Kamis, 25 Februari 2021

Seni, Imajinasi, dan Kampanye Pencitraan

M. Shoim Anwar
jawapos.com
 
HARI-HARI ini di sekitar kita benar-benar dipenuhi oleh suasana dan media kampanye dengan simbol-simbol politik. Poster, baliho, spanduk, foto, selebaran, dan sejenisnya tumbuh seperti rumput liar di pinggir-pinggir jalan. Radio yang kita dengar, televisi yang kita tonton, serta koran yang kita baca telah dikepung oleh nuansa politik. Persuasi yang dimunculkan simbol-simbol itu terus berulang, mengalami repetisi dari waktu ke waktu untuk merogoh simpati kita. Ibarat menu, semua itu disajikan secara bersama-sama dan kita dipaksa untuk melahapnya. Atas nama pesta, awalnya kita memang sangat bernafsu melahapnya, tapi lama-lama kita pun muntah dibuatnya.
 
Kita memang selalu belajar dari sejarah. Masa lampau, hari ini, dan masa mendatang adalah ruang gerak perjalanan sejarah. Ironisnya, politik dan kekuasaan hampir selalu memberi sejarah ketidakpastian dalam kenyataan hidup. Berbagai isi media politik yang ada di sekeliling kita bukanlah kenyataan sebenarnya. Seni dengan ruang imajinasinya telah membangun politik pencitraan seperti halnya iklan kecap atau obat sakit kepala. Foto para caleg dan tayangan iklannya dengan berbagai simbol yang melekat diusahakan sedemikian rupa agar seakan-akan mendekati realita.
 
Pada tahap seperti ini pandangan Plato tentang mimesis dalam seni jadi relevan, seni di satu sisi telah menjauhkan kita dari realita. Bagi Plato, seni yang ideal harus mendekatkan kita pada kebenaran (truthful). Bila tidak, seni justru menjauhkan kita dari akal budi. Itulah sebabnya, seniman harus senantiasa santun (modest).
 
Kampanye dengan berbagai atributnya adalah seni. Dominasi ruang imajinasi di dalamnya terlalu besar jika dibanding dengan realita. Janji-janji dan impian yang disuguhkan adalah fiksi, mirip seperti the American Dream bahwa ”tukang semir dapat menjadi pemilik pabrik sepatu”. Pidato dan iklan yang ditampilkan adalah klaim sepihak, hitam putih, dan semua kebaikan diatasnamakan diri sendiri dan golongannya. Wacana yang telah dilontarkan bukanlah faktual, melainkan fiksional karena ada fakta lain yang disisihkan dan disembunyikan. Pada tataran semiotik, seperti dikatakan penyair Rusia Tyutcev, ”pikiran yang diucapkan adalah suatu kebohongan”.
 
Apakah dengan demikian seni dan imajinasi selalu bersifat merusak? Tentu saja tidak. Ini sangat bergantung pada siapa dan apa motivasinya. Albert Einstein pernah berkata, ”The imagination is more important than knowledge”, imajinasi lebih penting dibanding pengetahuan. Einstein adalah seorang ilmuwan. Baginya, imajinasi merupakan titik pijak untuk membangun penemuan dalam realita. Tetapi, bagi politikus, imajinasi dipakai untuk membangun kekuasaan, seperti halnya teori imajinatif Machiavelli tentang kekuasaan dalam Sang Pangeran (The Prince) yang menghalalkan segala cara. Kekuasaan dan politik secara praktis cenderung korup. Tak heran jika para pelakunya dijuluki zoon politicon, binatang yang berpolitik.
 
Seni bukanlah tindak tutur yang wajar (speech act). Seni tidak berbicara apa adanya. Mendengarkan iklan atau pidato kampanye bukanlah sesuatu yang aplikatif. Karena termasuk seni, keberadaannya selalu diwarnai ambiguitas atau ketidakpastian. Maka, jangan terlalu berharap pada ketidakpastian yang terlontar. Lebih dari 63 persen caleg, menurut KPU Pusat, tidak memiliki pekerjaan yang jelas. Itu artinya, ada tindak improvisasi yang dibangun. Sementara improvisasi adalah bayi yang dilahirkan oleh dunia kesenian. Pada situasi politis demikian, kita dihantui kecemasan, jangan-jangan para caleg adalah wrong man in a wrong place.
 
Sekarang kita berada dalam situasi ”jeruk makan jeruk”, yaitu dunia imajinatif yang dibangun lewat kampanye politik juga memanfaatkan media kesenian. Ini berarti seni makan seni. Memanfaatkan seni sebagai media pencitraan politik selalu memiliki ambivalensi. Bila dikaitkan dengan dunia politik dan kekuasaan, seni yang benar-benar seni memiliki naluri di luar pagar sebagai manivestasi kebebasannya. Seni yang isinya dipakai sebagai media kampanye politik dan kekuasaan akan jatuh pada wilayah pragmatisme.
 
Seorang caleg di Surabaya baru-baru ini memamerkan 23 lukisan dirinya karya 23 pelukis di Balai Pemuda, lantas disusul dengan konser musik bersama Sawung Jabo untuk memperkuat citranya. Seni model demikian akan runtuh, seperti halnya patung Karl Max, Lenin, dan Saddam Hussein yang ramai-ramai dirobohkan seiring dengan jatuhnya figur tersebut. Nasib yang sama menimpa lagu Bapak Pembangunan atau lukisan potret diri Soeharto oleh Dede Eri Supria. Bahkan uang yang bergambar potret diri Soeharto ditarik peredarannya ketika Soeharto jatuh.
 
Pada sisi lain, seni juga ketiban berkah saat iruk pikuk kampanye seperti ini. Tentu saja yang dimaksud adalah seni populer. Acara kampanye yang diramaikan dengan pertunjukan musik dan para artis umumnya dibanjiri orang. Tidak ada relevansi antara jumlah orang yang hadir dan besarnya dukungan terhadap caleg/partai penyelenggara. Mereka mungkin hanya menikmati hiburannya atau hadir karena diberi sesuatu. Ketika pertunjukan musik selesai dan giliran pidato kampanye para caleg, penonton pun bubar. Para artis hadir karena profesi mereka memang ditanggap. Muatan seninya umumnya tidak berkaitan dengan partai atau caleg tersebut.
 
Seni memang dapat ditempatkan di berbagai kemungkinan. Pada masa rezim komunis masih berkuasa di Uni Sovyet (Rusia) hampir semua karya seni diarahkan untuk pencitraan partai politik dan kekuasaan. Di samping tidak ada gaungnya, karya seni tersebut jatuh pada slogan kosong, mirip dengan karya sastra yang diproduksi oleh orang-orang Lekra di Indonesia. Sebaliknya, karya seni yang mengambil posisi berlawanan justru menjadi monumental seperti karya-karya Boris Pasternak, Solzhenitsyn, Anton Chekov, Joseph Brodsky, dan sebagainya. Maka, jika sajak-sajak perlawanan Rendra masih eksis hingga kini karena dia mengambil sikap perlawanan terhadap dunia politik dan kekuasaan yang dinilainya tidak beres: O, tatawarna fatamorgana kekuasaan!/ O, sihir berkilauan dari mahkota raja-raja!/ Dari sejak jaman Ibrahim dan Musa / Allah selalu mengingatkan/ bahwa hukum harus lebih tinggi/ dari keinginan para politisi, raja-raja, dan tentara.
 
Seni memang sudah lama dimanfaatkan untuk sarana pencitraan. Di masa lampau seni juga dimanfaatkan oleh penguasa dan raja-raja untuk membentengi kekuasaan agar rakyat tidak berani melawan. Tidak heran jika salah satu ciri sastra lama di berbagai negara dan daerah adalah istana sentris, di mana raja dan keluarganya selalu dikisahkan sebagai figur ideal dan keturunan dewa-dewa. Tidak heran bila para penguasa lebih suka menanggap wayang kulit. Ini adalah model kampanye istana. Di sisi lain, muncul pula seni perlawanan seperti ludruk yang egaliter. Penguasa umumnya tidak suka dengan kesenian rakyat karena sering bernada kritis.
 
Di tengah-tengah iruk pikuk kampanye caleg dan partai politik, lagu Wakil Rakyat dari Iwan Fals menjadi segar kembali. Citra legislatif semakin terpuruk karena para anggotanya di berbagai wilayah tanah air sering terlibat berbagai kasus pelanggaran etika dan hukum, khususnya perkara korupsi. Bila Iwan Fals di masa Orde Baru melontarkan kritik ”wakil rakyat seharusnya merakyat, jangan tidur waktu sidang soal rakyat”, atau cuplikan novel Belantik karya Ahmad Tohari yang menyatakan bahwa anggota parlemen kalau sidang ”ngantuk melulu” dan ”mereka bermusyawarah-mufakat sambil guyon”, kini kondisinya jauh lebih parah. Korupsi berjamaah yang dilakukan para wakil rakyat terjadi hampir merata di seluruh tanah air. Cocok dengan judul drama Parlemen Gombal yang pernah dipentaskan di Balai Pemuda Surabaya.
 
Di pengujung 1990-an, pelukis Yusuf Susilo Hartono memamerkan sebuah lukisannya yang berjudul Bebek-Bebek Senayan. Lukisan berobjek gerombolan bebek dengan latar belakang gedung DPR/MPR itu sangat jelas pesannya, bahwa anggota parlemen perilakunya seperti bebek, penurut, dan tidak memiliki integritas. Ini mirip dengan cerpen Jurdil karya Yudhistira A.N.M. Massardi yang menggambarkan ketragisan fungsi anggota legislatif yang mengabdikan dirinya kepada kepentingan raja serta sesekali menyuarakan aspirasi segenap keluarga dan kerabat. Sebuah kaca benggala legislatif yang buram. Sama juga seperti drama atau monolog Butet Kartarajasa Lidah Masih Pingsan atau Mayat Terhormat.
 
Politik pencitraan lewat seni yang dilakukan para politikus dan caleg telah menemukan tandingannya. Jika janji-janji imajinatif dalam kampanye selalu memberi angin surga, Danarto justru mematahkannya lewat puisi ”Negeri Bandit”: Tuhan tinggal pajangan di dinding-dinding hotel berbintang, meja seminar, gedung DPR/MPR, dan rak-rak file dari kebobrokan ekonomi dan moral para pejabat.
 
Rakyat memang semakin pandai. Perilaku para politisi dan janji para caleg yang tidak masuk akal akan dibiarkan di alam imajinasi. Rakyat akan menilai dengan logikanya sendiri, seperti bunyi sajak Darmanto Jatman ”Hukuman Karto”: Atas asma Allah. Kuhukum kamu dengan mendiamkan tanda gambarmu / Sekalipun katamu kamu memihakku, membebaskan kami dari biaya edukasi apalagi korupsi / Tapi pada masa putaran kampanye, perilakumu tak mengundang simpatiku/ Kamu gasak rokok daganganku, kamu geber saudara-saudaraku!
 
Politik praktis berorientasi kekuasaan. Ideologinya adalah pragmatisme atau tergantung kepentingan sesaat. Lihatlah ulah para politisi yang loncat sana loncat sini. Omongannya juga susah dipegang. Sementara seni (man), yang juga tak dapat melepaskan diri dari ideologi, memiliki ikatan sangat kuat dengan ideologi yang dianutnya. Maka, ketegangan ideologis antara seni dan politik akan selalu terjadi. Kata-kata John F. Kennedy akan selalu aktual, ”Ketika politik menjadi bengkok, maka puisi akan meluruskannya.”
***

http://sastra-indonesia.com/2009/04/seni-imajinasi-dan-kampanye-pencitraan/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.S. Dharta Abdul Hadi WM Abdul Wachid B.S. Abdullah Abubakar Batarfie Abdurrahman Wahid Achmad Faesol Achmad S Achmad Soeparno Yanto Adin Adrian Balu Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Sasongko Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Prasmono Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Mustofa Bisri Ahmad Tohari Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akhudiat al-Kindi Alex R. Nainggolan Ali Ahsan Al Haris Ali Audah Ali Syariati Amien Kamil Amien Wangsitalaja Andhika Dinata Andi Neneng Nur Fauziah Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Andy Riza Hidayat Anindita S. Thayf Anton Kurniawan Anton Sudibyo Aprinus Salam Arafat Nur Arif Hidayat Arman A.Z. Arthur Rimbaud Asap Studio Asarpin Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Badaruddin Amir Bagja Hidayat Balada Bambang Riyanto Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budi Darma Butet Kartaredjasa Cak Bono Catatan Cecil Mariani Cerbung Cerpen Chairil Anwar Charles Bukowski Christine Hakim Cinta Laura Kiehl D. Zawawi Imron Dahta Gautama Daisy Priyanti Damhuri Muhammad Danarto Dara Nuzzul Ramadhan Dareen Tatour Darju Prasetya Darojat Gustian Syafaat Dea Anugrah Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dewi Sartika Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Wahyu Kusuma Dianing Widya Yudhistira Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Pitono Djoko Saryono Djoko Subinarto Doan Widhiandono Doddi Ahmad Fauji Dody Yan Masfa Donny Anggoro Dwi Cipta Dwi Klik Santosa Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Enda Menzies Erik Purnama Putra Erwin Dariyanto Erwin Setia Esai Esti Nuryani Kasam Evan Ys Evi Idawati F Aziz Manna F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrozak Faza Bina Al-Alim Feby Indirani Felix K. Nesi Fian Firatmaja Firman Wally Fiyan Arjun Forum Penulis dan Pegiat Literasi Lamongan (FP2L) Franz Kafka Galih M. Rosyadi Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Garna Raditya Gendut Riyanto Goenawan Mohamad Gola Gong Gombloh Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gurindam Gusti Eka H.B. Jassin Halim HD Hamdy Salad Hamka Hari Sulastri Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasbi Zainuddin Hasif Amini Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Hermawan Mappiwali Herry Lamongan Hikmat Gumelar HM. Nasruddin Anshoriy Ch Hudan Hidayat Humam S Chudori Ibnu Wahyudi Ida Fitri IDG Windhu Sancaya Idris Pasaribu Ignas Kleden Iksaka Banu Ilham Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Arlado Imron Tohari Indra Tjahyadi Indrawati Jauharotun Nafisah Indrian Koto Inung As Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Ismi Wahid Iva Titin Shovia Iwan Fals Iwan Kurniawan Jakob Oetama Janual Aidi JJ. Kusni Johan Fabricius John H. McGlynn Jordaidan Rizsyah Jual Buku Sastra K.H. A. Azis Masyhuri Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kahlil Gibran Kamajaya Al. Katuuk Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khatijah Khoirul Inayah Ki Dhalang Sulang Ki Ompong Sudarsono Kikin Kuswandi Kodirun Koh Young Hun Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Sastra Mangkubumen (KSM) Komunitas Teater Se-Lamongan Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kucing Oren Kurniawan Junaedhie Kurniawan Muhammad Kuswaidi Syafi’ie Kuswinarto L.K. Ara Laksmi Shitaresmi Lan Fang Larung Sastra Latief S. Nugraha lensasastra.id Leo Tolstoy Leon Agusta Linda Christanty Lutfi Mardiansyah M. Aan Mansyur M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Harir Muzakki M. Lutfi M. Shoim Anwar M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Mario F. Lawi Marniati Martin Aleida Mashuri Masuki M. Astro Matroni Muserang Mawar Kusuma Max Arifin Melani Budianta Mihar Harahap Mikael Johani Miziansyah J. Moch. Fathoni Arief Moh. Ghufron Cholid Mohammad Afifi Mohammad Rafi Azzamy Muhammad Hanif Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammadun AS Muhidin M. Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Murnierida Pram Myra Sidharta Nadia Cahyani Naim Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nessa Kartika Ni Made Purnama Sari Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nizar Qabbani Noor H. Dee Nurel Javissyarqi Nurul Fahmy Nurul Ilmi Elbana Nyoman Tusthi Eddy Ong Hok Ham Orasi Budaya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Pablo Neruda Pay Jarot Sujarwo PDS H.B. Jassin Pendidikan Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Bergerak Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin Qismatun Nihayah R Sutandya Yudha Khaidar R Toto Sugiharto R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rahmat Sutandya Yudhanto Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Rambuana Ramdhan Triyadi Bempah Ratnani Latifah Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Ribut Wijoto Ricarda Huch Riezky Andhika Pradana Riki Dhamparan Putra Rizki Aprima Putra Rokhim Sarkadek Rony Agustinus Royyan Julian Rukardi Rumah Budaya Pantura Rumah Budaya Pantura (RBP) Ruth Indiah Rahayu S Yoga S. Arimba S. Jai Sabrank Suparno Safitri Ningrum Sahaya Santayana Sahli Hamid Saini KM Sajak Salvator Yen Joenaidy Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setyaningsih Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosial Media Sastra Sosiawan Leak Sovian Lawendatu Sudarmoko Sudirman Sugeng Sulaksono Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Suminto A. Sayuti Sunaryata Soemarjo Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suryanto Sastroatmodjo Susie Evidia Y Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syaifuddin Gani Syaiful Irba Tanpaka T Agus Khaidir T.A. Sakti Tangguh Pitoyo Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teater Eska Teater Pendopo nDalem Mangkubumen (Dokumen) Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Tiya Hapitiawati Tiyasa Jati Pramono Toeti Heraty TS Pinang Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Usman Arrumy UU Hamidy Veronika Ninik Vika Wisnu W.S. Rendra Wahyu Triono Ks Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Wayan Sunarta Welly Kuswanto Wilda Fizriyani Willy Ana Y Alpriyanti Y.B. Mangunwijaya Yanto le Honzo Yasin Susilo Yasir Amri Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yulhasni Zehan Zareez Zuhdi Swt Zul Afrita