Bernando J. Sujibto
darisebuahsudut.blogspot.com
(Mas Hudan, semoga kau menemukan blog sudut kecil ini. Saya menuliskan
setelah kita sempar ketemu di Rumah KUTUB, duiskusi, nyracau, gila, dan asyik.
Setelah itu kau meninggalkan satu buku Nabi Tanpa Wahyu, suatu himpunan esai
yang telah membuat sengkau menjadi buah bibir orang-orang, jadi kontroversi.
Saya bersyukur di kancah kesusastraan Indonesia mempunyai sosok yang ‘licin’ dan
‘blur’ sepertimu. Ini adalah awal bagi masa suatu proyek masa depan sastra yang
sebenarnaya [?])
Teks adalah segalanya dan di luar teks tidak ada apa-apa, itulah ungkapan
ekstrem yang sempat terlempar dari sosok cair Hudan Hidayat. Adagium ini pula
yang telah menjadi polemik sengit sepanjang paruh tahun 2007. Labih lanjut
Hudan menandaskan bahwa nilai apapun tidak dapat menghalangi kebebasan
berekspresi. Rupanya, filosofi dan komitmen terhadap konstruksi sebuah teks
telah menjadi jalan hidup Hudan dalam menapaki jalan panjang kesusastraan
Indonesia. Hingga sekarang, terutama dalam esai-esainya, Hudan tetap
meneriakkan pembebasan teks sastra dari klaim dan kepentingan komunal yang
telah ikut melumpuhkan perkembangan kesusastraan kita ke depan. Teks dalam karya
sastra tak ubahnya sebuah ’wahyu’ yang menuntut multitafsir dan bergantung
kepada siapa saja yang mebacanya.
Setelah meredanya polemik sengit yang sempat “membakar jenggot“ banyak
tokoh sastrawan senior terutama Taufiq Ismail, Hudan kembali datang dengan
jurus dan ajian-ajian yang lebih sempurna ditatal dalam bentuk kitab. Ia
kembali datang dengan setumpuk maskot, sebuah buku kumpulan esai berjudul Nabi
Tanpa Wahyu, yang semakin melengkapkan ide-ide cemerlang Hudan yang tercecer.
Buku esai ini semakin mengokohkan Hudan sebagai sosok tegar yang terus
menyiarkan kebebesan menulis dan menafsir teks karya sastra yang disinyalir
sebagai teks wakyu itu.
Hadirnya seorang Hudan bagi pentas kesusastraan Indonesia merupakan
anugerah yang luar biasa. Hudan datang setelah menjalani berbagai proses dalam
kesenian yang ‘berdarah-darah’ dan menawarkan penemuan dari balik pengembaraan
panjangnya itu. Hudan menyadari sebelumnya akan nasib kesusastraan kita yang
sedang mengalami sakit komplikasi. Dari kondisi carut-marut itulah Hudan
bangkit dan membidani dunia kesusastraan dengan intens sehingga melahirkan
karya novel yang jauh berbeda dari para pendahulunya, yaitu Tuan dan Nona
Kosong yang ditulis bersama Mariana Amiruddin. Novel ini hingga sekarang masih
menjadi ‘terdakwa’. Di samping itu, kumpulan dua cerpennya juga ikut
menyertainya Orang Sakit dan Lelaki Ikan dan memastika sosok Hudan bukan hanya
sekedar menebar omong kosong, seperti banyak dituduhkan oleh musuh-musuhnya.
Bagi Hudan, kesusastraan adalah upaya membuat lubang atau terowongan, upaya
merekonstruksi dunia. Ia adalah jembatan yang menghubungkan manusia dengan
Semesta, juga dengan dirinya sendiri. Terowongan ini membuat dunia semacam
pecahan yang tak utuh lagi. Sia-sia menampitkannya. Sebab dalam terowongan itu
hadir bermacam lambang dan nilai (hlm. 141).
***
Benar adanya jika sosok Hudan bukan hanya liar-frontal dalam karya—cerpen,
novel dan esai-esai—nya saja. Tetapi keliaran atau “kegilaan”, seperti disebut
Nurel Javissyarqi dalam epilognya (hal. 197), telah benar-benar hadir dan
melekat pada sosok keseharian (daily behavior) Hudan. Ia hidup mewakili
karya-karya yang dihasilkannya itu. Jika mau diucap: Hudan bukanlah manusia
munafik yang bersembunyi di balik karya sebagaimana dilakukan oleh penulis lain.
Hudan telah menunjukkan bahwa hidup-dirinya adalah hasil sublimasi dari
pergulatan panjang yang menyertai dalam pencaharian proses kepenulisannya,
begitu juga yang terlahir lewat karya-karyanya yang sangat mencengangkan
publik, terutama ketika lahir novel Tuan dan Nona Kosong yang ditulis bersama
Mariana Amiruddin. Novel ini, seperti dituturkan Hudan, adalah hasil
puncak-klimaks dari masa inkubasi yang mendera Hudan selama kurang lebih 15
tahun yang memaksa memacetkan proses kepenulisannya karena dirinya dituntut
harus menjalani lebih serius lagi proses kreatif yang tak berujung demi
menemukan nilai kehidupan yang selama ini disamarkan dan dipasung oleh sebagian
kelompok dan kepentingan. Dan hal itu pun telah dibuktikan dengan penuh
semangat oleh Hudan lewat pemberontakan esai-esainya.
Dalam hal penciptaan karya sastra, Hudan ingin menghasilkan ciptaan yang
berfungsi sebagai kenangan (hal. 43), demi kesinambungan proyek kemanusiaan
yang sehat dan damai. Tentu saja kenangan seperti itu berguna bagi manusia untuk
menyempurnakan hidupnya. Itulah yang mendasari usaha Hudan dalam menangkap dan
menafsirkan wahyu yang tanpa “nabi” itu.
Lebih fantastik lagi, dengan usaha serius yang hingga kini konfrontatif,
Hudan ingin menuliskan apa saja tentang kehidupan dengan apa adanya. Ia hanya
ingin menuliskan seperti apa yang menjadi iman rekan seperjuangannya, M.
Fadjroel Rahman, bahwa “kita adalah warga negara bumi manusia dan negara hanya
batasan hukum belaka, bukan batasan imajinasi, kreasi…” (hal. 17). Maka tidak
ayal jika kemudian dari tangan Hudan lahir karya sastra yang tidak biasa dan
diklaim banyak orang sebagai “karya syahwat” (tentu terutama oleh Taufik
Ismail!).
Kenyataan hidup demikian bagi sebagian orang dinilai sebagai tabu, jelek,
dan cacat sehingga tak kurang dari Ayu Utami dan Djenar Maesa Ayu—yang paling
lihai mengeksplorasi bidang ini—mendapat serangan pedas dari masyarakat luas.
Padahal, menuliskan cacat kehidupan adalah menghormati hidup itu sendiri (hal.
69). Penalaran ini diakui memang aneh. Tetapi itulah karya sastra, karya yang
bermain di ranah metafor dengan piranti bahasa dan simbol sebagai perangkat
urgen yang memungkinkan munculnya ambivalensi, multitafsir, dan ambiguitas.
Sementara penciptanya (sastrawan) maupun pembacanya (publik) berhak menjadi
seorang “nabi” yang bebas menafsirkannya.
Sekarang yang perlu dihadirkan dalam pembacaan karya sastra adalah
bagaimana ia dikembalikan kepada hakikat awalnya sebagai sebuah demensi
penciptaan yang terbangun di atas papan humanisme. Manusia dan kemanusiaanya
menjadi keniscayaan dalam karya sastra, dan perjalanan riwayat kesusastraan itu
sendiri. Karya sastra tidak boleh dibawa kepada hal-hal kecil dan ekstrim
seperti dilalukan oleh sebagian kelompok. Di sini kita harus berusaha bagaimana
sastra dikembalikan kepada konteks kemanusiaan yang universal itu.
Dari itu, Hudan akan selalu hadir menyertai setiap buku yang ada di tengah
pembaca. Karena adagium “penulis mati ketika karyanya terbit ke publik” tidak
berlaku bagi Hudan. Ia, seperti yang diteriakkannya sendiri, akan mengiringi
karya-karya yang telah dilahirkannya. Karena karya, seperti mengutip perkataan
Pram, adalah anak yang harus diasuh dan dijaga kesehatannya. Komitmen ini
dilakukan Hudan selama 3 tahun dengan berkeliling hampir seantero Indonesia dengan
membawa kumpulan cerpen terbitan awal ke tengah pembaca, terutama mahasiswa dan
komunitas sastra.
Lebih jauh, buku ini akan menyajikan perspektif yang lebih luas tentang
sastra yang diperjuangkan Hudan, terutama sejak setelah masa inkubasinya sekitar
tahun 2002. Dalam konteks inilah kita perlu membaca tuntas perihal sosok Hudan
dan karya-karyanya demi menghindari truth claim (klaim pembenaran) yang lahir
dari tindakan parsial terhadap sebuah teks sastra. Karena bagaimapun, teks
sastra adalah serupa wahyu yang tak selesai-selesai ditafsir bersama denyut
kehidupan kemanusiaan kita sebagai penerus kenabian.
***
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Selasa, 23 Februari 2021
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A. Syauqi Sumbawi
A.S. Dharta
Abdul Hadi WM
Abdul Wachid B.S.
Abdullah Abubakar Batarfie
Abdurrahman Wahid
Achmad Faesol
Achmad S
Achmad Soeparno Yanto
Adin
Adrian Balu
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agung Sasongko
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Prasmono
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Mustofa Bisri
Ahmad Tohari
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akhudiat
al-Kindi
Alex R. Nainggolan
Ali Ahsan Al Haris
Ali Audah
Ali Syariati
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Andhika Dinata
Andi Neneng Nur Fauziah
Andra Nur Oktaviani
Andrenaline Katarsis
Andy Riza Hidayat
Anindita S. Thayf
Anton Kurniawan
Anton Sudibyo
Aprinus Salam
Arafat Nur
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Arthur Rimbaud
Asap Studio
Asarpin
Asti Musman
Atafras
Awalludin GD Mualif
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Balada
Bambang Riyanto
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Bernadette Aderi
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budi Darma
Butet Kartaredjasa
Cak Bono
Catatan
Cecil Mariani
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Charles Bukowski
Christine Hakim
Cinta Laura Kiehl
D. Zawawi Imron
Dahta Gautama
Daisy Priyanti
Damhuri Muhammad
Danarto
Dara Nuzzul Ramadhan
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darojat Gustian Syafaat
Dea Anugrah
Dedy Tri Riyadi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Sartika
Dharmadi
Dhenok Kristianti
Dian Wahyu Kusuma
Dianing Widya Yudhistira
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djoko Subinarto
Doan Widhiandono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Yan Masfa
Donny Anggoro
Dwi Cipta
Dwi Klik Santosa
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Enda Menzies
Erik Purnama Putra
Erwin Dariyanto
Erwin Setia
Esai
Esti Nuryani Kasam
Evan Ys
Evi Idawati
F Aziz Manna
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Fairuzul Mumtaz
Fajar Alayubi
Farah Noersativa
Faris Al Faisal
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathurrozak
Faza Bina Al-Alim
Feby Indirani
Felix K. Nesi
Fian Firatmaja
Firman Wally
Fiyan Arjun
Forum Penulis dan Pegiat Literasi Lamongan (FP2L)
Franz Kafka
Galih M. Rosyadi
Galuh Tulus Utama
Ganug Nugroho Adi
Garna Raditya
Gendut Riyanto
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Gombloh
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gurindam
Gusti Eka
H.B. Jassin
Halim HD
Hamdy Salad
Hamka
Hari Sulastri
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasbi Zainuddin
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Hermawan Mappiwali
Herry Lamongan
Hikmat Gumelar
HM. Nasruddin Anshoriy Ch
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
Ibnu Wahyudi
Ida Fitri
IDG Windhu Sancaya
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Iksaka Banu
Ilham
Imam Muhayat
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Arlado
Imron Tohari
Indra Tjahyadi
Indrawati Jauharotun Nafisah
Indrian Koto
Inung As
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Ismi Wahid
Iva Titin Shovia
Iwan Fals
Iwan Kurniawan
Jakob Oetama
Janual Aidi
JJ. Kusni
Johan Fabricius
John H. McGlynn
Jordaidan Rizsyah
Jual Buku Sastra
K.H. A. Azis Masyhuri
Kadjie Mudzakir
Kahfie Nazaruddin
Kahlil Gibran
Kamajaya Al. Katuuk
Kamran Dikarma
Kedung Darma Romansha
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khansa Arifah Adila
Khatijah
Khoirul Inayah
Ki Dhalang Sulang
Ki Ompong Sudarsono
Kikin Kuswandi
Kodirun
Koh Young Hun
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Sastra Mangkubumen (KSM)
Komunitas Teater Se-Lamongan
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kurniawan Junaedhie
Kurniawan Muhammad
Kuswaidi Syafi’ie
Kuswinarto
L.K. Ara
Laksmi Shitaresmi
Lan Fang
Larung Sastra
Latief S. Nugraha
lensasastra.id
Leo Tolstoy
Leon Agusta
Linda Christanty
Lutfi Mardiansyah
M. Aan Mansyur
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Harir Muzakki
M. Lutfi
M. Shoim Anwar
M. Yoesoef
M. Yunis
M.D. Atmaja
Mahamuda
Mahdi Idris
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Mario F. Lawi
Marniati
Martin Aleida
Mashuri
Masuki M. Astro
Matroni Muserang
Mawar Kusuma
Max Arifin
Melani Budianta
Mihar Harahap
Mikael Johani
Miziansyah J.
Moch. Fathoni Arief
Moh. Ghufron Cholid
Mohammad Afifi
Mohammad Rafi Azzamy
Muhammad Hanif
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammadun AS
Muhidin M. Dahlan
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Murnierida Pram
Myra Sidharta
Nadia Cahyani
Naim
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nessa Kartika
Ni Made Purnama Sari
Nikita Mirzani
Nirwan Ahmad Arsuka
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Nurel Javissyarqi
Nurul Fahmy
Nurul Ilmi Elbana
Nyoman Tusthi Eddy
Ong Hok Ham
Orasi Budaya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Pay Jarot Sujarwo
PDS H.B. Jassin
Pendidikan
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pringgo HR
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Pustaka Bergerak
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
Qismatun Nihayah
R Sutandya Yudha Khaidar
R Toto Sugiharto
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rahmat Sutandya Yudhanto
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Prambudhi Dikimara
Rambuana
Ramdhan Triyadi Bempah
Ratnani Latifah
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Ribut Wijoto
Ricarda Huch
Riezky Andhika Pradana
Riki Dhamparan Putra
Rizki Aprima Putra
Rokhim Sarkadek
Rony Agustinus
Royyan Julian
Rukardi
Rumah Budaya Pantura
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Ruth Indiah Rahayu
S Yoga
S. Arimba
S. Jai
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Sahaya Santayana
Sahli Hamid
Saini KM
Sajak
Salvator Yen Joenaidy
Samsul Anam
Sapardi Djoko Damono
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Selendang Sulaiman
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setyaningsih
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sosial Media Sastra
Sosiawan Leak
Sovian Lawendatu
Sudarmoko
Sudirman
Sugeng Sulaksono
Sugito Ha Es
Sumani
Sumargono SN
Suminto A. Sayuti
Sunaryata Soemarjo
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suryanto Sastroatmodjo
Susie Evidia Y
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syaifuddin Gani
Syaiful Irba Tanpaka
T Agus Khaidir
T.A. Sakti
Tangguh Pitoyo
Tatan Daniel
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Eska
Teater Pendopo nDalem Mangkubumen (Dokumen)
Teater Tawon
Tedy Kartyadi
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Tiya Hapitiawati
Tiyasa Jati Pramono
Toeti Heraty
TS Pinang
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Usman Arrumy
UU Hamidy
Veronika Ninik
Vika Wisnu
W.S. Rendra
Wahyu Triono Ks
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Jengki Sunarta
Wayan Sunarta
Welly Kuswanto
Wilda Fizriyani
Willy Ana
Y Alpriyanti
Y.B. Mangunwijaya
Yanto le Honzo
Yasin Susilo
Yasir Amri
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yonathan Rahardjo
Yudha Kristiawan
Yudhistira ANM Massardi
Yulhasni
Zehan Zareez
Zuhdi Swt
Zul Afrita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar