Rabu, 28 April 2021

Politik Sayembara Sastra

Saut Situmorang
 
Dalam kolom Kehidupan bertajuk “Bayang-bayang Perempuan Pengarang” (Kompas, Minggu 7 Maret 2004) tentang fenomena makin banyaknya jumlah pengarang fiksi berjenis kelamin perempuan bermunculan di Indonesia akhir-akhir ini, terutama dalam konteks Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta 2003 yang tiga pemenang utamanya adalah pengarang perempuan, terdapat kutipan pernyataan dari Sapardi Djoko Damono berikut ini: “Masa depan novel Indonesia ada di tangan perempuan, karena lelaki lebih bodoh dan malas membaca.” Beberapa tahun sebelumnya, dalam kesempatan publikasi pemenang Sayembara Roman Dewan Kesenian Jakarta 1998 yaitu Saman karya Ayu Utami, yang kemudian dipasang sebagai blurb atau deskripsi promosional di sampul-belakang naskah yang diterbitkan itu, Sapardi Djoko Damono juga membuat pernyataan bombastis yang sensasional: “Dahsyat . . . memamerkan teknik komposisi yang – sepanjang pengetahuan saya – belum pernah dicoba pengarang lain di Indonesia, bahkan mungkin di negeri lain.”
 
Tapi apa yang sangat mengherankan saya adalah bahwa kedua pernyataan bombastis di atas justru datang dari, menurut Kompas dimaksud, seorang “tokoh kawakan”, “sastrawan sekaliber” Sapardi Djoko Damono – penyair, redaktur, eseis, penterjemah, profesor sastra, dan akhir-akhir ini, cerpenis – yang bahkan “telah terlibat dalam aktivitas [penjurian Sayembara Dewan Kesenian Jakarta] sejak tahun 1970-an.” Mengherankan juga karena sampai saat ini saya masih belum melihat adanya respons kritis dari masyarakat sastra Indonesia yang, paling tidak, berusaha memaksa Sapardi Djoko Damono untuk mengelaborasi pernyataan-pernyataan publiknya tersebut, lewat polemik di media massa misalnya. Masih hidupkah sastra kontemporer Indonesia?
 
Kita tentu saja tidak harus setuju dengan kedua pernyataan Sapardi Djoko Damono tersebut, apalagi kalau diingat bahwa karya-karya para pengarang perempuan yang dirujuknya itu adalah karya-karya yang “dipilihnya” sebagai pemenang dalam dua Sayembara Dewan Kesenian Jakarta di mana dia merupakan salah seorang jurinya. Dia memang memiliki kewajiban untuk mempertahankan/membela karya-karya yang dimenangkannya itu di hadapan publik sastra Indonesia.
 
Apa yang mesti kita pertanyakan adalah bombasme kata-kata yang kelihatan memang sengaja dipakai Sapardi Djoko Damono untuk membuat kontroversial sesuatu yang sebenarnya tidak memiliki apa-apa yang mesti dibuat sensasi. Dari kelima pemenang Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta 2003, terdapat dua orang pengarang laki-laki, yaitu Gus tf Sakai dan Pandu Abdurrahman Hamzah. Berdasarkan fakta ini, kita bisa mempertanyakan Sapardi di manakah relevansi pernyataannya bahwa “masa depan novel Indonesia ada di tangan perempuan, karena lelaki lebih bodoh dan malas membaca.” Seandainyapun kelima pemenang Sayembara tersebut berjenis kelamin perempuan semuanya, tetap masih terasa sangat mengada-ada untuk membuat klaim bahwa “masa depan novel Indonesia ada di tangan [pengarang] perempuan” Indonesia, seolah-olah naskah novel mereka yang kebetulan dimenangkan itu akan dengan pasti mengakibatkan suatu perubahan hakiki dalam dunia novel kontemporer Indonesia. Blurb dari pernyataan Sapardi pada sampul-belakang novel Saman Ayu Utami seperti yang saya kutip di awal esei ini bisa juga kita pertanyakan secara sederhana begini: “Teknik komposisi” yang bagaimanakah yang sebenarnya dipamerkan oleh Saman yang – sepanjang pengetahuan Sapardi Djoko Damono – belum pernah dicoba pengarang lain di Indonesia, bahkan mungkin di negeri lain itu? “Teknik komposisi” dalam pengertian narasi narsistik-masturbatori atas genitalia perempuankah (yang menghasilkan voyeurisme katarsis) yang dimaksudkan juri-cum-pengarang laki-laki ini? Kemudian, di manakah relevansi “pengetahuan [sastra]” seorang Sapardi Djoko Damono dengan “kedahsyatan” novel Ayu Utami itu? Dalam kata lain, siapakah yang bisa menjamin bahwa “pengetahuan [sastra]” Sapardi Djoko Damono memang merupakan pengetahuan standar atas novel, apalagi kalau kita kaitkan hal ini dengan klaimnya yang lain bahwa “[pengarang] lelaki [Indonesia] lebih bodoh dan malas membaca”?!
 
Problem sastra Indonesia saat ini adalah para penulis berjenis kelamin laki-laki yang karena usia tua jadi sudah mulai pikun kemampuan berbahasanya. Dari kedua pernyataan Sapardi Djoko Damono di atas terlihat bahwa Sapardi sering lupa bahwa “seleranya” sebagai seorang juri sayembara BUKAN mewakili selera mayoritas pemikir sastra Indonesia. Dalam konteks sebuah sayembara, beda juri/generasi tentu akan beda selera bacaannya dan tidak mustahil untuk tidak menghasilkan beda pemenang. Di sisi lain, sikap yang seolah-olah mendukung pengarang perempuan seperti yang ditunjukkan pernyataan-pernyataan Sapardi tersebut bisa juga dicurigai sebagai cuma sebuah refleksi sisa-sisa sikap patronising pengarang laki-laki tua terhadap para pengarang perempuan muda yang tiba-tiba menjamur jumlahnya dibanding periode sebelumnya, periode di mana para pengarang patriarch ini sedang jaya-jayanya. Tidak tertutup kemungkinan bahwa timbulnya sikap ini disebabkan adanya rasa ketakutan/kecemasan Oedipal terhadap eksistensi para penulis laki-laki muda yang akan menjadikan mereka tinggal sejarah, sekedar pengisi daftar who’s who di mata pelajaran sastra sekolah menengah misalnya, maka mereka lebih bisa “menerima” para pengarang perempuan muda yang lantas mereka puja-puja.
 
Sebuah sayembara mengarang nasional seperti yang dilakukan Dewan Kesenian Jakarta tentu memiliki efek berskala nasional juga pada pamor pengarang-pemenang dan karyanya, apalagi kalau mendapat ekspose khusus media massa nasional, dan oleh karena itu kita tidak bisa begitu saja melepaskannya dari isu politik pembentukan selera sastra. Diakui atau tidak, bagaimanapun Jakarta masih tetap dianggap sebagai pusat kekuasaan hegemonik dalam kanonisasi nama dan karya seperti yang bisa dilihat dari orientasi publikasi karya yang selalu ke media massa terbitan Jakarta. Dalam konteks sayembara mengarang seperti yang dilaksanakan Dewan Kesenian Jakarta tersebut, para juri memiliki kekuasaan luar biasa untuk menentukan pembentukan selera sastra masyarakat sastra Indonesia. Karenanya bukankah pemilihan “siapa” yang akan menjadi juri sayembara juga sangat penting untuk dipermasalahkan, misalnya sudah mewakili generasi pengarang muda dan pengarang perempuankah komposisi para jurinya. Dan apa sajakah “kriteria” bagi pemilihan seorang juri untuk sayembara mengarang nasional seperti itu: hanya sastrawan senior sajakah; hanya para sastrawan dan akademisi sastra sajakah; atau melibatkan semua unsur dunia intelektual kita di luar masyarakat sastra (jurnalis, perupa, pemusik, politikus, dsb). Kejelasan prosedur seperti ini, saya pikir, akan membuat penjurian sebuah sayembara mengarang nasional menjadi lebih profesional, bisa lebih diterima banyak golongan, bisa dihindarkan dari idiosinkrasi selera pribadi atau golongan kecil (komunitas tertentu), dan karenanya akan menjadi berbobot secara kritis.
 
Politik kepentingan tidak mungkin tidak mewarnai sistem penjurian sebuah sayembara mengarang nasional, apalagi dalam kondisi sebuah sastra nasional yang tidak memiliki tradisi kritik sastra yang bersejarah panjang. Berkaitan dengan politik sayembara sastra ini ada baiknya saya ceritakan sebagai penutup esei ini sebuah anekdot menarik dari khazanah sastra internasional tentang filsuf-cum-novelis-cum-dramawan Eksistensialis Perancis Jean-Paul Sartre dan Pablo Neruda. Akademi Swedia yang tiap tahun memilih seorang sastrawan bangsa apa saja – yang karya-karyanya dianggap memajukan kemanusiaan manusia-manusia penghuni planet manusia ini – untuk jadi “pemenang” hadiah sastra paling mahal di galaksi ini, yaitu Hadiah Nobel, memutuskan untuk memilih Jean-Paul Sartre dari Perancis. Bisa dibayangkan betapa hebatnya peruntungan yang jatuh ke kepala sastrawan-filsuf yang suka menulis karyanya di café ini! Bukan hanya jumlah duitnya yang bisa untuk beli sebuah pulau di sebuah kepulauan tropis itu, tapi terutama keabadian namanya dalam konstelasi para pujangga besar yang pernah dikenal peradaban manusia! Tapi apa yang terjadi? Sartre menolaknya! Jean-Paul Sartre menolak “anugerah” Hadiah Nobel untuk Sastra tahun itu! Apa Sartre sudah gila? Apa mungkin cacat matanya membuat saraf otaknya tidak mampu lagi bekerja normal, seperti para sastrawan-Nobel lain yang normal itu? Entahlah, tapi yang pasti Sartre tetap menolak Hadiah Nobelnya sampai dia meninggal dunia. Kita tentu bertanya-tanya: kenapa Sartre menolak Hadiah Nobelnya? Apa sebabnya?
 
Menurut yang empunya cerita, konon hanya ada dua alasan yang diberikan Jean-Paul Sartre untuk menolak menerima Hadiah Nobel Sastra untuk tahun 1964 itu: pertama, bagi Sartre seharusnya penyair Komunis dari Chile bernama Pablo Neruda yang lebih pantas untuk mendapat Hadiah Nobel Sastra tahun itu, dan kedua, Sartre tidak mau karyanya dibaca hanya karena dia menang Hadiah Nobel yang nota bene, menurutnya, merupakan produk/simbol dari masyarakat borjuis-kapitalis yang direpresentasikan oleh Akademi Swedia itu sendiri. Itulah sebabnya juga, kata Sartre, dari semua pemenang Hadiah Nobel Sastra asal Uni Soviet, para sastrawan yang menentang Partai Komunis Uni Soviet yang lebih banyak mendapat Hadiah Nobel Sastra! Nah.
***

http://sastra-indonesia.com/2009/03/politik-sayembara-sastra/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.S. Dharta Abdul Hadi WM Abdul Wachid B.S. Abdullah Abubakar Batarfie Abdurrahman Wahid Achmad Faesol Achmad S Achmad Soeparno Yanto Adin Adrian Balu Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Sasongko Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Prasmono Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Mustofa Bisri Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat al-Kindi Alex R. Nainggolan Ali Ahsan Al Haris Ali Audah Ali Syariati Amien Kamil Amien Wangsitalaja Andhika Dinata Andi Neneng Nur Fauziah Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Andy Riza Hidayat Anindita S. Thayf Anton Kurniawan Anton Sudibyo Aprinus Salam Arafat Nur Arif Hidayat Arman A.Z. Arthur Rimbaud Asap Studio Asarpin Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Badaruddin Amir Bagja Hidayat Balada Bambang Riyanto Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Butet Kartaredjasa Cak Bono Catatan Cecil Mariani Cerbung Cerpen Chairil Anwar Charles Bukowski Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dahta Gautama Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Danarto Dara Nuzzul Ramadhan Dareen Tatour Darju Prasetya Darojat Gustian Syafaat Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Sartika Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dianing Widya Yudhistira Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Pitono Djoko Saryono Djoko Subinarto Doan Widhiandono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Klik Santosa Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erik Purnama Putra Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esti Nuryani Kasam Evan Ys Evi Idawati F Aziz Manna F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Firman Wally Fiyan Arjun Forum Penulis dan Pegiat Literasi Lamongan (FP2L) Franz Kafka Galih M. Rosyadi Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Garna Raditya Gendut Riyanto Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gurindam Gusti Eka H.B. Jassin Halim HD Hamdy Salad Hamka Hari Sulastri Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasbi Zainuddin Hasif Amini Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Hermawan Mappiwali Herry Lamongan Hikmat Gumelar HM. Nasruddin Anshoriy Ch Hudan Hidayat Humam S Chudori Ibnu Wahyudi Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Iksaka Banu Ilham Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Arlado Imron Tohari Indra Tjahyadi Indrawati Jauharotun Nafisah Indrian Koto Inung As Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Ismi Wahid Iva Titin Shovia Iwan Fals Iwan Kurniawan Jakob Oetama Janual Aidi JJ. Kusni Johan Fabricius John H. McGlynn Jordaidan Rizsyah Jual Buku Sastra K.H. A. Azis Masyhuri Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kahlil Gibran Kamajaya Al. Katuuk Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khatijah Khoirul Inayah Ki Dhalang Sulang Ki Ompong Sudarsono Kikin Kuswandi Kodirun Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Sastra Mangkubumen (KSM) Komunitas Teater Se-Lamongan Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kucing Oren Kurniawan Junaedhie Kurniawan Muhammad Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Larung Sastra Latief S. Nugraha lensasastra.id Leo Tolstoy Leon Agusta Linda Christanty Lutfi Mardiansyah M. Aan Mansyur M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Harir Muzakki M. Lutfi M. Shoim Anwar M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marniati Martin Aleida Mashuri Masuki M. Astro Matroni Muserang Mawar Kusuma Max Arifin Melani Budianta Mihar Harahap Mikael Johani Miziansyah J. Moch. Fathoni Arief Moh. Ghufron Cholid Mohammad Afifi Mohammad Rafi Azzamy Muhammad Hanif Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun AS Muhidin M. Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Murnierida Pram Myra Sidharta Nadia Cahyani Naim Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nessa Kartika Ni Made Purnama Sari Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Noor H. Dee Nurel Javissyarqi Nurul Fahmy Nurul Ilmi Elbana Nyoman Tusthi Eddy Ong Hok Ham Orasi Budaya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Pablo Neruda Pay Jarot Sujarwo PDS H.B. Jassin Pendidikan Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Bergerak Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin Qismatun Nihayah R Sutandya Yudha Khaidar R Toto Sugiharto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Rambuana Ramdhan Triyadi Bempah Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ricarda Huch Riezky Andhika Pradana Riki Dhamparan Putra Rizki Aprima Putra Rokhim Sarkadek Rony Agustinus Royyan Julian Rukardi Rumah Budaya Pantura Rumah Budaya Pantura (RBP) Ruth Indiah Rahayu S Yoga S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safitri Ningrum Sahaya Santayana Sahli Hamid Saini KM Sajak Salvator Yen Joenaidy Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setyaningsih Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosial Media Sastra Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sudarmoko Sudirman Sugeng Sulaksono Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunaryata Soemarjo Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susie Evidia Y Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka T Agus Khaidir T.A. Sakti Tangguh Pitoyo Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teater Pendopo nDalem Mangkubumen (Dokumen) Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tiya Hapitiawati Tiyasa Jati Pramono Toeti Heraty TS Pinang Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Usman Arrumy UU Hamidy Veronika Ninik Vika Wisnu W.S. Rendra Wahyu Triono Ks Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wilda Fizriyani Willy Ana Y Alpriyanti Y.B. Mangunwijaya Yanto le Honzo Yasin Susilo Yasir Amri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yulhasni Zehan Zareez Zuhdi Swt Zul Afrita