Bulan puasa adalah salah satu penanda waktu yang berharga bagi pemeluk agama Islam. Penanda waktu yang membangkitkan kenangan dan kesahduan. Orang mengingat bulan puasa setahun yang lalu, mungkin 7 tahun yang lalu. Atau mengenangkan bulan puasa puluhan tahun yang lalu, ketika masih kecil, dalam sebuah keluarga yang lengkap. Dan di bulan puasa kali ini, keluarga itu sudah tak lengkap lagi. Ada yang telah tiada, atau ada yang pergi jauh bersama nasib yang dibawanya entah ke mana. Dulu buka dan sahur bersama keluarga, lengkap. Sekarang ada yang berkurang, atau hanya sendirian. Anak-anak pergi ke perantauan, tak punya kesempatan pulang. Ada yang pergi dengan sejumlah persoalan yang tak terjelaskan, menjauh dan tak kembali lagi. Kenapa yang semula berkumpul itu harus terpisah atau tercerai-berai? Tak ada jawaban apa-apa, selain malam terlewati dengan kesendirian, atau kehilangan-kehilangan. Selain melewati malam bulan puasa, yang selalu diyakini penuh berkah dan ampunan yang disampaikan berulang-ulang seperti rekaman.
Ada yang termangu menunggu, entah menunggu apa. Kegelisahan. Dan sejenak berpikir di tengah kelesuan ekonomi; apa sesungguhnya yang ingin diraih sehingga segalanya harus dikorbankan, segalanya harus ditinggalkan, dan segalanya harus ditangisi? Apa yang diburu, apa yang ingin diraih, dan buat apa segalanya diburu dan diraih, jika harus menanggungkan penderitaan di dalam batin? Desah seseorang yang tergeletak di malam puasa dalam ketidaktahuan harus berbuat apa. Apakah semua orang muslimin bergembira menyambut bulan puasa dan berbahagia di dalam bulan yang penuh rahmat ini? Kemudian buat apa bulan puasa, jika derita lahir dan batin menyerang lantaran ingatan dan keinginan-keinginan yang tak terhindarkan? Atau kesulitan semakin memberat lantaran masalah kesejahteraan, keterhimpitan, dan kesusahan hidup.
Jika bulan puasa adalah bulan penuh rahmat-berkah dan ampunan, kenapa tak semua orang bergembira atasnya? Apakah mereka yang tak menemukan kegembiraan pada bulan puasa termasuk orang-orang yang tak beriman? Lalu apakah orang-orang yang bergembira atas datangnya bulan puasa sudah termasuk orang-orang beriman yang neraka diharamkan atas dirinya?
Tak ada yang menjamin. Tak ada yang memastikan, selain keimanan yang tak belaka kepatuhan-kepatuhan tiada guna. Nabi Muhammad tidak mengakui keimanan seseorang, jika ia kenyang sendiri. Beliau juga tak mengakui iman seseorang, kalau hidupnya hanya mementingkan dirinya sendiri. Kemudian atas alasan apa seseorang bergembira atas tibanya bulan puasa, jika kegembiraan itu hanya buat diri dan golongannya sendiri, kalau kegembiraan itu belaka ekstasi atau kepuasan religius perihal surga dan ampunan? Apa bukti bulan puasa adalah bulan penuh rahmat-berkah kalau kebahagiaan hanya berlaku bagi kalangan tertentu? Apa gunanya bulan puasa adalah bulan penuh ampunan jika di antara sesama manusia tak terjadi sikap saling memaafkan dan saling mengentaskan penderitaan, jika hanya kalangan kuat saja yang berhak atas segala kemudahan dan kesejahteraan?
Barangkali memang benar sabda Nabi Muhammad, bahwa bulan puasa menjadi bulan yang ampuh dan mulia jika iman seseorang semakin bertambah. Sedangkan iman yang beliau akui adalah keimanan yang dibuktikan dengan nyata pada sikap luhur kemanusiaan. Bahwa “tak beriman seseorang sebelum ia mencintai sesamanya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri,” sabdanya. Jika bulan puasa adalah bulan penuh nikmat dan ampunan, yang nikmat dan ampunan Tuhan diturunkan secara lebih melimpah-limpah ke bumi pada bulan ini, maka apa saja nikmat itu, dan sepenting apa ampunan itu dibandingkan dengan kesulitan hidup? Buat apa nikmat diturunkan, tapi banyak orang lemah yang menderita? Buat apa ampunan, jika manusia yang mengaku beriman tetap saja menindas dan menipu buat kepentingannya sendiri? Apakah nikmat dan ampunan itu hanya dapat ditangkap atau diterima oleh yang kuat dan berkecukupan belaka? Bukankah nikmat-Nya itu tanpa pandang bulu? Maka sesungguhnya nikmat itu omong kosong, jika nikmat hanya berlaku bagi yang kuat dan melimpah belaka, atau hanya buat ekstasi dan kepuasan religius semata. Keimanan tak semakin bertambah, lantaran puasa hanya tradisi dan rutinitas. Sebab keimanan tak lulus menjalani ujian untuk berbagi dan menjaga dengan setulus-tulusnya orang-orang dekat dan sesama manusia dalam sikap sejati kemanusiaan. Itulah barangkali sebabnya, Nabi Muhammad menegaskan setegas-tegasnya, bahwa nikmat utama bulan puasa adalah turunnya al-Qur’an. Yang bermakna, bahwa Qur’an diturunkan buat manusia. Maka sejatinya nikmat itu adalah kesadaran kemanusiaan, kesadaran sebagai manusia yang memanusiakan sesamanya. Sehingga di situlah kasih-sayang yang tulus (rahmat-berkat) dan ampunan (pengertian dan pengayoman), terus menerus disadari dan ditumbuhkan dengan kekokohan, dengan komitmen yang kuat, yang dalam istilah keagamaan disebut iman.
Namun kecemasan menebar, menjadi wabah di dalam gelap perkotaan. Kedinginan. Kesunyian di dalam kerinduan, tak pernah menebak segala kemungkinan. Menjilat risau. Di pedalaman sunyi, mawar liar tumbuh di palung gelisah yang selalu bertanya.
Selamat berbuka puasa...
Gumuk Angin, Tembokrejo, 2021
*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab Iblis” (PSBB, 2018), “Agama Para Bajingan” (PSBB, 2019), dan Buku terbarunya “Kitab Kelamin” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi. http://sastra-indonesia.com/2021/04/bulan-puasa/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar