Kamis, 27 Mei 2021

Sastra di Bawah Pemosisian Wacana

Arif Hidayat *
lampungpost.com
 
Sastra adalah wacana yang menampilkan realitas—sekaligus realitas itu sendiri—, tapi sastra juga berada di bawah pemosisian wacana, sebagaimana yang pernah dibicarakan Pierre Bourdieu dalam membaca sastra secara sosiologis, yang dilakukan di Prancis, untuk melihat relasi sastra dan posisinya dalam arena kultural.
 
MENURUT Bourdieu, ada arena wacana yang membuat karya sastra diterima suatu masyarakat dan ditolak, menjadi dikenang dan dilupakan. Kita bisa melihat fenomena itu di Indonesia dengan membandingkan antara masa Orde Baru dan pascareformasi (sekarang).
 
Orde Baru
 
Dalam Orde Baru ada ketidaklangsungan ekspresi yang disusun secara ketet (terutama dengan gaya lirik) dimaksudkan sebagai upaya menyinggung secara halus sekaligus simbolis. Maka, jangan heran juga jika teks-teks sastra yang menjadi pembelajaran di sekolah adalah teks-teks yang bernuansakan nasonalisme, yang tidak mengkritik pemerintahan. Misal, sajak Aku karya Chairil Anwar, yang sajak tersebut dianggap sebagai teks yang membawa semangat kemerdekaan, yang menjadikan rasa nasionalisme dan jiwa kebangsaan akan selalu terkenang pada tahun 1945.
 
Sajak Tiga Karangan Bunga karya Taufiq Ismail yang mengingatkan pada Pahlawan Ampera, yang memberikan dukungan kepada Orde Baru. Novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, yang di situ ada tokoh Rasus yang lebih memilih menjadi tentara daripada mencintai kampung halaman dan Srintil, padahal Srintil sangat dicintai sejak kecil. Di situ Rasus menjadi sangat dihormati dan dikagumi oleh orang Dukuh Paruk. Kita bisa melihat arena pembelajaran berdasarkan rezim kekuasaan, sehingga yang dikenal oleh masyarakat, terutama generasi muda, hanyalah teks-teks itu-itu saja. Dalam pembelajaran, sastra berada dalam pemosisian wacana oleh pemerintah.
 
Hanya pola pendidikan tradisional yang menekankan pembelajaran pada pengulangan masa lalu untuk hadir di masa sekarang, jadi dalam pola pendidikan yang “lebih modern” dengan melakukan identifikasi pada kesadaran praktis dari peserta didik dimaksudkan agar interkasi pembelajaran sastra (antara stimulus dan respons) tidak terhambat. Sastra sebagai bagian dari dunia sosial senantiasa terbuka bagi perubahan yang tidak hanya merekonstruksi masa lalu saja. Sastra adalah jaminan konsep yang dinarasikan secara kompleks sehingga membentuk wacana, sebab itu pembelajarannya pun harus kontekstual dalam ruang yang serba dilematis.
 
Padahal, “ruang pembelajaran sastra setiap waktu selalu mengalami perubahan, tergantung pada operasional pembelajaran untuk memberlangsungkan komunikasi dengan siswa” begitulah ungkap Faruk H.T. ketika mendiskusikan Kebudayaan, Manusia dan Media di Wisma Seni Taman Budaya, Solo. Maka, bukan dalam pembelajaran bukanlah mengulang-ngulang, melainkan sastra yang membentuk dialektika sebagai bagian dari komunikasi untuk memicu respons antara guru dan siswa, sehingga melahirkan inovasi-inovasi.
 
Pasca-Reformasi
 
Dalam pascareformasi, pembelajaran sastra yang seharusnya sudah disesuaikan dengan perkembangan saat ini, justru aplikasinya masih sama seperti dulu. Kurikulum pendidikan memang sudah berganti dari yang mulanya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Seharusnya model pembelajaran sekarang yang disesuaikan dengan tingkat satuan pendidikan agar lebih kontekstual—dengan berupaya untuk melakukan pengembangan diri—, ternyata implementasinya masih berjalan dengan tertatih-tatih. Makinlah miris kita dengan arena kultur pendidikan yang tolok ukurnya ditentukan secara kuantitatif, tidak mengarahkan pada intisari untuk memahami model sosiologis masyarakat di sekitarnya secara eksplisit untuk mengenali karya-karya yang ada. Maka, kebayakan komentar dari peserta didik yang muncul bahwa sastra hanya sebagai bumbu pelengkap dari pengajaran bahasa karena yang diajarkan itu-itu saja. Bahkan, di beberapa SMK, pengajaran sastra telah diganti dengan pengajaran menulis indah, yang secara esensial telah mengubah paradigma sastra.
 
Teks-teks sastra yang diajarkan masih tidak jauh beda dengan di masa Orde Baru. Kalaupun ada yang sedikir memasukan nama seperti Seno Gumira Aji Darma dan Agus Noor, misalnya, dianggap karyanya terlalu sulit dan kurang dipahami oleh peserta didik. Ini sebenarnya bukan teksnya yang sulit, tapi bagaimana guru melakukan bimbingan dan arahan karena dalam KTSP, guru menjadi fasilitator.
 
Teks-teks pascareformasi sebenarnya jauh lebih ideologis dan pluralis. Dalam perkembangan kini, mereka sebagai produktor ideologi dengan adanya wacana yang dapat diterima sebagai kebenaran. Ini menggambarkan bahwa dunia teks memapankan makna, sekaligus memunculkan makna lain atas mekanisme pemahaman pembaca melalui konstruksi bahasa sebagai pijakan untuk memaknai. Dalam hal ini, puisi menata tanda melalui tatanan kultural secara selektif dengan nilai yang merefleksikan realitas, tentunya dengan proporsi membangkitkan keharuan kepada pembaca berdasarkan citra bahasa yang dapat membangkitkan emosi seperti keharuan, keterkesanan, simpati dan ketergugahan jiwa.
 
Dalam teks-teks tersebut ada bahasa yang tidak netral dengan pengetahuan yang terus berkembang. Ada wacana bergerak secara sugestif dalam diri subjek-pembaca. Betapa kehalusan bahasa menciptakan keramahan, keharmonisan, dan kebersatuan—itulah yang terjadi ketika puisi masih menjadi bagian dari sepasang kekasih, juga untuk permintaan maaf melalui pesan singkat di Lebaran. Betapa keindahan bahasa yang polisemik menjadi pemersatu atas daya apresiasi dan interpretasi makna yang mengharukan bagi yang membaca.
 
Yang seharusnya dilakukan dalam arena kultur pendidikan adalah mengarahkan kembali sensibilitas peserta didik untuk mencipta dan mengapresiasi di tengah pengaruh media agar seluruh indra tergerak, melalui audio-visual. Perlu juga ada pertarungan intuisi dalam ruang sastra. Dalam kaitan ini, bukan berarti kita menolak pembelajaran yang telah tertera di dalam kurikulum, melainkan agar kita bisa seimbang membelajarkan sastra antara teks sastra yang menandai setiap sejarah dengan dibandingankan dengan masa kini. Dengan cara itulah, teks-teks dapat dipahami dengan baik dan tidak luntur sebagai nilai. Pemosisian sastra dalam arena kultural juga tidak didominasi oleh salah satu pihak. Di sinilah, karya sastra akan mendapatkan ruang yang lebih terbuka dan beragam dengan diciptakan memuat nilai-nilai lokal yang luhur. Dan, jangan menyalahkan siswa masa sekarang, ketika mereka tidak lagi mengenal substansi dari karya sastra mutakhir, justru hanya mengangung-agungkan yang tercatat oleh sejarah semata.
 
Maka dari itu, kita harus memandang sastra dalam arena kultur yang lain, dalam iringan media dan persepsi masyarakat menjalin hubungan secara komunikatif dan inovatif. Kita harus memberanikan diri untuk menciptakan inovasi-inovasi pengajaran sastra, dengan melihat pengarang-pengarang lokal sebagai cara untuk mengembangkan potensi. Inovasi pengajaran sastra harus mengacu pada ruang literer dan perkembangan sosiologis, sehingga melatih sensibilitas peserta didik. Cara ini akan memberikan “pembebasan” karena akan ada penemuan yang humanis melalui kesadaran praktis yang dimiliki oleh peserta didik dalam mencermati karya sastra.
 
11 December 2011

*) Arif Hidayat, Mahasiswa Pascasarjana Kajian Budaya UNS Solo. http://sastra-indonesia.com/2011/12/sastra-di-bawah-pemosisian-wacana/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.S. Dharta Abdul Hadi WM Abdul Wachid B.S. Abdullah Abubakar Batarfie Abdurrahman Wahid Achmad Faesol Achmad S Achmad Soeparno Yanto Adin Adrian Balu Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Sasongko Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Prasmono Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Mustofa Bisri Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat al-Kindi Alex R. Nainggolan Ali Ahsan Al Haris Ali Audah Ali Syariati Amien Kamil Amien Wangsitalaja Andhika Dinata Andi Neneng Nur Fauziah Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Andy Riza Hidayat Anindita S. Thayf Anton Kurniawan Anton Sudibyo Aprinus Salam Arafat Nur Arif Hidayat Arman A.Z. Arthur Rimbaud Asap Studio Asarpin Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Badaruddin Amir Bagja Hidayat Balada Bambang Riyanto Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Butet Kartaredjasa Cak Bono Catatan Cecil Mariani Cerbung Cerpen Chairil Anwar Charles Bukowski Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dahta Gautama Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Danarto Dara Nuzzul Ramadhan Dareen Tatour Darju Prasetya Darojat Gustian Syafaat Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Sartika Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dianing Widya Yudhistira Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Pitono Djoko Saryono Djoko Subinarto Doan Widhiandono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Klik Santosa Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erik Purnama Putra Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esti Nuryani Kasam Evan Ys Evi Idawati F Aziz Manna F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Firman Wally Fiyan Arjun Forum Penulis dan Pegiat Literasi Lamongan (FP2L) Franz Kafka Galih M. Rosyadi Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Garna Raditya Gendut Riyanto Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gurindam Gusti Eka H.B. Jassin Halim HD Hamdy Salad Hamka Hari Sulastri Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasbi Zainuddin Hasif Amini Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Hermawan Mappiwali Herry Lamongan Hikmat Gumelar HM. Nasruddin Anshoriy Ch Hudan Hidayat Humam S Chudori Ibnu Wahyudi Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Iksaka Banu Ilham Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Arlado Imron Tohari Indra Tjahyadi Indrawati Jauharotun Nafisah Indrian Koto Inung As Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Ismi Wahid Iva Titin Shovia Iwan Fals Iwan Kurniawan Jakob Oetama Janual Aidi JJ. Kusni Johan Fabricius John H. McGlynn Jordaidan Rizsyah Jual Buku Sastra K.H. A. Azis Masyhuri Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kahlil Gibran Kamajaya Al. Katuuk Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khatijah Khoirul Inayah Ki Dhalang Sulang Ki Ompong Sudarsono Kikin Kuswandi Kodirun Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Sastra Mangkubumen (KSM) Komunitas Teater Se-Lamongan Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kucing Oren Kurniawan Junaedhie Kurniawan Muhammad Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Larung Sastra Latief S. Nugraha lensasastra.id Leo Tolstoy Leon Agusta Linda Christanty Lutfi Mardiansyah M. Aan Mansyur M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Harir Muzakki M. Lutfi M. Shoim Anwar M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marniati Martin Aleida Mashuri Masuki M. Astro Matroni Muserang Mawar Kusuma Max Arifin Melani Budianta Mihar Harahap Mikael Johani Miziansyah J. Moch. Fathoni Arief Moh. Ghufron Cholid Mohammad Afifi Mohammad Rafi Azzamy Muhammad Hanif Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun AS Muhidin M. Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Murnierida Pram Myra Sidharta Nadia Cahyani Naim Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nessa Kartika Ni Made Purnama Sari Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Noor H. Dee Nurel Javissyarqi Nurul Fahmy Nurul Ilmi Elbana Nyoman Tusthi Eddy Ong Hok Ham Orasi Budaya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Pablo Neruda Pay Jarot Sujarwo PDS H.B. Jassin Pendidikan Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Bergerak Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin Qismatun Nihayah R Sutandya Yudha Khaidar R Toto Sugiharto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Rambuana Ramdhan Triyadi Bempah Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ricarda Huch Riezky Andhika Pradana Riki Dhamparan Putra Rizki Aprima Putra Rokhim Sarkadek Rony Agustinus Royyan Julian Rukardi Rumah Budaya Pantura Rumah Budaya Pantura (RBP) Ruth Indiah Rahayu S Yoga S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safitri Ningrum Sahaya Santayana Sahli Hamid Saini KM Sajak Salvator Yen Joenaidy Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setyaningsih Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosial Media Sastra Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sudarmoko Sudirman Sugeng Sulaksono Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunaryata Soemarjo Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susie Evidia Y Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka T Agus Khaidir T.A. Sakti Tangguh Pitoyo Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teater Pendopo nDalem Mangkubumen (Dokumen) Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tiya Hapitiawati Tiyasa Jati Pramono Toeti Heraty TS Pinang Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Usman Arrumy UU Hamidy Veronika Ninik Vika Wisnu W.S. Rendra Wahyu Triono Ks Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wilda Fizriyani Willy Ana Y Alpriyanti Y.B. Mangunwijaya Yanto le Honzo Yasin Susilo Yasir Amri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yulhasni Zehan Zareez Zuhdi Swt Zul Afrita