Senin, 21 Juni 2021

MEMBENTANGKAN ISU SEJARAH SASTRA INDONESIA (II)

Catatan Kecil untuk Gagasan Besar

Maman S. Mahayana *
 
E. Ulrich Kratz (Peny.), Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad XX (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2000), xxxix + 980 halaman (termasuk indeks)
 
Kapankah kesusastraan Indonesia lahir? Inilah pertanyaan yang diajukan Ajip Rosidi yang kemudian dijadikan judul bukunya. Sesungguhnya, pertanyaan Ajip Rosidi itu tidaklah datang secara serta-merta. Ada persoalan yang melatarbelakanginya dan persoalan itu berkutat di seputar batas awal munculnya karya-karya sastra Indonesia yang memperlihatkan ciri-ciri kemodernan. Umar Junus, mengatakan bahwa sastra Indonesia baru ada sejak 28 Oktober 1928. Alasannya, bahwa sastra ada sesudah bahasa ada, maka kehadiran sastra Indonesia ditandai dengan kelahiran bahasa Indonesia, yaitu ketika Kongres Pemuda kedua yang menghasilkan kesepakatan untuk mengakui “bertanah air yang satu, berbangsa yang satu, dan menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.” yang lalu lebih dikenal dengan Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928.
 
Sementara itu, A. Teeuw, menempatkan kelahiran sastra Indonesia sekitar tahun 1920. Alasannya, “Pada ketika itulah para pemuda Indonesia untuk pertama kali mulai menyatakan perasaan dan ide yang pada dasarnya berbeda daripada perasaan dan ide yang terdapat masyarakat setempat yang tradisional dan mulai berbuat demikian dalam bentuk-bentuk sastra yang pada pokoknya menyimpang dari bentuk-bentuk sastra Melayu, Jawa, dan sastra lainnya yang lebih tua, baik lisan maupun tulisan”. Pada tahun-tahun itulah untuk pertama kali para pemuda menulis puisi baru Indonesia. Lantaran adanya perbedaan itulah, boleh jadi, maka Ajip Rosidi menyodorkan gagasan lain yang berbeda dengan Umar Junus dan Teeuw. Lalu, bagaimana dengan gagasan Ajip Rosidi sendiri? Menurutnya, masalah kesadaran kebangsaan yang seharusnya dijadikan patokan. Dengan patokan ini maka lahirnya kesusastraan Indonesia modern adalah awal tahun 1920-an. Alasannya, pada tahun-tahun itulah para pemuda Indonesia, seperti Muhammad Yamin, Mohammad Hatta, dan Sanusi Pane, mengumumkan sajak-sajak mereka yang bercorak kebangsaan dalam majalah Jong Sumatra. Demikian juga, kumpulan sajak Muhammad Yamin, berjudul Tanah Air terbit pula pada tahun 1922.
 
Semua pendapat itu, belakangan ini, digugat kembali. Apa yang dilontarkan Umar Junus, Teeuw, dan Ajip Rosidi, sesungguhnya menafikan keberadaan sastra yang muncul di media massa atau yang belum tercetak dalam bentuk buku. Akibatnya, sastra yang secara sosiologis hidup dan berkembang di tengah masyarakat, sebagaimana yang dapat kita cermati dari karya-karya yang dimuat di berbagai media massa yang terbit akhir abad XIX dan awal abad XX, luput dari catatan sejarah. Bahkan, lebih dari itu, sejumlah nama yang secara signifikan memberi kontribusi bagi pertumbuhan kesusastraan Indonesia, ikut pula ditenggelamkan. Kondisi inilah yang secara tragis menimpa kesusastraan Indonesia yang ditulis oleh para sastrawan peranakan Tionghoa dan sastrawan “kiri” yang karya-karyanya diterbitkan penerbit swasta. Karya-karya mereka secara sepihak dikategorikan sebagai karya-karya sastra Melayu rendah atau yang oleh pihak pemerintah kolonial Belanda disebut sebagai “bacaan liar”.
 
Lalu, apa pula kaitannya masalah tersebut di atas di dalam konteks buku yang disusun Kratz ini? Justru dalam hal itulah, masalah yang segera muncul ketika kita mencermati buku ini adalah penempatan artikel pertama. Meskipun Kratz beralasan bahwa esai yang dipilihnya, bukanlah karya-karya yang melibatkan diri, misalnya, dalam diskusi tentang tanggal lahir sastra Indonesia, lalu mengapa ia mengawali himpunan artikel dalam buku ini dengan “Poetoesan Congres Pemoeda Pemoeda Indonesia” yang menghasilkan Sumpah Pemuda dan bukan hasil kongres Budi Utomo atau artikel lain yang pernah muncul dalam media massa awal abad XX? Demikian juga, penjelasan mengenai Sumpah Pemuda yang terdapat pada artikel kedua “Sumpah Indonesia Raja” yang ditulis Muhammad Jamin, mengindikasikan pilihan Kratz yang terkesan hendak menempatkan bahwa kesusastraan Indonesia diawali pada 28 Oktober 1928. Jadi, penempatan kedua artikel itu di awal, niscaya bukan tanpa pertimbangan. Oleh karena itu, kita boleh berasumsi bahwa secara tersirat, gagasan Kratz patut dicurigai sejalan dengan gagasan Umar Junus dan belakangan Nugroho Notosusanto perihal awal lahirnya kesusastraan Indonesia. Padahal yang terjadi sebelum itu, terutama yang terekam dalam surat-surat kabar dan majalah akhir abad XIX dan awal abad XX, sebagaimana yang sudah disinggung tadi, merupakan bukti bahwa sastra Indonesia telah tersebar di berbagai media massa masa itu. Beberapa artikel itu menunjukkan, pemikiran mengenai sastra Indonesia sebagai bagian dari kultur masyarakatnya telah berkembang semarak dan menjadi bahan pemikiran para pengarang dan kaum terpelajar kita.
 
Demikianlah, penempatan kedua artikel itu saja sudah mengundang masalah. Jika memang Kratz hendak memilih sejumlah sumber sejarah sastra Indonesia abad XX, maka setidak-tidaknya ia mesti menampilkan artikel lain yang muncul awal abad XX, dan itu tidak susah dicari, karena memang bertebaran dalam surat kabar atau majalah waktu itu.
***
 
Di luar persoalan itu, secara keseluruhan buku ini, harus diakui, laksana sebuah rangkaian gagasan estetik mengenai sastra Indonesia abad XX. Sebuah panorama pemikiran yang coba mengangkat berbagai problem kesusastraan Indonesia dalam rentang waktu hampir satu abad. Dalam konteks itu, tampak jelas bahwa kesusastraan tidak sekadar produk imajinatif-estetik, melainkan juga sebagai bentuk lain dari pergulatan pemikiran yang merekam keterlibatkannya dalam berbagai aspek sosio-kultural zamannya.
 
Dalam “Kata Pengantar”, E. Ulrich Kratz mengandaikan bahwa sumber terpilih sejarah sastra Indonesia Abad XX itu, berisi berbagai pemikiran dan isu penting yang kerap dibicarakan dalam konteks sejarah sastra Indonesia Tentu saja yang dilakukan doktor pengajar Universitas London itu bukan tidak mengandung problem. Ia berhadapan dengan artikel-artikel lain yang terpaksa disingkirkan. Itulah konsekuensi yang harus diterima saat ia memilah, memilih, dan kemudian menyusunnya hingga terbentang arus pemikiran yang pernah hingar-bingar mewarnai dinamika perjalanan sastra Indonesia.
 
Meskipun demikian, apa yang dilakukan Kratz sungguh merupakan sumbangan berarti bagi usaha penelusuran berbagai pemikiran mengenai kesusastraan Indonesia. Ke-97 tulisan yang dihimpun dalam buku ini, selain pernah dimuat dalam berbagai publikasi (buku, majalah, surat kabar, kertas kerja atau makalah) dalam rentang waktu 1928-1997, juga merupakan artikel yang mengangkat isu-isu penting yang beberapa di antaranya, justru berkembang menjadi polemik. Oleh karena itu, kita dapat menerima jika Kratz menyebut artikel-ertikel itu sebagai Sumber Terpilih.
 
Sementara itu dalam hal yang menyangkut pemilihan tema, Kratz tampak melakukannya secara sangat hati-hati. Sejumlah masalah yang pernah menjadi isu penting itu, berhasil dibentangkan secara tematis. Ia berusaha menjaga benang merahnya, meski di sana-sini tampak sistematikanya tak begitu lempang.
 
Lazimnya menghimpun tulisan-tulisan yang berlimpah, problemnya selalu muncul di seputar kriteria dan alasan pemilihan.
 
Setelah pemuatan artikel pertama dan kedua yang mengangkat ihwal Sumpah Pemuda, misalnya, Kratz memasukkan tulisan Nur Sutan Iskandar, “Peranan Balai Pustaka dalam Perkembangan Bahasa Indonesia.” Sebuah artikel yang pernah dimuat dalam Pustaka dan Budaya, No. 8, Th. II, 1960. Jika hendak mengangkat konteks Balai Pustaka, mengapa tulisan K.A.H. Hidding mengenai Balai Pustaka, dilupakan. Jika alasannya karena penulisnya bukan orang Indonesia, tulisan K. St. Pamuntjak (?), Balai Pustaka Sewadjarnja (1948), jauh lebih menggambarkan peran Balai Pustaka dalam penerbitan majalah, buku sastra, termasuk terjemahan, dan terutama dalam melahirkan sastrawan kita.
 
Hal lain juga terjadi pada pemilihan artikel dari majalah Poedjangga Baroe. Tulisan Armyn Pane, “Kesoesastraan Baroe I dan II” misalnya, tidak jelas dasar pemuatannya karena artikel Armijn Pane itu sebenarnya terdiri dari empat tulisan. Jika landasan pemilihan artikel itu: “karya-karya yang bergelut dengan soal perumusan kriteria dan sifat-sifat sastra Indonesia” (hlm. xvi), lalu mengapa empat artikel Amir Hamzah, “Kesoesasteraan I-IV” atau empat artikel Alisjahbana “Poeisi Indonesia Zaman Baroe I-IV” yang dimuat bersambung dalam Poedjangga Baroe periode yang sama, diluputkan?
 
Soalnya, artikel Amir Hamzah secara jelas hendak menegaskan konsep kesusastraan Indonesia yang tidak dapat lepas dari pengaruh kesusastraan tanah luar, meskipun yang dimaksud dengan tanah luar itu adalah kesusastraan Timur. “Kesoesasteraan Indonesia ini banjak dipengaroehi oleh kesoesasteraan tanah loear, tanah jang hampir dengan kepoelauan Indonesia. Tambahan poela tanah jang mengelilingi kepoelauan Indonesia ini kaja dalam ilmoe sastra.” Begitu pula artikel Alisjahbana, justru menjadi dasar pemikirannya mengenai kriteria puisi lama dan baru. Dalam konteks kebudayaan, ia juga bersambungan dengan artikel Alisjahbana “Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru” yang lalu berkembang menjadi Polemik Kebudayaan. Jadi, timbul pertanyaan, atas dasar apa artikel Amir Hamzah dan Alisjahbana itu disisihkan?
 
Persoalan lain menimpa pula artikel “Poedjangga Baroe”. Mengapa bagian Susunan Redaksi, Rupa, dan Langganan yang terdapat dalam artikel itu, dihilangkan? Boleh jadi masalahnya akan lain jika Kratz mengambil artikel aslinya (Poedjangga Baru, 1, Juli 1933) dan tidak berdasarkan Prospectus dalam buku yang disusun C. Hooykaas (1947). Jika itu pilihan Kratz, mestinya ada penjelasan serba sedikit mengenai perbedaan antara artikel yang dimuat Poedjangga Baroe dengan Prospectus yang terdapat dalam buku Hooykaas.
 
Mengherankan, Kratz tidak tegas menjelaskan kriteria pemilihan sejumlah artikel yang disusunnya itu. Ini berbeda dengan “Pendahuluan” dalam buku Bibliografi Karya Sastra Indonesia dan Majalah (1988: 21-43) yang pertanggungjawabannya begitu meyakinkan. Masalahnya menjadi lebih rumit jika kita mencoba menyisir kembali artikel-artikel yang bertebaran dengan rentang waktu yang sangat panjang itu. Secara keseluruhan, masalah inilah yang menjadi titik rawan kriteria penyusunan yang dilakukan Kratz. Bagaimanapun juga, pertanggungjawaban merupakan hal penting, meski penyusun punya hak penuh atas pilihannya. Jika Kratz memberi keterangan atas pemilihan artikel-artikel yang dihimpunnya, termasuk urutan pemuatannya, niscaya kesan subjektif dapat dihindarkan.
 
Sejumlah masalah itu tentu saja tidak berarti apa-apa dibandingkan dengan kontribusi buku ini. Keseriusan Kratz dalam menghimpun serangkaian artikel dengan tema yang begitu beragam, menyodorkan banyak peluang bagi kita untuk melakukan penelitian lanjutan. Pemuatan empat artikel dari majalah Pedoman Masjarakat yang dipimpin Hamka, misalnya, menunjukkan bahwa Kratz tidak mengikuti mainstream sejarah kesusastraan Indonesia yang selama ini telah baku diajarkan di sekolah-sekolah. Kesusastraan Indonesia pada dasawarsa 1930-an jelas tidak hanya terpusat pada majalah Poedjangga Baroe, melainkan juga majalah lain yang terbit waktu itu, termasuk Pedoman Masjarakat terbitan Medan. Secara tersirat, Kratz terkesan hendak menawarkan keberadaan sastra di luar Balai Pustaka yang waktu itu semarak dengan Medan sebagai salah satu pusatnya.
 
Untuk periode zaman Jepang, Kratz memilih tiga artikel yang dimuat Keboedajaan Timoer, Djawa Baroe, dan Pandji Poestaka. Meskipun artikel lain yang lebih mewakili cukup berlimpah pada masa itu, terutama yang dimuat harian Asia Raja (1942-1945), setidaknya ketiga artikel itu memberi gambaran, bagaimana sikap para pengarang kita dalam berhadapan dengan kebijaksanaan Jepang di bidang kebudayaan. Malah, jika dimaksudkan untuk memberi gambaran keadaan kesusastraan zaman Jepang, tulisan H.B. Jassin “Kesusastraan di Zaman Jepang” sebenarnya jauh lebih representatif.
 
Mewakili perdebatan Angkatan 45, Kratz menampilkan delapan artikel. Sayangnya, artikel Chairil Anwar, “Angkatan 45” tidak dimasukkan dalam buku ini. Padahal, artikel itu dimuat bersamaan dengan artikel Sitor Situmorang, “Angkatan 45” (Siasat, 6 November 1949). Dalam artikel itu, Chairil menegaskan, antara lain, “Angkatan 1945 harus merapatkan barisannja dan berusaha sekeras2nja untuk menegakkan selfrespect dan melaksanakan selfhelp. Pertjaja pada diri sendiri dan berusaha meneguhkan ikatan-sosial dikalangan bangsa Indonesia.” Jadi, artikel ini sedikitnya memberi penegasan pada sikap Chairil Anwar dalam melihat semangat Angkatan 45. Mengingat Chairil Anwar termasuk salah satu tokoh kunci Angkatan 45, maka amat disayangkan jika sikap dan pandangannya mengenai angkatan 45 yang menjadi tonggak penting dalam perjalanan (kebudayaan dan kesusastraan) bangsa ini, dilewatkan begitu saja.
 
Meskipun begitu, ke-8 artikel itu representatif mengangkat simpang-siur gagasan tentang konsepsi estetik-kultural yang melandasi sikap Angkatan 45. Salah satu artikel penting dalam pembicaraan Angkatan 45 adalah tulisan Rosihan Anwar, “Angkatan 1945 buat Martabat Kemanusiaan” yang dimuat Siasat, 2, 1948. Penting lantaran menurut banyak sumber, Rosihan Anwar yang pertama melansir penamaan Angkatan 45. Di sana juga ada artikel Jogaswara (Klara Akustia) “Angkatan 45 Sudah Mampus” yang kelak jadi polemik berkepanjangan dua kubu: humanisme universal dan realisme sosialis (Lekra).
 
Beberapa artikel lain mengenai Angkatan 45 sampai ke tulisan Jassin, “Angkatan 45” (Zenith, 3, 15 Maret 1951), sesungguhnya masih seputar perdebatan konsepsi dan penamaan Angkatan 45. Sampai awal tahun 1960-an, polemik itu melebar menjadi konflik ideologis antara sastrawan Lekra dan para penanda tangan Manifes Kebudayaan. Jika ditarik benang merahnya, berbagai gagasan itu mesti dilengkapi pula “Mukaddimah Lekra”, lalu “Surat Kepercayaan Gelanggang” dan belakangan “Manifes Kebudayaan”.
 
Dasawarsa 1950-an merupakan masa yang paling demokratis, dan mulai kacau saat memasuki tahun1960-an. Perdebatan dan polemik terbuka yang menyangkut masalah sosial, politik, kebudayaan, termasuk sastra, hampir setiap hari menghiasi lembaran majalah atau surat kabar yang terbit waktu itu. Masalah yang jadi bahan perdebatan pun sangat beragam, mulai soal konsepsi estetik, fungsi sastra, tugas seniman, sastra populer, gagasan Angkatan Terbaru, sampai ke masalah hubungan sastra, ideologi, dan politik. Artikel-artikel yang dipilih Kratz cukup mewakili gambaran situasi sastra Indonesia masa itu, meski artikel-artikel dari kelompok sastrawan Lekra yang banyak menghiasi Zaman Baroe, Bintang Timur, Harian Rakjat, tidak dimasukkan dalam buku ini. Padahal, jika memang Kratz hendak membuat sumber terpilih sejarah sastra Indonesia abad XX, artikel dari golongan Lekra yang pernah dimuat dalam media-media massa itu sangat penting untuk melihat sikap dan pandangan ideologis sastrawan Lekra yang kemudian menjadi alat ukur mereka untuk mendengungkan gagasan realisme sosialisnya.
 
Memasuki zaman Orde Baru, kesusastraan Indonesia, di satu pihak memunculkan begitu banyak karya eksperimental, dan di lain pihak mendapat pengekangan terutama terhadap para sastrawan garis merah. Mereka yang dianggap musuh oleh golongan Lekra justru bersuara lantang menentang pelarangan buku-buku yang dilakukan pemerintah. Tetapi belakangan, ketika Pramoedya memperoleh hadiah Magsaysay, pembelaan itu malah jadi kontroversi. Jika kemudian muncul tanggapan pro dan kontra mengenai kepatutan atau ketidakpatutan Pramudya memperoleh hadiah itu, masing-masing mempunyai argumennya sendiri. Secara tersirat, kontroversi itu merupakan pertanda bahwa konflik ideologi yang terjadi tahun 1965-an antara para penanda tangan Manifes Kebudayaan dengan golongan sastrawan Lekra, belumlah berakhir. Sementara itu, arus eksperimentasi terus bergulir sampai tahun 1980-an. Abdul Hadi dan Korrie mencoba memberi label dengan nama Angkatan 70 dan Angkatan 80. Di luar itu, berbagai gagasan terus bermunculan menyemarakkan karya-karya yang terbit masa itu sampai ke persoalan Pram tadi.
***
 
Beberapa catatan tadi tentu saja tidak mengurangi kontribusi buku ini sebagai sumber penting dalam penelusuran berbagai gagasan yang pernah mewarnai dinamika perjalanan kesusastraan Indonesia. Oleh karena itu, sungguh Sumber Terpilih yang disu-sun Kratz ini menawarkan berbagai pemikiran yang niscaya dapat menjadi sumber tulisan atau penelitian berikutnya. Masalahnya tinggal bagaimana kita memanfaatkan berbagai gagasan berharga itu untuk turut serta menyemarakkan dan memperkaya dinamika perjalanan kesusastraan Indonesia.
 
Ajip Rosidi, Kapankah Kesusastraan Indonesia Lahir? (Jakarta: Gunung Agung, 1985).
 
Umar Junus, “Istilah dan Masa Waktu ‘Sastra Melayu’ dan ‘Sastra Indonesia’,” Medan Ilmu Pengetahuan, Juli 1960; 245-260.
 
A. Teeuw, Sastra Baru Indonesia 1. (Ende: Nusa Indah, 1980), hlm. 15-18.
 
Ajip Rosidi, Kapankah Kesusastraan Indonesia Lahir? (Jakarta:Gunung Agung, 1985; hlm. 6
 
Periksa Nio Joe Lan, Sastra Indonesia-Tionghoa, (Jakarta: Gunung Agung, 1962); Claudine Salmon, Sastra Cina Peranakan dalam Bahasa Melayu, (Jakarta: Balai Pustaka, 1985); Leo Suryadinata (Peny.), Sastra Peranakan Tionghoa Indonesia, (Jakarta: Grasindo, 1996); Marcus A.S. dan Pax Benedanto, Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2000). Nama-nama Semaun, Mas Marco, atau Tirto Adhi Soerjo, juga tenggelam dalam catatan sejarah sastra Indonesia.
 
Periksa sejumlah artikel dalam Soerat Kabar Bahasa Melaijoe (terbit di Surabaya, edisi pertama, 12 Januari 1856); Bientang Timoor (terbit pertama kali di Surabaya, 4 Januari 1865; 3 Januari 1866 ejaan nama majalah itu diganti menjadi Bintang Timor); Pembrita-Bahroe (1881-1896); Harian Tjahaja Moelia (1883-1884), serta sejumlah surat kabar lain yang terbit akhir abad XIX; Lihat juga Suripan Sadi Hutomo, Wajah Sastra Indonesia di Surabaya 1856-1994, (Surabaya: Pusat Dokumentasi Sastra Suripan Sadi Hutomo, 1995), hlm. 10-28.
 
Dalam konteks urutan pemuatan berbagai tulisan itu, kesan yang segera muncul adalah bahwa artikel-artikel itu disusun secara kronologis. Secara garis besar, sesuai dengan judul buku ini, Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad XX, urutannya adalah sebagai berikut: Tahun 20-an, Zaman Pujangga Baru, Zaman Jepang, Angkatan 45, Tahun 1950-an, Angkatan 66, Tahun 1970-an, dan Tahun 1980-an. Dalam kenyataannya, ada sejumlah artikel yang disusun secara tidak kronologis, sebagaimana yang akan kita lihat dalam pembicaraan berikutnya.
 
Tulisan-tulisan lain mengenai Balai Pustaka, periksa B.Th. Brondgeest, G.W.J. Drewes, T.J. Lekkerkerker, Bureau voor de Volkslectuur. The Bureau of Popular Literature of Netherlands India. What it is, and What it does. Batavia: Balai Pustaka, 1930 (?); “Apakah Balai Pustaka”: Kitab Peringatan Timbang Terima Pimpinan Balai Pustaka 12 Maret 1927-; “Apakah Balai Poestaka” (Pengantar bagi lid-lid Congres Bestuur Boemipoetera jang ke III waktoe mengoendjoengi Balai Poestaka (1930).
 
Tulisan Armijn Pane, “Kesoesasteraan Baroe” dimuat secara berturut-turut dalam Poedjangga Baroe, No. 1 (Juli), 2 (Agustus), 3 (September), 4 (Oktober), Th. I, 1933.
 
Dimuat bersambung secara berturut-turut dalam Poedjangga Baroe, No. 12 (Juni) Th. I, 1933, No. 13 (Juli), 14 (Agustus), 15 (September), Th. II, 1934.
 
Dimuat bersambung dalam Poedjangga Baroe, No. 14 (Agustus), No. 15 (September), 17 (November), 18 (Desember), Th. II, 1934.
 
Ada kesan Kratz hendak mengurutkan pemuatan esai atau artikel dalam buku ini secara tematik kronologis, dimulai dengan “Sumpah Pemuda” dan diakhir dengan artikel Putu Wijaya (1997) “Pram” yang mengangkat seputar kontroversi pemberian hadiah Magsaysay kepada Pramoedya Ananta Toer. Tetapi ternyata urutannya tidaklah seperti itu. Dalam hal ini Kratz tidak konsisten. Periksa misalnya artikel 7 (“Persatuan Indonesia” karya Sanusi Pane) dan 8 (“Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru” karya Sutan Takdir Alisjahbana). Tulisan Sanusi Pane justru dalam konteks memberi tanggapan atas tulisan Alisjahbana. Jadi, mestinya tulisan Sanusi Pane diurutkan setelah tulisan Alisjahbana, bukan malah sebaliknya. Kasus serupa terjadi juga pada pemuatan artikel 89 (“Angkatan 80 dalam Sastra Indonesia” karya Korrie Layun Rampan) dan artikel 90 (“Angkatan 70 dalam Sastra Indonesia” karya Abdul Hadi WM). Atas dasar apa artikel Korrie ditempatkan lebih awal dari artikel Abdul Hadi? Tak ada penjelasannya mengenai itu.
 
H.B. Jassin, “Kesusasteraan dimasa Djepang,” Kesusasteraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Essay, (Djakarta: Gunung Agung, 1954), hlm. 74-85. Artikel ini bertarikh 31 Juli 1946. Jadi, sangat mungkin artikel ini ditulis Jassin pada tanggal itu, mengingat artikel yang sama dengan penambahan mengenai Chairil Anwar dijadikan sebagai “Pendahuluan” buku Jassin, Kesusasteraan Indonesia dimasa Djepang, (Djakarta: Balai Pustaka, 1948: Cet. II, 1954), hlm. 1-27. Dengan demikian, untuk memberi “potret” kesusastraan Indonesia pada zaman Jepang, artikel Jassin itu mestinya menjadi bahan pertimbangan betul.
 
Chairil Anwar, “Angkatan 45,” Siasat, Gelanggang, 6 November 1949. Jika benar artikel ini tulisan Chairil Anwar, maka inilah karya terakhir Chairil Anwar dan pemuatannya justru setelah tujuh bulan Chairil meninggal, 28 April 1949.
 
H.B. Jassin, “Angkatan 45” Kesusasteraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Essay, (Djakarta: Gunung Agung, 1954), hlm. 189. Tulisan Jassin ini mula-mula dimuat dalam majalah Zenith, 3, 15 Maret 1951. Para pengamat umumnya mengutip artikel Jassin yang dimuat dalam buku yang terbit tahun 1954. Mereka yang mengutip artikel Jassin itu, antara lain, A. Teeuw (Sastra Baru Indonesia 1, Ende: Nusa Indah, 1980; hlm. 169), Keith Foulcher, Angkatan 45: Sastra Politik Kebudayaan dan Revolusi Indonesia (Jakarta: Jaringan Kerja Budaya, 1994). Tulisan ini dengan perubahan di sana-sini, termasuk judulnya menjadi “Angkatan ’45 dan Warisannya: Seniman Indonesia sebagai Warga Masya-rakat Dunia” kemudian dimuat dalam Asrul Sani 70 Tahun (Jakarta: Pustaka Jaya, 1997), hlm. 85-114. Pamusuk Eneste, Leksikon Kesusastraan Indonesia Modern (Jakarta: Djambatan, 1990), hlm. 20. Semua sumber itu menyebutkan bahwa penamaan Angkatan yang mula dilansir Rosihan Anwar itu dimuat dalam majalah Siasat, 9 Januari 1949. Sementara Ajip Rosidi menyebutkan bahwa penamaan yang dilakukan Rosihan Anwar pertama kali pada tahun 1948. Dengan adanya artikel Rosihan Anwar itu, maka sangat mungkin justru dalam artikel inilah penyebutan Angkatan 45 dilakukan Rosihan Anwar, yaitu yang dimuat majalah Siasat, 2, 1948, dan bukan tahun 1949 sebagaimana yang dinyatakan dalam sumber-sumber di atas, termasuk yang dikemukakan H.B. Jassin.
 
Sejumlah nama yang diusulkan waktu itu, antara lain, Angkatan Kemerdekaan, Angkatan Chairil Anwar, Angkatan Perang, Angkatan sesudah Perang, Angkatan sesudah Pujangga Baru, Generasi Gelanggang, dan Angkatan Pembebasan. Yang kemudian diterima adalah penamaan Angkatan 45.
 
Kratz mengurutkan teks-teks itu sebagai berikut: “Surat Kepercayaan Gelanggang” (artikel ke-27), “Mukadimah Lekra” (artikel ke-49), dan artikel ke-64, 65, dan 66 adalah “Sejarah Lahirnya Manifes Kebudayaan”, “Penjelasan Manifes Kebudayaan” dan “Manifes Kebudayaan”. Sesungguhnya, publikasi Mukadimah Lekra (Agustus 1950) mendahului publikasi “Surat Kepercayaan Gelanggang” (bertarikh 18 Februari 1950, tetapi baru dipublikasikan dalam Siasat, 22 Oktober 1950. Jadi atas dasar apa Surat Kepercayaan Gelanggang ditempatkan lebih awal daripada Mukadimah Lekra. Kemudian mengenai Manifes Kebudayaan, mengapa pula sejarah dan penjelasannya harus ditempatkan lebih dahulu dari Manifes Kebudayaan itu sendiri? Kratz tidak menjelaskan masalah ini.
***

*) Maman S. Mahayana, lahir di Cirebon, Jawa Barat, 18 Agustus 1957. Dia salah satu penerima Tanda Kehormatan Satyalancana Karya Satya dari Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono (2005). Menyelesaikan pendidikannya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FS UI) tahun 1986, dan sejak itu mengajar di almamaternya yang kini menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB-UI). Tahun 1997 selesai Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Pernah tinggal lama di Seoul, dan menjadi pengajar di Department of Malay-Indonesian Studies, Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan. Selain mengajar, banyak melakukan penelitian. Beberapa hasil penelitiannya antara lain, “Inventarisasi Ungkapan-Ungkapan Bahasa Indonesia” (LPUI, 1993), “Pencatatan dan Inventarisasi Naskah-Naskah Cirebon” (Anggota Tim Peneliti, LPUI, 1994), dan “Majalah Wanita Awal Abad XX (1908-1928)” (LPUI, 2000). http://sastra-indonesia.com/2010/07/membentangkan-isu-sejarah-sastra-indonesia-ii/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.S. Dharta Abdul Hadi WM Abdul Wachid B.S. Abdullah Abubakar Batarfie Abdurrahman Wahid Achmad Faesol Achmad S Achmad Soeparno Yanto Adin Adrian Balu Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Sasongko Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Prasmono Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Mustofa Bisri Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat al-Kindi Alex R. Nainggolan Ali Ahsan Al Haris Ali Audah Ali Syariati Amien Kamil Amien Wangsitalaja Andhika Dinata Andi Neneng Nur Fauziah Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Andy Riza Hidayat Anindita S. Thayf Anton Kurniawan Anton Sudibyo Aprinus Salam Arafat Nur Arif Hidayat Arman A.Z. Arthur Rimbaud Asap Studio Asarpin Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Badaruddin Amir Bagja Hidayat Balada Bambang Riyanto Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Butet Kartaredjasa Cak Bono Catatan Cecil Mariani Cerbung Cerpen Chairil Anwar Charles Bukowski Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dahta Gautama Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Danarto Dara Nuzzul Ramadhan Dareen Tatour Darju Prasetya Darojat Gustian Syafaat Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Sartika Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dianing Widya Yudhistira Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Pitono Djoko Saryono Djoko Subinarto Doan Widhiandono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Klik Santosa Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erik Purnama Putra Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esti Nuryani Kasam Evan Ys Evi Idawati F Aziz Manna F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Firman Wally Fiyan Arjun Forum Penulis dan Pegiat Literasi Lamongan (FP2L) Franz Kafka Galih M. Rosyadi Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Garna Raditya Gendut Riyanto Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gurindam Gusti Eka H.B. Jassin Halim HD Hamdy Salad Hamka Hari Sulastri Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasbi Zainuddin Hasif Amini Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Hermawan Mappiwali Herry Lamongan Hikmat Gumelar HM. Nasruddin Anshoriy Ch Hudan Hidayat Humam S Chudori Ibnu Wahyudi Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Iksaka Banu Ilham Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Arlado Imron Tohari Indra Tjahyadi Indrawati Jauharotun Nafisah Indrian Koto Inung As Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Ismi Wahid Iva Titin Shovia Iwan Fals Iwan Kurniawan Jakob Oetama Janual Aidi JJ. Kusni Johan Fabricius John H. McGlynn Jordaidan Rizsyah Jual Buku Sastra K.H. A. Azis Masyhuri Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kahlil Gibran Kamajaya Al. Katuuk Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khatijah Khoirul Inayah Ki Dhalang Sulang Ki Ompong Sudarsono Kikin Kuswandi Kodirun Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Sastra Mangkubumen (KSM) Komunitas Teater Se-Lamongan Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kucing Oren Kurniawan Junaedhie Kurniawan Muhammad Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Larung Sastra Latief S. Nugraha lensasastra.id Leo Tolstoy Leon Agusta Linda Christanty Lutfi Mardiansyah M. Aan Mansyur M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Harir Muzakki M. Lutfi M. Shoim Anwar M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marniati Martin Aleida Mashuri Masuki M. Astro Matroni Muserang Mawar Kusuma Max Arifin Melani Budianta Mihar Harahap Mikael Johani Miziansyah J. Moch. Fathoni Arief Moh. Ghufron Cholid Mohammad Afifi Mohammad Rafi Azzamy Muhammad Hanif Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun AS Muhidin M. Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Murnierida Pram Myra Sidharta Nadia Cahyani Naim Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nessa Kartika Ni Made Purnama Sari Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Noor H. Dee Nurel Javissyarqi Nurul Fahmy Nurul Ilmi Elbana Nyoman Tusthi Eddy Ong Hok Ham Orasi Budaya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Pablo Neruda Pay Jarot Sujarwo PDS H.B. Jassin Pendidikan Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Bergerak Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin Qismatun Nihayah R Sutandya Yudha Khaidar R Toto Sugiharto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Rambuana Ramdhan Triyadi Bempah Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ricarda Huch Riezky Andhika Pradana Riki Dhamparan Putra Rizki Aprima Putra Rokhim Sarkadek Rony Agustinus Royyan Julian Rukardi Rumah Budaya Pantura Rumah Budaya Pantura (RBP) Ruth Indiah Rahayu S Yoga S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safitri Ningrum Sahaya Santayana Sahli Hamid Saini KM Sajak Salvator Yen Joenaidy Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setyaningsih Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosial Media Sastra Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sudarmoko Sudirman Sugeng Sulaksono Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunaryata Soemarjo Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susie Evidia Y Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka T Agus Khaidir T.A. Sakti Tangguh Pitoyo Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teater Pendopo nDalem Mangkubumen (Dokumen) Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tiya Hapitiawati Tiyasa Jati Pramono Toeti Heraty TS Pinang Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Usman Arrumy UU Hamidy Veronika Ninik Vika Wisnu W.S. Rendra Wahyu Triono Ks Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wilda Fizriyani Willy Ana Y Alpriyanti Y.B. Mangunwijaya Yanto le Honzo Yasin Susilo Yasir Amri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yulhasni Zehan Zareez Zuhdi Swt Zul Afrita