Senin, 21 Juni 2021

Pentas Teater Tiga Kota Riau Beraksi

: Bengak di Atas Kebohongan Bengak
 
Taufik Ikram Jamil *
Riau Pos, 1 Jan 2012
 
TAK cukup dengan kata-kata, mungkin juga kesan untung-untung sebagai perenungan tentang bagaimana bengak alias bohong begitu mewabah dalam kehidupan berbangsa akhir-akhir ini, kelompok teater Riau Beraksi, memberikan masker kepada penonton dalam lakon yang mereka tampilkan Sabtu dan Ahad (17-18/12). Di bawah tajuk Bengak, penutup mulut dan hidung itu, justeru dibagikan begitu memasuki tempat pertunjukan, Anjung Seni Idrus Tintin, Pekanbaru.
 
Kesedihan akibat berada dalam kondisi buruk itu, seperti dipadankan dengan khabar meninggalnya seorang tokoh besar dalam teater, Vaclav Havel (1937-2012), yang juga dikenal sebagai Presiden Republik Czech, Ahad (18/12). Berkali-kali dicalonkan sebagai penerima Nobel Perdamaian atas usahanya menciptakan perdamaian, dunia selalu mengingat ucapannya tentang wabah bengak, “Kebenaran dan cinta harus menang di atas kebohongan dan kebencian”.
 
Lakon Bengak berangkat dari penulis yang memiliki tanah pijak yang sama dengan Havel, Arkady Timofeevich Averchenko (1881-1926), yang hijrah ke Eropa Tengah setelah komunis menguasai tanah kelahirannya dan melahirkan Uni Soviet. Tapi Willy Fwiandri mengadoptasi lakon ini dari apa yang sudah diadaptasi oleh Achdiat K Mihardja tahun 1956. Tak pelak lagi, suasana lokal dan kekinian begitu terasa dalam lakon yang juga disutradarai Willy itu, bahkan judulnya yang semula Pakaian dan Kepalsuan dalam adaptasi Indonesia, menjadi khas Riau di tangan Willy, Bengak.
 
Akhir cerita dari lakon ini, mungkin membuat orang bertanya-tanya juga. Pasalnya, tokoh yang membongkar kepalsuan kemudian mengaku sebagai seorang badut bernama Sob (Herlambang). Dibantu Bro (Akbar), Sob melakukannya dengan todongan pistol. Ini disibak melalui Ratna (Dwi Alvianna), padahal perempuan ini juga seorang petualang —rela “menggadaikan” diri. Sebaliknya, bisa jadi hasil pembongkaran kepalsuan itu juga adalah sebuah kebohongan karena pengakuan di sebaliknya dibuat di bawah todongan senjata api yang kemudian diketahui tanpa peluru.
 
Berdiri tahun 2008, Riau Beraksi dikucahi seniman siap uji. Willy sendiri misalnya, sempat menempuh pendidikan di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) Jurusan Teater, terlibat berbagai pementasan di Jakarta sebelum pulang ke Riau. Sebut juga Aamesa Aryana yang sejak lama dikenal sebagai seniman dan pekerja seni tangguh dalam kondisi bagaimanapun juga. Nama-nama lain pula, ikut menjanjikan dan karenanya bisa menjadi perantara harapan bagi perteateran di Riau beriringan dengan kelompok lain yang lebih dahulu semacam Selembayung.
 
Keterlibatan Penonton
 
Sejak berdiri, hampir setiap tahun mereka tampil di pentas. Diawali lakon “Cinta dan Presiden”, Bengak merupkan produksi kelima kelompok teater Riau Beraksi. Dengan durasi sekitar 75 menit, Bengak juga tampil di Padangpanjang dan Padang, Sumatera Barat (24-28/12). Sedang dirancang pula pementasan yang produksinya dipimpin Ayu Fwi ini ke beberapa kampus di Riau.
 
Penggarapan realis, tampaknya menjadi pilihan Riau Beraksi. Dengan demikian, mereka berupaya agar bisa langsung berbicara dengan penonton yang menuntut keaktoran pemain. Syukurlah, hampir semua pemain dapat dipertaruhkan dengan satu catatan pada pelakon Ratna yang pasti punya kesempatan untuk ditingkatkan. Ini didukung kehadiran panggung yang ditata Saho Riau dengan warna bersahaja. Kehadiran kelompok musik di café sebagaimana umumnya pula (Lastri, Syahbani, Edi), mampu membangun suasana santai seperti saat mereka menyuguhkan lagu Juwita Malam.
 
Ada upaya Willy melibatkan penonton secara langsung, bukan hanya terbawa oleh arus cerita. Ini jelas terasa sewaktu penonton diminta memakai masker. Sayangnya, alat tersebut diminta untuk dilepaskan lagi dengan alasan agar penonton merasa nyaman. Coba saja kalau benda itu dilepaskan sendiri oleh penonton tanpa permintaan, sehingga akan lebih terasa lagi penyatuannya dengan lakon. Mana tahu dengan melepaskan masker tanpa permintaan, bisa menjadi simbol bahwa sebenarnya kita tidak bisa mengunci mulut dari perilaku berdusta. Begitu pula kalau terjadi sebaliknya.
 
Alkisah, cerita bermula di sebuah café dengan lampu temaram dan musik hidup yang menyenangkan. Sob dan Bro terdengar berbicara ihwal politik yang terasa menekan karena laku oknum-oknumnya. Sikut-menyikut dengan cara apa pun dilakukan tanpa malu-malu. Lalu datanglah empat tokoh yakni Ucok (Willy), Yong Sungut (Aamesa Aryana), Boy (Husin), dan Ratna yang langsung menguasai tempat hiburan itu.
 
Sambil ketawa terbahak-bahak dan minum-minum, masing-masing menceritakan “kehebatan” mereka di tengah masyarakat. Agar lebih jelas, Ucok malah mengambil pengeras suara dari tangan penyanyi untuk menceritakan perjuangannya sebagai aktivis mahasiswa 1998 di Jakarta, sampai kini menjadi ketua partai dan duduk di parlemen. Yong Sungut amat gembira karena ia kini sebagai kepala dinas, sedangkan Boy tak kurang senangnya sebagai pengusaha. Ujung-ujungnya mereka merancang suatu proyek besar.
 
Menertawakan
 
Dengan logat Melayu, Minang, Jawa, dan Batak, dialog dalam lakon ini acapkali mengundang tawa penonton. Bukan saja karena celetukan dan tingkah-polah pemain, tetapi lebih disebabkan bagaimana mereka menertawakan perilaku politik sekarang; hamparan satire yang lebar membentang. Sebutlah misalnya, bagaimana ketika Ucok dan kawan-kawan merancang proyek untuk kepentingan mereka sendiri, mengingatkan orang pada kasus wisma atlet SEA Games 2011. Padahal semua yang mereka peroleh dari awal dilakukan secara tidak sah, bahkan terus-menerus membohongi masyarakat.
 
Atas desakan Sob, Boy mengaku bahwa ia seorang datuk yang merampas banyak tanah rakyat dan memiliki sejumlah selir berkaitan dengan statusnya itu. Yong Sungut disebut sebagai rentenir yang sibuk menjaja proyek yang diambil dari dana rakyat dengan arahan dan pengaturan Ucok. Tak seperti Boy dan Yong Sungut, Ucok tak banyak berkelit ketika kepadanya disebutkan sebagai tukang obat —menabur janji-janji besar kepada masyarakat tanpa menunaikannya— sebagaimana halnya perilaku seorang oportunis.
 
Ucok malah tak sedikit pun peduli ketika Sob meminta isterinya yang kedua yakni Ratna, membuka pakaian demi apa yang disebutnya keselamatan. Meski semula enggan, Ratna melakukan hal itu, bahkan meminta Sob “menikmati” tubuhnya—semacam pasrah yang menjengkelkan. Pada adegan ini tampak Sob agak “terguncang”, sehingga sempat juga membayangkan bagaimana Sob mendedahkan kepalsuannya sendiri. Tetapi kemudian Sob hanya berpura-pura melakukan perbuatan mesum dengan Ratna, sebelum pada gilirannya ia memuji Ratna sebagai perempuan perkasa.
 
Meskipun dialog-dialog dibangun dari kenyataan dan kegeraman terhadap situasi politik, senantiasa pula muncul berbagai harapan perbaikan ke depan. Baik Sob dan Bro memiliki keyakinan terhadap hal ini meskipun selalu dibaluti rasa skeptisme yang tebal. Ucok dan kawan-kawan tak kurang yakinnya, tetapi mereka sudah terbelit oleh keadaan.
 
Upaya mereka atas permintaan Ratna untuk mengejar Sob dan Bro yang kabur setelah puas mendengar pengakuan masing-masing tokoh, barangkali berujung pada dua kemungkinan; mengejar asbab kesadaran sebagai momen pencerahan atau justeru hendak lari dari kenyataan sesungguhnya sambil menguburkan setiap pemalsuan sebagai kebiasaan. Ditutup dengan yel-yel semangat beriringan dengan pemadaman lampu pentas dengan satu sentakan, seperti menegaskan bagaimana bengak harus diakhiri.
 
Tak salah lagi sebagaimana dikatakan Beni sebagai pengantar pementasan ini bahwa barisan bengak atau kebohongan memang sedang mengepung kita, bengak di atas kebohongan bengak. Tetapi yang lebih penting adalah bagaimana kita mengatasinya. Allah SWT sangat memurkai kebohongan dan sebagaimana dikatakan Boy atas permintaan Sob maupun Bro, setidak-tidaknya pada tahap awal, untuk ini, kita harus melafazkan, “Astaghfirullah, nauzubillah…”
***

*) Taufik Ikram Jamil, sastrawan terkemuka di Riau. Tinggal di Pekanbaru. http://sastra-indonesia.com/2021/06/pentas-teater-tiga-kota-riau-beraksi/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.S. Dharta Abdul Hadi WM Abdul Wachid B.S. Abdullah Abubakar Batarfie Abdurrahman Wahid Achmad Faesol Achmad S Achmad Soeparno Yanto Adin Adrian Balu Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Sasongko Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Prasmono Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Mustofa Bisri Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat al-Kindi Alex R. Nainggolan Ali Ahsan Al Haris Ali Audah Ali Syariati Amien Kamil Amien Wangsitalaja Andhika Dinata Andi Neneng Nur Fauziah Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Andy Riza Hidayat Anindita S. Thayf Anton Kurniawan Anton Sudibyo Aprinus Salam Arafat Nur Arif Hidayat Arman A.Z. Arthur Rimbaud Asap Studio Asarpin Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Badaruddin Amir Bagja Hidayat Balada Bambang Riyanto Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Butet Kartaredjasa Cak Bono Catatan Cecil Mariani Cerbung Cerpen Chairil Anwar Charles Bukowski Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dahta Gautama Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Danarto Dara Nuzzul Ramadhan Dareen Tatour Darju Prasetya Darojat Gustian Syafaat Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Sartika Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dianing Widya Yudhistira Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Pitono Djoko Saryono Djoko Subinarto Doan Widhiandono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Klik Santosa Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erik Purnama Putra Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esti Nuryani Kasam Evan Ys Evi Idawati F Aziz Manna F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Firman Wally Fiyan Arjun Forum Penulis dan Pegiat Literasi Lamongan (FP2L) Franz Kafka Galih M. Rosyadi Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Garna Raditya Gendut Riyanto Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gurindam Gusti Eka H.B. Jassin Halim HD Hamdy Salad Hamka Hari Sulastri Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasbi Zainuddin Hasif Amini Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Hermawan Mappiwali Herry Lamongan Hikmat Gumelar HM. Nasruddin Anshoriy Ch Hudan Hidayat Humam S Chudori Ibnu Wahyudi Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Iksaka Banu Ilham Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Arlado Imron Tohari Indra Tjahyadi Indrawati Jauharotun Nafisah Indrian Koto Inung As Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Ismi Wahid Iva Titin Shovia Iwan Fals Iwan Kurniawan Jakob Oetama Janual Aidi JJ. Kusni Johan Fabricius John H. McGlynn Jordaidan Rizsyah Jual Buku Sastra K.H. A. Azis Masyhuri Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kahlil Gibran Kamajaya Al. Katuuk Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khatijah Khoirul Inayah Ki Dhalang Sulang Ki Ompong Sudarsono Kikin Kuswandi Kodirun Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Sastra Mangkubumen (KSM) Komunitas Teater Se-Lamongan Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kucing Oren Kurniawan Junaedhie Kurniawan Muhammad Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Larung Sastra Latief S. Nugraha lensasastra.id Leo Tolstoy Leon Agusta Linda Christanty Lutfi Mardiansyah M. Aan Mansyur M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Harir Muzakki M. Lutfi M. Shoim Anwar M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marniati Martin Aleida Mashuri Masuki M. Astro Matroni Muserang Mawar Kusuma Max Arifin Melani Budianta Mihar Harahap Mikael Johani Miziansyah J. Moch. Fathoni Arief Moh. Ghufron Cholid Mohammad Afifi Mohammad Rafi Azzamy Muhammad Hanif Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun AS Muhidin M. Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Murnierida Pram Myra Sidharta Nadia Cahyani Naim Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nessa Kartika Ni Made Purnama Sari Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Noor H. Dee Nurel Javissyarqi Nurul Fahmy Nurul Ilmi Elbana Nyoman Tusthi Eddy Ong Hok Ham Orasi Budaya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Pablo Neruda Pay Jarot Sujarwo PDS H.B. Jassin Pendidikan Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Bergerak Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin Qismatun Nihayah R Sutandya Yudha Khaidar R Toto Sugiharto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Rambuana Ramdhan Triyadi Bempah Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ricarda Huch Riezky Andhika Pradana Riki Dhamparan Putra Rizki Aprima Putra Rokhim Sarkadek Rony Agustinus Royyan Julian Rukardi Rumah Budaya Pantura Rumah Budaya Pantura (RBP) Ruth Indiah Rahayu S Yoga S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safitri Ningrum Sahaya Santayana Sahli Hamid Saini KM Sajak Salvator Yen Joenaidy Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setyaningsih Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosial Media Sastra Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sudarmoko Sudirman Sugeng Sulaksono Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunaryata Soemarjo Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susie Evidia Y Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka T Agus Khaidir T.A. Sakti Tangguh Pitoyo Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teater Pendopo nDalem Mangkubumen (Dokumen) Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tiya Hapitiawati Tiyasa Jati Pramono Toeti Heraty TS Pinang Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Usman Arrumy UU Hamidy Veronika Ninik Vika Wisnu W.S. Rendra Wahyu Triono Ks Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wilda Fizriyani Willy Ana Y Alpriyanti Y.B. Mangunwijaya Yanto le Honzo Yasin Susilo Yasir Amri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yulhasni Zehan Zareez Zuhdi Swt Zul Afrita