Senin, 21 Juni 2021

MEMBENTANGKAN ISU SEJARAH SASTRA INDONESIA

Maman S. Mahayana *
 
E.Ulrich Kratz (Peny.), Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad XX (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2000), xxxix + 980 halaman (termasuk lampiran)
 
Inilah rangkaian gagasan estetik mengenai sastra Indonesia abad XX. Sebuah pa-norama pemikiran yang coba mengangkat berbagai problem kesusastraan Indonesia da-lam rentang waktu satu abad. Dalam konteks itu, tampak jelas bahwa kesusastraan tidak sekadar produk imajinatif-estetik, melainkan juga sebagai bentuk lain dari pergulatan pe-mikiran yang merekam keterlibatkannya dalam berbagai aspek sosio-kultural zamannya. Itulah yang segera muncul ketika kita mencoba mencermati ke-97 artikel dalam buku ini.
 
E. Ulrich Kratz yang menyusun sejumlah artikel itu, mengandaikan bahwa sumber terpilih sejarah sastra Indonesia Abad XX itu, berisi berbagai pemikiran dan isu penting yang kerap dibicarakan dalam konteks sejarah sastra Indonesia Tentu saja yang dilakukan doktor pengajar Universitas London itu bukan tidak mengandung problem. Ia berhadap-an dengan artikel-artikel lain yang terpaksa disingkirkan. Itulah konsekuensi yang harus diterima saat ia memilah, memilih, dan kemudian menyusunnya hingga terbentang arus pemikiran yang pernah hingar-bingar mewarnai dinamika perjalanan sastra Indonesia.
 
Meskipun demikian, apa yang dilakukan Kratz sungguh merupakan sumbangan berarti bagi usaha penelusuran berbagai pemikiran mengenai kesusastraan Indonesia. Nama-nama ke-56 penulis yang artikelnya dimuat dalam buku ini, nyaris seluruhnya tidak diragukan lagi kualitasnya. Demikian juga ke-97 artikelnya, selain pernah dimuat dalam berbagai publikasi dalam rentang waktu 1928-1997, juga merupakan artikel yang meng-angkat isu-isu penting yang beberapa di antaranya, justru berkembang menjadi polemik. Oleh karena itu, kita dapat menerima jika Kratz menyebutnya sebagai Sumber Terpilih.
 
Sementara itu dalam hal yang menyangkut pemilihan tema, Kratz sungguh cerdas. Sejumlah masalah yang pernah menjadi isu penting, berhasil dibentangkan secara tematis. Dan ia berusaha menjaga benang merahnya, meskipun di sana-sini tampak tidak begitu lempang sistematikanya. Namun, seperti lazimnya menghimpun sejumlah tulisan yang berlimpah, problemnya selalu muncul di seputar kriteria dan alasan pemilihan.
 
Pemilihan artikel pertama “Poetoesan Congres Pemoeda Pemoeda Indonesia” yang menghasilkan Sumpah Pemuda, dan penjelasannya yang terdapat pada artikel kedua “Sumpah Indonesia Raja” yang ditulis Muhammad Yamin, misalnya, mengandaikan bah-wa kesusastraan Indonesia diawali pada 28 Oktober 1928. Jadi, Kratz terkesan sejalan dengan gagasan Nugroho Notosusanto perihal awal lahirnya kesusastraan Indonesia. Pa-dahal yang terjadi sebelum itu, terutama yang terekam dalam surat-surat kabar dan maja-lah akhir abad XIX dan awal abad XX merupakan bukti bahwa sastra Indonesia telah ter-sebar di berbagai media massa masa itu. Beberapa artikel itu menunjukkan bahwa pemi-kiran mengenai sastra Indonesia sebagai bagian dari kultur masyarakatnya telah berkem-bang semarak dan menjadi bahan pemikiran para pengarang dan kaum terpelajar kita.
 
Hal lain juga terjadi pada pemilihan artikel dari majalah Poedjangga Baroe.Tulis-an Armyn Pane, “Kesoesastraan Baroe I dan II” misalnya, tidak jelas dasar pemuatannya karena artikel Armijn Pane itu sebenarnya terdiri dari empat tulisan. Jika landasan pemi-lihan artikel itu: “karya-karya yang bergelut dengan soal perumusan kriteria dan sifat-sifat sastra Indonesia” (hlm. xvi), lalu mengapa empat artikel Amir Hamzah, “Kesoesas-teraan I–IV” atau empat artikel Sutan Takdir Alisjahbana “Poeisi Indonesia Zaman Baru I–IV” yang dimuat secara bersambung dalam Poedjangga Baroe periode yang sama, diluputkan? Soalnya, artikel Amir Hamzah secara jelas hendak menegaskan konsep kesu-sastraan Indonesia yang tidak dapat lepas dari pengaruh kesusastraan asing. Begitu pula artikel Takdir, justru menjadi dasar pemikirannya mengenai kriteria puisi lama dan baru. Dalam konteks kebudayaan, ia justru bersambungan dengan artikel Takdir “Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru” yang lalu berkembang menjadi Polemik Kebudayaan. Jadi, timbul pertanyaan, atas dasar apa artikel Amir Hamzah dan Takdir itu disisihkan?
 
Persoalan lain menimpa pula artikel “Poedjangga Baroe”. Mengapa bagian Su-sunan Redaksi, Rupa, dan Langganan yang terdapat dalam artikel itu, dihilangkan? Boleh jadi masalahnya akan lain jika Kratz mengambil artikel aslinya (Poedjangga Baru, 1, Juli 1933) dan tidak berdasarkan buku yang disusun C. Hooykaas (1947).
 
Mengherankan, bahwa Kratz tidak begitu tegas menjelaskan kriteria pemilihan se-jumlah artikel yang disusunnya itu. Ini berbeda dengan apa yang dilakukannya dalam “Pendahuluan” buku Bibliografi Karya Sastra Indonesia dan Majalah (1988: 21–43). Masalahnya menjadi lebih rumit jika kita mencoba menyisir kembali artikel-artikel yang terbit tahun 1950-an. Dan sesungguhnya, secara keseluruhan, masalah inilah yang menja-di titik rawan kriteria penyusunan yang dilakukan Kratz. Bagaimanapun juga, pertang-gungjawaban merupakan hal yang penting, meski penyusun mempunyai hak penuh atas pilihannya. Jika saja Kratz memberi keterangan atas pemilihan artikel-artikel yang dihim-punnya, niscaya kesan subjektif dapat dihindarkan.
 
Sejumlah masalah itu tentu saja tidak berarti apa-apa dibandingkan dengan kon-tribusi buku ini. Keseriusan Kratz dalam menghimpun serangkaian artikel dengan tema yang begitu beragam, menyodorkan banyak peluang bagi kita untuk melakukan penelitian lanjutan. Pemuatan empat artikel dari majalah Pedoman Masjarakat yang dipimpin Ham-ka, misalnya, menunjukkan bahwa Kratz tidak mengikuti mainstream sejarah kesusas-traan Indonesia yang selama ini telah baku diajarkan di sekolah-sekolah. Kesusastraan Indonesia pada dasawarsa 1930-an jelas tidak hanya terpusat pada majalah Poedjangga Baroe, melainkan juga majalah lain yang terbit waktu itu, termasuk Pedoman Masjarakat terbitan Medan. Secara tersirat, Kratz terkesan hendak menawarkan keberadaan sastra di luar Balai Pustaka yang waktu itu semarak dengan Medan sebagai salah satu pusatnya.
 
Untuk periode zaman Jepang, Kratz memilih tiga artikel yang dimuat Keboeda-jaan Timoer, Djawa Baroe, dan Pandji Poestaka. Meskipun artikel lain yang lebih me-wakili cukup berlimpah pada masa itu, terutama yang dimuat harian Asia Raja (1942–1945), setidaknya ketiga artikel itu memberi gambaran, bagaimana sikap para pengarang kita dalam berhadapan dengan kebijaksanaan Jepang di bidang kebudayaan. Malah, jika dimaksudkan untuk memberi gambaran keadaan kesusastraan zaman Jepang, tulisan H.B. Jassin “Kesusastraan di Zaman Jepang” sebenarnya jauh lebih representatif.
 
Mewakili perdebatan Angkatan 45, Kratz menampilkan delapan artikel. Sayang-nya, artikel Chairil Anwar, “Angkatan 45” tidak dimasukkan dalam buku ini. Padahal, artikel itu dimuat bersamaan dengan artikel Sitor Situmorang, “Angkatan 45” (Siasat, 6 November 1949). Meski begitu, ke-8 artikel itu representatif mengangkat simpang-siur gagasan tentang konsepsi estetik-kultural yang melandasi sikap Angkatan 45. Di sana, ju-ga ada artikel Jogaswara (Klara Akustia) “Angkatan 45 Sudah Mampus” yang kelak jadi polemik berkepanjangan dua kubu: humanisme universal dan realisme sosialis (Lekra).
 
Sampai awal tahun 1960-an, polemik itu melebar menjadi konflik ideologis antara sastrawan Lekra dan para penanda tangan Manifes Kebudayaan. Oleh sebab itu, beberapa artikel lain, sampai ke tulisan H.B. Jassin, “Angkatan 45” (Zenith, 3, 15 Maret 1951), sesungguhnya masih seputar perdebatan konsepsi dan penamaan Angkatan 45. Jika dita-rik benang merahnya, berbagai gagasan itu mesti dilengkapi pula “Mukaddimah Lekra”, lalu “Surat Kepercayaan Gelanggang” dan “Manifes Kebudayaan”.
 
Dasawarsa 1950-an merupakan masa yang paling demokratis, dan mulai kacau saat memasuki tahun1960-an. Perdebatan dan polemik terbuka yang menyangkut masa-lah sosial, politik, kebudayaan, termasuk sastra, hampir setiap hari menghiasi lembaran majalah atau surat kabar yang terbit waktu itu. Masalah yang jadi bahan perdebatan pun sangat beragam, mulai soal konsepsi estetik, fungsi sastra, tugas seniman, sastra populer, gagasan Angkatan Terbaru, sampai ke masalah hubungan sastra, ideologi, dan politik. Artikel-artikel yang dipilih Kratz cukup mewakili gambaran situasi sastra Indonesia masa itu, meski artikel-artikel dari kelompok sastrawan Lekra yang banyak menghiasi Zaman Baroe, Bintang Timur, Harian Rakjat, tidak dimasukkan dalam buku ini.
 
Memasuki zaman Orde Baru, kesusastraan Indonesia, di satu pihak memunculkan begitu banyak karya eksperimental, dan di lain pihak mendapat pengekangan terutama terhadap para sastrawan garis merah. Mereka yang dianggap musuh oleh golongan Lekra justru bersuara lantang menentang pelarangan itu. Belakangan ketika Pramoedya mem-peroleh hadiah Magsaysay, pembelaan itu malah jadi kontroversi. Sementara itu, arus eksperimentasi terus bergulir sampai tahun 1980-an. Abdul Hadi dan Korrie mencoba memberi label dengan nama Angkatan 70 dan Angkatan 80. Di luar itu, berbagai gagasan terus bermunculan menyemarakkan karya-karya yang terbit masa itu.
***
 
Sungguh Sumber Terpilih yang disusun Kratz ini menawarkan berbagai pemikiran yang niscaya dapat menjadi sumber tulisan atau penelitian berikutnya. Masalahnya tinggal bagaimana kita memanfaatkan berbagai gagasan berharga itu untuk turut serta menye-marakkan dan memperkaya dinamika perjalanan kesusastraan Indonesia.
 
Bersambung…

*) Maman S. Mahayana, lahir di Cirebon, Jawa Barat, 18 Agustus 1957. Dia salah satu penerima Tanda Kehormatan Satyalancana Karya Satya dari Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono (2005). Menyelesaikan pendidikannya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FS UI) tahun 1986, dan sejak itu mengajar di almamaternya yang kini menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB-UI). Tahun 1997 selesai Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Pernah tinggal lama di Seoul, dan menjadi pengajar di Department of Malay-Indonesian Studies, Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan. Selain mengajar, banyak melakukan penelitian. Beberapa hasil penelitiannya antara lain, “Inventarisasi Ungkapan-Ungkapan Bahasa Indonesia” (LPUI, 1993), “Pencatatan dan Inventarisasi Naskah-Naskah Cirebon” (Anggota Tim Peneliti, LPUI, 1994), dan “Majalah Wanita Awal Abad XX (1908-1928)” (LPUI, 2000). http://sastra-indonesia.com/2010/07/membentangkan-isu-sejarah-sastra-indonesia/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.S. Dharta Abdul Hadi WM Abdul Wachid B.S. Abdullah Abubakar Batarfie Abdurrahman Wahid Achmad Faesol Achmad S Achmad Soeparno Yanto Adin Adrian Balu Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Sasongko Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Prasmono Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Mustofa Bisri Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat al-Kindi Alex R. Nainggolan Ali Ahsan Al Haris Ali Audah Ali Syariati Amien Kamil Amien Wangsitalaja Andhika Dinata Andi Neneng Nur Fauziah Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Andy Riza Hidayat Anindita S. Thayf Anton Kurniawan Anton Sudibyo Aprinus Salam Arafat Nur Arif Hidayat Arman A.Z. Arthur Rimbaud Asap Studio Asarpin Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Badaruddin Amir Bagja Hidayat Balada Bambang Riyanto Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Butet Kartaredjasa Cak Bono Catatan Cecil Mariani Cerbung Cerpen Chairil Anwar Charles Bukowski Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dahta Gautama Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Danarto Dara Nuzzul Ramadhan Dareen Tatour Darju Prasetya Darojat Gustian Syafaat Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Sartika Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dianing Widya Yudhistira Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Pitono Djoko Saryono Djoko Subinarto Doan Widhiandono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Klik Santosa Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erik Purnama Putra Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esti Nuryani Kasam Evan Ys Evi Idawati F Aziz Manna F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Firman Wally Fiyan Arjun Forum Penulis dan Pegiat Literasi Lamongan (FP2L) Franz Kafka Galih M. Rosyadi Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Garna Raditya Gendut Riyanto Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gurindam Gusti Eka H.B. Jassin Halim HD Hamdy Salad Hamka Hari Sulastri Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasbi Zainuddin Hasif Amini Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Hermawan Mappiwali Herry Lamongan Hikmat Gumelar HM. Nasruddin Anshoriy Ch Hudan Hidayat Humam S Chudori Ibnu Wahyudi Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Iksaka Banu Ilham Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Arlado Imron Tohari Indra Tjahyadi Indrawati Jauharotun Nafisah Indrian Koto Inung As Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Ismi Wahid Iva Titin Shovia Iwan Fals Iwan Kurniawan Jakob Oetama Janual Aidi JJ. Kusni Johan Fabricius John H. McGlynn Jordaidan Rizsyah Jual Buku Sastra K.H. A. Azis Masyhuri Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kahlil Gibran Kamajaya Al. Katuuk Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khatijah Khoirul Inayah Ki Dhalang Sulang Ki Ompong Sudarsono Kikin Kuswandi Kodirun Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Sastra Mangkubumen (KSM) Komunitas Teater Se-Lamongan Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kucing Oren Kurniawan Junaedhie Kurniawan Muhammad Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Larung Sastra Latief S. Nugraha lensasastra.id Leo Tolstoy Leon Agusta Linda Christanty Lutfi Mardiansyah M. Aan Mansyur M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Harir Muzakki M. Lutfi M. Shoim Anwar M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marniati Martin Aleida Mashuri Masuki M. Astro Matroni Muserang Mawar Kusuma Max Arifin Melani Budianta Mihar Harahap Mikael Johani Miziansyah J. Moch. Fathoni Arief Moh. Ghufron Cholid Mohammad Afifi Mohammad Rafi Azzamy Muhammad Hanif Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun AS Muhidin M. Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Murnierida Pram Myra Sidharta Nadia Cahyani Naim Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nessa Kartika Ni Made Purnama Sari Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Noor H. Dee Nurel Javissyarqi Nurul Fahmy Nurul Ilmi Elbana Nyoman Tusthi Eddy Ong Hok Ham Orasi Budaya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Pablo Neruda Pay Jarot Sujarwo PDS H.B. Jassin Pendidikan Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Bergerak Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin Qismatun Nihayah R Sutandya Yudha Khaidar R Toto Sugiharto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Rambuana Ramdhan Triyadi Bempah Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ricarda Huch Riezky Andhika Pradana Riki Dhamparan Putra Rizki Aprima Putra Rokhim Sarkadek Rony Agustinus Royyan Julian Rukardi Rumah Budaya Pantura Rumah Budaya Pantura (RBP) Ruth Indiah Rahayu S Yoga S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safitri Ningrum Sahaya Santayana Sahli Hamid Saini KM Sajak Salvator Yen Joenaidy Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setyaningsih Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosial Media Sastra Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sudarmoko Sudirman Sugeng Sulaksono Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunaryata Soemarjo Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susie Evidia Y Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka T Agus Khaidir T.A. Sakti Tangguh Pitoyo Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teater Pendopo nDalem Mangkubumen (Dokumen) Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tiya Hapitiawati Tiyasa Jati Pramono Toeti Heraty TS Pinang Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Usman Arrumy UU Hamidy Veronika Ninik Vika Wisnu W.S. Rendra Wahyu Triono Ks Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wilda Fizriyani Willy Ana Y Alpriyanti Y.B. Mangunwijaya Yanto le Honzo Yasin Susilo Yasir Amri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yulhasni Zehan Zareez Zuhdi Swt Zul Afrita