146.)
 
Sentimentil mungkin. Tapi bagus. Dan ditulis sepuluh tahun terakhir ini (6 Januari 2003 menurut keterangan bukunya). Habis perkara.
 
6 Mei 2007

*) Mikael Johani sekarang tidak lagi harus menghabiskan waktunya pura-pura bekerja sebagai penyunting di Jurnal Perempuan. http://sastra-indonesia.com/2017/12/binhad-nurrohmat-has-got-no-balls-or-brain/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.S. Dharta Abdul Hadi WM Abdul Wachid B.S. Abdullah Abubakar Batarfie Abdurrahman Wahid Achmad Faesol Achmad S Achmad Soeparno Yanto Adin Adrian Balu Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Sasongko Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Prasmono Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Mustofa Bisri Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat al-Kindi Alex R. Nainggolan Ali Ahsan Al Haris Ali Audah Ali Syariati Amien Kamil Amien Wangsitalaja Andhika Dinata Andi Neneng Nur Fauziah Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Andy Riza Hidayat Anindita S. Thayf Anton Kurniawan Anton Sudibyo Aprinus Salam Arafat Nur Arif Hidayat Arman A.Z. Arthur Rimbaud Asap Studio Asarpin Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Badaruddin Amir Bagja Hidayat Balada Bambang Riyanto Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Butet Kartaredjasa Cak Bono Catatan Cecil Mariani Cerbung Cerpen Chairil Anwar Charles Bukowski Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dahta Gautama Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Danarto Dara Nuzzul Ramadhan Dareen Tatour Darju Prasetya Darojat Gustian Syafaat Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Sartika Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dianing Widya Yudhistira Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Pitono Djoko Saryono Djoko Subinarto Doan Widhiandono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Klik Santosa Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erik Purnama Putra Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esti Nuryani Kasam Evan Ys Evi Idawati F Aziz Manna F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Firman Wally Fiyan Arjun Forum Penulis dan Pegiat Literasi Lamongan (FP2L) Franz Kafka Galih M. Rosyadi Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Garna Raditya Gendut Riyanto Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gurindam Gusti Eka H.B. Jassin Halim HD Hamdy Salad Hamka Hari Sulastri Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasbi Zainuddin Hasif Amini Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Hermawan Mappiwali Herry Lamongan Hikmat Gumelar HM. Nasruddin Anshoriy Ch Hudan Hidayat Humam S Chudori Ibnu Wahyudi Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Iksaka Banu Ilham Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Arlado Imron Tohari Indra Tjahyadi Indrawati Jauharotun Nafisah Indrian Koto Inung As Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Ismi Wahid Iva Titin Shovia Iwan Fals Iwan Kurniawan Jakob Oetama Janual Aidi JJ. Kusni Johan Fabricius John H. McGlynn Jordaidan Rizsyah Jual Buku Sastra K.H. A. Azis Masyhuri Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kahlil Gibran Kamajaya Al. Katuuk Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khatijah Khoirul Inayah Ki Dhalang Sulang Ki Ompong Sudarsono Kikin Kuswandi Kodirun Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Sastra Mangkubumen (KSM) Komunitas Teater Se-Lamongan Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kucing Oren Kurniawan Junaedhie Kurniawan Muhammad Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Larung Sastra Latief S. Nugraha lensasastra.id Leo Tolstoy Leon Agusta Linda Christanty Lutfi Mardiansyah M. Aan Mansyur M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Harir Muzakki M. Lutfi M. Shoim Anwar M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marniati Martin Aleida Mashuri Masuki M. Astro Matroni Muserang Mawar Kusuma Max Arifin Melani Budianta Mihar Harahap Mikael Johani Miziansyah J. Moch. Fathoni Arief Moh. Ghufron Cholid Mohammad Afifi Mohammad Rafi Azzamy Muhammad Hanif Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun AS Muhidin M. Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Murnierida Pram Myra Sidharta Nadia Cahyani Naim Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nessa Kartika Ni Made Purnama Sari Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Noor H. Dee Nurel Javissyarqi Nurul Fahmy Nurul Ilmi Elbana Nyoman Tusthi Eddy Ong Hok Ham Orasi Budaya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Pablo Neruda Pay Jarot Sujarwo PDS H.B. Jassin Pendidikan Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Bergerak Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin Qismatun Nihayah R Sutandya Yudha Khaidar R Toto Sugiharto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Rambuana Ramdhan Triyadi Bempah Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ricarda Huch Riezky Andhika Pradana Riki Dhamparan Putra Rizki Aprima Putra Rokhim Sarkadek Rony Agustinus Royyan Julian Rukardi Rumah Budaya Pantura Rumah Budaya Pantura (RBP) Ruth Indiah Rahayu S Yoga S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safitri Ningrum Sahaya Santayana Sahli Hamid Saini KM Sajak Salvator Yen Joenaidy Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setyaningsih Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosial Media Sastra Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sudarmoko Sudirman Sugeng Sulaksono Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunaryata Soemarjo Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susie Evidia Y Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka T Agus Khaidir T.A. Sakti Tangguh Pitoyo Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teater Pendopo nDalem Mangkubumen (Dokumen) Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tiya Hapitiawati Tiyasa Jati Pramono Toeti Heraty TS Pinang Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Usman Arrumy UU Hamidy Veronika Ninik Vika Wisnu W.S. Rendra Wahyu Triono Ks Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wilda Fizriyani Willy Ana Y Alpriyanti Y.B. Mangunwijaya Yanto le Honzo Yasin Susilo Yasir Amri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yulhasni Zehan Zareez Zuhdi Swt Zul Afrita