Senin, 21 Juni 2021

Puisi yang Kukuh Merengkuh Realitas

Alex R. Nainggolan *
Lampung Post, 4 Nov 2012
      
Puan dan tuan yang terhormat,
Membaca puisi adalah membaca kata. Ketika isi kepala bercampur dengan segala pengetahuan, menyulingnya dari segala macam kisah, mendedahkan makna yang terkandung di dalamnya. Semacam masuk labirin yang panjang. Mengetuk di pelbagai pintu. Syukur bisa masuk dan bertemu dengan ragam makna dan kisah. Itulah, terkadang saat membaca sebuah puisi terasa berbeda antarpribadi untuk meresapinya. Mulanya adalah rasa, kemudian berlanjut dengan ketegangan. Jarak antarkata yang rapat, sepenggal paragraf yang sekejap menggugah kesadaran. Tak heran, setiap kali membaca sebuah puisi, justru pembaca menciptakan dunianya sendiri. Dunia yang dibangun dari pusaran kata-kata itu sendiri.
 
Pun sebuah puisi tak pernah alpa atau dusta pada realitas. Bahkan ketika imajinasi atau metafora yang disuguhkan begitu melebar, ia tetap menguntit realitas tersebut. Hamparan imaji yang terangkum dalam diksi seperti sebuah selimut, membingkai peristiwa?yang hendak diungkapkan. Sebuah karya mungkin bergerak seperti Sokrates yang senantiasa tampil sebagai sosok yang tak tahu dan senantiasa mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada lawan bicaranya (si pembaca) agar terus mencari dan mengolah pengertian yang lebih dalam tentang diri dan dunia yang dialaminya. Dengan kata lain, setiap sajak memang tak mesti mutlak mengatakan dengan pasti. Bisa saja, ia bermaksud begini, tapi maunya begitu. Dan segala macam bentuk tafsiran bebas ketika sajak dibaca. Pembaca dengan segenap pengetahuannya bisa mengembara dengan sendirinya.
 
Ia, sebagaimana yang pernah diungkap Goenawan Mohammad dalam sajak Kwatrin pada Sebuah Poci?berusaha untuk tidak retak, tampil sempurna dengan kependekan kata yang dimilikinya tapi berusaha menjadi abadi. Puisi yang baik memang berusaha untuk melawan lupa itu sendiri. Dengan gaung kata yang terasa ganjil dan gigil, ia memaknai segala yang terkandung di dalamnya. Dan perjuangan si penyair untuk menuliskannya memang dipenuhi dengan misteri yang ajaib pula, kerap dihantui oleh keganjilan itu sendiri.
 
Akhirnya, puisi memang tetap kukuh bersama realitas. Ia menempuh segala jazirah kata yang dimilikinya untuk tetap terkayuh, luruh tanpa mesti bersikap verbal terhadap bahasa. Dengan meneguhkan realitas, setidaknya puisi akan menjadi sebuah dermaga lalu memandang arah perjalanan selanjutnya. Puisi semacam biduk yang berlayar sendirian di antara samudera kata-kata. Meskipun banyak yang berharap bisa sampai di tempat tujuan dengan selamat.
 
Membaca antologi puisi yang ditulis oleh rekan-rekan FLP (Forum Lingkar Pena) se-Sumatera, saya seperti diajak tamasya ke banyak peristiwa. Sejumlah kata yang hadir seperti tergelincir, lalu mengalir. Saya takjub, jika ternyata tradisi ?bercerita? bahkan dalam puisi kita seperti abadi. Sebagian besar, puisi-puisi dalam kumpulan ini mendedahkan gaya bertutur. Karya yang terangkum semacam ingin menyuguhkan suatu kisah, yang mungkin luput bagi orang kebanyakan.
 
Saya memilih membaca puisi-puisi dalam kumpulan ini secara acak. Simak dalam puisi Alizar Tanjung, Menunggu Ibu (1):
 
Aku kelas dua, Bu, menyusun kursi, bangku,
menata bunga, vas kaca, alas, menanti riang
senyummu dan riak-riak bahasa "selamat pagi nak."
 
Aku kelas dua, Bu, mengatur bahasa, "pagi bu."
 
Membaca alif dan ya, menata "a" dan "z",
di pinggiran bibir ibu, di kedalaman rindu.
 
Aku kelas dua, Bu, yang menanti hujan penuh pelangi
di matamu, di bibir pintu tanpa dada di tangan,
mengecup punggung tanganmu. "Harum" seruku
pada Tut Wuri Handayani di bibir Hadjar
di ruang itu, aku menunggumu, Bu, sendirian,
di meja, kursi: buku penuh coretan, puisi-puisi
yang kau ajarkan.
 
Terasa sekali apa yang hendak disampaikan dalam puisi ini. Seperti sebuah penebalan yang tak terengkuh, Alizar bertutur dengan cara yang sederhana. Bahasa keseharian, tapi yang tergambar banyak makna terengkuh di sana. Puisinya tidak menjelma khotbah. Namun, nuansa yang dibangun, dari imajinasi tentang seorang anak yang menunggu ?ibunya? begitu kentara. Ada gigil kerinduan yang dalam terbangun di sana. Pemungutan realitas yang tampak dipungut dari keseharian. Dengan bahasa yang sederhana, justru bagi saya puisi ini memunculkan ?bunyi?-nya sendiri.
 
Ada banyak kerinduan yang dibangun dalam kumpulan ini. Kerinduan pada Ibu, kekasih, kota atau Tuhan/religi. Untuk kerinduan pada Tuhan, saya teringat pada sejumlah puisi dari Amir Hamzah yang begitu takjub dan takzim dengan segala baitnya. Pula pada beberapa puisi yang ditulis Muhammad Asqalani eNeSTe dan Muhammad Hadi. Betapa penyair ini menjabarkan masalah hubungannya dengan Tuhan tanpa mesti verbal sehingga gerak kata yang termaktub di dalamnya begitu cair. Semacam dalam puisi Ayat-ayat Iftitah 23?24, Metamarfosa Sajadah dan puisi Muhammad Hadi, Empat Riwayat Merapal Zikir.
 
Wilayah religi yang dibangun pada sejumlah puisi di kumpulan ini, mengisyaratkan bahwa pada mulanya seorang penyair hanyalah sebutir debu, yang tak berarti?meskipun dalam memandang hidup secara penuh ia menjaga irama kata-kata puisinya. Mengabarkan sejumlah kenyataan yang tersirat, yang mungkin ditemui di keseharian pada perjalanan kehidupan itu sendiri.
 
Ihwal menunggu juga hadir di dalam puisi Skylastar Maryam, Kita Berdua di Gerbong Kereta.
 
Sampai saat ini, saya percaya jika karya sastra yang baik?entah bagaimana ia menuliskannya, dengan metode apa?-akan meninggalkan serat pencerahan. Setidaknya seseorang ketika berhadapan dengan teks tersebut dapat merenggut, memeras intisari kandungan cerita. Ia bisa saja mempercakapkan hal-hal yang dipenuhi nilai positif dan aturan norma, sebaliknya ia bisa muskil, gelap, dipenuhi dengan hal-hal yang negatif. Memang segalanya terletak di tangan pembaca. Bagaimana pembaca bertemu hilir-mudik teks dalam karya sastra lalu mengambil kandungannya. Dan si pengarang turut berproses, tentunya dengan kekayaan literer, sejumlah imajinasi, mengambil awang-awang?yang sebagaimana Sutardji Calzoum Bachri sebutkan dalam pelbagai tulisannya, tetap berpijak pada realitas. Demikian dalam kumpulan ini, begitu nyata dan kentara pijakan realitas yang melingkupinya.
 
Puan dan Tuan yang terhormat,
Akhirnya saya mesti menutup sekadar catatan ini. Ini merupakan salah satu sisi membaca puisi. Memang tak semua puisi saya jabarkan, beberapanya saya pilih secara acak. Pada dasarnya puisi-puisi di kumpulan ini adalah suatu upaya memandang realitas dengan pintu imaji yang lain. Dengan pelbagai khasanah yang melingkupinya, telah menunjukkan kerja kreatif untuk tidak mengebiri kata-kata. Semacam yang terjadi di dunia keseharian kita, begitu banyak kata-kata yang ternyata berubah jadi slogan ataupun juru kampanye bagi kekuasaan. Selebihnya memang kembali pada pembaca. Semua puisi di kumpulan ini bisa dimasuki dari ruang mana saja. Anggap saja tulisan ini hanya bualan belaka?yang bisa diabaikan. Dan kita berharap dapat menemukan puisi-puisi yang lain dengan gairah yang berbeda dan kata-kata menjelma cahaya.
***
 
*) Alex R. Nainggolan, penyair.

http://sastra-indonesia.com/2021/06/puisi-yang-kukuh-merengkuh-realitas/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.S. Dharta Abdul Hadi WM Abdul Wachid B.S. Abdullah Abubakar Batarfie Abdurrahman Wahid Achmad Faesol Achmad S Achmad Soeparno Yanto Adin Adrian Balu Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Sasongko Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Prasmono Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Mustofa Bisri Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat al-Kindi Alex R. Nainggolan Ali Ahsan Al Haris Ali Audah Ali Syariati Amien Kamil Amien Wangsitalaja Andhika Dinata Andi Neneng Nur Fauziah Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Andy Riza Hidayat Anindita S. Thayf Anton Kurniawan Anton Sudibyo Aprinus Salam Arafat Nur Arif Hidayat Arman A.Z. Arthur Rimbaud Asap Studio Asarpin Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Badaruddin Amir Bagja Hidayat Balada Bambang Riyanto Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Butet Kartaredjasa Cak Bono Catatan Cecil Mariani Cerbung Cerpen Chairil Anwar Charles Bukowski Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dahta Gautama Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Danarto Dara Nuzzul Ramadhan Dareen Tatour Darju Prasetya Darojat Gustian Syafaat Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Sartika Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dianing Widya Yudhistira Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Pitono Djoko Saryono Djoko Subinarto Doan Widhiandono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Klik Santosa Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erik Purnama Putra Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esti Nuryani Kasam Evan Ys Evi Idawati F Aziz Manna F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Firman Wally Fiyan Arjun Forum Penulis dan Pegiat Literasi Lamongan (FP2L) Franz Kafka Galih M. Rosyadi Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Garna Raditya Gendut Riyanto Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gurindam Gusti Eka H.B. Jassin Halim HD Hamdy Salad Hamka Hari Sulastri Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasbi Zainuddin Hasif Amini Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Hermawan Mappiwali Herry Lamongan Hikmat Gumelar HM. Nasruddin Anshoriy Ch Hudan Hidayat Humam S Chudori Ibnu Wahyudi Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Iksaka Banu Ilham Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Arlado Imron Tohari Indra Tjahyadi Indrawati Jauharotun Nafisah Indrian Koto Inung As Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Ismi Wahid Iva Titin Shovia Iwan Fals Iwan Kurniawan Jakob Oetama Janual Aidi JJ. Kusni Johan Fabricius John H. McGlynn Jordaidan Rizsyah Jual Buku Sastra K.H. A. Azis Masyhuri Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kahlil Gibran Kamajaya Al. Katuuk Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khatijah Khoirul Inayah Ki Dhalang Sulang Ki Ompong Sudarsono Kikin Kuswandi Kodirun Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Sastra Mangkubumen (KSM) Komunitas Teater Se-Lamongan Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kucing Oren Kurniawan Junaedhie Kurniawan Muhammad Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Larung Sastra Latief S. Nugraha lensasastra.id Leo Tolstoy Leon Agusta Linda Christanty Lutfi Mardiansyah M. Aan Mansyur M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Harir Muzakki M. Lutfi M. Shoim Anwar M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marniati Martin Aleida Mashuri Masuki M. Astro Matroni Muserang Mawar Kusuma Max Arifin Melani Budianta Mihar Harahap Mikael Johani Miziansyah J. Moch. Fathoni Arief Moh. Ghufron Cholid Mohammad Afifi Mohammad Rafi Azzamy Muhammad Hanif Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun AS Muhidin M. Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Murnierida Pram Myra Sidharta Nadia Cahyani Naim Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nessa Kartika Ni Made Purnama Sari Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Noor H. Dee Nurel Javissyarqi Nurul Fahmy Nurul Ilmi Elbana Nyoman Tusthi Eddy Ong Hok Ham Orasi Budaya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Pablo Neruda Pay Jarot Sujarwo PDS H.B. Jassin Pendidikan Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Bergerak Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin Qismatun Nihayah R Sutandya Yudha Khaidar R Toto Sugiharto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Rambuana Ramdhan Triyadi Bempah Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ricarda Huch Riezky Andhika Pradana Riki Dhamparan Putra Rizki Aprima Putra Rokhim Sarkadek Rony Agustinus Royyan Julian Rukardi Rumah Budaya Pantura Rumah Budaya Pantura (RBP) Ruth Indiah Rahayu S Yoga S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safitri Ningrum Sahaya Santayana Sahli Hamid Saini KM Sajak Salvator Yen Joenaidy Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setyaningsih Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosial Media Sastra Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sudarmoko Sudirman Sugeng Sulaksono Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunaryata Soemarjo Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susie Evidia Y Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka T Agus Khaidir T.A. Sakti Tangguh Pitoyo Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teater Pendopo nDalem Mangkubumen (Dokumen) Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tiya Hapitiawati Tiyasa Jati Pramono Toeti Heraty TS Pinang Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Usman Arrumy UU Hamidy Veronika Ninik Vika Wisnu W.S. Rendra Wahyu Triono Ks Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wilda Fizriyani Willy Ana Y Alpriyanti Y.B. Mangunwijaya Yanto le Honzo Yasin Susilo Yasir Amri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yulhasni Zehan Zareez Zuhdi Swt Zul Afrita