Jumat, 05 Maret 2021

Cinta dalam Religiusitas Gus Mus

Munawir Aziz *
Suara Karya, 9 Nov 2013
 
MEMBACA sajak-sajak KH Musthofa Bisri (Gus Mus) adalah seperti menyelam dalam kejernihan batin. Sajak-sajak Gus Mus merefleksikan kedalaman jiwa, olah rasa dan refleksi atas kondisi sosial yang jadi sengkarut hidup umat manusia. Sajak Gus Mus sering dianggap “balsem”, dapat menyengat untuk menawarkan panas di tubuh dan telinga, sekaligus mencipta ketenangan. Sajak-sajak balsem karya Gus Mus ringan ditelinga dan sedap dibaca, meski menusuk dalam kelembutan batin. Itulah, sajak-sajak yang ia tulis dengan cinta.
 
Sepanjang karirnya sebagai penyair, Gus Mus sangat peduli dengan tema-tema religiusitas dan cinta. Sajak-sajaknya menjadi cermin bening bagi umat manusia yang ingin mencari bahkan apa yang selama ini menjadi perjalanan panjang untuk menemukan cinta, menemu kebahagiaan. Gus Mus mengusap kata, menulis, dan merenungkan hakikat dengan ketenangan batin dan kejernihan hati.
 
Bagi Gus Mus Sang Kiai, sastrawan, pelukis, budayawan, dan seabgreg sebutan lain mendedikasikan sajaknya untuk semua, tanpa sekat agama, etnis, kebudayaan bahkan watak manusia. Sajak Gus Mus menyelam dalam, menelusup pada ruang yang sering menjadi wadah kedengkian, sajak yang ditulis dengan hati.
 
Gus Mus, salah satu sastrawan penting yang lahir dari pesantren. Ia lahir di Rembang, pada 10 Agustus 1944, dari keluarga penulis dan pengasuh pesantren. Ziarah keilmuan dari pesantren ke pesantren, serta renungan terhadap kemanusiaan menjadikan sajaknya mengalunkan ritme tentang kisah-kisah manusia. Selama 1991-2002, Gus Mus telah menulis beberapa buku: Ohoi (1991), Tadarus (1993), Pahlawan dan Tikus (1995), Rubayat Angin dan Rumput (1995), Wekwekwek: Sajak-sajak Bumilangit (1996), Negeri Daging (2002), dan Gandrung (2005). Tentu saja, esai-esainya yang bernas juga selalu ditunggu pembaca.
 
Bagi Gus Mus, cinta akan menjadi sesuatu yang sederhana, namun mewakili perasaan: kepercayaan dan bahasa hati. Cinta tidak diwakili oleh bujuk rayuan, hadiah mewah ataupun citra artifisial yang lain. Cinta mewujud dalam sikap dan keteguhan batin untuk saling mengisi perasaan. Sajak Gus Mus berjudul “Hanin”, merefleksikan cinta yang sederhana: mestinya malam ini/ bisa sangat istimewa/ seperti dalam mimpi-mimpiku/ selama ini. kekasih, jemputlah aku/ kekasih, sambutlah aku/ aku akan menceritakan kerinduanku/ dengan kata-kata biasa/ dan kau cukup tersenyum memahami deritakulalu kuletakkan kepalaku yang penat/ di haribaanmu yang hangat/ kekasih, tetaplah di sisiku/ kekasih, tataplah mataku. tapi seperti biasa/ sekian banyak yang ingin kukatakan tak terkatakan/ sekian banyak yang ingin kuadukan/ diambilalih oleh airmataku/ kekasih, dengarlah dadaku/ kekasih, bacalah airmataku/ malam ini belum juga/ seperti mimpi-mimpiku/ selama ini.
 
Rindu, sesuatu yang berkawan akrab dengan cinta, hadir mewakili malam. Ia tergopoh-gopoh untuk menyapa malam, namun sengaja menjauh dari siang. Sebab malam, yang selalu sunyi dan menyendiri, menjadi ruang kontemplasi batin paling efektif untuk mencari jejak sebenarnya tentang makna cinta: malam ini/ lagi-lagi kau biarkan sepimewakilimu. Cinta dan malam, kadang kala hanya menghadirkan sepi.
 
Sajak “Hanin” Gus Mus, menjelma sebagai puisi cinta yang hangat sekaligus ramah. Puisi ini tak hanya mencipta rasa tenang, namun juga menjadi pertautan hati antar hati untuk senantiasa saling mengisi.
 
Pertautan makna antar hati yang dinarasikan dalam sajak-sajak cinta Gus Mus, tentu saja menjadi hikmah berharga bagi siapa saja yang berusaha menyesapnya untuk mengais makna dari apa yang paling dicari oleh manusia: kebahagiaan. Dan, cinta serta cita, yang menuntun manusia untuk menjemput hasratnya dengan dua jalan lempang: kebaikan dan kedhaifan meski hasratku tak tertahankan/ meski semua pintu kau bukakan/ meski semua isyaratmu menjanjikan/ -mengingat kedaifan diri dan lika-liku jalan-/ akankah sampai padamu (Labirin, dalam Gandrung, 2005: 42).
 
Hasrat, adalah bahasa hati. Ia bagian komunikasi yang dibagun dengan rasa. Lalu, kemudian mencari makna untuk mencipta terang-gelap dalam nuansa cinta.
 
Sajak-sajak cinta Gus Mus tak berumah pada kekosongan. Ia menjadi jalan menuju pada apa yang menjadi hakikat makhluk: menuju Tuhan. Gus Mus menulis sajak-sajak cinta tidak dibarengi dengan egoisme dan nafsu. Akan tetapi menjadi doa, memantik ingat dan menjelma rasa untuk menjemput hakikat kemanusiaan.
 
Hakikat kemanusiaan inilah yang didengungkan Gus Mus di pelbagai forum: pengajian, khotbah, diskusi ilmiah, sampai silaturahim antar santri. Gus Mus selalu mengingatkan, agar manusia mencintai sesama, berdasarkan fitrah kemanusiaan. Lalu, cinta membutuhkan renungan, kejernihan batin dan manajemen perasaan agar dapat mencari jalan benar menuju hakikatnya.
 
Sajak “Kalau Kau Sibuk Kapan Kau Sempat” merefleksikan hal ini:
 
Kalau kau sibuk bermain cinta saja/ Kapan kau sempat merenungi arti cinta?/ Kalau kau sibuk merenung arti cinta saja/ Kapan kau bercinta?
 
Ternyata, cinta tak hanya patut direnungi, tetapi dilakukan, dialami. Dengan begitu manusia akan mengerti hakikat sebenarnya dari perasaan dirinya. Apakah menuju jalan yang benar menuju Sang Pencipta, atau hanya dilandasi nafsu membahana. Maka, di sela puisinya, Gus Mus mentransformasikan rasa menuju langit, menuju pintu kesejatian mencari Cahaya Illahi:Kalau kau sibuk berdzikir saja/ Kapan kau sempat menyadari keagungan yang kau dzikiri?/ Kalau kau sibuk dengan keagungan yang kau dzikiri saja/ Kapan kau kan mengenalnya?
 
Dzikir, sebagaimana cinta, adalah ritual yang dibangun dari perasaan dan kerendahan hati. Sebuah tarekat, atau lorong panjang bagi seorang salik, untuk menemu hakikat sebenarnya dari manusia dan kemanusiaan. Dan, yang sebenarnya, cinta, dzikir ataupun ritual transendental lainnya, tidak dibahasakan dalam egoisme, dalam ungkapan untuk mencari simpati atau pencitraan diri. Sajak “Aku Tak Kan Memperindah Kata-kata”, seolah menempeleng mereka yang cari simpati dengan memainkan citra diri.aku tak kan memperindah kata-katakarena aku hanya ingin menyatakancinta dan kebenaranadakah yang lebih indah daricinta dan kebenaran maka memerlukan kata-kata indah?
 
Sajak-sajak cinta Gus Mus, serupa cahaya yang mencipta terang hati yang gelap, jiwa-jiwa yang penat. Ia menjadi tadarus bagi malam-malam sunyi. Dengan sajak cintanya, Gus Mus membuktikan bahwa cinta tidak hanya menjadi alasan untuk nafsu, akan tetapi lorong menuju menuju kemuliaan.
***
 
*) Munawir Aziz, penulis buku “Dinamika Identitas Orang Pesisiran” (2013), alumnus Center for Religious and Cross Cultural Studies (CRCS), sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM), Jogjakarta.

http://sastra-indonesia.com/2013/11/cinta-dalam-religiusitas-gus-mus/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.S. Dharta Abdul Hadi WM Abdul Wachid B.S. Abdullah Abubakar Batarfie Abdurrahman Wahid Achmad Faesol Achmad S Achmad Soeparno Yanto Adin Adrian Balu Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Sasongko Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Prasmono Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Mustofa Bisri Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat al-Kindi Alex R. Nainggolan Ali Ahsan Al Haris Ali Audah Ali Syariati Amien Kamil Amien Wangsitalaja Andhika Dinata Andi Neneng Nur Fauziah Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Andy Riza Hidayat Anindita S. Thayf Anton Kurniawan Anton Sudibyo Aprinus Salam Arafat Nur Arif Hidayat Arman A.Z. Arthur Rimbaud Asap Studio Asarpin Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Badaruddin Amir Bagja Hidayat Balada Bambang Riyanto Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Butet Kartaredjasa Cak Bono Catatan Cecil Mariani Cerbung Cerpen Chairil Anwar Charles Bukowski Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dahta Gautama Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Danarto Dara Nuzzul Ramadhan Dareen Tatour Darju Prasetya Darojat Gustian Syafaat Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Sartika Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dianing Widya Yudhistira Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Pitono Djoko Saryono Djoko Subinarto Doan Widhiandono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Klik Santosa Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erik Purnama Putra Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esti Nuryani Kasam Evan Ys Evi Idawati F Aziz Manna F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Firman Wally Fiyan Arjun Forum Penulis dan Pegiat Literasi Lamongan (FP2L) Franz Kafka Galih M. Rosyadi Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Garna Raditya Gendut Riyanto Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gurindam Gusti Eka H.B. Jassin Halim HD Hamdy Salad Hamka Hari Sulastri Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasbi Zainuddin Hasif Amini Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Hermawan Mappiwali Herry Lamongan Hikmat Gumelar HM. Nasruddin Anshoriy Ch Hudan Hidayat Humam S Chudori Ibnu Wahyudi Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Iksaka Banu Ilham Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Arlado Imron Tohari Indra Tjahyadi Indrawati Jauharotun Nafisah Indrian Koto Inung As Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Ismi Wahid Iva Titin Shovia Iwan Fals Iwan Kurniawan Jakob Oetama Janual Aidi JJ. Kusni Johan Fabricius John H. McGlynn Jordaidan Rizsyah Jual Buku Sastra K.H. A. Azis Masyhuri Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kahlil Gibran Kamajaya Al. Katuuk Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khatijah Khoirul Inayah Ki Dhalang Sulang Ki Ompong Sudarsono Kikin Kuswandi Kodirun Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Sastra Mangkubumen (KSM) Komunitas Teater Se-Lamongan Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kucing Oren Kurniawan Junaedhie Kurniawan Muhammad Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Larung Sastra Latief S. Nugraha lensasastra.id Leo Tolstoy Leon Agusta Linda Christanty Lutfi Mardiansyah M. Aan Mansyur M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Harir Muzakki M. Lutfi M. Shoim Anwar M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marniati Martin Aleida Mashuri Masuki M. Astro Matroni Muserang Mawar Kusuma Max Arifin Melani Budianta Mihar Harahap Mikael Johani Miziansyah J. Moch. Fathoni Arief Moh. Ghufron Cholid Mohammad Afifi Mohammad Rafi Azzamy Muhammad Hanif Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun AS Muhidin M. Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Murnierida Pram Myra Sidharta Nadia Cahyani Naim Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nessa Kartika Ni Made Purnama Sari Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Noor H. Dee Nurel Javissyarqi Nurul Fahmy Nurul Ilmi Elbana Nyoman Tusthi Eddy Ong Hok Ham Orasi Budaya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Pablo Neruda Pay Jarot Sujarwo PDS H.B. Jassin Pendidikan Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Bergerak Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin Qismatun Nihayah R Sutandya Yudha Khaidar R Toto Sugiharto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Rambuana Ramdhan Triyadi Bempah Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ricarda Huch Riezky Andhika Pradana Riki Dhamparan Putra Rizki Aprima Putra Rokhim Sarkadek Rony Agustinus Royyan Julian Rukardi Rumah Budaya Pantura Rumah Budaya Pantura (RBP) Ruth Indiah Rahayu S Yoga S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safitri Ningrum Sahaya Santayana Sahli Hamid Saini KM Sajak Salvator Yen Joenaidy Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setyaningsih Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosial Media Sastra Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sudarmoko Sudirman Sugeng Sulaksono Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunaryata Soemarjo Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susie Evidia Y Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka T Agus Khaidir T.A. Sakti Tangguh Pitoyo Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teater Pendopo nDalem Mangkubumen (Dokumen) Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tiya Hapitiawati Tiyasa Jati Pramono Toeti Heraty TS Pinang Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Usman Arrumy UU Hamidy Veronika Ninik Vika Wisnu W.S. Rendra Wahyu Triono Ks Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wilda Fizriyani Willy Ana Y Alpriyanti Y.B. Mangunwijaya Yanto le Honzo Yasin Susilo Yasir Amri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yulhasni Zehan Zareez Zuhdi Swt Zul Afrita